Aku Tidak Lagi Menunggu untuk Dipilih

“Wong sing sabar ora mung nunggu, nanging ngerti kapan kudu mandheg. Luwih becik milih awake dhewe, tinimbang terus dadi pilihan sing ora pasti.”
(Orang yang sabar bukan hanya tahu cara menunggu, tapi tahu kapan harus berhenti. Lebih baik memilih diri sendiri daripada terus jadi pilihan yang tidak pasti.)

.

Kota ini selalu bangun lebih dulu dari cahaya. Asap tipis dari gerai kopi 24 jam mengambang di udara seperti sisa mimpi, gedung-gedung kaca menahan embun yang lekas menguap, dan jalan layang memantulkan lampu mobil yang bergegas. Di balik jendela-jendela tinggi—yang sebagian menghadap laut, sebagian menatap hutan beton—orang-orang yang sibuk mengasah ambisi melatih wajah tegar di depan cermin. Tak ada yang mau tampak terlambat, apalagi tertinggal.

Di lantai 33 sebuah apartemen di bilangan Senayan, Kurniadewi menutup berkas presentasi yang semalam ia kelarkan. Kacamata tipis masih menggantung di pangkal hidung, rambutnya ia gulung asal. Ia mengukur waktunya seperti orang menghitung peluang: rapat pukul sembilan, brief pukul sebelas, makan siang dengan klien pukul satu, lalu zoom call dengan mitra Singapura pukul tiga. Di notifikasi ponsel, sederet pesan masuk—sebagian dari grup kantor yang selalu gaduh, sebagian lagi dari keluarga besar di Sumenep yang tak bosan mengingatkan: “Kapan giliranmu?”

Ia tersenyum kecut. Pertanyaan yang berjalan dengan kaki panjang: ramah di awal, menyisakan letih di ujung.

Nama “Kurniadewi”—dari keluarga keturunan pedagang garam yang mapan—lama dianggap sebagai nyala kecil yang pasti akan membesar, seperti cerita orang-orang Madura tentang api yang disimpan dalam batok kelapa: tampak tenang dari luar, padahal menyala di dalam. Di perantauan, ia belajar menata merek, mengelola citra, memahat kisah untuk produk-produk yang bukan miliknya. Ia lihai membangun magnet untuk orang lain. Namun untuk hatinya sendiri, ia seperti pejalan di kotak kaca: terlihat melaju, padahal hanya berputar di tempat.

Semua orang, termasuk kedua orang tuanya yang tinggal di rumah besar dekat pelabuhan lama, tahu: bertahun-tahun hatinya diganduli oleh satu nama—Rahmatillah. Seorang anak pejabat daerah yang naik cepat bak roket, cerdas, fasih bicara, pandai mengambil hati di podium, dan selalu tampak seimbang antara ibadah, kerja, dan jaringan. Mereka bertemu di sebuah konferensi wirausaha sosial, bertukar kartu nama, lalu bertukar buku, lalu bertukar doa. “Wektu bakal nemoni awake dewe,” katanya suatu malam di warung sate langganan, “sabar ya, Kurnia. Yen aku wis menangi titah iki, aku bakal bali—sebagai lelaki sing pantes milih kowe.”

Itu bertahun lalu. Selama itu pula, Kurniadewi menolak banyak perkenalan. Ada yang dari pengusaha ritel, ada yang dari arsitek yang lagi naik daun, ada pula dari diaspora yang pulang dengan niat nikah. Ia menolak semua, menaruh keyakinannya di laci paling rapi dalam hati. Ia percaya, “yang baik akan butuh waktu yang baik untuk tiba.”

Namun kota tak pernah benar-benar memberi waktu. Ia hanya memberi tanda-tanda yang cepat lewat. Pada ulang tahun Kurniadewi yang ke-32—aula hotel bintang lima, bunga lily di tengah meja, rekan-rekan kerja menyanyikan lagu selamat—berita itu datang di grup keluarga: foto Rahmatillah dalam balutan beskap krem, bersanding dengan putri seorang tokoh partai. Keterangan foto singkat: “Demi koalisi dan restu.” Emoji tangan berdoa berderet-deret.

Lagu selamat ulang tahun belum selesai, sementara di dalam dadanya ada lampu yang meletup lalu padam. Kurniadewi menelan pahit. Dunia publik tetap harus rapi: ia tersenyum, memotong kue, memeluk yang memberi hadiah. Tapi di lift menuju parkir, ia menatap bayangannya sendiri dan berbisik, “Aku sirahe raine. Kudu piye maneh?” (Aku hanya manusia. Apa yang harus kulakukan?)

.

Malam itu ia menulis panjang di jurnal kulit yang selalu ia bawa:

“Aku ora arep dadi pilihan, aku arep dadi panentu.
Aku ora arep mung ditresnani, aku arep tresna marang awakku dhewe.”

Esoknya, sebelum matahari melepaskan kabut di Teluk Jakarta, ia mengirimkan email permohonan cuti tiga bulan: “Sabbatical for personal study and health.” HR membalas cepat, atasan mengirimkan emotikon jempol dan “we’ll be here when you’re back.” Dinding kaca kantor tetap berkilau, eksekutif- eksekutif tetap berlari. Ia memilih melambat.

Ia tidak pulang ke rumah besar keluarganya. Ia justru menuju ke timur, ke sebuah komunitas belajar di kaki lereng Arjuno, yang oleh teman-teman aktivis disebut “Padepokan Sabrang Palapa”—sebuah tempat yang tidak romantik seperti dongeng, tapi hijau dan jujur. Di sana, orang-orang kota yang kelelahan datang untuk membongkar identitas lama dan membangun ulang arah hidup. Di sana pula, ia berjanji pada dirinya untuk berhenti menjadi “yang menunggu dipilih.”

Nyai Mulyosari—penggagas padepokan, perempuan yang rambutnya memutih dengan anggun dan tatapan matanya menyimpan telaga—menyambutnya seperti menyambut anak pulang. “Kowe teko ing wektu sing pas,” ucapnya, tangan menepuk punggung Kurnia pelan. “Sabar iku ora tansah bab nunggu. Kadhang bab ngerti kapan kudu mandheg.”

Hari-hari pertamanya disusun dari hal-hal yang membuatnya merasa “bodoh” dengan cara yang mengasyikkan: belajar mencangkul, membuat kompos, memetakan aliran air hujan, menyeduh jamu dari daun yang namanya baru ia dengar, berkeringat tanpa perlu memikirkan retorika. Ada kelas pagi membaca kisah-kisah hikmah dari berbagai tradisi—termasuk kisah-kisah Menak yang ia dengar samar-samar waktu kecil—ada kelas siang tentang pengelolaan keuangan rumah tangga, juga kelas malam tentang menyusun ulang tujuan hidup dengan jernih.

“Nuruti ati, nanging nganggo peta,” kata Makruf—pendamping olah batin yang logatnya medok dan selorohnya tak putus, lelaki berkepala plontos yang pandai membuat tawa meledak. “Kowe iki koyo wong kota sing wekasane eling yen urip ora mung proposal lan tender. Dina iki ndelok lemah, sesuk ndelok langit.”
(Kau ini seperti orang kota yang akhirnya ingat bahwa hidup tak melulu proposal dan tender. Hari ini lihat tanah, besok lihat langit.)

Wandansari—teman sekamarnya, perempuan cerdas yang cerewet dengan cara yang hangat—mengajarinya menertawakan hal-hal yang dulu memalukan. “Ex-mu nikah demi koalisi? Ya wis. Koalisi ora tansah setya. Sing setya: kewajibanmu ngopeni awakmu dhewe.” (Mantanmu menikah demi koalisi? Ya sudah. Koalisi tak selalu setia. Yang setia: kewajibanmu merawat dirimu sendiri.)

Malam-malam panjangnya ditemani bunyi serangga dan cahaya lampu minyak. Ia menulis tanpa sensor:

“Aku wis rampung dadi bangku tunggu.
Yen ana sing teka lan lunga, iku dalane.
Aku ora lagi ndadekake atiku terminal.”

.

Tiga minggu setelah kedatangannya, langit Arjuno seperti kain biru yang disetrika rapi. Di serambi kayu tempat mereka biasa minum jamu, seorang pengelana duduk dengan punggung tegak. Namanya Zainalmutaqin, kata Nyai, seorang saudagar rempah kecil-kecilan yang gemar membaca filsafat, lahir di Tanah Kembang Wetan—sebuah kota pelabuhan yang selalu sibuk dan bersuara. Ia membawa dua tas: satu berisi botol-botol kecil manisan pala, cengkih, lada, dan kayu manis; satu lagi berisi buku-buku tipis yang disampul cokelat.

Ia tidak berusaha menarik perhatian. Tapi perhatiannya pada hal-hal kecil membuatnya tampak hadir. Ketika hujan datang tiba-tiba, ia menutup laptop orang lain di meja sebelah tanpa diminta. Ketika ada peserta baru yang bingung mencari mushola, ia mengantarkan tanpa menanyakan nama. Cara ia diam membuat orang lain ingin lebih pelan.

Percakapan pertama mereka berlangsung seperti kicau burung di pagi hari: pelan, wajar, tanpa intrik. “Pernahkah kamu merasa,” kata Zainalmutaqin sambil menatap bukit, “bahwa yang sering kita tunggu itu bukan orangnya, melainkan keberanian dalam diri kita sendiri? Kita menunggu orang lain—padahal yang kita tunda adalah keputusan kita.”

“Keputusan apa?” tanya Kurnia.

“Keputusan untuk hidup, meski sendiri. Keputusan untuk tidak melempar penentu nasib pada tangan orang lain,” jawabnya. “Kita sering bilang, ‘kalau dia… maka aku…’ Padahal hidupmu bukan rumus bersyarat.”

Kalimatnya menembus ruang yang selama ini tertutup. Kurnia menatap cangkirnya: uap kunyit asam memutar perlahan di udara. Ia menghela napas. Ada yang menghangat di belakang dada.

Sejak hari itu, mereka tak pernah “janjian” untuk bertemu, tetapi sering ditemukan oleh jam yang sama. Entah ketika menjemur kopi yang baru disangrai, entah saat menyapu dedaunan yang jatuh di jalan setapak, entah di kelas diskusi singkat setelah makan malam. Zainalmutaqin tidak pernah—sekali pun—menanyakan kisah Kurnia dengan nada ingin “memasuki.” Ia hanya menyediakan telinga dan, jika diminta, cermin.

“Ngerti ra,” kata Makruf suatu sore sambil menyodorkan jeruk nipis, “kowe loro kuwi padha. Siji ngerti carane lunga, siji ngerti carane tetep.” (Kamu berdua itu mirip. Yang satu paham cara pergi, yang satu paham cara tinggal.)

Wandansari menimpali, “Mugo dudu film balikan.” Keduanya tertawa.

.

Namun kota—sebagaimana selalu—mempunyai cara menjadi pintu yang diketuk kembali. Bulan kelima, seorang utusan datang dengan mobil SUV hitam, turun di gerbang bambu, menanyakan Nyai, lalu menyampaikan sebuah undangan. Surat itu bertanda resmi, berkop cantik, dengan kalimat pendek: “Rahmatillah ingin bersilaturahmi.”

Kabar itu beredar like wildfire. Grup WhatsApp keluarga meledak; grup alumni SMA lebih ramai. Ada yang berkomentar sinis, ada yang mendoakan baik. Orang-orang di padepokan menanggapinya seperti mereka menyambut hujan: biasa saja, tapi tetap menutup jendela.

Malam pertemuan tiba. Pendapa kayu diberi lampu kuning temaram. Nyai duduk di kursi rotan, Makruf bersandar santai, Wandansari mengunyah kacang pelan-pelan. Zainalmutaqin berdiri di pojok, menatap kebun. Angin turun dari bukit.

Rahmatillah datang dengan seragam semi-formal, wajah tenang yang terlatih, senyum yang purna. Selalu ada aura penguasa di tubuhnya; sebuah keyakinan bahwa ruang akan memberi jalan. Ia bersalaman dengan Nyai, menunduk pada yang lain, dan akhirnya menatap Kurnia.

“Kurnia,” suaranya tidak gugup, “aku salah. Aku keseret arus yang tak seharusnya. Tapi aku belajar. Atiku, yen ngomong jujur, isih kanggo kowe.”
(Kurnia, aku salah. Aku terseret arus yang tak semestinya. Tapi aku belajar. Hatiku, jujur, masih untukmu.)

Sejenak tak ada yang berkata-kata. Bahkan jangkrik pun seperti menahan nada.

Kurnia menatapnya lama. Lalu ia melangkah ke depan—bukan ke arah Rahmatillah, melainkan ke tengah ruang, tempat cahaya lampu jatuh paling terang.

“Rahmatillah,” suaranya jernih, “aku pernah jadi perempuan yang rela menunggu. Aku kira sabar itu tentang duduk di kursi panjang dan percaya pintu akan terbuka. Aku kira cinta itu tentang siapa yang paling kuat bertahan. Tapi ternyata sabar juga punya tanggal kedaluwarsa. Dan cintaku, sebelum untuk siapa pun, harus untuk diriku sendiri.”

Ia berhenti sejenak. Wajahnya tidak gemetar. “Matur nuwun, wis nate dadi lampu di jalan lama. Nanging saiki aku wis ngerti dalan anyar. Aku ora pengin digandeng menawa kudu dibagi.”
(Terima kasih, kau pernah menjadi lampu di jalan lama. Tapi kini aku tahu jalan baru. Aku tak ingin digandeng bila harus dibagi.)

Nyai menunduk kecil, seperti mengamini. Makruf menyeringai tanpa suara. Wandansari menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Zainalmutaqin memejam pelan, mungkin berdoa.

Rahmatillah menarik napas. Di mata itu ada sisa-sisa lelaki yang dulu ia kenal: jujur, tapi terhalang tirai-tirai ketentuan. “Aku ngerti,” katanya lirih. “Mugo-mugo kowe tansah rahayu.” (Semoga kau senantiasa selamat.)

Pertemuan itu selesai tanpa foto, tanpa unggahan, tanpa kata “closure” di media sosial. Itu hanyalah malam yang menyisakan udara berbeda: lapang, tidak sesak.

.

Hari-hari berikutnya, Kurnia kembali ke ritme padepokan. Tetapi kali ini ia bekerja dengan getar yang baru. Di kebun, ia memulai inisiatif kecil “Kelas Dapur Ngalap Berkah”—mengajarkan belanja bijak pada ibu-ibu muda di sekitar desa, mengajari membuat menu seminggu dengan anggaran masuk akal, serta mengumpulkan resep keluarga—dari soto madura sampai setup pisang—untuk diterbitkan sebagai buku masak komunitas. Ia menghubungkan teman-teman urban dengan para perajin batik tulis di kampung sebelah, memastikan upah adil, menulis cerita di balik motif, memotret tangan-tangan keriput yang telaten.

Ia juga membuka kelas daring “Merawat Diri, Merancang Arah” setiap Minggu sore: mengajak orang-orang kota yang cemas berhenti sejenak, membongkar pikiran hitam-putih, menuliskan kembali definisi sukses versi masing-masing. Ia tidak menjual “obat mujarab 7 hari beres”—ia menawarkan kerja pelan: satu lembar rencana keuangan, satu daftar kecil hal yang bisa disyukuri, satu percakapan jujur di depan cermin.

Zainalmutaqin kerap hadir—kadang membantu dokumentasi, kadang mengirimkan rempah untuk pelengkap resep. Ia tidak pernah menyatakan cinta. Ia ada.

Suatu sore, hujan turun seperti tirai manik. Di bawah atap serambi, mereka duduk berdampingan. “Hari ini,” ucap Zainalmutaqin, “kamu bukan hanya menang atas masa lalu, tapi menang atas dirimu sendiri.”
Kurnia menoleh, tersenyum. “Menang yang tidak butuh penonton.”

“Menang yang tidak takut sendirian,” tambahnya.

Di malam yang lain, Kurnia menulis lagi:

“Aku wis rampung nunggu,
Saiki aku mlaku bareng sing gelem tindak tanpa janji kosong.
Aku ora wong sing beku,
Aku wong sing urip—and milih.”

.

Tiga bulan berlalu seperti air yang mengalir tanpa tergesa. HR kantor mengirim pesan, menanyakan apakah ia siap kembali. Ia menatap layar ponsel, lalu menatap kebun, lalu menatap dirinya sendiri di kaca kecil. Kembali—ya. Tapi tidak sebagai orang yang sama. Ia menulis balasan: bersedia, dengan satu syarat: ia ingin bekerja empat hari seminggu dan satu hari untuk program komunitas. “Work-life alignment,” tulisnya. Atasan setuju—dengan syarat target utama terpenuhi. Ia mengangguk: komitmen bisa dibuat jernih bila orangnya jernih.

Di Jakarta, ia merancang kampanye untuk produk lokal tanpa memanfaatkan rasa insecure perempuan. Ia menolak tagline yang memaksa, memilih narasi yang memberdayakan. Di ruang rapat, ia tidak lagi membiarkan candaan seksis melintas tanpa teguran. “Kita ini menjual citra,” katanya suatu kali, “tapi kita juga membangun cara pandang.”

Ia belajar berbicara tegas tanpa keras. Ia belajar menolak dengan hormat. Ia belajar bahwa menjadi kuat tidak berarti kehilangan kelembutan. Ia belajar memaafkan tanpa harus kembali.

Di rumah keluarga besar, ia menghadapi pertanyaan “kapan” dengan senyum: “Saiki aku bahagia. Yen ana sing becik, bakal teka dhewe. Nek ora teka, uripku tetep lumaku.” (Sekarang aku bahagia. Kalau ada yang baik, ia akan datang sendiri. Kalau tidak datang, hidupku tetap berjalan.)

Wandansari, yang kini membuka studio kecil di Surabaya, mengirim pesan: “Kowe saiki kaya lampu port, Nia. Ora ngejar kapal, nanging dadi patok sing digoleki.” (Kamu kini seperti lampu pelabuhan, Nia. Tidak mengejar kapal, tetapi menjadi patokan yang dicari.)

Makruf mengirim foto tomat hasil panen, dengan caption: “Sing ora kakehan pupuk malah seger.” (Yang tidak kebanyakan pupuk justru segar.) Keduanya membuatnya tertawa di halte busway, di antara orang-orang yang menyembunyikan letih di balik masker.

Zainalmutaqin? Ia sesekali muncul di kotak pesan, mengirimkan kabar singkat dari pelabuhan: “Angin timur bagus. Kapal-kapal berani sejauh itu.” Atau mengirim foto kios rempahnya yang kini sering didatangi penulis untuk mencari aroma cerita. Mereka tidak pernah mendefinisikan hubungan. Namun definisi sering kalah penting dari kehadiran yang konsisten.

.

Pada suatu Sabtu pagi, Kurnia mengadakan pertemuan kecil di co-working space: “Bengkel Perempuan Kota”. Tema hari itu: “Berhenti Menjadi Bangku Tunggu: Merancang Hidup Tanpa Syarat.” Dua belas orang datang—PR agency, arsitek interior, barista, perias pengantin, karyawan bank, dan seorang guru seni. Mereka duduk melingkar. Kurnia membuka dengan pertanyaan pelan: “Selama ini kalian menunggu apa?”

Jawaban berlapis-lapis: “Menunggu dia menceraikan…,” “menunggu kantor menaikkan gaji,” “menunggu momen pas bikin usaha,” “menunggu anak besar,” “menunggu pola asuh yang sempurna,” “menunggu berani.” Mereka tertawa pada diri sendiri, lalu menangis, lalu diam.

Kurnia mengangkat selembar kertas kosong. “Yang kita tunggu, seringnya: izin dari diri kita sendiri,” katanya. “Aku pernah jadi bangku panjang di stasiun, menunggu nama dipanggil. Sekarang aku memilih menjadi penentu arah. Aku belajar membuat ibu-ibu kampung punya buku kas harian, bukan timeline keinginan orang lain. Aku melatih diriku untuk tidak menunggu ‘detik yang diakui’, tapi menciptakan detik yang kuakui.”

Di layar proyektor, ia menampilkan kalimat yang kini menjadi mantranya:

“Kita lahir bukan untuk jadi cadangan di rak siapa pun.
Kita adalah cahaya—lan cahya ora nunggu dipuja kanggo padhang.”
(Kita adalah cahaya—dan cahaya tidak menunggu dipuji untuk bersinar.)

Seusai sesi, seorang peserta menghampiri, mata berkaca-kaca. “Mbak,” katanya, “saya selama ini… menunggu suami minta maaf dulu baru saya mau mengambil kursus desain. Hari ini saya mendaftar.” Kurnia memeluknya. “Uripmu, keputusannmu.”

Langit Jakarta menjelang sore seperti halaman buku yang baru dibalik. Jalan protokol macet, ojek daring menyusuri lorong-lorong, pedagang es mengelap gelas plastik. Kota tak pernah menjadi lebih perlahan, tapi Kurnia telah menjadi lebih tegak. Ia pulang naik MRT, memandangi wajah-wajah di jendela yang melintas seperti film. Di satu stasiun, sepasang kekasih bertengkar pelan, di stasiun lain seorang anak kecil menempelkan dahi ke kaca mencari bayangan terowongan. Dalam cermin gelap itu, Kurnia melihat dirinya: tidak lagi menunggu dipanggil. Ia sedang berjalan pulang—ke dirinya sendiri.

Di rumah, ia membuat teh. Jendela dibuka, angin menggerakkan tirai. Ia menyalakan lampu kuning kecil, duduk, menulis:

“Aku ora lagi ngarep-arep ana sing milih aku.
Aku wis milih awake dhewe.
Sing teka, ayo lungguh bareng.
Sing ora teka, mugo slamet.
Uripku, dalanku.”

Ia menutup buku, mematikan ponsel, dan menatap kota dari ketinggian. Di bawah sana, lampu-lampu mulai menyala. Di atas sini, ada satu cahaya yang menolak padam: miliknya sendiri.

.

Pelajaran yang Lembut

Beberapa bulan kemudian, kampanye yang ia rancang memenangkan penghargaan kecil. Bukan karena visual yang paling heboh, melainkan karena narasi yang jujur. Kelas komunitasnya berkembang pelan. Padepokan Sabrang Palapa sesekali mengundangnya mengisi sesi, Nyai Mulyosari mengirimkan pesan pendek yang menenangkan: “Cah ayu, ojo kesusu. Sing teteg, sing tata, sing titi.” (Gadis manis, jangan tergesa. Tetap teguh, tertata, teliti.)

Rahmatillah? Ia muncul sekali di layar TV, meresmikan pasar rakyat. Kurnia menonton tanpa perasaan yang mengoyak. Ia tahu: bukan dia yang berubah; ia lah yang telah berubah cara memandang. Zainalmutaqin mengirim parsel kecil berisi pala dan kertas catatan: “Untuk aroma hari-hari panjang. Jangan lupa bernapas.” Ia tersenyum, menyeduh. Kehidupan, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang memilih kita—tetapi bagaimana kita memilih untuk hadir, utuh, dalam setiap detik yang dititipkan.

Dan pada suatu fajar yang bening, ketika kota baru akan membuka mata, Kurnia berdiri di balkon. Ia mengucap terima kasih pada langit, pada tanah, pada tubuh yang tak henti belajar. Ia menarik napas panjang, lalu berbisik pada diri sendiri:

“Aku ora bakal maneh dadi bangku tunggu. Aku bakal dadi dalan.”
(Aku tidak akan lagi menjadi bangku tunggu. Aku akan menjadi jalan.)

.

.

.

Jember, 8 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#AkuMemilihDiriku #PerempuanMandiri #UrbanStory #SelfLove #NarasiFilmis #KompasMingguVibes #JawaTimur #MenakMadura #HidupSadar #TidakMenungguDipilih

Leave a Reply