Secangkir Teh untuk Wiro Sentika
“Kadang, kebaikan kecil yang tak kita pikirkan, menjadi pelita bagi seseorang yang sedang berada di ujung gelap hidupnya.”
“Berbuat baiklah, sekecil apa pun. Barangkali di balik kebaikan itu, ada hidup yang sedang kau selamatkan.”
.
Pagi itu, seperti pagi-pagi biasanya, Nurhayati datang ke kantor lebih awal. Jam baru menunjukkan pukul 07.15, sementara rekan-rekan sekantornya rata-rata tiba menjelang pukul 08.00. Di luar jendela, Jakarta masih sibuk menata denyut: suara ojek berbaur dering notifikasi, kabut tipis menyisakan kilap pada kaca-kaca gedung yang menatap jalan arteri dari ketinggian. Ada sesuatu yang membuatnya nyaman datang pagi—udara yang belum terlalu panas, lift yang tidak berdesakan, dan ritual kecilnya menyeduh secangkir teh hangat di pantry lantai dua belas.
Nurhayati bukan perempuan yang suka menjadi pusat perhatian. Usianya tiga puluh lima, lajang, rapi dalam kemeja polos dan celana bahan, mainan favoritnya adalah kotak-kotak excel. Jika hidup adalah arus, ia memilih menjadi sungai yang setia pada alirannya: kadang deras, kadang pelan, kadang keruh, tetapi tak pernah melawan alur. Ia bekerja sebagai staf keuangan di perusahaan konsultan properti yang geraknya cepat—berita tender, rapat mendadak, laporan arus kas, dan angka-angka yang sering lebih jujur daripada kata-kata manusia.
Pagi itu, uap tipis naik dari cangkir. Teh melati favoritnya, tanpa gula. Di rak, deret gelas bermerek memamerkan gaya hidup kota: kopi single origin, botol minum stainless, suplemen, minuman diet. Di sudut pantry, seorang pemuda kurus sedang mengepel lantai. Rambutnya acak, kausnya sudah agak pudar. Ia mengangkat wajah, menatap sekilas, lalu kembali fokus pada gerakan pel-nya—seolah lantai marmer itu peta dunia yang harus ia jaga tetap bersih.
“Mas Wiro, sudah sarapan?” tanya Nurhayati yang berdiri menunggu air mendidih. Nada suaranya santai, seperti menyapa matahari yang baru naik.
Pemuda itu menoleh. “Sudah, Mbak,” jawabnya, meski tubuhnya terlihat lemas. “Terima kasih.”
Tanpa berpikir panjang, Nurhayati menyeduh secangkir teh tambahan. “Ini, diminum dulu. Nggak manis, cuma teh hangat.”
Pemuda itu mematung sejenak. Matanya bergerak pelan, dari cangkir ke wajah Nurhayati. Seakan-akan benda sederhana di tangannya itu bukan sekadar cangkir, melainkan lampu yang menyala di ruang yang lama gelap. “Maturnuwun, Mbak Nur,” katanya lirih.
Namanya Wiro Sentika. Usianya baru dua puluh. Tiga minggu lalu ia bergabung sebagai petugas kebersihan dari vendor yang bekerja sama dengan kantor mereka. Di daftar internal, jabatannya tertulis ringkas: housekeeping. Di lobi, beberapa karyawan menyebutnya “anak magang cleaning service.” Ia tidak menolak sebutan apa pun. Ia datang pagi, pulang petang, bergerak seperti bayangan yang bertugas merapikan jejak orang lain.
Sejak hari itu, tanpa perjanjian, teh hangat selalu hadir setiap pagi. Satu untuk Nurhayati. Satu untuk Wiro.
.
Ritual tanpa kata itu tumbuh seperti akar di tanah yang tak selalu basah. Tak ada obrolan panjang. Hanya senyum, anggukan, dan pertemuan singkat yang menempel di tepian jam kerja. Namun di baliknya, pelan-pelan lahir keseimbangan yang tak direncanakan: kertas-kertas yang menumpuk terasa lebih ringan, lantai-lantai yang mengilap terasa lebih hidup. Nurhayati kembali ke kubikel dengan sisa wangi melati di tenggorokan; Wiro menurunkan pel dengan gerakan yang makin mantap—seolah dua dunia yang berbeda kelas sosialnya bisa saling menyapa tanpa kebisingan.
Yang tak Nurhayati tahu, teh itu adalah satu-satunya kehangatan yang Wiro rasakan setiap hari. Ia tinggal di kamar kos sempit di Gang Sentong, berdua dengan ibunya yang terkena stroke ringan. Uang lembur yang tak seberapa dipakai untuk membeli obat dan beras dua liter per minggu. Pada malam-malam tertentu, suara ambulans yang melintas di jalan besar membuatnya teringat pada ketakutan paling purba: kehilangan. Ia tidak punya banyak cerita untuk dibagi, apalagi kelonggaran untuk bersedih lama. Di tubuhnya, waktu berputar seperti pel mop: hilir-mudik, basah, perih di telapak, tetapi mengilapkan sesuatu yang tidak terlihat orang.
Di kantor, dunia lain memutar ambisi. Adipati, sang manajer proyek, menyusun presentasi untuk developer asing yang akan membangun superblok di pinggir tol. Retna Kencana dari tim pemasaran menyiapkan materi kampanye dengan jargon-jargon bersinar. Ino, analis muda yang bahasa Inggrisnya lincah, mengatur data. Mereka berdebat tentang orientasi koridor, koefisien lantai bangunan, proyeksi ROI. Kata-kata deras mengalir, tawa singkat menyelingi. Di luar ruang rapat kaca, Wiro menunggu rapat usai untuk membersihkan sisa kopi dan remah kue—seperti orang terakhir yang mematikan lampu panggung setelah pertunjukan.
Suatu siang, Nurhayati melewati lorong sempit dekat gudang ATK. Pintu sedikit terbuka. Di baliknya, suara Wiro terdengar, pelan, seperti menahan air yang hendak pecah. “Iya, Bu… nanti pulang Wiro belikan obat dulu. Uang lembur belum cair, tapi… Wiro usahakan, ya.” Ada jeda panjang. “Iya, jangan nangis, Bu. Nanti Wiro pulang cepat…”
Nurhayati berhenti. Napasnya tertahan, bukan karena ingin menguping, melainkan karena kalimat itu seperti mengerem laju dunia. Ia memalingkan wajah, melanjutkan langkah, tetapi sebuah ketukan halus tertanam di dadanya: semacam panggilan agar ia tidak menutup telinga—tidak pada kali ini.
.
Pagi berikutnya, tehnya mendidih lebih cepat daripada jam. Namun pantry kosong. Tak ada suara kain pel mengejar sudut-sudut lantai. Tak ada punggung kurus yang biasanya menunduk membersihkan kaca. Hening. Detik merayap ke jarum menit, jarum menit merayap ke pukul sembilan. Di grup kantor, pesan-pesan rapat berlompatan. Nurhayati mengirim dua kata ke nomor HR: “Mas Wiro?”
Jawabnya pendek: “Izin. Ibunya masuk IGD.”
Sore harinya, Wiro muncul. Rambutnya tampak belum kering benar, matanya sembab. Ia hanya sempat mengelap meja rapat, lalu duduk diam di sudut pantry. Nurhayati menyeduh teh, meletakkannya diam-diam. Ia tidak menanyakan apa pun. Ia belajar bahwa ada jenis dukacita yang tidak perlu dibanjiri kalimat.
“Ini… untukmu,” ujar Nurhayati pelan.
Wiro memandang cangkir itu lama sekali, seperti hendak menghafal bentuknya. Bibirnya bergerak kecil. “Ibu saya… wafat tadi pagi. Saya sempat pegang tangannya.”
Kata “wafat” jatuh ke lantai, tidak pecah, tetapi mengubah suhu ruang. Nurhayati menarik kursi. Ia tidak punya bahasa untuk mengulurkan tangan ke luka yang baru. Maka ia menaruh telapak di bahu Wiro. Kadang, diam adalah pelukan terbaik—cara paling jujur untuk mengakui bahwa manusia sering kali kalah di hadapan kehilangan.
.
Tiga hari setelah pemakaman, Wiro kembali. Ia bekerja seperti biasa, tetapi senyumnya lebih sunyi. Di gerakannya, ada ketelitian yang sedikit lebih pelan—seolah setiap sudut ruangan adalah halaman yang menyimpan kenangan. Teh tetap hadir. Pada pagi keempat, setelah menyerahkan cangkir, Nurhayati duduk di sampingnya.
“Mas Wiro, kamu kuat sekali,” katanya.
Wiro mengangguk. “Saya tidak kuat, Mbak. Saya hanya tidak punya pilihan.” Ia menatap cangkirnya. “Yang bikin saya bertahan… teh dari Mbak tiap pagi. Rasanya kayak ada orang yang peduli.”
“Saya cuma bikin teh biasa, Mas.”
“Justru itu yang luar biasa. Teh itu bukan cuma teh. Itu harapan.”
Kata “harapan” terdengar sederhana, tetapi di ruang kantor tempat ambisi menjadi mata uang, ia merupakan kemewahan yang tak setiap orang simpan. Nurhayati menyadari, perusahaan yang diiklankan sebagai “tempat bertumbuh” kadang lupa menumbuhkan hal yang paling manusia: saling jaga.
.
Pada triwulan berikutnya, perusahaan menutup proyek besar. Selebrasi dilakukan di restoran di lantai dasar gedung. Foto-foto diunggah dengan caption penuh semangat. Di meja makan, Ino bercerita tentang beasiswa S2, Retna menertawakan kekonyolan klien yang salah menyebut istilah arsitektur, Adipati menegaskan target tahun depan. Di sela riuh, Nurhayati diam, mengingat wajah Wiro yang menunduk saat menuang teh, lalu bangkit menuju restoran di sisi lobi.
“Mas Wiro sudah makan?” tanyanya ketika melihat Wiro berdiri ragu di ambang pintu, seragamnya kontras dengan kemeja-kemeja mahal.
“Belum, Mbak. Saya nunggu selesai, nanti bersih-bersih.”
“Duduk sini sebentar. Pesan apa yang kamu suka.”
“Wah, nggak usah, Mbak. Nanti dimarahi.”
“Kalau ada yang marah, bilang disuruh saya.” Nurhayati menyengir kecil.
Mereka makan berhadapan. Wiro kikuk, tetapi matanya berterima kasih. Piring-piring lain berderit; beberapa pasang mata melirik, lalu kembali ke tawa masing-masing. Di akhir, Nurhayati menyerahkan sesuatu: paket kecil berisi sepatu kerja hitam. “Ini bukan sedekah,” katanya menatap serius. “Ini alat kerja. Kamu berhak punya alat yang baik.”
“Maturnuwun, Mbak. Saya… saya nggak tahu harus bilang apa.”
“Cukup pakai. Dan terus jadi diri sendiri.”
.
Kabar mutasi datang tanpa salam. Email HR mengatakan: efektif awal bulan, Nurhayati dipindah ke kantor pusat di Surabaya. Dua kalimat formal di badan email menutup babak hidup yang bertahun-tahun ia bangun. Di kepalanya, kota lain berarti ritme baru, rekan baru, pantry baru. Tetapi juga berarti pagi tanpa cangkir kedua.
Ia menyiapkan “pindahan” dengan pelan. Menghapus file lama, menertibkan folder, memotret sudut kubikel yang dulu ia benci, kini ia sayangi. Pagi terakhir, ia datang lebih awal dari biasanya. Sudah terbangun sejak pukul lima, entah apa yang membuatnya gelisah. Di pantry, ia menyeduh dua cangkir. Di samping salah satunya, ia meletakkan kotak kecil dengan pita hijau.
Ketika Wiro datang, ia berhenti di ambang pintu seperti seseorang yang tak sengaja masuk ke kenangan milik orang lain. “Mbak, ini…”
“Buka.” Nurhayati tersenyum.
Isinya: satu cangkir teh bergambar daun teh—mirip milik Nurhayati, tetapi kali ini motifnya bunga kecil di tepi—dan kartu tulis bertinta biru. Tulisan tangan Nurhayati, tegak dan rapi: Teruslah menjadi orang baik, meski hanya dengan secangkir teh. Dunia perlu orang sepertimu.
Wiro memegang cangkir itu seperti memegang takdir baru. “Saya belum pernah diberi hadiah, Mbak.”
“Maka ini hadiah pertama, dan bukan terakhir.” Nurhayati menatap lekat-lekat. “Kamu layak.”
Tak ada pelukan berlebihan, tak ada ucapan selamat tinggal yang panjang. Hanya dua manusia yang saling paham: pertemuan mereka singkat, tetapi dampaknya panjang. Di lift, pintu menutup. Wajah Nurhayati yang terpantul di cermin tampak lebih kuat dari yang ia rasakan.
.
Surabaya menyambutnya dengan langit lebih biru dan angin lebih asin. Di kantor baru, Nurhayati tetap menyeduh dua cangkir setiap pagi. Satu ia minum. Satu lagi dibiarkan utuh, di samping cangkir daun teh pemberian Wiro. “Kenapa dua?” tanya rekan barunya suatu kali.
“Untuk mengingatkan.” Nurhayati tersenyum. “Agar kerja keras tidak menghapus kelembutan.”
Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu luput: keringat petugas keamanan, tangan yang retak di jari petugas kebersihan, suara batuk barista di lobi. Pelan-pelan, ia menginisiasi hal sederhana—pantry kindness jar—toples kecil berisi teh, biskuit, vitamin, plester, yang siap dipakai siapa saja. Di grup kantor, ia menuliskan pengumuman: Ambil saat perlu, isi saat mampu. Tanpa rapat, tanpa presentasi, kebiasaan itu meluas. Retna Kencana yang sedang dinas ke Surabaya mengirim sekotak roti. Ino mengirimkan disinfektan. Bahkan Adipati, yang suatu kali transit rapat di sana, menitipkan masker kain motif kawung.
“Ini seperti hal kecil,” kata salah satu direktur saat melihat toples yang selalu terisi. “Tapi kok saya merasa kantor kita lebih manusia, ya?”
Nurhayati tersenyum. “Karena manusia menghidupkan kantor, bukan sebaliknya.”
.
Di Jakarta, kehidupan Wiro berubah pelan. Ia pindah kos, kini sekamar bertiga dengan kawan satu vendor. Sepatu barunya membuat langkahnya lebih tegak. Ia menabung, bukan banyak, tetapi cukup untuk bermimpi. Pada malam-malam tertentu, ia menyeduh teh di cangkir bunga—cangkir yang mengundang ingatan. Di dalamnya, ada suara yang tak lagi membuatnya takut: suara ibunya yang dulu, doa-doa pendek, dan pesan Nurhayati yang sederhana tetapi ampuh: teruslah menjadi orang baik.
Pada suatu pagi, ia melihat satpam depan gedung batuk lama. “Pak, minum teh hangat?” Wiro menawarkan. Satpam itu tertawa. “Wah, gantian, biasanya kamu yang ditawari.” Mereka minum berdampingan, melihat matahari memanjat kaca. Dua minggu kemudian, satpam itu membawakan thermos kecil. “Biar kamu nggak bolak-balik,” katanya. Pertukaran kebaikan kecil menjahit kain hari-hari mereka.
“Kamu berubah, Wiro,” ujar Tohpati, rekannya, sambil menaruh ember.
“Berubah bagaimana?”
“Dulu kamu nunggu aba-aba. Sekarang kamu ngasih aba-aba.” Tohpati menunjuk papan tulis kecil di gudang: Checklist Kebaikan: Sapalah, Bantu, Simpan Sapu Rapi, Sediakan Teh. Tulisannya tangan Wiro, tegak, yakin.
Wiro tersenyum. “Saya cuma meniru.”
“Meneru siapa?”
Wiro mengangkat cangkir bunga. “Seseorang yang pernah membuat pagi saya hangat.”
.
Waktu berpindah seperti kereta yang muda tergelincir: cepat, tak memberi waktu berlama-lama di peron. Setahun berlalu. Di Surabaya, Nurhayati menutup laptop ketika notifikasi email masuk dengan subjek: Undangan: Peluncuran Program “Secangkir Teh”. Pengirimnya: Community Office. Lokasinya: Jakarta. Isinya singkat—sebuah inisiatif untuk memastikan setiap kantor cabang menyiapkan teh gratis di pantry yang dapat dinikmati siapa pun, termasuk petugas kebersihan, satpam, kurir—lengkap dengan poster kecil bertuliskan “Secangkir Teh, Secercah Peduli.” Di bawah, terpampang nama Project Lead: Wiro Sentika.
Tangan Nurhayati bergetar kecil. Ia membaca ulang email itu, memastikan tidak salah. Di lampiran, ada foto: seorang pemuda kurus, kini wajahnya lebih kuat, berdiri di depan rak teh dengan senyum yang tidak lagi malu. Di belakangnya, tampak Adipati dan Retna Kencana, bersama beberapa karyawan lain. Mereka tak mengenakan kemeja formal—hanya kaus dengan tulisan tipis: We’re humans first.
Di peluncuran itu, Wiro diminta berbicara. Suaranya masih pelan, namun kali ini stabil. “Saya pernah mengalami hari-hari ketika hidup rasanya gelap,” katanya. “Lalu setiap pagi, ada seseorang yang menyediakan teh untuk saya. Tanpa kata, tanpa syarat. Saya belajar, ternyata kebaikan itu menular. Hari ini, kami tidak sedang meluncurkan program. Kami sedang mengingatkan diri bahwa kantor tidak hanya tentang target dan arus kas, tetapi juga tentang keberanian untuk melihat manusia lain—dan melakukan sesuatu.”
Seseorang bertanya, “Apa korelasi teh dengan produktivitas, Mas Wiro?”
Wiro tersenyum. “Teh tidak menaikkan grafik omzet. Tapi ia menjaga grafik nurani.”
Tepuk tangan pecah seperti hujan pertama setelah musim panjang. Dalam kerumunan, Nurhayati berdiri tak jauh dari pintu. Ia tidak tampil ke depan. Ia membiarkan momen itu milik Wiro. Namun ketika acara usai dan orang-orang saling bercakap, Wiro melihatnya. Sejenak mereka saling menatap dari jarak beberapa langkah. Tak ada yang berubah dari cara mereka memberi salam: anggukan kecil, senyum yang sama. Lalu mereka duduk di sudut, dua cangkir di antara mereka.
“Motif bunganya masih sama?” tanya Nurhayati melirik cangkir di tangan Wiro.
“Masih,” jawab Wiro. “Dan rasanya sama—hangat.”
“Kamu yang membuatnya hangat,” kata Nurhayati. “Kamu yang menyalakan artinya.”
Wiro menatap ke luar jendela—Jakarta berkilau tetapi lelah. “Saya mau sekolah malam, Mbak. Paket C dulu, lalu kursus komputer. Biar bisa naik kelas pelan-pelan.”
“Pelan juga sebuah kecepatan,” balas Nurhayati. “Kalau kamu butuh buku, kasih daftar ke saya.”
“Maturnuwun.” Wiro menunduk, menahan sesuatu yang bergerak dari dada ke mata. “Saya nggak akan sampai sini kalau bukan karena teh itu.”
“Kamu sampai sini karena kamu memilih bangun setiap pagi,” ujar Nurhayati. “Teh hanya pengingat.”
.
Di sisa sore, mereka berjalan ke halte busway. Kota memamerkan semua wajahnya: orang-orang yang sibuk mengejar hidup, orang-orang yang sibuk sembunyi dari hidup, orang-orang yang berusaha menyeimbangkan keduanya. Di peron, suara pengumuman menyelinap di antara deru kendaraan. Wiro memegang cangkir bunganya di dalam tas—konyol, tetapi ia merasa lebih berani jika membawanya.
“Kalau berat, turunkan yang tidak perlu,” kata Nurhayati tiba-tiba, mengulang kalimat yang dulu pernah ia dengar dari seseorang yang mengajarinya bertahan. “Kalau ringan, bagilah.”
Bus datang. Pintu otomatis membuka. Wiro mengangguk, menaiki tangga kecil, lalu menoleh. “Terima kasih sudah jadi rumah singgah,” katanya. “Sampai ketemu di tikungan yang ditunjukkan waktu.”
Pintu menutup. Bus bergerak. Dalam kaca yang memantulkan fragmentasi kota, wajah-wajah melintas seperti potongan film. Di bangkunya, Wiro menyalakan ponsel, mengetik sesuatu di grup kecil “Secangkir Teh”: Hari ini kita resmi jalan di 5 kantor. Ingat: ini bukan tentang teh. Ini tentang kita. Ia menutup layar, menyandarkan kepala, memejam sebentar.
Di kepalanya, kalimat pembuka itu kembali—bukan lagi peringatan, melainkan kunci yang membuka pintu ke halaman belakang tempat angin berlari bebas: kebaikan kecil, jika konsisten, akan tumbuh jadi budaya; dan budaya yang tumbuh dari nurani akan menjaga manusia saat angka-angka lupa caranya memeluk.
.
Tahun berikutnya, “Secangkir Teh” menjadi program sederhana yang menyebar secara organik. Tidak ada foto grand launching di halaman korporat, tidak ada merchandise mengkilap. Tetapi ada toples-toples yang terus terisi, ada kursi-kursi di pantry yang diduduki bersama, ada daftar giliran yang disusun tanpa paksaan. Di satu cabang, seorang kurir yang sering datang menyumbang lima kotak teh celup. Di cabang lain, tim kantor membuat voucher makan siang “gantian traktir” untuk satpam. Bukan kebesan, hanya rotasi perhatian.
Dalam setiap rapat anggaran, ada pertanyaan baru yang pelan-pelan menjadi kebiasaan: “Selain biaya operasional, ada alokasi untuk manusia?” Tidak semua direktur menyukainya. Tetapi semakin banyak yang duduk agak lama setelah rapat untuk sekadar minum teh bersama—dan mendengarkan kisah yang jarang masuk laporan: cerita anak yang lulus sekolah, orang tua yang sembuh, motor yang lunas.
Kisah-kisah itu tidak tercatat di dashboard. Namun barangkali, justru di sanalah perusahaan betul-betul sedang untung.
.
Di Surabaya, pagi Nurhayati masih dimulai dengan dua cangkir. Satu ia minum. Satu lagi ia biarkan utuh—sebagai ruang yang selalu tersedia untuk siapa pun yang butuh singgah. Kadang cangkir itu diambil staf baru, kadang oleh kurir, kadang hanya dibiarkan kosong—tetapi maknanya tidak ikut kosong. Di tepi cangkir, ia menulis dengan spidol halus: “Bila kau lelah, duduklah. Bila kau kuat, temani.”
Pada suatu senja, ia mendapat pesan dari Wiro: foto cangkir bunga yang kini sedikit terkelupas di bibirnya, di samping selembar sertifikat Kelulusan Paket C. Di bawahnya, Wiro menulis: Langkah kecil berikutnya: kursus Excel malam. Doakan.
Nurhayati membalas: Di Excel, rumusnya begini: kebaikan = (konsisten * kecil) ^ waktu. Hasilnya tak terbatas. Ia menambahkan wajah tersenyum.
Di layar yang meredup, ia melihat pantulan dirinya—lebih dewasa, mungkin lebih tenang. “Teruslah menjadi orang baik,” kalimat di kartu itu kembali, kini seperti memantul ke dirinya sendiri. Ia menyadari: setiap cangkir yang ia isi untuk orang lain, diam-diam turut mengisi dirinya. Setiap pagi yang ia sisihkan untuk menyalakan pelita orang lain, diam-diam menerangi lorong-lorong di dalamnya yang lama dibiarkan remang.
.
Pada akhirnya, kita semua menua di kota yang menua bersama kita: gedung bertambah tinggi, tanah makin padat, waktu seperti menubruk. Tetapi di antara semua itu, selalu ada ruang kecil yang bisa kita jaga agar tetap hangat: sebuah sudut pantry, bangku di halte, obrolan lima menit, secangkir teh. Hal-hal yang terlihat remeh, tetapi justru memahat kita jadi manusia.
Di suatu pagi yang entah keberapa, Nurhayati duduk menatap dua cangkirnya. Ia tidak menunggu siapa-siapa. Tetapi kalau pintu pantry terbuka dan seseorang masuk, ia ingin siap. Karena ia percaya, seperti yang pernah ia pelajari dari Wiro Sentika: kebaikan kecil tidak selalu terlihat. Namun ia tinggal lebih lama dari yang kita kira—mengakar di tempat yang tak pernah dipetakan oleh KPI.
Dan jika ditanya apa inti dari semua ini, mungkin jawabannya sederhana, ditulis tanpa retorika di kata-kata yang lahir dari pengalaman: tetaplah menuang. Bila ada yang haus, biarkan ia minum. Bila cangkirmu kosong, biarkan orang lain mengisi. Di situlah kita saling menjadi manusia; di situlah kota berhenti hanya menjadi mesin, lalu berubah sejenak menjadi rumah.
.
“Tak ada kebaikan yang terlalu kecil; yang ada hanya hati yang terlalu terburu-buru untuk melihatnya.”
.
.
.
Jember, 14 Juli 2025
.
.
#SecangkirTeh #KebaikanKecil #BudayaKantor #Empati #CerpenKompasMinggu #KisahUrban #Humanis #WorkplaceWellbeing