Topeng di Rak, Hati di Meja

“Yang kuat bukan yang tak pernah runtuh,
melainkan yang berani melihat luka, menamai rasa,
lalu berjalan lagi—pelan, dengan hati yang utuh.”

.

Jakarta, pagi yang menguap pelan dari kaca jendela apartemen. Langit abu-abu seperti lembar kerja yang belum selesai dikoreksi. Di meja makan, aroma roti panggang bercampur suara notifikasi. Di rumah itu, segala hal berjalan cepat—kecuali hati.

Jaya Jayengrana, lelaki dengan kemeja putih yang tak pernah benar-benar bebas dari lipatan ambisi, menatap bayangannya di cermin lift. Sejak dulu, ia percaya bahwa hidup adalah soal menaklukkan target, bukan menamai rasa. Tapi pagi ini, sesuatu terasa ganjil. Matanya lelah bukan karena kurang tidur, melainkan karena terlalu lama menahan diri untuk tidak menangis.

Di dapur, Ning Adaninggar mengaduk kopi sambil menatap dua anak mereka—Retna dan Goso—yang bersiap ke sekolah. Ia tahu, di balik keceriaan itu, ada pertempuran kecil yang tak terlihat: antara tekanan prestasi, emosi yang belum selesai, dan ekspektasi orang dewasa yang kadang lupa caranya bernapas.

“Bunda, hari ini aku presentasi tentang self-awareness,” kata Retna, tanpa menoleh dari jam tangannya.
“Bagus,” jawab Ning lembut. “Ingat, kadang yang paling sulit bukan memahami pelajaran, tapi memahami diri sendiri.”

Jaya tersenyum miris. “Hati-hati, dunia luar itu kejam.”
“Justru karena itu,” balas Ning, menatapnya dalam, “kita perlu mengajarkan anak-anak menaruh hatinya di meja—bukan menyimpannya di balik topeng.”

Sejak pagi itu, rumah mereka perlahan belajar menjadi ruang latihan: tempat di mana topeng-topeng dikembalikan ke rak, dan manusia mencoba menatap dirinya sendiri tanpa takut. Di tengah hiruk pikuk kota yang menuntut kemenangan, keluarga kecil itu mulai memahami—bahwa kekuatan sejati bukanlah siapa yang paling cepat menaklukkan dunia, melainkan siapa yang paling tulus merawat hatinya tetap hidup.

.

Rumah yang Belajar Bernapas

SMA tempat Retna belajar baru saja memenangkan penghargaan atas kurikulum Social-Emotional Learning (SEL). Aula sekolah dipenuhi warna pastel dan poster bertuliskan: “Namaiku, Rasaku, Keputusanku.” Di panggung, guru konselor bernama Umarmaya—akrab disapa Maya—membuka sesi dengan suara yang menenangkan.

“Pernahkah kalian merasa jenuh sampai diam-diam menyalahkan semua orang?” tanyanya. “SEL bukan obat ajaib. Ini peta. Yang berjalan tetap kalian.”

Retna duduk di baris ketiga. Tangannya menggenggam cue card presentasi: “Hari di Mana Aku Berhenti Menyalahkan Waktu.”

Di grup percakapan orang tua, beberapa orang, termasuk Jaya, sempat mempertanyakan manfaat SEL. “Apakah ini tidak membuat anak-anak jadi lembek?” tulis seseorang. Tapi kakeknya, Wasesa, membalas lembut:
“Aja dumeh pinter, lali rumangsa. Wong gumregah ora kudu banter, sing penting kendel lan kendel. Ngerti dhiri dudu kelemahane.”
Jangan mentang-mentang pintar, lupa merasa. Bergerak tak harus cepat, yang penting mantap. Mengerti diri bukan kelemahan.

Retna menatap cermin kecil di sakunya. Wajahnya seperti topeng yang menunggu dipahat.

.

Dunia Orang Dewasa yang Tak Lagi Lembut

Jaya berjalan ke ruang rapat dengan langkah penuh tujuan. Ia direktur pemasaran di perusahaan teknologi pendidikan. Hari ini ada presentasi penting tentang modul microlearning. Tapi HR sudah lebih dulu memanggilnya.

“Divisi B2B akan digabung. Ada penghematan,” kata HR. Kata-kata itu terdengar halus tapi meninggalkan luka. Transition package. Outplacement support. Bahasa yang lembut, tapi maknanya jelas: dipangkas.

Dalam perjalanan pulang, Jaya teringat masa kecilnya di Kediri. Ayahnya, seorang guru, selalu berkata, “Yang penting, Nak, berani mengaku tidak paham.” Tapi di dunia korporat, mengaku tidak tahu sering dianggap lemah. Ia menatap cermin mobilnya sendiri—dan yang ia lihat bukan pria sukses, melainkan manusia yang lupa bagaimana rasanya lelah dengan tenang.

.

Anak-Anak yang Mengajarkan Orang Dewasa

Hari presentasi tiba. Di depan auditorium, Retna melangkah ke panggung.

“Aku pernah memaksa diri untuk selalu berprestasi,” katanya. “Sampai suatu pagi, aku sadar: aku tidak pernah benar-benar hadir saat tertawa. Aku takut salah. Aku takut mengecewakan.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
“Dengan self-management, aku belajar menata waktu. Aku menulis, tidur cukup, berjalan kaki sepuluh menit saat marah. Aku juga belajar relationship skills: mengirim pesan jujur saat tak sanggup datang. Aku minta maaf. Aku menerima maaf.”

Lalu ia menutup dengan kalimat:

“Kita tidak bisa memilih badai, tapi kita bisa memilih cara menutup jendela. Kadang, membiarkan sedikit terbuka agar kita ingat—udara segar masih ada.”

Aula hening, lalu tepuk tangan meledak. Ning merekam secukupnya, bukan untuk pamer, tapi untuk mengingat.

.

Takut yang Diakui, Luka yang Dikelola

Sore harinya, Jaya menerima surat resmi pemutusan kerja. Ia memandangi jendela kota yang bersinar tanpa hati. Pulang ke rumah, ia melihat Goso—anak bungsunya—sedang latihan sepak bola di ruang tamu.

“Kenapa mau jadi bek, bukan penyerang?” tanya Jaya.
“Karena pelatih bilang tim butuh penjaga,” jawab Goso polos.

Jaya terdiam. Kata “penjaga” menggema di kepalanya. Mungkin selama ini ia terlalu sibuk menyerang, lupa menjaga.

Ning datang membawa teh. “Aku dengar dari Maya, presentasi Retna luar biasa.”
Jaya menjawab pelan, “Aku takut, Ning. Takut jadi gagal.”
“Takut itu data,” kata Ning. “Pertanyaannya, apa keputusanmu setelah membaca data itu?”

Malam itu, mereka membuat lingkaran di kertas kosong. Di tengahnya, Ning menulis kata rumah, dan di sekitarnya lima nilai SEL: self-awareness, self-management, social awareness, relationship skills, dan responsible decision-making.

“Mulai dari sini,” katanya. “Kita belajar menaruh hati di meja.”

.

Menjadi Orang Tua yang Belajar Ulang

Seminggu kemudian, sekolah mengadakan forum orang tua: SEL—Lembutkan atau Kuatkan?
Seorang ayah protes, “Kalau setiap emosi dibahas, kapan anak-anak belajar tabah?”

Maya tersenyum. “SEL tidak mengganti ketabahan, tapi mengajarkan ketabahan yang cerdas. Grit tanpa arah bisa jadi keras kepala. Empati tanpa batas bisa jadi lelah. SEL mengajarkan keseimbangan.”

Jaya mengangkat tangan.
“Saya kehilangan pekerjaan minggu lalu. Tapi malam itu, anak saya mengajari saya menamai rasa takut. Saya menulis tiga hal yang bisa saya lakukan. Dan pagi ini saya menerima panggilan kerja sama baru. Mungkin SEL bukan payung, tapi cara menutup jendela tanpa memaki hujan.”

Aula sepi, lalu tepuk tangan pecah seperti hujan yang akhirnya jatuh.

.

Rumah yang Tumbuh dari Dalam Dada

Hari-hari berikutnya, Jaya dan Ning memulai program kecil: “Rumah di Dalam Dada”—modul pelatihan SEL untuk orang tua dan karyawan.
Isinya sederhana: check-in emosi 90 detik, teknik STOP (Stop, Take a breath, Observe, Proceed), jurnal rasa, dan ritual makan tanpa gawai.

Retna ikut membantu mengajar siswa SMP dengan kelas bertema Membaca Napas, Menulis Batas.
Sementara Goso membuat sesi mini: “Mengelola Emosi Saat Penalti.”

Rumah itu kini berbeda. Ada kartu “perasaan” di meja makan. Setiap malam, mereka check-out: “Hari ini aku merasa… karena…”
Kadang kikuk, kadang tawa pecah. Tapi tembok rumah mulai memantulkan kehangatan yang dulunya hilang.

.

Wejangan Topeng dari Malang

Saat kakek Wasesa datang berkunjung, ia membawa tiga topeng Menak Malangan: Jayengrana, Adaninggar, dan Umarmaya.

“Topeng ini bukan untuk menipu,” katanya. “Ia mengajarkan jarak antara rasa dan diri. Saat marah, pakai topeng, lihat marah menari sebentar. Habis itu, simpan. Supaya kita ingat—yang menari bukan kita.”

Jaya menggenggam topeng Jayengrana. “Dulu Ayah pikir kuat itu tak pernah mengakui kalut.”
Kuwat iku sing gelem nyebut jeneng angin sing nyurung,” kata Wasesa. Kuat adalah yang berani menyebut nama angin yang mendorong.

Retna menatap topeng Adaninggar. “Kalau topeng ini bicara, ia akan bilang: jangan lari dari cermin.”
Dan Goso, memakai topeng Umarmaya, menirukan gaya guru sekolahnya sampai semua tertawa.

Malam itu mereka sepakat: topeng di rak, hati di meja. Artinya, di rumah ini, kita boleh punya strategi agar aman, tapi kita belajar jujur kepada diri sendiri.

.

Ketika Rumah Menjadi Kurikulum Pertama

Sekolah mengundang mereka untuk membuat film pendek: Kisah Praktik SEL di Rumah.
Ning menjadi sutradara, Jaya narator, Retna penulis naskah, dan Goso pemeran utama kecil.

Dalam video, mereka menampilkan rutinitas sederhana: makan malam tanpa gawai, latihan napas sebelum pertandingan, sesi check-in pagi.
Narasi Jaya tenang dan jujur:

“Kami bukan keluarga sempurna. Kami hanya manusia yang belajar menamai rasa, agar keputusan kami bukan pelarian, melainkan perjalanan.”

Film pendek itu ditayangkan di acara sekolah. Seorang ibu menulis di kolom komentar: ‘Saya baru berani bilang pada anak saya—ibu sedang sedih, ibu butuh lima menit.’
Dan Maya, guru mereka, menulis balasan:

“Kalian membuktikan bahwa rumah adalah kurikulum pertama.”

.

Gol yang Datang dari Tenang

Minggu berikutnya, lapangan sekolah ramai oleh festival SEL. Ada tenda, poster, dan musik anak-anak. Retna mengelola stan “Ruang Napas”—tempat siapa pun bisa menulis perasaannya tanpa dihakimi.

Jaya mempresentasikan “Rumah di Dalam Dada” kepada tiga perusahaan yang tertarik menerapkan program keseimbangan emosi di tempat kerja. Ia berbicara tanpa naskah, dengan ketenangan yang baru:
“SEL bukan curhat korporat. Ini sistem kecil untuk menjaga manusia tetap utuh di tengah ambisi.”

Sementara itu, Goso memasuki final turnamen sepak bola. Hujan mulai turun, udara berat. Ia berdiri di depan penalti.
Sebelum menendang, ia mengingat latihan: hadir, bernapas, selesai.
Tendangannya menembus jaring. Sorak-sorai memecah langit. Tapi yang paling berarti bukan gol itu—melainkan ketenangan yang mengiringinya.

.

Belajar dari Jeda

Malam terakhir sebelum libur panjang, keluarga itu kembali ke balkon. Lampu kota seperti laut cahaya. Di rak belakang, tiga topeng kayu menatap mereka dalam diam.

“Bagaimana rasanya jadi bek, Gos?” tanya Jaya.
“Kadang capek, tapi aku suka. Penjaga itu memastikan semua bisa bermain tanpa takut.”

Retna menyandarkan kepala di bahu ibunya. “Aku belajar bahwa self-awareness seperti menyalakan lampu di kamar lama. Ada debu, tapi juga buku yang hampir kita lupakan.”

Jaya tersenyum. “Ayah dulu pikir tugas orang tua adalah mencetak pemenang. Sekarang Ayah tahu, tugas Ayah adalah menyertai manusia yang sedang tumbuh. Agar ketika menang, mereka tak kehilangan diri. Dan ketika kalah, mereka tak kehilangan arah.”

Ning menggenggam tangannya. “Rumah itu bukan tempat tanpa masalah. Rumah itu tempat kita kembali memeriksa kompas.”

Hening malam itu bukan hampa—ia penuh. Seperti jeda dalam musik yang membuat nada berikutnya terasa benar.

Jakarta tak lagi terdengar seperti kota yang berteriak. Ia terdengar seperti kota yang belajar bernapas. Di salah satu sudutnya, keluarga kecil ini menemukan keseimbangan: topeng di rak, hati di meja.

.

.

.

Malang, 3 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#SEL #KeluargaUrban #PendidikanKarakter #SelfAwareness #EmotionalLearning #IndonesiaMenulis #KompasMingguStyle

.

Quotes Tambahan

  • “Takut adalah data. Keputusan adalah kita.”

  • “Kita tak bisa memilih badai, tapi kita bisa memilih cara menutup jendela.”

  • “Rumah adalah kurikulum pertama.”
  • “Self-awareness adalah menyalakan lampu di kamar yang sudah lama kita tinggalkan.”

Leave a Reply