Tirta, Api, dan Luka yang Tak Tumbuh Daun

“Yang gelap tak selalu jahat, yang terang tak selalu benar;
yang kita pilih—itulah yang menulis siapa kita.”

.

Jakarta sore hari menggantung seperti napas tertahan—langit kelabu, gedung-gedung kaca menyala perlahan, jalan protokol memantulkan klakson yang tak pernah selesai. Di antara hiruk-pikuk yang rapi oleh marka dan berantakan oleh ambisi, seorang lelaki berjalan cepat memeluk malam. Namanya Tirta.

Ia menghafal nama-nama ruas jalan seperti menghafal anatomi: Rasuna Said, Sudirman, Gatot Subroto, JLNT Antasari yang benderang; nadi-nadi ibu kota yang membawa oksigen sekaligus bias, menyembunyikan luka-luka di sela beton. Ketika lampu merah memanjang, Tirta bisa melihat dirinya sendiri di permukaan jendela mobil yang asing: wajah tirus, rambut dipangkas rapi, tatapan yang dulu bening kini ada garis batu. Ia berpura-pura tak melihat. Malam ini, ia harus memilih.

“Kita tak pernah bisa memilih keluarga tempat kita dilahirkan.
Tapi kita selalu bisa memilih nilai apa yang kita perjuangkan.”

.

Bayangan Lelaki Bernama Umar Maya

Tirta lahir dari rahim seorang perempuan yang selalu menyastik selendang putih ketika berdoa dan dari bayang-bayang lelaki yang orang-orang panggil dengan bisik: Umar Maya. Bukan politisi, bukan pemuka agama, tapi raja di dunia yang tak diakui hukum. Dunia yang menempuh transaksi lewat pintu belakang, di pelabuhan-pelabuhan yang mengilap di siang hari dan menakutkan di malam hari; dunia yang pandai bernegosiasi dengan cuaca, dengan daftar manifes, dengan angka-angka yang bisa menghapus pasal pidana menjadi pesta kecil di restoran mewah.

Umar Maya—nama yang membuat polisi menghela napas di ruang interogasi, membuat pengusaha bergidik di ruang negosiasi. Konon darah Madura yang keras berpadu dengan kecerdikan urban Jakarta yang cair. Di lembaran kisah Menak Madura—kisah-kisah tentang intrik, kebangsawanan, dan balas budi—nama-nama bisa bergeser seperti bayang: Wiramarta, Murtasiyah, Umar, semuanya hidup kembali, tapi tanpa gelar, tanpa jubah kejayaan.

Tirta tumbuh di rumah besar yang sunyi. Kolamnya jernih tapi tak boleh dimasuki. Piano di ruang tengah berbunyi hanya saat guru musik datang. Setiap ulang tahun, ayahnya tak pernah ada. Setiap ada berita baku tembak, ibunya menjerang air jahe tengah malam, meminum sampai habis, lalu menangis diam-diam. Tirta—yang gemar biologi di SMA—percaya bahwa ia punya jalan lain: menjadi dokter, penyembuh yang memeluk terang.

“Lahir dari dunia gelap bukan berarti harus hidup dalam kegelapan,” begitu ia menulis di halaman belakang buku catatannya saat lolos ke Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Di kampus, ia menjadi renik kecil: praktikum anatomi, jaga malam di IGD untuk koas senior, menyusun literatur review dengan disiplin. Tiap pagi, ia berjalan melewati poster kampanye, baliho-baliho wajah yang minta suara. Tirta tersenyum pahit—di ruang sepi, semua berlomba meyakinkan umat manusia bahwa mereka cinta kebaikan.

Gelombang pertama badai datang ketika satu regu penyidik berdasi masuk ke kantor yayasan milik ibunya. Kasus penyelundupan BBM, suap proyek migas, kontrol distribusi pelabuhan. Rekening dibekukan, rumah disita, nama keluarga diarak di televisi. “Bukan salahmu,” kata ibunya, suaranya rapuh seperti seruling patah. Tapi di dunia, kita menanggung lebih dari yang kita lakukan.

Sore itu, Tirta berdiri di lorong RS, menatap cahaya mesin MRI yang menelan ibunya. Di tangannya, tagihan yang tak sanggup dibayar. Di ranselnya, surat DO sementara karena tak mampu melunasi BPP. Pada jam-jam seperti ini, kota seperti tak punya ruang untuk bernafas. Hanya ada langkah-langkah yang memantul di lantai mengilap, dan di kejauhan, orang-orang yang juga sibuk menyelamatkan yang mereka sebut rumah.

“Orang-orang bisa hidup dari uang haram,” gumamnya, “tapi mereka akan mati dalam kesepian yang tak tertolong.”

.

Anak dari Dua Dunia

Ada telepon masuk dari nomor tak dikenal. Suara di seberang halus, lilin di malam yang basah. “Aku Wiramarta,” katanya. “Kau tidak mengenalku, tapi aku lama mengamati. Pulanglah.”

Wiramarta bukan siapa-siapa di catatan sipil, tapi siapa saja di lorong-lorong gelap. Ia anak angkat dunia malam, murid favorit Umar Maya—licin, tenang, dan mengerti tata kelola kekuasaan seperti seorang CFO mengerti arus kas. Ia datang ke apartemen sederhana tempat Tirta menumpang, membawa sepatu leather yang mengilap dengan debu yang tak bisa dilap: debu kuasa.

“Tirta,” katanya, “kau bisa membenci dunia ayahmu. Tapi dunia ini yang dulu membayari sekolahmu, yang mencegah massa membakar rumahmu saat isu santet itu menyebar, yang memastikan ibumu dapat kamar rawat inap saat ICU penuh. Dunia ini keluargamu.”

Kata-kata itu seperti pisau roti—tak tajam, tapi masuk pelan-pelan. Tirta diam. Malam itu, ia mengenakan jas pinjaman. Mobil hitam membawanya menembus kota, melewati gerbang yang dijaga pekerja lepas dengan telinga waspada. Di ruangan yang baunya seperti wangi kayu dan rahasia, Tirta duduk berhadapan dengan Wiramarta.

“Kau bukan preman,” kata Wiramarta. “Kau administrator. Kau menyukai tatanan. Dunia ini porak-poranda karena bala tentaranya liar. Kita butuh logistik, sistem laporan, rantai pasok yang bersih.” Ia tersenyum kecil. “Ironis, ya? Bisnis kotor butuh sistem terbersih.”

Sejak malam itu, Tirta menjadi mesin. Ia menggambar alur kerja, menyusun SOP, mengurangi kekerasan yang tak perlu. Ia mengatur negosiasi agar tak ada yang mati sia-sia. Ia mengelola arus uang agar tak menetes ke tempat yang tak perlu. Ia menulis kode etik internal: larangan menyentuh anak, larangan memperdagangkan manusia, larangan menyuap petugas kecil—kalau pun harus, langsung ke atas agar tak beranak pinak. Di tengah kelam, ia menyalakan korek kecil bernama akal.

“Kebenaran yang ditunda akan tumbuh menjadi dosa yang berseragam rapi,” ia menulis di buku yang dulu berisi catatan anatomi.

Kadang-kadang, menjelang subuh, Tirta berdiri di balkon sebuah penthouse yang disewa atas nama perusahaan cangkang. Di bawah sana, Jakarta seperti perhiasan—cantik sekaligus menusuk. Ia berbisik pada dirinya, pada kota, pada Tuhan yang ia panggil tanpa berani menyebut nama: “Aku akan menghancurkan ini dari dalam.” Tapi ia tahu, janji yang diucap pada angin sering kembali sebagai badai.

.

Murtasiyah dan Tikungan Takdir

Perempuan itu muncul seperti tokoh tambahan yang diam-diam merusak skenario. Namanya Murtasiyah. Di dunia teks lama, ia mungkin bidadari; di sini, ia jurnalis investigasi yang menyamar menjadi pengurus event untuk menembus pagar-pagar yang tak terlihat. Ia tersenyum ramah, bertanya logistik, memotret dengan alasan dokumentasi.

“Kenapa kau di sini?” tanya Tirta suatu malam ketika hujan memukul atap gudang Pelumpang.

“Karena di sini cerita-cerita itu bernyawa,” jawabnya. “Dan karena aku ingin kau keluar sebelum terlambat.”

Keduanya jatuh cinta tanpa rencana—cinta yang tidak memabukkan, melainkan menenangkan. Mereka berbicara tentang kopi yang baik, tentang film yang jujur, tentang kenangan masa kecil yang tak pernah selesai. Mereka berdebat tentang etika, tertawa tentang cara kota menertawakan dirinya sendiri, menangis tentang orang-orang yang tak sempat memilih. Tapi cinta yang menyentuh luka adalah cinta yang paling berisiko.

“Cinta sejati bukan membuat kita nyaman,” kata Tirta di suatu senja di Setiabudi Skybridge. “Tapi membuat kita berani meninggalkan zona nyaman.”

Hari ketika penyamaran Murtasiyah terbongkar, langit Jakarta sedang bersih, ironi kecil yang tak mereka sempat nikmati. Rekaman-rekaman, catatan, dan jejak digitalnya menyala di layar-layar yang tak pernah mati. Anak buah Wiramarta menangkapnya. Kata-kata Umar Maya datang seperti perintah perang: “Lenyapkan.”

Tirta menatap cermin. Di sana, ia melihat dua lelaki yang sama: satu yang dia inginkan, satu yang dunia inginkan. Lalu ia memilih.

.

Kembali ke Meja Para Iblis

Perlawanan Tirta dimulai dari hal-hal kecil: mengulur waktu, mengubah rute, menyembunyikan file. Lalu menjadi besar: membocorkan data ke KPK, mengirim salinan ke Interpol, menukar kunci gudang, merusak jadwal bongkar muat, menyabotase pertemuan. Malam ketika ia membawa Murtasiyah kabur, kota seperti ikut menahan napas. Mereka menembus tol yang seperti jurang lurus. Di kaca spion, ada sepasang lampu menyala tak pernah jauh.

Di dekat rest area, Tirta memutar ke jalur servis, menghilang di antara truk-truk yang parkir seperti binatang besar tertidur. Ia menghubungi seseorang di kejaksaan yang pernah ia selamatkan dari skandal kecil—balas budi bekerja ke segala arah. “Aku menyerahkan diri,” ujarnya. “Dengan satu syarat: lindungi dia.”

“Syarat itu sulit,” jawab suara di seberang. “Tapi kita akan berusaha.”

Pagi itu, berita menangkap layar: “Mantan Administrator Mafia BBM Menyerahkan Diri, Serahkan Bukti Jaringan.” Nama Tirta masuk ke trending topic bersama umpatan, doa, dan teori konspirasi. Di kantor-kantor, orang-orang menonton sambil menyeruput kopi sachet; di rumah-rumah, televisi menyala tanpa benar-benar didengarkan. Di pelabuhan, beberapa pria mengumpat karena jadwalnya berantakan. Di penjara, beberapa orang tersenyum kecil karena musuhnya jatuh.

“Saya tak mau program perlindungan saksi,” kata Tirta di ruang periksa yang kini menjadi ruang tanya. “Saya tak mau menghilang dan hidup dengan nama baru. Saya mau menanggung. Kalau hidupku untuk menutup lubang yang selama ini kubuka, biar begitu adanya.”

“Saya akan jalani,” katanya kepada Murtasiyah. “Tapi janjikan satu: jangan menunduk bila kuhilang.”

“Hidup bukan soal menjauh dari kegelapan,” bisik Murtasiyah memegang tangannya, “tapi soal menjadi cahaya meski dalam gelap.”

Hakim membacakan angka. Delapan tahun. Angka yang terasa seperti dua hidup untuk seorang lelaki yang baru belajar bernafas.

.

Penebusan yang Berdarah

Penjara bukan tempat yang suci, juga bukan neraka murni. Di sana, manusia diperas menjadi hal-hal sederhana: kesabaran, rasa lapar, jam-jam yang mengalir lambat tapi tiba-tiba habis. Tirta membaca buku apa saja yang ada, mengajar beberapa napi muda menulis CV dan membuat presentasi sebab pekerjaan bebas nanti tak mudah, mengadakan kelas kecil tentang etika sederhana.

Ia menulis surat-surat—tidak untuk meminta maaf kepada dunia (sebab dunia tak pernah benar-benar datang ke ruang tamu untuk mendengar), tapi untuk meminta maaf pada dirinya yang lebih muda. Surat yang berbunyi: “Maaf, aku pernah yakin kekuatan adalah jawaban. Ternyata hanya cara untuk menunda pertanyaan.”

Di tahun ketujuh, ia mendengar kabar: Umar Maya hilang di laut setelah pertemuan yang gagal. Dunia gelap tak memberi upacara. Ia mengirim doa yang tidak ia hafal pada langit yang tidak ia kuasai. Ada bagian kecil di dadanya yang kosong—bukan rindu, bukan lega. Mungkin keduanya.

.

Kedai Kopi dan Sebuah Warisan Baru

Delapan tahun kemudian, Tirta keluar dengan rambut sedikit beruban dan mata yang pertamanya: tenang. Jakarta masih mencari cara baru untuk macet. Gedung-gedung baru bertambah, janji-janji lama berulang. Murtasiyah menjemput dengan mobil sederhana. Tidak ada musik di radio. Mereka saling memegang jari seperti memegang tali yang menyeberangkan.

Keduanya tak kembali ke penthouse. Mereka menyewa kios kecil di pinggir Jalan Kalibata. Menamai tempat itu “Daun Yang Tak Tumbuh”—nama yang membuat orang bertanya, lalu duduk lebih lama. Spesialitasnya bukan kopi mahal; kopi di sini adalah alasan untuk berbincang. Di dinding, poster kecil yang tak mewah: “Lowongan magang untuk bekas napi dan mantan anak geng. Syarat: mau belajar.”

Di kelas sore, Tirta mengajar anak-anak muda mengelola inventori, membuat konten digital, membaca laporan arus kas. Ia membagikan kaos hitam bertuliskan: “Jangan wariskan trauma. Wariskan keberanian untuk mengubah cerita keluarga.” Di ujung kelas, ada tawa yang tak sepenuhnya lega tapi bukan lagi getir. Murtasiyah—kini dosen jurnalisme—mengajar mereka memverifikasi informasi, menulis kisah yang jujur, memahami risiko. Kadang ia menatap Tirta lama-lama: lelaki itu kini lebih bergaris tapi juga lebih utuh.

Suatu malam, Wiramarta datang. Bukan dengan pasukan, hanya dengan sepasang mata yang sudah lelah mengukur seberapa banyak dunia mau dibeli. Ia duduk, memesan kopi tubruk. “Kau mengkhianatiku,” katanya datar.

“Aku mengkhianati kebohongan,” jawab Tirta. “Juga bayanganku sendiri.”

Wiramarta tertawa kecil, batuk, lalu diam. “Dunia ini tak akan bersih,” ucapnya. “Kau tahu itu.”

“Aku tahu,” jawab Tirta. “Tapi kita bisa membuat jendela.”

“Kau tahu apa bedanya kau dan aku?” tanya Wiramarta.

“Aku memilih berhenti.”

“Bukan,” Wiramarta menggeleng. “Bedanya, kau masih percaya orang bisa berubah.”

“Kau benar,” kata Tirta. “Dan itu—untungnya—penyakitku.”

Wiramarta berdiri. “Hati-hati, Tirta. Sebab kebaikan juga bisa menjadi alasan terburuk untuk kejam.” Ia melangkah pergi. Di punggungnya, ada sesuatu yang dulu tak pernah ada: beban seorang manusia.

.

Luka yang Tak Tumbuh Daun

Pada suatu Sabtu, seorang pemuda datang. Tato di lengan, luka lama di pelipis. “Bang,” katanya. “Kalau dunia telah terlanjur mengingatku sebagai sampah, bagaimana aku memulihkan nama?”

Tirta menuang air panas perlahan, membiarkan kopi mekar. “Nama adalah pakaian,” katanya. “Kau tak harus memakainya selamanya. Yang penting, tubuh di dalamnya jadi apa.”

Pemuda itu menangis diam-diam. Lalu tertawa canggung. Lalu bertanya apakah boleh mulai dari kasir dulu. “Boleh,” kata Tirta. “Asal kau jujur menghitung.”

Di kalender dinding, ada jadwal kelas: Senin copywriting, Selasa spreadsheet, Rabu fotografi produk, Kamis etika kerja, Jumat tinjauan hidup. Di atas bar, ada beberapa kalimat yang ditulis tangan—kutipan-kutipan yang tumbuh dari hari-hari mereka:

  • “Dunia gelap bukan takdir. Ia ujian yang mesti dilampaui, bukan diwariskan.”

  • “Tak semua yang besar itu benar. Tak semua yang kecil itu lemah.”

  • “Kadang, anak dari monster memilih jadi penyembuh. Karena ia tahu, luka itu nyata.”

  • “Kejujuran bukan topeng—ia wajah yang butuh dirawat.”

Di malam-malam panjang, saat pelanggan menipis, Tirta duduk di tangga kecil menuju gudang. Murtasiyah mengantarkan teh hangat. “Kau masih khawatir?” tanya Murtasiyah. Tirta mengangguk. “Bahwa masa lalu akan mengetuk.”

“Biar saja,” jawabnya. “Kita punya pintu.”

Keduanya menatap jendela: kaca bening yang menampakkan lalu lintas lampu. Mereka tak lagi mengejar penthouse. Mereka membangun ruang kecil yang jujur. Luka-luka yang tumbuh di keluarga mereka tak akan berdaun, tetapi mereka menanam pohon lain: pohon kerja, pohon akal sehat, pohon keberanian meminta maaf, pohon yang daunnya tak hijau mencolok namun menaungi.

Suatu hari, seorang polisi tua masuk, menatap Tirta lama-lama, lalu mengulurkan tangan. “Anakku lulus tahun ini,” katanya canggung. “Ia magang di sini dua bulan. Terima kasih sudah tak menanyakan siapa bapaknya.”

Tirta tersenyum. “Karena kita semua anak dari sesuatu,” jawabnya. “Tapi kita tak harus jadi bayangannya.”

.

Api yang Menjadi Tirta

Ada orang yang lahir dari tirta—air—lalu menjadi api yang membakar. Ada orang yang lahir dari api lalu berusaha menjadi tirta yang menenangkan. Nama kadang menakdirkan, kadang menantang. Tirta memilih menjadi namanya sendiri.

Di suatu perayaan kecil ulang tahun kedai, para alumni berkumpul: ada yang kini menjadi barista di hotel bintang lima, ada yang membuka usaha katering, ada yang bekerja sebagai staf warehouse di perusahaan logistik yang sah. Mereka membawa kue-kue sederhana, menempel foto-foto sebelum-sesudah di dinding. Di sebuah pojok, tiba-tiba gitar berdering pelan; lagu yang tak sempurna, tapi tepat sasaran.

Tirta berdiri, mengangkat gelas kecil berisi air putih. “Untuk yang pernah salah,” katanya. “Dan memilih memperbaiki.”
“Untuk yang tak lagi mewariskan luka,” sambung Murtasiyah.
“Untuk kota yang sulit, tapi selalu memberi kesempatan kedua,” tambah salah satu anak.

Malam itu, Jakarta masih macet. Masih bising. Masih penuh akun yang bicara dan sunyi yang lupa ditanya. Tapi di sebuah kedai kecil, ada cahaya yang tak bermaksud mengalahkan gelap—hanya menjaga agar orang-orang bisa melihat wajah sendiri.

Dan mungkin, pada akhirnya, itulah kemenangan paling keras kepala: ketika seorang anak dari dunia gelap memilih menyembuhkan, dan tidak mewariskan ketakutan, melainkan keberanian untuk mengubah cerita keluarga.

.

.

Jember, 11 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #FiksiUrban #Jakarta #MoralChoice #Redemption #Mentoring #KedaiKopi #MenakMadura #Jurnalisme #KekuatanMemilih

Leave a Reply