Utusan yang Tidak Pernah Pergi
“Hidup bukan tentang siapa yang paling hebat, tapi siapa yang paling sadar bahwa ia diutus untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.”
.
Jakarta, dini hari. Kota ini seperti sebuah orkestra yang tidak pernah berhenti bermain, namun sering kali lupa pada nada lirihnya. Lampu-lampu kendaraan berpendar seperti bintang yang jatuh ke aspal, menari di antara deru klakson dan bisik angin dari gedung-gedung pencakar langit. Di tengah semua gemerlap yang memaksa, ada sebuah gang kecil di Kebon Pala yang menolak terburu-buru. Di sana, sebuah rumah sepetak berdiri, catnya mengelupas, dindingnya lapuk, namun pohon kamboja tua di halamannya berbunga tanpa pernah absen.
Di rumah itu, Wiramenggala memulai setiap paginya dengan ritual yang sederhana. Ia duduk di bangku kayu reyot, memandang pohon kamboja, lalu berbisik nyaris tanpa suara, “Aku utusan. Hari ini juga.” Tidak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri—dan mungkin Tuhan. Baginya, menjadi utusan bukan status, bukan gelar, melainkan cara pandang. Setiap orang, ia percaya, diutus untuk sesuatu: membawa kebaikan, menyampaikan pelajaran, atau sekadar menyalakan secercah senyum di wajah orang lain.
Wira datang ke Jakarta dua puluh lima tahun lalu, meninggalkan tanah kelahirannya di Pamekasan. Ia pernah jadi kernet angkot, penjaga gudang, sampai tukang cuci piring di restoran yang kini tak lagi ada. Dari semua pekerjaan itu, satu hal yang tak berubah: ia selalu datang tepat waktu, menyelesaikan tugas sebelum diminta, dan pulang dengan rasa syukur yang tak pernah habis. Istrinya, Lintang, telah berpulang bertahun-tahun silam; sebuah foto berbingkai kayu di ruang tamu kecilnya menjadi saksi diam doa-doa Wira yang tak putus.
.
Senin yang Mengubah
Pagi itu, hujan baru saja reda. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu lobi hotel bintang lima tempat Wira bekerja. Jam menunjukkan pukul lima tiga puluh. Lobi hotel sudah seperti cermin raksasa, mengilap dan harum lemon eucalyptus. Wira berlutut, menghapus jejak sepatu basah hujan malam.
Seorang pria bule berjaket wol masuk, menyeret koper besar. Ia berhenti, menatap Wira, lalu berkata dengan logat yang jelas, “You’re the janitor, right?”
Wira mengangguk, mengusap keringat di pelipis.
“You know, your smile saved my morning.”
Ucapan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Wira tersenyum lebih lebar. Ia tidak membutuhkan validasi, tetapi ia tahu, di detik itu, tugasnya sebagai utusan sedang ia jalankan. Senyum, baginya, adalah salam paling jujur dari hati.
Dari meja resepsionis, Ratri memperhatikan. Sudah berbulan-bulan ia mengamati pria tua itu. Tidak pernah tampak lelah, tidak pernah marah. Ada sesuatu di cara Wira berjalan—tenang, seperti ombak yang tahu kapan harus memeluk pantai. Ratri sering heran: dari mana datangnya ketenangan seperti itu di kota yang membuat napas orang-orangnya pendek?
Malamnya, di rooftop hotel, angin menggoyang-goyang tirai langit. Ratri memberanikan diri. “Pak Wira, kenapa Bapak masih kerja? Usia Bapak kan sudah lewat 60.”
Wira menatap lampu-lampu kota yang membentuk garis-garis seperti aliran sungai cahaya. “Karena saya belum selesai.”
“Selesai apa, Pak?”
“Selesai jadi utusan. Saya belum merasa cukup membawa terang.”
Ratri tertegun. Kalimat itu menempel lebih lama dari iklan neon di gedung-gedung tinggi.
.
Listrik Padam, Hati Menyala
Minggu berikutnya, sebuah resepsi pernikahan digelar di ballroom. Lampu-lampu kristal berguguran cahaya, musik mengalun pelan, dan hidangan disusun rapi di atas meja panjang. Di balik panggung, Wira memeriksa kabel-kabel ekstensi dan memastikan jalur evakuasi tak terhalang dekorasi.
Tepat ketika pengantin berjalan masuk, listrik padam. Gelap menelan ballroom dalam sekejap—hanya tersisa gumam panik dan bunyi gelas yang saling bersentuhan. Beberapa tamu berteriak kecil; anak-anak menangis; sound system mengeluarkan suara mendesis seperti napas yang tertahan.
“Tenang, Ibu… kita nyalakan emergency light dulu,” suara Wira datar namun menenangkan. Ia bergerak sigap, menyalakan lampu darurat, mengarahkan petugas lain membuka tirai untuk meminjam cahaya dari luar. Ratri, yang tadinya kaku, mengikuti gerakannya.
Wira tahu persis letak panel kecil di sisi barat ruangan. Di sana, ia memeriksa MCB, memastikan generator siaga. “Pak Miko, ke ruang genset, ya. Tiga menit, kita hidupkan bertahap.”
Dalam kegelapan yang berangsur pudar, ballroom mendadak menjadi panggung teater. Pengantin berdiri saling menatap, diterangi cahaya ponsel-ponsel yang terangkat ke udara seperti kunang-kunang digital. Tiga menit terasa lama, tapi ketika generator menyala, tepuk tangan pecah. Musik kembali; bayi berhenti menangis; seorang nenek mengusap dada lega.
“Terima kasih, Pak,” kata Ratri sambil menahan napas. “Bapak seperti sudah latihan ribuan kali.”
Wira tertawa kecil. “Bukan latihan, Nduk. Ini saja: kalau semua orang panik, ada satu yang harus tetap waras.”
.
Kita Memang Berbeda
Di bar, Karna—bartender muda dari Sumba—sering merasa pekerjaannya sepele. Menuang minuman, membersihkan gelas. Sampai suatu malam Wira menepuk bahunya.
“Kau tahu, Karna? Minuman yang kau buat bisa jadi awal cerita. Dua orang yang tak saling kenal bisa jadi sahabat atau rekan bisnis karena kau. Jangan remehkan itu.”
Kalimat itu menancap. Karna mulai menyadari bahwa ia pun utusan, meski medianya hanya segelas koktail. Filosofi Po Do Jo Yo Nyo—meski berbeda, semua bisa berjaya—menjadi napas baru di dadanya. Ia belajar meracik minuman nonalkohol untuk tamu yang berpantang, menuangkan sirup markisa buatan sendiri yang ia pelajari dari video daring, dan memberi nama minuman itu “Senja di Sumba”.
Di pantry, Sulastri—cleaning service yang selalu diam—akhirnya berani mengusulkan pewangi kamar baru. Ia menyeduhkan sereh dan daun pandan menjadi rebusan, meneteskan beberapa tetes minyak kayu putih, lalu menyemprotkannya tipis ke tirai kamar sebelum tamu check-in. “Biar ada kesan pulang,” katanya. Ide sederhana, tetapi membuat banyak tamu menulis ulasan positif. Semua bermula dari rasa percaya diri yang Wira tularkan lewat contoh, bukan ceramah.
Umar, koki lini panas, pernah hampir menyerah saat diminta menyiapkan menu bebas gluten dan lactose-free untuk tamu konferensi kesehatan. “Saya takut salah, Pak,” ujarnya waktu itu.
“Takut itu wajar,” kata Wira. “Tapi takut itu bukan alasan untuk tidak belajar.” Mereka bersama-sama membaca daftar alergi tamu, menyiapkan papan potong terpisah, dan membersihkan peralatan sampai berkilau. Malamnya, Umar berdiri lama di depan wastafel, menatap bayangannya sendiri di permukaan stainless yang ia poles tanpa cela. “Ternyata bisa, ya,” gumamnya.
Di ruang satpam, Jamal memandangi layar CCTV seperti menatap laut. “Saya ini, Pak… sering dianggap cuma penjaga pintu.”
“Siapa bilang ‘cuma’?” Wira menatapnya. “Kau itu pagar pertama rasa aman orang. Tanpamu, senyum lobi bisa pudar karena cemas.” Jamal tak menjawab, tetapi sejak itu, sapanya di depan pintu selalu lebih duluan daripada jarum jam.
Do To So Wo Lo—kita memang berbeda. Dan itu baik-baik saja. Perbedaan bukan jurang, melainkan jembatan: ada yang meracik, ada yang mengepel, ada yang berjaga, ada yang tersenyum paling duluan. Semua bagian kecil yang membuat mesin besar bernama “hospitality” bergerak dengan mulus.
.
Merasa Diutus
Ada hari-hari ketika Wira capek. Lututnya protes, punggungnya seperti garis miring yang tak lagi bisa diluruskan. Pada hari-hari itu, ia berdiri lebih lama di depan foto Lintang.
“Tin, kau selalu bilang: hidup itu melayani sampai lega,” katanya pelan. “Hari ini aku mau coba lagi.”
Suatu sore, seorang tamu lansia tersesat di koridor. Ratri kebetulan melihatnya dan memanggil Wira. “Bapak, tolong ya.”
Wira berjalan mendekat, menyamakan tinggi badan dengan membungkuk sedikit. “Mau ke mana, Pak?”
Lelaki tua itu menunjukkan kunci kamar, tangannya gemetar. “Saya… lupa arah lift.”
“Tidak apa-apa. Kita jalan bareng. Pelan-pelan, ya.”
Mereka berjalan seperti dua sahabat lama yang tak pernah kehabisan bahan obrolan. Di depan pintu kamar, lelaki itu menyalami Wira. “Saya ini pensiunan guru,” katanya. “Tidak banyak orang muda yang sabar mengantar saya.”
“Saya juga guru,” jawab Wira.
Lelaki itu tercengang. “Guru?”
“Guru untuk diri saya sendiri. Supaya ingat bahwa setiap hari ada yang bisa saya pelajari.”
.
Memilih dan Menanggung
Suatu siang, manajemen mengumumkan rotasi besar-besaran. Beberapa staf akan dipindahkan ke cabang luar kota. Ada wajah-wajah gusar, ada bisik-bisik resah.
Wira duduk di bawah pohon ketapang di parkiran belakang, meneguk kopi dari termos. Karna menghampiri.
“Kalau saya menolak pindah, Pak?”
“Bisa saja. Tapi siap-siap stagnan. Kalau kau terima, kau akan meninggalkan zona nyaman, tapi kau juga akan tumbuh. Pilihan itu hakmu, tapi risikonya juga milikmu.”
Karna terdiam, menatap langit yang mulai berwarna tembaga. Malamnya, ia menulis surat pengunduran diri dari cabang Jakarta dan menerima penugasan ke Labuan Bajo. Beberapa bulan kemudian, ia mengirim surel ke Wira:
Terima kasih sudah membuat saya sadar, memilih itu bukan soal nekat atau tidak, tapi soal siap menerima apa pun yang datang sesudahnya. Senja di Sumba sekarang jadi minuman favorit di bar sini.
Wira membaca surel itu di warung kopi dekat rumah, menahan senyum yang tumpah ke seluruh wajah. Ia menatap jalanan yang ramai, merasa seperti melihat sungai yang terus mengalir tanpa lelah.
.
Ratri, Kamera, dan Cahaya
Ratri, yang semula hanya penjaga meja resepsionis, perlahan menjelma menjadi penjaga cerita. Ia meminjam kamera lama milik temannya, mulai merekam hal-hal kecil: cara Wira memoles kaca, cara Sulastri melipat sudut seprai hingga rapi seperti origami, cara Jamal menahan pintu agar tamu yang membawa stroller bisa lewat tanpa tersentak.
“Kenapa kamu rekam hal-hal sepele begitu?” tanya Wira suatu sore.
“Karena di situlah kebaikan tinggal, Pak,” jawab Ratri. “Kebaikan jarang berteriak.”
Malam hari, ia menyunting video itu di kamar kontrakan, headphone menutupi telinganya, kopi sachet jadi teman. Ia memberi judul Utusan yang Tak Pernah Pergi. Saat video itu diunggah, ia tak menyangka akan ditonton ratusan ribu kali. Kolom komentar penuh dengan kalimat-kalimat yang membuat dada sesak:
“Bapakku juga petugas kebersihan. Terima kasih, Pak Wira.”
“Ternyata kebahagiaan itu sesederhana dilihat dan dihargai.”
“Saya baru sadar: orang yang paling membantu hidup kita sering kali tidak kita kenal namanya.”
Ratri menangis sendirian malam itu. Bukan karena sedih, tetapi karena lega. Ia merasa sudah menemukan alasan untuk tetap bertahan di kota yang kadang pelit pelukan.
.
Krisis yang Mengajari
Wira pernah merasakan hari-hari yang pahit. Tahun-tahun krisis, saat ia kehilangan pekerjaan dan harus hidup dari uang pesangon yang entah bagaimana selalu lebih cepat habis dari rencana. Pada masa itu, Lintang berkata: “Kalau kamu tidak bisa memegang yang besar, peganglah yang kecil baik-baik.”
Ia memegang sapu. Ia memegang pel. Ia memegang jam masuk yang tak boleh keliru. Ia memegang pintu bagi tamu yang membawa koper. Ia memegang senyum.
“Yang kecil-kecil itu, Tin, ternyata tidak kecil,” gumamnya suatu malam di depan foto Lintang. “Karena yang kecil-kecil itulah yang membuat orang betah hidup.”
.
Pensiun yang Sunyi
Tiga bulan setelah Karna pindah, Wira pensiun. Tidak ada pesta. Tidak ada pidato. Tetapi semua orang di hotel merasakannya. Lobi terasa kosong; kamar-kamar seperti kehilangan sentuhan hangat. Aroma lemon eucalyptus tetap sama, tetapi ada sesuatu yang tak kasatmata ikut pergi bersama langkah Wira.
Ratri mengusulkan kepada manajemen untuk menanam pohon kamboja di halaman hotel, “Biar ada yang mengingatkan kita pada Pak Wira.” Pohon itu ditanam dalam sebuah upacara kecil. Sulastri menyelipkan secarik kertas di bawah tanah: Terima kasih, Pak, sudah mengajari kami melipat hati sebelum melipat seprai.
Wira menatap upacara itu dari kejauhan. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Ia pulang lebih dulu, lewat pintu belakang, menyusuri gang yang bau gorengan dan suara televisi dari rumah-rumah yang pintunya setengah terbuka.
Malam itu, ia menyiram pohon kamboja, menutup jendela, merapikan selimut, lalu duduk. “Aku utusan,” katanya sekali lagi. “Hari ini juga.”
.
Panggung yang Lebih Luas
Setahun kemudian, Wira diundang menjadi pembicara di konferensi hospitality. Ia datang dengan kemeja putih lusuh dan sandal kulit. Di atas panggung, ia tidak membawa slide atau catatan.
“Apa pun pekerjaanmu,” katanya perlahan, “kamu adalah utusan. Jangan datang hanya untuk gaji, tetapi datanglah untuk memberi makna.”
Hening. Lalu tepuk tangan panjang, disertai mata yang basah. Seorang peserta mendekat seusai acara, memeluknya tanpa kata. “Terima kasih, Pak,” ujarnya. “Saya akan pulang dan meminta maaf pada tim saya karena selama ini saya hanya mengejar target, lupa menyapa.”
Wira berjalan keluar gedung konferensi dengan langkah pelan. Di halte, ia menunggu bus kota, duduk di bangku besi yang dingin. Langit Jakarta sore itu seperti cermin kusam yang memantulkan wajah-wajah yang pernah ia temui: Karna, Sulastri, Jamal, Ratri, juga lelaki tua yang tersesat dan menemukan pintunya lagi.
“Ho No Co Ro Ko,” ia membatin. Ono utusan. Ada utusan. Hari itu, ia pulang tanpa kemeriahan, tetapi dengan hati yang anehnya lebih ringan dari biasanya.
.
Kamboja
Suara adzan subuh merayap lewat jendela. Di halaman, kamboja tua melepaskan satu bunganya. Wira bangun, membuat kopi, menatap uap tipis yang naik seperti doa kecil.
Telepon genggamnya bergetar. Pesan dari Karna: Pak, saya kirim foto bar baruku. Di rak paling atas, botol markisa dengan label kecil: “Untuk Wira.”
Pesan lain masuk dari Ratri: Pak, pohon kamboja hotel berbunga pertama kali. Saya kasih nama: Bunga Wira.
Wira tertawa pelan. “Jangan berlebihan,” gumamnya. Tetapi hatinya hangat seperti matahari yang baru naik dua jari di atas atap.
Ia duduk di bangku kayu, memandang jalan yang pelan-pelan terisi langkah orang berangkat kerja. “Kita semua utusan,” katanya. “Kadang kita diutus untuk hal besar. Lebih sering, kita diutus untuk hal-hal kecil yang nilainya baru terlihat ketika hari berganti malam.”
Ia berdiri, mengambil sapu. Meski sudah pensiun, halaman kecil tetap perlu dibersihkan. Sapu menyentuh tanah dengan bunyi lirih, seperti bisik pepohon yang berdoa. Seekor kucing kampung melintas, melingkarkan ekor di kakinya, seolah mengucap terima kasih yang tak perlu diterjemahkan.
Sebelum matahari sepenuhnya naik, Wira menatap kamboja dan—seperti setiap hari, seperti pertama kali dulu—berbisik:
“Aku utusan. Hari ini juga.”
.
.
.
Jember, 26 Agustus 2025
.
.
#UtusanKehidupan #CerpenKompasMinggu #CeritaPekerja #MaknaKerja #PituturJawa #HospitalityIndonesia #MotivasiHidup #CerpenIndonesia