Secangkir Jeda di Tengah Riuh

“Kopi itu bukan sekadar minuman. Ia adalah jeda—pelukan hangat bagi hati yang lelah.”
“Kamu tidak perlu menyelesaikan semua hari ini. Seruput pelan, biarkan hidup membisikkan jawabannya.”

.

Sore baru saja menutup tirai gerimis ketika Besut berdiri di balkon apartemen lantai dua puluh, memandang kota yang memantulkan lampu-lampu seperti sisik ikan perak. Jalan layang berderak pelan oleh laju mobil-mobil yang tak pernah benar-benar berhenti. Dari sini, kota tampak seperti orkestra yang lupa komando berhenti: klakson, notifikasi ponsel, pengeras suara promosi, dan suara hati yang tenggelam paling buncit. Di telapak tangannya, secangkir kopi hitam tanpa gula mengeluarkan uap tipis. Dalam tiap uap ada semacam bisik: pelanlah, duduklah, hadir.

Dulu, kopi adalah instrumen pura-pura. Sebagai manajer pemasaran di sebuah startup teknologi yang dibalut nama glamor dan budaya kerja “work hard, celebrate later”, Besut menganggap kopi tak lebih dari badge akses—tanda bahwa ia kuat begadang, tahan rapat lintas zona waktu, mahir melempar jargon. Foto cangkir di atas meja meeting jadi bagian dari persona profesionalnya: canggih, sibuk, tak tergantikan.

Tahun ini, semuanya tercabut. Ibunya, Nyai Ageng Manila, tiba-tiba dirawat intensif karena komplikasi yang tak mau menunda. Hubungannya dengan Ratu Retna Murni pecah tanpa alibi yang rapi. Di kantor, Menak Lurah Prawata—rekan yang dulu ia kira saudara seperjuangan—menyusupkan presentasi tim mereka sebagai karyanya sendiri dan, lebih buruk, menuding Besut sebagai sumber kebocoran data pemasok. Spreadsheet yang biasanya menjadi pagar kini menjelma reruntuhan. Reminder digital berdentang, tapi yang datang bukan rasa terkendali, melainkan gemetar kecil di pergelangan tangan.

Besut melawan, tentu. Ia membeli buku-buku self-help yang sampulnya menyerupai sabun mandi premium. Ia berlangganan kelas meditasi daring yang menyatukan belasan orang putus asa dalam satu ruang sunyi, lalu saling mengucapkan “namaste” di akhir sesi sebelum kembali ke email yang tandas. Namun setelah berusaha menata diri dengan disiplin yang terasa lebih seperti hukuman, ia berhenti di satu sore: habis bertengkar soal biaya rumah sakit dengan kakaknya, Tumenggung Jaka Pramana—yang cara sayangnya selalu terdengar seperti perintah—ia menepi ke sebuah gang kecil di pojok kota, tempat gerimis turun seperti benang.

Kedai itu kecil, lampunya kuning tua, dindingnya berderet cangkir-cangkir bundar yang tidak seragam. Aroma kopi menggantung seperti selimut tipis. Di balik meja kayu, seorang pria paruh baya menyeduh dengan gerak pelan. Orang-orang menyapanya “Ki Raji Mangkubumi.” Besut, yang datang hanya untuk berteduh, duduk di kursi dekat jendela. Ki Raji menoleh, matanya seperti halaman tua yang masih rapi.

“Minum aja dulu,” katanya, mendorong satu cangkir ke arah Besut. “Jangan dipikirin semuanya sekarang.”

Kata-kata itu jatuh tidak seperti petuah, melainkan seperti payung dibuka di hujan yang tak deras namun dingin. Saat kopi menyentuh lidah, pahitnya tidak menghardik. Ia melarutkan sesuatu yang menumpuk di dada: penyangkalan, letih, kebiasaan berjalan cepat agar tidak sempat merasakan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, waktu duduk bersama Besut. Tidak menuntut, tidak berdebat. Hadir, persis di tepi cangkir.

.

Sejak malam itu, Besut menemukan kebiasaan yang tidak diminta siapa pun: ritual ngopi yang sederhana, canggung, namun pelan-pelan cerdik menyisir kusut pikirannya. Ia membeli ketel leher angsa bekas dari marketplace, menerima paket grinder tangan yang bunyinya seperti jangkrik mekanik, dan, dalam seminggu, menukar kediamannya dari minuman instan ke proses yang menuntut kehadiran.

Pagi-pagi sebelum kota mengangkat beratnya sendiri, ia menimbang enam belas gram biji kopi, memutarnya di grinder hingga menjadi serpih yang wangi, membasahi kertas filter, lalu menuang air panas berputar kecil. Ia belajar menunggu—bloom tiga puluh detik, kemudian curah bertahap—hingga menetes: plip, plip, plip. Suara tersabar di dunia.

Dalam tiap detik menunggu, Besut menemukan bahasa baru untuk berdoa: menghitung napas, menatap uap, mendengarkan ketukan jam yang bukan ancaman, melainkan metronom yang jujur. Mindfulness, kata artikel-artikel yang ia baca sambil menolak panik. Namun baginya, itu cuma berarti: ada aku, ada cangkir, ada detik ini. Cukup.

.

Nama dirinya sendiri, “Besut,” makin lama makin terasa seperti kisah yang ingin kembali diingat. Di cerita-cerita lama, Besut adalah perantara: tidak dibalut kejayaan Menak Jingga, tidak disepuhkan agung seperti Menak Amir, tetapi ia adalah jembatan yang tidak lelah. Manager di kota besar adalah varian lain dari perantara: memadukan angka dan rasa, menjahit tim, menempatkan ego orang lain tanpa menenggelamkan miliknya. Dan ketika segalanya meledak—ibunya sakit, pekerjaan ternoda, cinta berpaling—perantara di dalam dirinya tetap mencari satu benda yang bisa mengikat: sebuah cangkir.

Ia belajar bahwa ketulusan rasanya seperti kopi hitam: jujur, tidak meminjam hal-hal manis untuk menutupi yang getir. Ia juga belajar bahwa ketulusan bukan kehebatan. Ia kadang terlambat membalas pesan. Ia pernah meninggikan suara ke perawat karena lelah membuak-buak. Ia pun menangis, di parkiran rumah sakit, sambil menutup wajah dengan masker kain. Ia tidak sempurna, dan itu bukan dosa.

.

Kantor tidak menunggu orang pelan. HRD memanggil, menuntut penjelasan tentang dokumen pemasok yang beredar di email luar. “Ini bisa berat kalau terbukti dari perangkatmu,” kata petugas dengan suara dilatih. Menak Lurah Prawata duduk di seberang, menatap seperti rekan yang kecewa, padahal di bawah meja jari-jarinya mengetuk pola kemenangan kecil.

Besut kembali ke kedai Ki Raji malam itu. “Kalau pahitnya terlalu kuat, tambahkan jeda,” ujar Ki Raji sambil menakar air. “Bukan gula.”

“Jeda?”

“Jeda itu ruang antara peluru dan keputusan. Antara kata yang ingin kamu lempar, dengan telinga yang akan menerimanya.”

Esoknya, di ruang rapat yang dinginnya selalu berlebih, Besut datang dengan catatan rapi tentang alur akses file, log waktu, dan jejak unduhan. Ia menyampaikan data seperti menuang air: pelan, bertahap. Ia tidak menyerang Prawata. Ia tidak membela diri dengan caci. Ia hanya menunjukkan bukti—bahwa akses terjadi dari akun yang dipegang tim event, bahwa di jam yang sama ia berada di lift menuju basement (terekam CCTV), bahwa tautan dibuka dari perangkat yang lokasi IP-nya mencurigakan dekat sebuah kafe yang Prawata sering pamerkan di Stories.

HRD tidak serta-merta memeluknya. Tak ada film heroik yang menyelamatkan dalam dua belas menit. Audit internal berjalan—lambat, memeriksa lapisan-lapisan yang sialnya selama ini memang longgar. Namun di balik seluruh proses itu, ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh: reputasi yang tidak berteriak, ketenangan yang tidak mengalah. Beberapa pekan kemudian, Prawata dipindahkan diam-diam dan proyek besar direstrukturisasi. Tidak ada pengumuman keras. Tapi ruang kerja terasa lebih lega. Kadang, keadilan memang datang seperti tetes kopi: setia turun satu-satu.

.

Di rumah sakit, Nyai Ageng Manila melalui hari-hari yang menjalankan definisi rindu menjadi ilmu: rindu untuk kembali ke rumah, rindu makan sayur lodeh yang dibuatnya sendiri, rindu pada halaman yang tidak memantulkan bau antiseptik. Besut duduk di kursi, membuka termos kecil, dan menaruh cangkir paling kecil di atas meja pasien. Ia tidak memberikan kopi pada ibunya—dokter melarang—tetapi ia menghadirkan aroma: secuil biji dipecah, air panas dituangkan untuk menghasilkan uap yang lembut.

“Aromanya kayak rumah,” kata Nyai pelan.

“Rumah itu sedang menunggu,” balas Besut.

Mereka berbicara tentang hal-hal kecil: pepaya dari kebun tetangga yang manisnya adil, radio tua yang masih menyala, suara azan yang memantul dari mushala belakang pasar. Di sela-sela itu, Besut menuliskan daftar hal-hal yang bisa ia kontrol: jadwal kontrol, pembagian giliran menjaga dengan Jaka Pramana, nomor ambulans alternatif, daftar makanan yang disarankan ahli gizi. Ia mempraktikkan jeda dalam format paling praktis: daftar, telepon, dan istirahat cukup. Bahkan, ia menelepon Ratu Retna Murni—bukan untuk mengemis kembali—melainkan untuk mengucapkan selamat atas kabar pernikahan yang tak sengaja melintas di beranda media sosial. Suaranya tidak meminjam tegar yang palsu. “Terima kasih untuk semua yang pernah baik,” ujarnya. Itu saja.

Malamnya, ia kembali ke kedai Ki Raji. “Kalau daun teh diajak ngobrol, ia akan membukakan kisah gunung,” kata Ki Raji sambil mengisi gelas untuk pelanggan lain. “Kalau kopi diajak sabar, ia akan menunjukkan dari mana ia berasal.”

“Dari desa Pager Gunung,” kata Besut, tersenyum, ingat paket kecil yang datang minggu lalu dari seorang petani yang dikenalkan oleh barista muda. Ia mengendus aroma: cokelat tipis, gula aren, ada bayang tembakau. “Saya ingin tahu jalannya.”

“Pergi saja.”

.

Desa Pager Gunung tidak menyediakan grand entrance. Jalan aspal berhenti di batas kebun, berganti tanah merah yang memantulkan matahari seperti kue basah. Besut menjejak tanah yang lama ia lupa. Di sana, ia bertemu keluarga petani—sepasang suami-istri yang telapak tangannya memegang cerita panjang PANEN. Ia melihat proses yang ia kira hanya jargon di brosur: sortasi ceri, kupas kulit, cuci, jemur; suara bambu berderit, terpal menggelepar. Di sudut, anak-anak duduk mengerjakan PR. Di radio, berita harga pupuk.

“Banyak yang suka bilang kopi kami enak,” kata si bapak, “tapi jarang yang nanya berapa kami sisakan untuk sarapan.”

Besut terdiam. Di kota, secangkir kopi berkisah tentang rasa, ruang, dan reputasi. Di desa, secangkir kopi berkisah tentang cuaca, ongkos, dan perut. Ia membeli beberapa karung kecil, membayar lebih dari harga yang diminta—bukan sebagai kebaikan yang ingin dipajang, tetapi sebagai transaksi yang merapikan cermin di kepalanya: harga itu bukan charity, melainkan koreksi.

Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan apa yang bisa ia lakukan. Ia bukan penyelamat. Ia tidak punya modal investor. Yang ia miliki hanya satu cangkir dan jaringan yang selama ini dipakai untuk menjual citra. Ia lalu menulis proposal yang sederhana kepada Ki Raji: program “Secangkir Jeda”—satu cangkir yang dibayar pelanggan kota akan memutar satu cangkir untuk penjaga pasien di rumah sakit; satu kilogram yang dibeli di kota akan menyisakan persentase transparan untuk alat sekolah anak-anak di kebun. Bukan program besar, bukan pula kampanye yang mencari tepuk tangan, tetapi jembatan kecil yang tidak perlu konferensi pers.

Ki Raji membaca proposal itu sehabis Isya. “Banyak orang ingin menolong dengan pengumuman,” katanya, “kamu menawari cara menolong dengan ritme.”

Ritme itulah yang kemudian menggerakkan minggu-minggu Besut. Ia tetap bekerja—menyusun rencana kampanye kuartal depan, memeriksa data, memberi ruang anak baru untuk bersuara. Tetapi tiap Sabtu sore, ia kembali ke kedai. Ia menempelkan catatan-catatan kecil di papan: “Cangkir untuk ICU, dari seseorang yang juga pernah menunggu.” “Untuk ibu-ibu yang begadang di UGD.” Orang-orang mulai ikut menempel catatan, kadang disertai doa, kadang hanya emoji senyum.

Di rumah sakit, perawat menaruh keranjang cangkir kertas berlabel “Jeda”. Beberapa wajah tertawa canggung melihat namanya dipanggil di resepsionis. Mereka minum di bangku plastik. Uap kopi mengganti bau obat untuk sejenak. Di mata mereka, Besut melihat dirinya sendiri beberapa bulan lalu: lelah yang menolak diakui. Dan ia tahu, tidak ada kopiah ajaib. Namun ada jeda kecil yang cukup.

.

Audit internal selesai. HRD memanggilnya, bukan untuk rapat panjang, melainkan untuk satu kalimat tidak dramatis: “Terima kasih untuk kerja sama dan bukti-buktinya. Ke depan, akses akan diperketat.” Tidak ada permintaan maaf yang megah, tetapi itu cukup. Prawata pindah unit—kabar yang beredar seperti rumor yang kehabisan bahan bakar. Orang-orang menatap Besut dengan tatap yang tak lagi ingin tahu gosip, melainkan tertarik pada caranya bertahan. “Kamu terlihat lebih anteng,” komentar seorang rekan.

“Bukan anteng,” kata Besut, “lebih sering jeda.”

Ia belajar mengatakan tidak pada rapat yang tidak menambah apa-apa selain penat. Ia menjadwalkan satu jam kosong tiap hari kerja tanpa menyentuh gawai, hanya menulis. Ia menelepon Jaka Pramana bukan untuk bertengkar, melainkan untuk meminta maaf atas keras kepala yang memperuncing luka. Kakaknya terdiam lama, lalu berkata, “Aku juga capek. Tapi ya, kita bagi lagi ya.”

Malam-malam tertentu, Besut berjalan kaki pulang dari stasiun MRT, melalui trotoar yang baru dua tahun lalu dibangun. Kota berubah: jembatan penyeberangan bercahaya, halte yang lebih rapi, ruang-ruang publik menyisakan ruang untuk gitar. Namun ia tahu, peradaban tidak hanya soal estetika kota. Ia juga tentang bagaimana orang-orang saling memberi jeda.

Di apartemen, ia menyalakan ketel. Uap naik, seperti repetisi nasihat yang sudah terbukti: “Perlahan.” Ia duduk. Menuang. Dan tepat di tengah riuh yang tak pernah reda—notifikasi, target, berita—ia membiarkan satu tegukan menjadi doa yang tidak bersuara.

.

Suatu Minggu pagi yang terang, Ki Raji memintanya menjadi narasumber kecil di kedai—bukan talkshow, hanya berbagi di lingkar komunitas: pengemudi ojek, pegawai kantor, ibu-ibu yang ikut karena janjian arisan. Besut bercerita tentang ibunya, tentang kantor, tentang Pager Gunung, tentang secangkir yang menolongnya berhenti menuntut jawaban instan.

“Ritual ngopi ini sederhana,” katanya. “Tapi ia mengajari saya empat hal:
Pertama, hadir—karena seduh manual akan menegur kalau pikiranmu menjauh.
Kedua, sabar—air panas pun tidak memaksa biji membuka rasa sebelum waktunya.
Ketiga, jujur—pahit itu bukan musuh, hanya bagian dari lengkap.
Keempat, berbagi—karena rasa terbaik selalu mengundang kursi di sebelah.”

Orang-orang mengangguk. Seorang anak muda bertanya bagaimana jika pahitnya hidup terlalu tebal. “Tambahkan jeda,” jawab Besut, mengulang pelajaran Ki Raji. “Bukan gula.”

Setelah acara, ia kembali ke rumah sakit membawa beberapa cangkir untuk perawat. Nyai Ageng Manila sedang tidur. Di meja, ada catatan kecil dari Jaka Pramana: “Sudah diurus semua. Kamu tidur gantian, Sut.” Besut tersenyum, menyelipkan jari ke rambut ibunya, membisikkan satu kata yang belakangan menjadi mantra, “Terima kasih.”

Di lift, ia menatap bayangannya. Ia bukan pria yang menang besar, bukan pula pecundang yang runtuh. Ia seseorang yang hari ini berhasil memberi ruang—untuk diri, untuk ibu, untuk orang asing yang menunggu dengan mata sembab. Apakah besok akan mudah? Mungkin tidak. Apakah ia siap? Mungkin masih ragu. Tapi ia tahu betul kini alamat pulangnya: sebuah cangkir yang masih hangat, sebuah jeda yang mengizinkan air mata maupun tawa, dan sebuah kota yang tak lagi hanya bising, melainkan juga panggung kecil untuk orang-orang yang belajar pelan.

Di balkon malam itu, angin mengusapkan rambutnya. Lampu-lampu kota berlagu. Besut meneguk sisa kopi, menutup mata sejenak. Dan dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri, ia mendengar sesuatu yang lama ia cari: hidup yang, akhirnya, berbisik. Tidak panjang, tidak heroik, hanya cukup: “Aku di sini.”

.
“Jeda bukan berhenti. Ia adalah cara kita merawat arah, agar yang kita kejar tetap manusiawi dan yang kita pertahankan tetap berarti.”

.

.

.

Jember, 11 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

kisah perkotaan, mindfulness, kopi Indonesia, kelas menengah ke atas, kesehatan mental, hubungan keluarga, etika kerja, komunitas, ritual harian, jeda

Leave a Reply