Tri Wulan Terakhir
“Keinginan terbesar bukan selalu berwisata ke luar kota,
melainkan pulang ke dalam diri—mendamaikan yang pecah, merapikan yang tinggal.”
.
Q4 2025 di Jakarta yang pucat. Hujan sore jatuh seperti butiran nikel, menabuh kaca-kaca perkantoran Sudirman dengan ritme yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang terlalu sering menunggu: menunggu lampu hijau, menunggu promosi, menunggu pesan balasan, menunggu diri sendiri berani.
Di lantai tiga puluh satu sebuah gedung konferensi, Jaya Engrana menyusun slide terakhir untuk seminar perusahaan energi. Namanya melambung beberapa tahun terakhir sebagai Pembicara Publik dan penulis buku non-fiksi tentang kepemimpinan yang bersahaja. Orang mengenalnya dari panggung: tenang, jernih, kalimat-kalimatnya seperti gang kecil yang tiba-tiba membuka jalan pintas ke rumah. Tetapi di ruang green room yang dingin itu, ia masih tegang dengan cara yang cuma diketahui mereka yang hidup dari suara sendiri: apa kalimat pembuka hari ini akan menembus dinding kepala orang?
Ia mengetik pelan di layar: “Kita tidak butuh kata-kata yang lebih keras. Kita butuh kejujuran yang lebih pelan.” Lalu menghapusnya. Menulis lagi: “Keberanian bukan menantang badai, melainkan mengaku kita basah.” Menghapus lagi. Ragu-ragu adalah panggung yang tak pernah kosong.
“Mas Jaya,” suara manajernya menyela. Perempuan bersyal abu-abu dengan mata teduh itu bernama Wara Kelaswara. Dulu redaktur buku, kini mengelola jadwal panggung Jaya yang penuh persilangan: korporasi, pemerintah daerah, komunitas wirausaha, dan belakangan, kelas-kelas privat untuk eksekutif yang lelah tetapi tak bisa berhenti.
“Klien minta ada pengait ke target 2026,” kata Wara menatap gawai. “Mereka lagi gencar bicara soal wishlist karyawan. Katanya, satu persen ingin liburan, sembilan puluh sembilan persen ingin semua urusan dilancarkan.”
Jaya tersenyum tipis. “Semua orang ingin kelancaran. Lalu siapa yang menumbuhkan ketangguhan?”
Wara menatapnya lebih lama dari biasanya. “Mungkin kamu.”
.
Seminar itu berjalan mulus. Jaya memulai dengan sebuah cerita pendek: laki-laki yang selalu duduk di kursi dekat jendela sebuah kafe, memesan kopi yang sama saban sore, menatap kemacetan yang juga sama—hingga suatu hari ia memesan segelas air putih, lalu pulang lebih awal. “Hidup kadang tidak butuh opsi baru,” ucap Jaya ke mikrofon, “melainkan keputusan yang lebih jernih terhadap opsi yang ada.” Aula yang dingin itu beberapa kali hening, lalu hangat oleh tawa kecil yang menahan getir.
Sehabis panggung, Wara menyodorkan feedback form dari tim penyelenggara: 4,9/5. “Kamu menutup tahun dengan angka yang bagus,” katanya. “Kalau book tour Januari jadi, 2026 bisa meledak.”
“Kalau,” Jaya mengulang kata itu. “Kalau.”
Mereka turun bersama menuju parkir basement yang basah. Wara membuka payung, Jaya membiarkan hujan menyentuh rambutnya yang mulai beruban. Di sela langkah mereka, jarak yang sesekali rapat, sesekali renggang seperti orang yang pernah saling percaya, lalu memilih percaya seperlunya. Mereka dulu sempat mencoba berpacaran, mencoba menamai kedekatan yang lahir dari kerja. Namun jadwal, kota, dan luka lama membuat mereka kembali ke sebutan paling aman: rekanan. Di antara keduanya ada sesuatu yang tahan uji tapi juga rapuh seperti kaca jendela yang ditempel stiker logo sponsor.
“Mas,” Wara memulai lagi. “Kamu ingat Jayang—eh, maaf. Habit lama. Jaya.”
“Panggil juga tidak apa-apa,” Jaya tertawa. “Bahkan di rumah Ibu masih memanggilku Jaya kecil.”
Wara mendesah. “Aku cemas soal rencana akhir tahunmu.”
Jaya tahu yang dimaksud. Sudah beberapa bulan ia menunda pulang ke rumah ibunya di Sumenep. Ia menulis buku tentang kejujuran, namun menunda mengakui satu hal sederhana: ia takut melihat rumah yang dulu bising oleh suara bapaknya kini sunyi; takut duduk di kursi rotan yang pernah jadi tempat perdebatan panas tentang pilihan hidupnya; takut membuka lemari tua dan menemukan semua foto masa kecilnya masih tersimpan rapi, seolah waktu bersekongkol untuk menunggu ia menyerah.
“Desember aku pulang,” katanya, seperti janji yang terlalu sering diucapkan.
“Jangan hanya janji ke aku, Ja,” Wara menatapnya. “Janji ke dirimu.”
.
Di apartemennya di area Kuningan, Jaya menulis sampai lewat tengah malam. Buku berikutnya sudah disepakati penerbit: Menyusuri Diri, Menemukan Jalan. Ia meminjam struktur kota untuk membahas psikologi kerja: jalan protokol sebagai mimpi besar, gang sempit sebagai rutinitas kecil yang sering dilupakan, dan jembatan penyeberangan sebagai jeda yang menyelamatkan. Ia memasukkan satu bab berjudul “Triwulan Terakhir”—tentang keberanian menutup lingkar sebelum membuka lingkar baru.
Di bab itu, ia menuliskan kenangan: seorang ayah, seorang ibu, seorang anak. Ayahnya, tukang kayu yang selalu memahat persis ukuran pintu yang diminta, tidak pernah satu milimeter lebih, karena “ketepatan adalah hormat”. Ibunya, penjual kue basah yang sabar, selalu berkata “yang manis tak perlu diserukan, nanti orang mencarinya sendiri”.
Namun setiap kali tulisan menyentuh usia 17 tahun, jarinya melambat. Di usia itu, Jaya memutuskan ke Jakarta untuk kuliah, membiarkan kerja kayu ayahnya berkeringat sendiri, membiarkan dagangan ibu dititipkan ke tetangga. “Aku tidak pergi, Pak, Bu,” ia berkata di terminal bus berdebu. “Aku pulang dengan cara yang berbeda.” Tetapi siapa yang bisa menjamin cara itu tidak menjauhkan?
Di draft awal, bab “Triwulan Terakhir” ia biarkan gantung. Seperti dirinya.
.
November masuk melewati pintu kaca kantor-kantor seperti kabar yang diulang-ulang. Jaya diundang ke Surabaya, Bandung, Medan. Di tiap kota ia meminjam napas orang-orang yang datang: ada yang mencatat serius, ada yang tersenyum masam, ada yang menatap layar ponsel, ada yang diam lama sesudah sesi usai lalu berkata pelan, “Saya tidak harus menyelamatkan semua orang, kan, Mas?”
Pada suatu malam di Bandung, sesudah makan soto dekat Dago, Jaya menerima pesan dari nomor tak dikenal: “Ini Guna. Tolong jangan panik. Ibu di Jember dirawat. Pingsan di pasar tadi siang. Sudah sadar. Dokter minta keluarga datang besok pagi.” Guna Gunungsari adalah sepupu yang tinggal di desa sebelah, mengurus sawah kecil yang dulu ayahnya tanami padi.
Kereta pertama pagi itu penuh. Jaya berdiri sepanjang perjalanan, memeluk ransel, menatap kota-kota yang bergeser seperti slide presentasinya. Di Jember, hujan turun lebih tenang. Rumah sakit itu dingin dengan cara yang tidak mengancam. Ibu terbaring di ruang perawatan, pipinya pucat, matanya menyala begitu melihat Jaya. “Kamu telat sehari dari rencana pulangmu,” katanya, masih sempat bercanda.
“Minta maaf, Bu,” Jaya menggenggam tangan yang kurus itu. “Aku pulang.”
Ibu tertawa, batuk sedikit, lalu berkata, “Pulang itu tidak selalu alamat. Kadang pulang adalah cara kita memandang orang yang selama ini menunggu.”
Jaya bermalam di kursi panjang. Di sela dengung mesin dan langkah suster, ia membuka gawai, menulis catatan yang nanti akan menjadi paragraf pembuka bukunya: “Pada triwulan terakhir, kita tak lagi menawar: kepada siapa kita ingin setia, dan kepada apa kita ingin berhenti.” Ia kirimkan pesan singkat ke Wara: “Aku izin dua hari. Urusanku yang paling lama kutunda sudah tiba di meja.”
Wara membalas cepat: “Aku jaga panggungmu. Fokus. Kirim kabar Ibu.”
.
Desember bergeser seperti lampu-lampu kota yang tahu ke mana harus padam. Ibu pulang dari rumah sakit. Jaya tinggal seminggu di Jember, memindahkan tabel jadwal panggung, menolak beberapa tawaran akhir tahun. Wara kadang menelpon—soal kontrak book tour, soal cetak ulang buku yang lama, soal klien yang ingin pelatihan kepemimpinan tetapi menawar honor setengahnya.
“Ambil saja, War,” kata Jaya. “Ada kalimat yang ingin kubayar dengan waktu.”
“Aku catat,” jawab Wara. “Tapi kamu tahu konsekuensinya untuk targetmu 2026?”
“Aku tahu,” Jaya menarik napas. “Mungkin targetku harus diubah sedikit: dari ingin lebih banyak terlihat menjadi ingin lebih banyak benar.”
Pada malam jelang Natal, Jaya menemani ibu duduk di teras. Di depan, hujan menghapus batas antara halaman dan jalan. Ibu bercerita tentang pasar: tentang Bu Trin yang masih menawar terlalu cepat, tentang Surip yang diam-diam menyelipkan dua lemper untuknya tanpa mau dibayar, tentang uang listrik yang naik pelan-pelan seperti harga rindu. Lalu, seolah baru ingat, Ibu bertanya, “Kamu masih menulis buku itu?”
“Masih, Bu.”
“Kalau bisa, tulislah bab tentang memaafkan orang tua,” Ibu menatap hujan. “Kami tidak selalu benar, tapi kami selalu ingin kamu baik.”
Jaya mengangguk. Kata “memaafkan” terasa seperti pintu kayu yang ayahnya ukur bertahun-tahun lalu: pas di telinganya.
.
Tahun berganti dengan cara yang tak terhindarkan. Jakarta menyambutnya lagi dengan nada tinggi: rapat, undangan, reels yang perlu diunggah, podcast yang ingin mengundang, proposal pelatihan. Di kalender Jaya, Januari 2026 disusun rapi: konferensi di BSD, diskusi buku di mal Kemang, kelas privat di SCBD, book tour lima kota. “Ini tahunmu,” kata Wara di awal pertemuan mereka di sebuah kedai kopi yang pencahayaannya terlalu apik untuk harga espresso-nya.
“Aku ingin tahun ini jadi tahun membenahi,” Jaya berkata. “Bukan sekadar tahun meledak.”
Wara menatapnya, ada tawa singkat yang tidak mengejek. “Membenahi apa?”
“Caraku meminta maaf pada para pendengarku. Bertahun-tahun aku bicara tentang hidup yang tertata, padahal aku jarang menata laci-laci kecil: tidur cukup, makan pelan, mengantar ibu ke dokter tanpa memikirkan deadline tulisan.”
“Menata bukan berarti mengecil,” Wara meneguk kopi. “Kadang menata justru membuat kita lebih lapang.”
Jaya membuka ponsel, menunjukkan foto ibu yang tersenyum dengan kerudung yang dulu jarang dipakai. “Aku akan membawa Ibu ke Jakarta dua minggu sekali buat kontrol. Aku sudah cari apartemen sewa dekat rumah sakit.”
“Kamu serius?”
“Serius,” Jaya menatap Wara. “Targetku 2026: satu persen bisa liburan, sembilan puluh sembilan persen mempermudah urusan—tapi bukan hanya wishlist di dinding kantor. Ini daftar pekerjaan rumah di kepalaku.”
Wara terdiam. Untuk pertama kalinya setelah bertahun kerja bersama, ia merasakan sesuatu yang menjulur perlahan dari dalam dirinya: rasa lega. “Kamu tidak lagi membiarkan panggung jadi alasan.”
“Panggung tetap panggung,” Jaya tersenyum. “Tapi belakang panggung—itu yang kerap kita abaikan.”
.
Pekan-pekan awal 2026, Jakarta penuh poster motivasi. Perusahaan berlomba mengundang pembicara. Di antara nama-nama itu, Jaya tetap yang dicari. Namun di tiap panggung, ia mengubah kebiasaannya: memulai dengan jeda lima detik, menanyakan satu pertanyaan yang ia ulang di semua kota, “Siapa yang Anda buat lebih tenang hari ini?” Lalu ia bercerita tentang Ibu yang belanja lebih pelan, tentang kursi rotan yang tidak lagi menunggu jawaban, tentang hujan yang ternyata bisa membasuh, bukan hanya mengganggu perjalanan.
Di Surabaya, setelah sesi tanya jawab, seorang perempuan mendekatinya. “Nama saya Candra, saya editor di sebuah penerbit,” ucapnya. “Saya membaca draft Anda yang dikirim Wara. Bab ‘Triwulan Terakhir’—saya menangis di bagian pasar.”
Jaya tersipu. “Maaf kalau terlalu sentimental.”
“Tidak,” Candra menggeleng. “Justru karena Anda akhirnya menulis dari tempat yang Anda hindari.”
Perempuan itu berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Bolehkah saya mengusulkan sesuatu? Letakkan bab itu di awal buku. Biar pembaca tahu dari mana Anda bicara.”
Jaya memikirkannya malam itu juga di kamar hotel yang terlalu terang. Ia menghubungi Wara. Mereka menyusun ulang struktur buku lewat layar yang dibagi dua. Kalimat-kalimat yang pernah ragu kini duduk di halaman pembuka.
“Terima kasih,” Jaya menutup panggilan. “Kamu tahu, War, menulis buku non-fiksi tentang diri sendiri itu seperti menyeberang skywalk di atas jalan ramai: semua orang bisa melihat, tapi hanya kita yang tahu telapak kaki sedang gemetar.”
Wara tertawa. “Tugas editor menahan angin kencangmu.”
“Dan tugas penulis?”
“Menjaga langkah tetap jujur.”
.
Pada Maret yang panas, Ibu akhirnya setuju tinggal dua minggu di Jakarta. Ia menikmati pemandangan dari jendela apartemen: rel kereta, kubah masjid, deretan rooftop restoran. “Kota ini seperti wajan besar,” katanya sekali waktu, “yang menggoreng waktu terlalu panas.”
Di sela jadwal kontrol, Ibu minta diajak ke toko buku besar. “Aku ingin melihat anakku berdiri di rak buku non-fiksi,” ujarnya sambil tertawa malu. Mereka berjalan perlahan. Jaya memperhatikan cara Ibu menyentuh sampul bukunya, seolah memeriksa kualitas jahitan baju. “Bagus,” kata Ibu. “Tapi jangan lupa bikin buku tentang rindu.”
“Rindu apa, Bu?”
“Rindu yang tidak ingin cepat sampai.”
Kalimat itu menempel sampai malam. Jaya menuliskannya sebagai quote pembuka bab baru. Ia kirimkan ke Wara disertai catatan: “Sepertinya buku ini akan lebih pelan daripada rencana awal.” Wara membalas dengan satu kalimat: “Pelan yang membuat kita benar tidak pernah terlambat.”
.
Lalu datanglah Mei, dengan sertifikat kesehatan Ibu yang lebih baik, dan tawaran panggung yang lebih gencar. Jaya akhirnya berlibur tiga hari ke Borobudur—liburan satu persen yang ia janjikan. Ia mengajak Wara. Bukan sebagai rekan kerja, bukan juga sebagai kekasih. Mereka menyebutnya “bernapas di tempat yang masih bersuara meski kita diam.”
Di pelataran candi menjelang senja, Jaya bercerita tentang ayah: pernah menolak proyek besar karena diminta mengerjakan cepat dengan kayu yang lebih murah. “Ayahku bilang, ‘kalau pintu itu menutup malu, aku tak akan bisa tidur’.” Jaya menatap Wara. “Aku ingin 2026 jadi tahun di mana aku memesan kayu yang tepat untuk pintu hidupku.”
Wara menatap relief yang tusukannya menyimpan waktu. “Kalau sudah memilih kayu, kamu harus siap dengan serpihan yang jatuh saat dipahat.”
“Serpihan itu bukti kerja.”
Mereka tertawa pelan. Angin menabur dedaunan. Nama-nama lama dari kisah-kisah yang mereka sukai melintas: orang-orang yang berkelana, yang melawan, yang pulang. Jaya teringat sebutan yang dulu Ibu pakai saat membacakannya dongeng: orang-orang yang melihara sabar seperti menanak nasi—tidak mungkin terburu-buru kalau ingin matang.
.
Pada akhir tahun—kita melompat dengan cara yang tetap—buku Jaya terbit. Menyusuri Diri, Menemukan Jalan masuk daftar jual cepat. Namun yang membuatnya bahagia bukan angka, melainkan wajah ibu saat memegang buku itu dan berkata, “Akhirnya kamu berani menulis tentang yang paling dekat.” Ia menandatangani satu buku khusus untuk Wara dengan kalimat yang ia tahu terlalu sederhana: “Beberapa orang tidak bertanya arah. Mereka berdiri di persimpangan dan memastikan lampu-lampu tetap menyala.”
Di panggung penutupan book tour di Jakarta, Jaya memulai dengan mengutip sesuatu yang kerap ia ucapkan untuk dirinya sendiri, kini ia bagikan ke hadirin:
“Kebahagiaan itu bukan tempat kita tiba, melainkan cara kita berjalan—membawa bekal secukupnya, berhenti ketika lelah, dan tetap memuliakan yang menunggu.”
Malam itu, sebelum lampu panggung padam, ia menutup dengan cerita pasar: Bu Trin yang kini tidak lagi menawar terlalu cepat, Surip yang tetap menyelipkan lemper, dan Ibu yang diam-diam berdoa agar anaknya tidak hanya pandai merangkai kalimat, tetapi juga pandai merapikan hati. Tepuk tangan datang dengan cara yang masuk akal: tidak meledak terlalu keras, tidak juga kurang. Cukup untuk membuat dada Jaya lapang.
Di belakang panggung, Wara menunggu dengan mata yang berkabut. “Mas,” katanya pelan, “selamat untuk tahun membenahi.”
Jaya mengangguk. “Aku masih punya sisa yang harus dikerjakan.”
“Semua orang punya,” Wara tersenyum. “Tapi tidak semua orang berani mengakuinya.”
Jaya memandang ke kursi kosong, ke mikrofon yang baru saja dimatikan, ke layar yang menyisakan bayang slide. Di luar, Jakarta terus menawar bunyi. Di dalam, ia tahu, hidup yang baik tidak selalu lebih ramai. Kadang ia justru lebih tegas, seperti pintu kayu yang pas di lubangnya, menutup rapat dari angin yang tidak perlu, dan membuka lebar untuk mereka yang pulang.
.
Catatan yang Ditinggal di Meja Kerja
Pada awal Desember 2026, Jaya menulis selembar catatan dan menempelkannya di dinding kantor kecilnya:
-
“Panggung bukan rumah. Rumah adalah orang yang berani kita temui ketika lampu padam.”
-
“Menata jadwal adalah menata rasa bersalah.”
-
“Jeda bukan kemunduran. Jeda adalah belokan.”
-
“Satu persen liburan cukup; sembilan puluh sembilan persen mempermudah urusan: mulai dari diri sendiri.”
Ia tersenyum. Tahun itu, tanpa terlalu sengaja, ia belajar bahwa wishlist bukan daftar yang menunggu keajaiban. Wishlist adalah peta kerja harian: menelpon Ibu, membalas pesan sahabat, menolak panggung yang membuat lari-lari, membayar utang kata-kata pada pembaca, dan mengakui kepada Wara—suatu sore di Taman Literasi—bahwa mungkin, pelan-pelan, ia ingin membangun rumah di kota yang sama, dengan seseorang yang mau menata buku di rak yang sama. Wara tidak menjawab apa-apa. Ia hanya merapikan kertas catatan Jaya dan menyelipkannya ke halaman pertama buku terbitan terbaru.
“Biar tidak tercecer,” katanya.
“Biar tidak lupa,” balas Jaya.
Senja menutup atap kota. Dari kejauhan, suara kereta bertalu. Di tempat lain, pasar menutup lapak. Di tempat yang lebih rahasia lagi, hati-hati orang dewasa mencari cara untuk tetap pulang tanpa kehilangan hormat pada yang pernah mereka tinggalkan. Jaya menutup hari dengan doa kecil: semoga tahun berikutnya, tidak perlu banyak panggung agar kalimat-kalimatnya sampai; cukup meja makan, satu kursi tambahan, dan tawa yang tidak buru-buru.
Dan—dengan cara yang tidak dramatis tapi penting—ia tahu, triwulan terakhir hidupnya tidak lagi terasa seperti ujung. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan: kota dan kampung, panggung dan dapur, kata-kata dan kelapangan.
.
Jember, 30 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #KisahUrban #PembicaraPublik #PenulisNonfiksi #TriwulanTerakhir #Wishlist2026 #SelfLeadership #JakartaStories #LiterasiEmosional
.
Quotes pilihan
-
“Keberanian bukan menantang badai, melainkan mengaku kita basah.”
-
“Panggung bukan rumah; rumah adalah orang yang berani kita temui ketika lampu padam.”
-
“Menata jadwal adalah menata rasa bersalah.”
-
“Rindu yang baik tidak ingin cepat sampai.”
-
“Ketepatan adalah hormat—seperti pintu kayu yang pas di lubangnya.”