Damarwulan dan Luka yang Tak Terlihat

“Jangan langsung percaya atas apa yang kamu dengar. Karena di balik setiap kisah, ada tiga sisi: pandanganmu, pandangan orang lain, dan kebenaran yang sesungguhnya.”

.

Langit senja memantul di kaca jendela kontrakan kecil di tepi ring road utara Yogyakarta. Asap satai melayang dari gerobak depan gang, menembus kisi-kisi, mencampur bau arang dengan harum pandan dari penanak nasi elektrik. Di meja kerja yang sempit, Damarwulan duduk menatap notifikasi di ponselnya—sebuah kalimat yang pendek, namun mengguncang seperti gempa kecil di relung hati.

“Bro, denger-denger Anjasmara deket banget sama Adipati Logender. Kayaknya udah nggak beres.”—Lembu Sora.

Damarwulan menatap layar lama sekali, seperti seseorang yang berdiri di bibir tebing mendengar debur ombak menyamar sebagai bisik-bisik. Kata-kata itu memantul ke dinding kamar, memecah tenang yang rapuh. Ia ingin tertawa, menepis, menyebut gosip sebagai angin lewat. Tapi tiap huruf justru menempel ke pikirannya seperti debu halus yang merekat di lensa kacamata—makin diusap, makin buram.

Anjasmara bukan sekadar kekasih baginya. Dua tahun ini perempuan itu adalah tempatnya pulang: suara yang menghentikan langkahnya di depan pintu kantor untuk sekadar mengingatkan—“Tarik napas, jangan bawa pulang masalah orang.” Ia yang mengirim foto kucing kantor; yang mengirim rekaman suara azan dari masjid kecil belakang kos saat Damarwulan lembur, “Biar kamu nggak lupa arah.”

Tapi sekali benih ragu jatuh di tanah gersang, pohon prasangka tumbuh cepat, cabangnya merambati apa saja—bahkan hal-hal yang seharusnya tidak.

.

Lensa yang Kabur

Malam itu, seperti biasa, Anjasmara mengirim foto si kucing kantor yang tidur dalam kardus. “Bocil HRD lagi shift malam,” tulisnya, disertai emoji tertawa. Namun di mata Damarwulan, senyum itu berbeda. Ia membaca tanda-tanda yang tak pernah ditulis. Ia memicingkan mata pada jeda tiga menit sebelum Anjasmara membalas, pada titik-titik elipsis yang seharusnya netral. Emoji tawa seolah menjadi kedok; kalimat ringan seperti cincin kosong yang diletakkan di jari kiri lalu dilepas kembali.

Ia lupa bahwa layar, betapa pun canggih, tak pernah bisa memindahkan seluruh denyut manusia.

Keesokan siang, di grup kos, celoteh mengalir:

“Anjas cakep, sih. Wajar Logender demen.”
“Sering pulang bareng. Mobil kantor kan cuma satu.”
“Ya, ya, tapi kok sering makan bareng juga? Hehe.”

Setiap “kok” dan “hehe” yang dipasang orang lain menjadi paku-paku kecil yang tak terdengar saat dipukul, tapi terasa saat diinjak. Ia membiarkan paku itu menebal, membentuk pola di batinnya.

“Kalau ada apa-apa, kamu tanya ya,” kata Anjasmara suatu malam lewat telepon.
“Nggak, nggak apa-apa,” jawab Damarwulan cepat, padahal dalam dirinya kabut sedang turun.

Kita sering lupa: kebohongan paling berbahaya bukanlah yang dibuat orang lain, melainkan yang kita pelihara sendiri.

.

Bisikan dan Nyala Api

Adipati Logender, COO perusahaan tempat Anjasmara bekerja—lelaki dengan jas biru, sepatu mengkilap, dan reputasi yang turun-naik seperti grafik saham di layar-layar coworking space. Di kafe lobi sebuah hotel yang gemerlap, ia sering berdiri memberi arahan. Dari kejauhan, gesturnya tegas; dari dekat, matanya sering menatap jam. Nama itu bukan sekadar nama; ia simbol hiruk-pikuk karier kelas menengah ke atas: rapat lintas kota, makan siang formal, koordinasi yang menuntut “siap, Pak” sebelum pertanyaan diucapkan.

Dan di kota-kota yang tak pernah tidur, kabar bisa berlari lebih cepat dari kebenaran.

“Mas Damar, kamu kenapa dingin banget sekarang? Ada yang salah ya?” suara Anjasmara terdengar pelan suatu malam.
“Capek,” jawabnya pendek.
“Capek kerja atau capek sama aku?”
Damarwulan diam. Ia menatap langit-langit kamar yang retaknya membentuk peta—seperti peta prasangka dalam dirinya—bercabang tak tentu arah. “Nggak tahu,” katanya akhirnya.

Kadang kita memilih percaya pada ketakutan sendiri karena ketakutan menyediakan cerita yang sudah selesai: tokoh antagonis jelas, kita tinggal menunjuk. Kebenaran, sebaliknya, sering mengajak kita duduk, bertanya, mendengar—dan itu melelahkan.

.

Kata yang Terlambat

Malam kelima setelah pesan Lembu Sora, Damarwulan menulis kalimat yang akan ia sesali lama.

“Rasanya aku nggak sanggup lagi. Terlalu banyak yang aku nggak ngerti dari kamu. Mending kita sudahi.”

Butuh waktu satu menit sebelum tiga titik itu berubah menjadi balasan.

“Kenapa kamu nggak pernah tanya aku langsung? Kenapa kamu lebih percaya bisik-bisik orang daripada aku?”

Tak ada yang menambah kalimat berikutnya. Keduanya membiarkan malam menutup percakapan. Ada malam-malam yang seperti pintu; saat tertutup, kamu tahu kuncinya dibuang ke sumur.

.

Waktu yang Sunyi

Setahun berlalu, dan waktu memperlakukan Damarwulan seperti kota memperlakukan penghuninya: tampak ramai di luar, tapi sunyi di bagian yang tak terlihat. Ia memindahkan kontrakan ke apartemen kecil dekat ring road barat: lift berbunyi “ting” tiap jam kerja, paket sembako untuk warga tampak rapi di lobi saat pandemi kecil menghampiri, treadmill di gym hanya ia gunakan dua minggu pertama. Ia naik gaji, mendapat proyek UI/UX dari bank besar, membeli motor listrik, berlangganan kelas meditasi. Namun ada ruang yang tetap kosong—ruang yang dahulu diisi suara “Hati-hati di jalan” atau “Jangan lupa makan.”

Di peluncuran buku esai di sebuah toko di Gejayan, ia bertemu Dyah Pitaloka—teman kerja Anjasmara. Rambutnya dicepol rapi, mata yang jernih, cara bicara seperti orang yang memilih kata dengan penjepit roti.

“Mas tahu nggak?” Dyah memulai pelan setelah obrolan basah-basih, “Anjas resign karena nggak tahan sama sikap bosnya, Logender. Dia jaga jarak banget. Justru dia yang sering pulang sendiri, nggak mau nebeng kecuali kalau tim telat menyerahkan mobil. Anjas itu keras ke dirinya sendiri.”

“Tapi kata orang, mereka sering bareng…” Damarwulan menggumam, suaranya terdengar seperti orang yang baru sadar ada pasir di sepatu.

“Iya, karena mobil kantor cuma satu dan jadwal baliknya sering sama. Tapi nggak pernah ada apa-apa. Yang ngomong sembarangan ya… kamu tahu lah. Orang yang suka menjahit bendera dengan benang prasangka.” Dyah tersenyum tipis, lalu menambahkan, “Mas, ada hal-hal yang nggak bisa dibenerin dengan time machine, tapi bisa diredakan dengan keberanian buat minta maaf.”

Kalimat itu jatuh seperti hujan pertama setelah kemarau. Tak deras, tapi cukup untuk menimbulkan bau tanah yang membuat seseorang ingin pulang.

.

Kebenaran yang Membeku

Malamnya, Damarwulan membuka kembali obrolan lama. Ia gulung layar hingga menemukan tanggal-tanggal yang diperhitungkannya sebagai “awal mula tanda.” Di situ ada pesan sederhana:

“Aku selalu jaga perasaanmu.”
“Kalau ada apa-apa, tolong bilang ya.”
“Aku nggak mau ada yang mengganjal di antara kita.”

Kalimat-kalimat yang dulu dianggap biasa, mendadak seperti jendela yang dibersihkan. Ada cahaya yang masuk—dan di ruang itu ia melihat wajahnya sendiri.

Air matanya jatuh tanpa aba-aba. Bukan karena Anjasmara pergi, melainkan karena menyadari betapa ia menutup pintu saat tangan Anjasmara masih di gagang.

Malam-malam berikutnya, ia menulis di jurnal. Bukan sekadar catatan refleksi, tetapi semacam peta jalan untuk dirinya sendiri agar tidak tersesat di tikungan yang sama.

Catatan Damarwulan:

  1. Dengarkan sebelum menyimpulkan.

  2. Bertanya bukan menuduh.

  3. Validasi data, bukan sekadar emosi.

  4. Jika ragu pada orang yang kamu sayangi, carilah ruang tenang—bukan ruang bergema.

  5. Ingat: gosip itu seperti gula—manis di lidah, busuk di gusi.

Ia menghapus kontak Anjasmara di ponsel bukan karena benci, tapi karena menghormati ruang baru yang harus dipilih perempuan itu. Dari Dyah, ia tahu Anjasmara mengajar di Salatiga—mengelola perpustakaan kecil, mengajari murid-murid menulis cerita tentang kampung halaman. Ada foto anak-anak berbaris, memegang buku tipis berjudul Langit yang Menyampaikan.

Damarwulan menatap foto itu lama, lalu tersenyum getir. “Kamu tetap menanam,” gumamnya, “sementara aku baru belajar membaca cuaca.”

.

Kota, Karier, dan Lubang-lubang di Dalam

Hidup kelas menengah ke atas sering tampak rapi di permukaan: asuransi kesehatan premium, retret kantor di resort pinggir laut, kartu akses coworking yang bisa menyalakan lampu-lampu cantik di ruang rapat. Namun lubang di dalam diri tak bisa ditutup dengan fasilitas. Lubang hanya bisa dirawat dengan kejujuran dan kesediaan merasakan nyeri.

Di sebuah workshop leadership di hotel bintang lima, instruktur bertanya, “Siapa yang pernah mengambil keputusan besar berdasarkan kabar orang—bukan verifikasi?” Banyak tangan ragu-ragu terangkat setengah. Damarwulan mengangkat tangannya penuh. Orang-orang menoleh. Instruktur tersenyum.

“Keberanian mengaku salah adalah separuh jalan menuju benar,” katanya.

Hari-hari itu, Damarwulan mulai mengubah kebiasaan kecil: saat menerima pesan yang memancing marah, ia menunda membalas. Ia menulis di aplikasi catatan—mengeluarkan kata-kata kasar dari sistemnya—lalu menghapus. Ia menulis ulang dengan kalimat yang tidak menyakiti. Ia belajar menelepon lebih sering daripada mengetik panjang. Ia belajar bertanya dengan kalimat, “Boleh aku tahu dari kamu langsung?” Ia menata ulang algoritma batinnya.

Dalam sunyi, ia mengirim satu surat panjang pada alamat yang hanya ia punya dari Dyah. Ia tidak menuntut balasan. Ia menulis maaf yang sebenar-benarnya—maaf yang bukan strategi agar hubungan pulih, tetapi bentuk penghormatan terakhir pada seseorang yang pernah memberinya rumah.

“Anjas, terima kasih karena pernah menjadi tempat aku pulang. Maaf karena aku pernah memilih percaya pada bayang-bayang daripada suaramu. Kalau suatu hari kita berpapasan di peron yang sama, izinkan aku menundukkan kepala—sebagai salam, bukan penyesalan yang minta kembali.”

Amplop itu berjalan sendiri ke Salatiga melalui jalur pos. Di luar jendela, awan berarak. Dunia tetap berputar saat seseorang menuliskan maaf; tapi di dalam, sesuatu berhenti berputar—dan itulah awal ketenangan.

.

Peron yang Mengajarkan Takdir

Musim hujan tiba. Stasiun Tugu menjadi saksi ratusan pertemuan dan perpisahan. Malam itu, Damarwulan menunggu kereta ke Semarang untuk presentasi di bank. Ia berdiri di peron, menatap papan nama kota yang bercahaya, merapikan batik yang ia kenakan. Di bangku panjang, sekelompok anak sekolah tertawa, memegang buku-buku cerita. Seorang perempuan duduk di ujung, membacakan sesuatu dengan suara yang pelan namun mengikat—seperti bunyi gamelan dari kejauhan.

Suara itu…

Ia menoleh. Untuk sesaat, waktu berhenti seperti adegan slow motion: Anjasmara—rambutnya digelung sederhana, matanya teduh, mengenakan blazer krem dan sepatu yang tak terdengar saat melangkah. Di tangannya, sebuah map berlogo sekolah.

Mata mereka bertemu. Tak ada drama: tidak ada musik menggelegar, tidak ada ketukan kamera pada detail air mata. Hanya dua orang yang pernah saling menjadi rumah, kini berdiri di halaman yang sama, menyadari pagar telah bergeser.

“Mas Damar,” sapa Anjasmara lebih dulu, senyumnya tenang.
“Hai,” jawabnya. Suaranya kecil, tapi cukup untuk menyeberangi peron.
“Kamu sehat?”
“Sehat. Kamu?”
“Sehat.”

Keduanya tertawa kecil—bukan tawa yang menutup jarak, melainkan tawa yang mengakuinya.

“Aku dapat suratmu,” kata Anjasmara. “Terima kasih.”
Damarwulan mengangguk. “Aku… nggak berharap balasan.”
“Kadang yang kita butuhkan bukan balasan, Mas. Cukup tahu kalau kalimat itu sudah sampai.”
“Bagaimana sekolah?”
“Anak-anak suka menulis tentang langit. Katanya langit itu jujur; kalau mendung ya mendung, kalau cerah ya cerah. Mereka mengajariku banyak hal.”

Pengumuman kereta memotong percakapan. “KA Tawangjaya siap diberangkatkan di jalur dua…” Suara pengeras menabrak malam.

“Kereta kamu,” ujar Anjasmara.
“Iya.”
“Jaga dirimu.”
“Kamu juga.”

Mereka tidak saling memeluk. Hanya salaman pendek—yang ukurannya pas, tidak terlalu erat, tidak terlalu cepat. Saat kereta bergerak, Damarwulan menatap dari jendela. Wajah-wajah di peron menjadi potongan film yang bergeser; Anjasmara mengangkat tangan, sekilas, lalu kembali ke bangku anak-anak, membuka buku, membiarkan kalimat-kalimat tumbuh.

Di kursi nomor 8B, Damarwulan menutup mata. Ada pedih yang sukar disebut, tapi juga ada lapang yang sebelumnya tidak pernah ia kenal. Luka itu tetap ada, tetapi kini ia tahu: luka tak terlihat bukan untuk ditutup-tutupi, melainkan untuk diakui, dirawat, dan dijadikan pengingat.

“Di setiap cerita, ada tiga sisi. Jangan buru-buru percaya. Cari tahu, pahami, lalu tentukan sikap.”
—Catatan di dinding imajiner batin Damarwulan.

.

Rumah yang Tumbuh ke Dalam

Bulan-bulan berikutnya, hidup Damarwulan berubah pelan. Ia terlibat dalam program mentoring di kampus. Ia mengajar adik-adik tingkatnya membuat portofolio yang bercerita. Ia menulis artikel kecil tentang “higiene informasi” untuk buletin internal kantor. Ia menginisiasi “Ruang Tenang”—sebuah forum dua puluh menit setiap Jumat di mana orang bisa mengajukan pertanyaan sebelum menjustifikasi rekan kerja.

Di malam-malam tertentu, ia duduk di balkon apartemen memandangi lampu-lampu kota, menyadari bahwa yang ia cari selama ini bukanlah spektakel, melainkan rumah. Dan rumah itu, ia temukan dulu di Anjasmara; sekarang, ia membangunnya di dalam: ruang yang memberi jeda, ruang yang mengajak bertanya, ruang yang menyimpan doa bagi orang yang pernah ia sakiti.

Di layar ponselnya, terkadang muncul kabar: Anjasmara mengantar murid-muridnya lomba cerita pendek, menang juara harapan; Anjasmara mengadakan bazar buku bekas; Anjasmara menanam ketapang kencana di halaman sekolah. Ia tidak lagi terbakar cemburu pada dunia yang tidak lagi mengikutsertakan dirinya; ia justru mengirim semangat dalam bentuk diam—seperti lampu kota yang menerangi tanpa menuntut dilihat.

.

Lampu Hijau untuk Hati

Suatu pagi, di jalan pulang dari lari, ia berhenti di lampu merah perempatan. Seorang bapak tua menarik gerobak, seorang ibu muda menuntun anak menyeberang, seorang pengemudi SUV menurunkan kaca untuk memberi prioritas. Waktu melambat; dunia kecil itu menjadi montase tentang kesabaran.

Damarwulan tertawa pelan. “Barangkali selama ini aku tidak sabar menunggu lampu hijau di hati,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku menerobos. Dan aku belajar dengan cara yang menyakitkan.”

Ia menuliskan satu kutipan baru di buku catatan—kutipan yang kelak ia tempel di depan meja kerja:

“Kepercayaan dibangun oleh tiga hal: keberanian bertanya, kesediaan mendengar, dan kejujuran mengaku takut.”

Setiap kali kabar-kabar tanpa alamat datang kembali—tentang siapa-menemani-siapa, siapa-berfoto-dengan-siapa—ia mengangkat telepon. Ia memilih suara, bukan prasangka. Ia memilih pintu, bukan dinding.

.

Cara Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat

Di akhir tahun, Damarwulan menutup jurnalnya dengan tujuh langkah kecil—bukan sebagai aturan, tapi sebagai penanda jalan:

  1. Berhenti di sumber: begitu mendengar kabar, berhenti di situ. Tahan untuk meneruskan, tarik napas, tulis pertanyaan.

  2. Verifikasi ke orangnya: pilih medium yang paling manusiawi—tatap muka atau telepon—agar nada dan jeda tak disalahartikan.

  3. Pisahkan fakta dan rasa: “Aku merasa cemas” berbeda dengan “Kamu pasti bohong.”

  4. Batasi ruang gema: kurangi grup yang hobi mengomentari hidup orang. Pilih teman bicara yang menyejukkan, bukan yang menyulut.

  5. Rawat jeda: ingat, tidak semua pertanyaan butuh jawaban cepat. Kejujuran kadang lahir dari ruang yang diberi waktu.

  6. Minta maaf tanpa syarat: jika salah, akui. Bukan demi kembali, tapi demi membiarkan kebenaran duduk kembali di kursinya.

  7. Belajar ulang percaya: kepercayaan bukan lupa; itu ingatan yang diikat dengan harapan.

Di halaman terakhir, ia menulis nama “Anjasmara” tanpa garis bawah, tanpa tanda seru. Hanya nama—seperti doa yang tidak meminta apa-apa, hanya mengakui.

Dan di luar sana, langit Yogyakarta kembali berubah warna. Senja memantul di kaca-kaca gedung baru, di kubah-kubah masjid, di jendela-jendela apartemen. Kota tetap ramai, karier tetap berputar, ambisi tetap berjalan. Namun di hati yang telah belajar, ada jalan pulang yang tidak lagi tergantung pada siapa pun: jalan pulang yang tumbuh dari keberanian melihat tiga sisi cerita, lalu memilih kebenaran—meski pahit, meski pelan.

.

“Cinta yang dewasa bukan tentang siapa yang paling cepat percaya, melainkan siapa yang paling sabar mencari kebenaran.”

.

.

.

Jember, 14 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #Damarwulan #Anjasmara #LukaYangTakTerlihat #Refleksi #HubunganSehat #KotaDanKita #BelajarPercaya

 

Leave a Reply