Yang Retak, Yang Bersinar
“Hari ini, kalau ditanya ingin apa?
Ingin punya hati yang mudah bersyukur, jiwa yang setia dalam doa, dan diri yang selalu dekat dengan Tuhan—yang menuntun langkah kecil menjadi mukjizat sehari-hari.”
.
Kota yang Menelan dan Menyadarkan
Di Jakarta, malam menurunkan kelap-kelipnya ke kaca gedung tinggi yang menjadi saksi langkah Jaya — pria paruh baya yang rambutnya mulai memutih di tepi pelipis. Di balik pantulan wajahnya di dinding kaca kantor venture capital miliknya, tampak dua dunia: satu yang gemerlap, satu lagi yang perlahan padam.
Hari itu ia baru saja menandatangani surat pemutusan kerja seratus karyawan dari dua startup rintisannya yang tak lagi sanggup bernapas di bawah tekanan pasar. Tangannya gemetar, bukan karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan arti.
“Keputusan bisnis, bukan pengkhianatan,” katanya pada dirinya sendiri.
Namun malam itu, kata-kata itu tidak cukup. Ia menutup laptop, menyelipkan rosario kayu ke dalam saku jas, lalu melangkah keluar. Di lobby, Ganis — istrinya — sudah menunggu dengan mantel putih dan raut wajah yang lembut tapi tegas. Ia bukan hanya pasangan hidup, tapi juga kepala sekolah sekaligus pendiri lembaga pendidikan karakter bagi kaum muda pekerja kota.
“Misa sore?” tanya Ganis pelan.
Jaya mengangguk.
Mereka melangkah melewati trotoar basah yang dipenuhi lampu kendaraan dan aroma kopi yang tumpah di udara. Kota yang sibuk itu terasa seperti altar panjang — penuh doa yang tertunda.
.
Di Dalam Sunyi, Tuhan Bekerja
Di bangku kedua dari belakang gereja tua di tepi bundaran, Jaya dan Ganis duduk berdampingan. Denting lonceng Misa menggetarkan dada mereka. Dalam doa umat, pastor menyebut nama-nama mereka yang kehilangan pekerjaan, rumah, dan arah.
Jaya menunduk. Satu per satu wajah karyawan muncul di benaknya. Ada Maya — project manager yang teliti dan penuh semangat; ada Moyo, anak muda brilian yang baru mencicil rumah; dan Adan, ayah dua anak yang kepalanya penuh beban tagihan.
Semua nama itu kini hanya tinggal angka di spreadsheet.
Saat imam mengangkat piala, Jaya menutup mata dan berbisik dalam hati:
“Ya Tuhan, ajari aku bertanggung jawab, bukan hanya berhasil.”
Ganis menggenggam tangannya. Dalam genggaman itu, Jaya merasakan sesuatu yang lebih dalam dari kata “sabar” — sebuah ajakan untuk menanggung bersama.
Seusai Misa, keduanya tidak langsung pulang. Mereka duduk di taman kecil di depan gereja. Angin lembut malam mengusap wajah. Ganis mengeluarkan catatan kecil berisi daftar rencana:
program beasiswa darurat bagi keluarga karyawan terdampak, kelas literasi keuangan, dan pelatihan usaha kecil.
“Ini bukan tebusan dosa,” kata Ganis sambil menatap langit. “Ini tanggung jawab sebagai sesama.”
Jaya menatap salib di menara gereja. Ada sesuatu yang terbakar dalam dadanya — bukan kemarahan, tapi kesadaran. Ia tidak bisa menyelamatkan semua perusahaan, tapi ia masih bisa menyelamatkan harapan.
.
Percakapan yang Menyalakan Cahaya
Keesokan harinya, Jaya memilih naik KRL ke kantor. Ia ingin mendengar lagi suara kota — bukan dari balik kaca mobil, tapi dari lantai peron. Di layar ponselnya, grup WhatsApp paroki ramai dengan notifikasi:
pendaftaran kelas “Mulai Usaha dari Dapur” sudah penuh, dan beberapa anggota meminta mentor tambahan.
Di ruang rapat, dua orang menunggu: Maya dan Moyo.
“Kami tidak datang untuk menawar pesangon,” kata Maya, menata rambutnya yang digelung rapi dan merapikan kalung salib di lehernya.
“Kami datang untuk minta izin membawa sebagian code base perusahaan untuk dijadikan produk open-source. Banyak anak muda di komunitas gereja yang mau belajar. Dan… kami ingin Mas Jaya jadi pembicara pembuka. Bukan tentang kegagalan startup, tapi tentang manusia yang belajar.”
Jaya menatap mereka dengan mata berkaca.
Moyo menimpali dengan senyum getir, “Kami masih punya waktu, Mas. Dan kota ini masih punya banyak pintu.”
Usai pertemuan, Jaya berdiri di depan jendela tinggi. Ia melihat Jakarta seperti papan sirkuit — rumit tapi saling terhubung.
Mungkin, pikirnya, yang harus diselamatkan bukan hanya uang, tapi hubungan. Bukan hanya bisnis, tapi nilai.
Ia membuka ponsel, mengetik pesan untuk Ganis:
“Aku ikut jadi mentor. Dan aku ingin mendirikan beasiswa ‘Adaninggar’ — dari nama Adan, untuk semua keluarga pekerja yang berani memulai lagi.”
Balasan Ganis datang cepat:
“Lakukan. Malam ini rapat bersama pengusaha paroki. Satu kursi sudah aku sisihkan untukmu.”
.
Dari Luka Menuju Pelayanan
Cerita mereka menyebar seperti nyala lilin kecil.
Di Surabaya, Adan memulai usaha katering harian dengan istri dan tetangganya. Ia datang menemui Jaya di co-working space.
“Saya tak punya modal besar,” katanya lirih. “Tapi saya punya tangan dan waktu. Bisa bantu bikin hitungan harga yang jujur?”
Jaya mengambil spidol, menggambar diagram di whiteboard: jam produksi, ongkos tenaga, rantai pasok, hingga laba bersih per porsi.
“Yang penting bukan cepat besar, tapi lama bertahan,” ujarnya.
Mereka sepakat: sebagian keuntungan akan digunakan untuk menanam mangrove di pesisir.
“Karena bumi juga butuh disyukuri,” kata Adan tersenyum.
Di Malang, Maya dan Moyo mendirikan studio belajar dua lantai: siang untuk co-working space pemula, malam untuk kelas coding dan desain berpadu lectio divina. Mereka ingin anak muda belajar tentang logika, tapi juga hati. Tentang algoritma, tapi juga iman.
Di Bandung, Ganis memimpin pertemuan para ibu pekerja. Mereka belajar time management, negosiasi kerja, dan doa Rosario dengan tema “Maria, ibu pekerja”.
“Kesuksesan bukan saat semua tugas selesai,” kata Ganis lembut. “Kesuksesan adalah saat kamu masih bisa berdoa di tengah kesibukan.”
.
Saat Doa Menjadi Keputusan
Menjelang Paskah, kota diguyur hujan panjang.
Jaya dan Ganis menjemput adik Ganis, Kelaswara — Swa — yang baru lulus magister desain sosial. Ia bersemangat membuka usaha thrift fashion dengan konsep sustainable living.
“Tapi aku takut kehilangan arah rohani kalau terlalu ambisius,” katanya.
“Bawa pelan, bawa benar,” ujar Ganis. “Satu langkah jujur lebih berharga daripada seratus langkah cepat.”
Malam itu, mereka bertiga berdoa Rosario di apartemen.
Di sela doa, Jaya berkata, “Aku takut semua ini cuma kamuflase kegagalan.”
Ganis menatapnya lembut.
“Lihatlah tangan Kristus — yang bangkit tapi tetap menyimpan luka. Luka bukan tanda kalah, tapi tanda mencinta.”
Swa mengangguk. “Kak, dunia tidak butuh orang sempurna. Dunia butuh orang yang setia.”
.
Retakan yang Menjadi Jalan
Beberapa minggu kemudian, kabar buruk datang: investor utama mundur. Proyek properti teknologi ramah lingkungan yang mereka rancang harus ditunda.
Namun Jaya memilih untuk tidak bersembunyi. Ia mengirim laporan terbuka kepada seluruh mitra bisnis, memajang kegagalannya di LinkedIn.
“Kejujuran mungkin tidak viral,” tulisnya, “tapi kejujuran menyembuhkan.”
Banyak yang mencibir.
Namun malam Jumat Agung itu, ia duduk di bangku gereja yang remang.
Dalam penghormatan salib, ia menyentuh kayu itu dengan kepala tertunduk.
“Ya Tuhan,” bisiknya, “ajarkan aku untuk tetap bekerja, meski dunia memandangku kalah.”
Dan di dalam diam itu, ia mendengar jawab yang sederhana:
“Tetaplah setia pada yang kecil. Karena di sanalah Aku tinggal.”
.
Paskah di Kota
Malam Paskah tiba dengan cahaya lilin di halaman gereja.
Maya dan Moyo membawa kabar gembira: proyek open-source mereka dilirik kampus besar untuk dijadikan modul pembelajaran.
Adan menambah karyawan dua orang dan membuka dapur cabang.
Swa mendapat tawaran mengajar mata kuliah “Etika Bisnis Kreatif”.
Dan Ganis, dengan sekolahnya, mulai menyalurkan dana beasiswa “Adaninggar”.
Saat Misa usai, Jaya berkata pada Ganis, “Tuhan tidak memberi peta masa depan. Ia memberi lentera kecil. Cukup untuk lima langkah.”
Ganis tersenyum, “Dan tugas kita adalah terus berjalan.”
.
Tahun Kedua: Cahaya yang Bertahan
Setahun berlalu.
Jakarta masih sama: macet, sibuk, menuntut.
Namun Jaya tidak lagi memandangnya dengan lelah. Ia melihat kota seperti tubuh Kristus — penuh luka, tapi terus hidup karena kasih.
Ia dan Ganis kini membagi waktu antara Jakarta, Malang, dan Surabaya.
Kereta menjadi ruang doa mereka.
Mereka berdoa bukan untuk kemudahan, tapi untuk keteguhan.
Tak semua hari cerah. Ada modul pelatihan sepi, ada klien menunggak, ada komentar sinis di media.
Suatu malam, Jaya berkata lirih, “Aku lelah mengurus manusia. Mereka lebih rumit dari neraca keuangan.”
Ganis menggenggam tangannya.
“Tapi bukankah itu yang kita doakan dulu? Menjadi garam dan terang dunia.”
Keesokan harinya, mereka pergi ke rumah retret.
Seorang pastor tua berkata, “Jangan takut pada retakan. Cahaya Paskah justru keluar dari sana.”
Malam itu Jaya menulis dalam jurnalnya:
“Aku ingin hati yang mudah bersyukur, jiwa yang setia dalam doa, dan diri yang dekat dengan Tuhan. Jika doa ini sederhana, biarlah kesetiaanku yang memanjangkannya.”
.
Yang Retak, Yang Bersinar
Pada ulang tahun kedua komunitas “Adaninggar”, aula paroki penuh tawa dan lilin.
Maya dan Moyo menampilkan karya anak-anak muda: aplikasi pelayanan sosial, sistem inventori koperasi sekolah, dashboard sampah digital.
Adan mempresentasikan laporan keuangan jujur — tanpa utang, tanpa markup.
Swa memamerkan fashion show dari pakaian bekas yang disulap dengan tangan remaja: baju dengan kisah, bukan sekadar harga.
“Baju punya kenangan, manusia punya jiwa,” katanya.
Ganis duduk di barisan depan, air mata menetes tanpa disembunyikan.
Ia menoleh ke Jaya, yang sedang menyiapkan pidato penutup.
“Saudara-saudariku,” kata Jaya di panggung kecil itu, “kita tidak bisa selalu memilih musim ekonomi. Tapi kita selalu bisa memilih sikap. Kalau hari ini ditanya ingin apa, saya hanya ingin punya hati yang mudah bersyukur, jiwa yang setia dalam doa, dan diri yang dekat dengan Tuhan. Karena di situlah angka menemukan makna.”
Tepuk tangan pelan berubah menjadi riuh.
Dan di langit-langit aula, lampu neon berdenting seperti lonceng kecil — tanda kelas baru kehidupan dimulai:
kelas kesetiaan, kesabaran, dan kasih yang bertumbuh di tengah kota yang retak.
.
✝️ Refleksi Katolik
-
Doa harian: satu peristiwa Rosario sebelum memulai kerja.
-
Latihan rohani: Examen lima menit sebelum tidur — bersyukur, meninjau hari, menyesal, berjanji, memohon.
-
Tindakan nyata: satu kebaikan profesional setiap hari — membalas pesan dengan empati, membayar tepat waktu, menolong tanpa pamrih.
-
Komunitas: bergabung dalam kelompok kecil di paroki, belajar keuangan dan etika kerja berlandaskan kasih.
-
Keberlanjutan: menyisihkan 1% penghasilan untuk lingkungan dan solidaritas sosial.
“Syukur mengubah cukup menjadi berlimpah; doa mengubah cemas menjadi berani; kasih mengubah bisnis menjadi pelayanan.”
.
.
.
Malang, 27 Oktober 2025
.
.
#CerpenKatolik #Syukur #Doa #BisnisBerjiwa #Paskah #Kasih #KomunitasParoki #UrbanFaith #Humanitas #InspirasiIman