Yang Jatuh Sendiri

“Kadang yang menempel di punggungmu bukan beban hidup—melainkan suara-suara kecil yang takut melihatmu terbang. Naiklah. Udara yang lebih tinggi akan mengajarkan siapa yang bisa bernapas, dan siapa yang memilih jatuh.”

.

Hujan di Jakarta selalu datang seperti pikiran kedua: tidak diumumkan, namun terasa sejak jauh. Pada pukul tujuh lewat sedikit, kaca-kaca gedung di Sudirman memantulkan langit kelabu, dan dari lantai dua puluh dua sebuah co-working space, Jayeng memandang kota seperti menatap diri sendiri: rapi di permukaan, riuh di dalam.

Meja di depannya bersih. Terlalu bersih untuk ukuran orang yang hidupnya mengandung terlalu banyak rapat, terlalu banyak strategi, terlalu banyak “baik-baik saja” yang dipaksakan. Laptopnya menyala pada satu dokumen proposal: rencana transformasi untuk sebuah grup properti milik keluarga mapan—jenis keluarga yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri bukan untuk belajar, melainkan untuk pulang membawa cara bicara baru, cara menyebut uang tanpa menyentuhnya.

Di pojok kanan layar, notifikasi beruntun—pesan masuk, komentar, mention, tangkapan layar.

Jayeng menelan napas, seperti orang yang menelan kalimat yang terlalu pahit untuk diucapkan.

Di bawah, di lobi gedung, orang-orang turun dari mobil dengan payung hitam. Setiap payung seperti rahasia, menutupi wajah dari hujan sekaligus dari tatapan. Jayeng menyandarkan punggung ke kursi, mengusap tengkuknya. Ada rasa perih yang tidak terlihat: perih yang lahir dari sesuatu yang lebih licin daripada kegagalan—kecurigaan.

Telepon bergetar. Nama “Umar” muncul.

“Gimana?” suara Umar datar, namun Jayeng mengenal datarnya itu. Datar yang menahan amarah.

Jayeng mengembuskan napas. “Masih ramai.”

“Ramai itu satu hal,” Umar menekan kata-kata. “Tapi yang mereka sebar itu… fitnah.”

Jayeng membiarkan jeda. Dari kejauhan, klakson menembus hujan. Suara kota tak pernah punya simpati; kota hanya punya kebiasaan.

“Lu udah lihat video itu?” tanya Umar lagi.

Jayeng menutup mata sebentar. Video itu sudah ia lihat, berulang, karena orang-orang mengirimnya seperti melempar batu: potongan rapat internal, diambil entah dari mana, disusun dengan narasi yang membuatnya tampak seperti pengkhianat yang menjual rahasia klien, seolah-olah ia hidup dari membocorkan, bukan membangun. Di bawahnya, komentar berderet: “Sok ahli.” “Konsultan karbitan.” “Ngomong doang.” Ada yang lebih pedas: menyinggung masa kecilnya, keluarganya, bahkan cara ia tertawa di sebuah podcast.

Jayeng mengerti satu hal yang tidak pernah diajarkan di kampus mana pun: di era digital, kebencian bisa lebih rajin daripada cinta.

“Aku lihat,” jawabnya pelan.

“Siapa yang mulai?” Umar mendesak.

Jayeng menatap pantulan dirinya di layar: wajah lelah, mata yang tetap ingin berwibawa. Ia ingin menjawab dengan nama. Ia ingin menyebut satu orang yang sejak awal tampak hangat, rajin memuji, rajin menempel—lalu tiba-tiba mencakar.

Nama itu: Klana.

Namun Jayeng memilih diam.

“Aku belum tahu,” katanya.

Umar mendengus. “Lu terlalu baik. Terlalu menahan.”

Jayeng tersenyum kecil, pahit. “Kadang menahan itu bukan baik, Mar. Kadang itu… strategi bertahan.”

Di balik semua itu, ada satu hal yang lebih mengganggu: bukan komentar orang asing, melainkan rasa dikhianati oleh orang yang pernah duduk satu meja.

.

Malam sebelumnya, Jayeng bertemu Sekar di sebuah kafe yang lampunya kuning, tempat orang-orang kelas menengah atas suka pura-pura sederhana. Ada rak buku, ada barista yang memanggil nama pelanggan dengan aksen yang dipelajari dari internet.

Sekar datang dengan mantel krem dan mata yang menyimpan hujan sendiri.

“Kamu kelihatan kurus,” katanya tanpa basa-basi.

Jayeng tertawa pelan. “Itu pujian buat orang kota.”

Sekar menggeleng. “Itu alarm.”

Sekar adalah dosen yang tidak pernah mau disebut dosen. Ia mengajar di program pascasarjana, menulis jurnal, mengurus beasiswa, dan entah bagaimana masih punya waktu untuk mengurus orang-orang yang patah tapi belum mau mengaku patah. Sekar mengenal Jayeng sejak mereka sama-sama menjadi narasumber dalam sebuah kelas tamu tentang etika bisnis. Sejak itu, mereka sering bertemu di sela-sela jadwal yang tidak manusiawi. Hubungan mereka tidak pernah diberi label, namun selalu punya tempat: tempat untuk pulang tanpa harus menjelaskan apa pun.

Di meja, Sekar menaruh ponselnya. Layar menampilkan unggahan yang sama.

“Ini…,” Sekar menahan napas. “Mereka bilang kamu main dua kaki.”

Jayeng mengaduk kopinya. Suara sendok kecil beradu gelas terdengar seperti sesuatu yang rapuh.

“Aku cuma kerja,” katanya.

Sekar menatapnya lama. “Aku tahu.”

“Yang bikin aku capek bukan tuduhannya,” Jayeng melanjutkan, suaranya mengecil. “Tapi… kecepatan orang mempercayainya.”

Sekar mengangguk pelan, seperti menyetujui sesuatu yang sudah lama ia pahami. “Karena percaya pada keburukan itu lebih mudah. Tidak perlu bukti, cukup rasa.”

Jayeng tersenyum getir. “Dan rasa itu bisa dibeli.”

Sekar meraih tangan Jayeng, menekannya sebentar. “Kamu ingat cerita burung elang dan gagak yang kamu pernah tulis di catatanmu?”

Jayeng terdiam. Ia menatap mata Sekar, mencari semacam pegangan.

Sekar mengulang dengan suara perlahan, seolah membacakan doa: “Gagak menempel di punggung elang, mematuk lehernya. Elang tidak melawan. Elang naik. Semakin tinggi, semakin tipis udara. Gagak jatuh… sendiri.”

Jayeng menunduk. Dadanya sesak oleh sesuatu yang tidak bisa diselesaikan dengan presentasi.

“Aku capek jadi elang,” bisiknya.

Sekar menatapnya, matanya lembut tapi tegas. “Kalau kamu turun untuk berkelahi, kamu bukan elang. Kamu cuma gagak yang kebetulan punya sayap lebih besar.”

Kata-kata itu menancap, bukan karena indah, melainkan karena benar.

.

Klana, di sisi lain kota, sedang duduk di apartemen mewahnya. Musik lembut, lampu temaram. Ia menatap layar laptop—grafik engagement naik tajam. Tagar yang menyinggung Jayeng merambat seperti jamur. Klana tersenyum, puas, seperti orang yang baru saja menang tender.

Klana adalah anak dari keluarga pengembang yang punya nama besar. Ia terbiasa berada dekat pusat keputusan. Ia belajar bisnis di luar negeri, pulang dengan logat yang dianggap prestise, dan membawa satu bakat: membuat orang percaya ia baik.

Dulu, di awal proyek, Klana mendekati Jayeng seperti murid yang ingin belajar.

“Mas Jayeng,” katanya saat itu, “aku suka cara kamu menjelaskan. Nggak menggurui, tapi mengangkat.”

Jayeng tersenyum, menganggapnya pujian yang normal.

Lalu Klana rajin mengundang Jayeng ke rapat-rapat “internal keluarga”. Ia menyimak, mencatat, bertanya. Ia tampak hormat. Jayeng tidak curiga—karena di dunia profesional, kebaikan sering dianggap netral, bukan taktik.

Sampai sebuah hari, Jayeng menolak satu permintaan Klana: meminta Jayeng menandatangani rekomendasi vendor tertentu yang jelas-jelas punya konflik kepentingan.

“Maaf,” Jayeng berkata tegas. “Aku nggak bisa.”

Sejak itu, senyum Klana tetap sama, namun matanya berubah: mata orang yang baru saja tahu bahwa ada manusia yang tidak bisa dibeli.

Dan ketika proyek transformasi masuk fase krusial, ketika angka-angka mulai terasa menakutkan bagi orang yang terbiasa nyaman, Klana memilih cara paling kota: membunuh reputasi sebelum membunuh argumen.

.

Pagi ini, Jayeng akhirnya turun dari co-working space. Ia berjalan melewati lobi, melewati orang-orang yang memegang kopi mahal seperti memegang identitas. Di luar, hujan menipis. Jalanan basah memantulkan lampu kendaraan, seperti kaca retak yang berkilau.

Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, tapi tidak langsung jalan.

Di dashboard, ada catatan kecil yang pernah ia tempel dari Sekar:
“Jangan habiskan energi untuk membuktikan diri pada orang yang tidak berniat memahami.”

Jayeng membuka ponsel, melihat komentar yang semakin liar. Ia bisa saja membuat klarifikasi panjang. Ia bisa saja melawan satu per satu. Ia bisa saja menggandeng pengacara. Semua pilihan ada. Namun di antara semua pilihan itu, ada satu yang paling sulit: menahan diri untuk tidak turun ke ketinggian yang salah.

Mobil melaju menuju sebuah sekolah swasta di pinggir kota—tempat Jayeng hari itu seharusnya mengisi sesi mentoring untuk siswa kelas akhir: tentang karier, etika, dan keberanian memilih jalan. Ia sempat ingin membatalkan. Tapi Sekar semalam berkata, “Kalau kamu berhenti memberi karena kamu diserang, berarti mereka berhasil mengatur arah hidupmu.”

Di aula sekolah, puluhan anak muda duduk rapi. Seragam mereka mahal, tetapi mata mereka tetap mata manusia: cemas, ingin tahu, ingin dianggap cukup.

Jayeng berdiri di panggung kecil. Mikrofon dingin di tangannya. Ia melihat ke barisan depan—ada orang tua murid, ada guru, ada kamera.

Ia menelan ludah. Lalu ia memulai, bukan dengan pembelaan, tetapi dengan cerita.

“Ada masa,” katanya, “ketika kita merasa hidup kita sedang dipatuk oleh sesuatu: komentar, gosip, penilaian, bahkan pengkhianatan. Kita ingin melawan. Karena kita takut dianggap lemah.”

Anak-anak itu diam.

“Padahal,” Jayeng melanjutkan, suaranya pelan tapi tegas, “yang sering membuat kita hancur bukan serangan itu. Tapi keputusan kita untuk turun ke level yang sama. Kita sibuk membalas, lupa bertumbuh.”

Ia berhenti sebentar, menatap satu demi satu wajah di depannya. “Kalau kamu punya mimpi besar, kamu harus siap punya suara-suara kecil yang mengganggu. Mereka bukan musuhmu. Mereka… indikator.”

Seorang siswa mengangkat tangan. “Indikator apa, Kak?”

Jayeng tersenyum. “Indikator bahwa kamu sedang bergerak.”

Aula tetap sunyi. Di barisan belakang, seseorang merekam. Jayeng tahu, potongannya bisa jadi bahan serangan baru. Namun ia tidak bisa lagi hidup dengan ketakutan seperti itu.

Ia mengakhiri sesi dengan kalimat yang tidak diajarkan di buku motivasi, tetapi lahir dari luka:
“Jangan tunggu dunia adil untuk kamu mulai benar. Mulailah benar—meski dunia salah paham.”

Saat ia turun dari panggung, dadanya terasa lebih ringan. Bukan karena masalah selesai, tetapi karena ia memilih berdiri di tempat yang tepat.

.

Sore hari, Sekar menjemput Jayeng di parkiran sekolah. Mereka duduk di mobil tanpa langsung bicara, seperti dua orang yang mengerti bahwa kata-kata kadang hanya pengganggu.

“Gimana?” tanya Sekar akhirnya.

Jayeng menatap langit yang mulai terang di balik sisa hujan. “Aku ngomong. Di depan anak-anak.”

Sekar tersenyum tipis. “Kamu naik.”

Jayeng mengangguk, lalu tiba-tiba suaranya bergetar. “Tapi aku tetap sakit, Sekar.”

Sekar memegang pundaknya. “Sakit itu wajar. Yang tidak wajar itu kalau kamu menukar arah hidupmu hanya demi menjelaskan diri.”

Jayeng menghela napas panjang. “Aku takut… reputasiku hancur.”

Sekar menatapnya lama, lalu berkata pelan: “Reputasi itu seperti kaca. Mudah retak kalau kamu menaruhnya di tangan orang lain. Taruh di tanganmu sendiri—dengan kerja, dengan konsistensi, dengan kebaikan yang tidak butuh tepuk tangan.”

Jayeng menelan air mata yang hampir jatuh. Ia benci menangis, terutama di depan orang yang ia hormati. Tapi Sekar bukan penonton; Sekar adalah rumah.

Di ponsel Jayeng, notifikasi baru masuk. Umar mengirim pesan singkat:
“Klana ketahuan. Ada yang bocorin chat internalnya. Banyak yang mulai tarik postingan. Dia panik.”

Jayeng menatap pesan itu lama. Ada bagian dirinya yang ingin bersorak, ingin puas. Tapi yang datang justru rasa kosong—seperti orang yang akhirnya melihat kebenaran, namun tidak merasa menang.

“Kenapa kamu nggak senang?” tanya Sekar, membaca perubahan wajahnya.

Jayeng menggeleng. “Aku baru sadar… kalau aku ikut menikmati jatuhnya orang, aku sama aja.”

Sekar mengangguk, bangga tapi tidak memuji. “Itu yang membedakan.”

Jayeng menatap keluar jendela. Lampu kota mulai menyala, satu per satu, seperti doa yang dipanjatkan diam-diam.

Ia teringat masa kecilnya—ketika ia tidak punya apa-apa selain tekad dan buku-buku bekas. Ia teringat malam-malam belajar, hari-hari kerja sambil kuliah, kegigihan yang tidak pernah viral. Ia teringat bahwa hidupnya dibangun bukan oleh komentar, tetapi oleh ketekunan.

Dan di titik itu, Jayeng memahami sesuatu yang sederhana namun berat:
gagak tidak perlu dijatuhkan. Ia akan jatuh sendiri ketika kita memilih naik.

.

Malam itu, Jayeng menulis satu unggahan singkat, tanpa menyebut nama, tanpa menyerang balik:

“Saya tidak akan melawan kebisingan dengan kebisingan.
Saya memilih bekerja, bertumbuh, dan tetap waras.
Karena pada akhirnya, karakter adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dipalsukan selamanya.”

Ia menekan tombol “unggah”. Lalu ia mematikan ponsel.

Sekar menatapnya. “Kamu yakin?”

Jayeng tersenyum—senyum yang tidak lagi meminta persetujuan dunia. “Aku capek bernegosiasi dengan keraguan orang. Aku mau bernegosiasi dengan masa depanku.”

Sekar mengangguk. Di luar, hujan benar-benar berhenti. Jalanan basah memantulkan lampu-lampu kota, dan di antara pantulan itu, Jayeng merasa seperti melihat dirinya sendiri: pernah retak, tapi masih bisa memantulkan terang.

Sebelum mereka berpisah, Sekar berkata satu kalimat yang akan Jayeng ingat lebih lama daripada semua komentar jahat:

“Naik itu tidak selalu berarti sukses. Kadang naik berarti tetap berani jadi baik, di dunia yang gemar menertawakan kebaikan.”

Jayeng pulang tanpa membuka notifikasi. Ia tidak tahu apakah besok badai akan datang lagi. Tapi ia tahu satu hal:

Di ketinggian yang tepat, ia tidak perlu menang melawan siapa pun—cukup menang melawan dorongan untuk turun.

Dan kalau pun ada gagak yang masih berusaha menempel, biarlah.

Udara akan mengurus sisanya.

.

.

.

Malang, 14 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompas #KisahPerkotaan #KelasMenengahAtas #EtikaBisnis #Reputasi #Mentoring #KetahananMental #Karier #Pendidikan #NaikTanpaMelawan #NamakuBrandku

Leave a Reply