Tongkat

“Yang menuntunmu saat gelap bukan untuk diarak ketika terang; cukup dikenang dalam diam, sebagai alas langkahmu yang tak lagi terpeleset.”

.

Aku mengenal Jayan pertama kali di sudut kota yang terlalu terang untuk menampung rahasia. Lampu-lampu kafe di Jalan Trunojoyo seperti meneteskan gula di atas malam: lembut, licin, dan berbahaya kalau kau sedang belajar berhenti. Di meja kami, uap kopi arabika bertubrukan dengan aroma hujan sore yang baru saja pamit. Di kepala Jayan, badai tak pernah benar-benar pergi.

“Kadang aku merasa Jakarta itu punya jam pasir sendiri,” katanya waktu itu. “Di sini, yang jatuh bisa balik berdiri, tapi waktunya terbalik. Kita menua dulu, baru belajar.”

Aku tertawa, mengerling pada jam dinding kafe yang selalu berhenti di pukul tujuh lewat dua. Barista bilang itu jam pertama kali tempat ini buka. Aku pikir itu jam yang dipilih Jayan untuk mengulang hidupnya.

Dia baru keluar dari masa yang oleh orang kantoran disebut “perampingan”—istilah halus dari patah—ketika perusahaannya, yang dibangun bersama dua sahabat SMA, diambil alih investor yang dulu mengundangnya berbuka puasa. Dari kantor berpanel kayu dan sofa biru elektrik, Jayan pulang berdiri, tanpa kursi, tanpa kartu akses. Kami bertemu seminggu setelahnya, di kafe ini, ketika malam kota sedang menguji jarak tempuh kesabaran.

“Kalau semua orang menyuruhmu move on,” kataku, “aku akan memintamu duduk dulu.”

Jayan menatapku lama, seakan ada jalan raya yang ia tandai dari pupil ke pupilku. Barangkali ia sedang menghitung jarak antara runtuh dan memulai. Barangkali ia sedang mengukur aku.

Namaku Adaninggar. Orang sering mengira namaku berat seperti nama panggung wayang yang ditarik oleh sejarah. Padahal aku hanya seorang konsultan komunikasi yang belajar menenun kata di antara dua jurang: kebenaran dan keindahan. Klienku datang dari hotel, rumah sakit, buku masak, hingga yayasan pendidikan yang setiap bulan mengadakan donor darah. Aku bekerja dengan jam rapat yang selalu penuh dan hati yang berusaha tetap kosong agar bisa memuat banyak orang.

Jayan datang kepadaku sebagai tetamu pertama di ruang tamu rumah kontrakan di Menteng Atas yang cat temboknya digigiti waktu. Ia meminta bantuanku menata ulang presentasi: rencana membangun platform distribusi untuk UMKM fesyen yang kesulitan menembus marketplace. “Aku ingin memotong kebisingan,” katanya. “Seperti nadi yang akhirnya menemukan ritmenya.”

Aku mengangguk. Di punggung tangannya ada luka tipis, bekas memindahkan rak buku ketika ia meninggalkan kantor lamanya. Selebihnya, yang kulihat adalah dua hal yang tak pernah berjalan bersama: lelah dan cahaya.

.

Malam-malam di kota seperti ini menjelma deretan sirine yang rapi. Ada Umar, sahabat Jayan sejak masa kuliah di Bandung, yang sekarang mengelola studio desain interior; ada Madi, yang membuka roastery kecil di Tebet samping toko kacamata tua; ada Retna, manajer PR sebuah hotel di bilangan Sudirman yang sedang mengejar kampanye “local soul, global service”; ada juga aku, Adaninggar, yang belajar menahan pertanyaan: apakah menolong selalu berarti menunggu imbalan? Apakah peduli selalu mengandung janji?

Jayan memulai lagi. Dalam tiga bulan, platform yang ia rancang, “Jinjing,” lahir seperti bayi yang dicekik asap rokok pertama—batuk, mata memerah, tapi membuka mata juga. Umar menyediakan studio sebagai tempat foto produk; Madi mengajari Jayan membedakan jenis light roast dan dark roast seolah membedakan pagi dan malam; Retna mengenalkannya pada dua jurnalis gaya hidup; aku menulis narasi brand, menyusun angle liputan, dan mengatur sesi coaching dengan tiga pemilik butik rumahan yang terengah di ujung modalnya.

“Kau seperti tongkat,” kata Jayan suatu malam, di rooftop sebuah gedung perkantoran yang menatap Bundaran HI. “Yang membuat orang bisa berjalan ketika kakinya sendiri sedang belajar.”

Aku menatap jalanan. Di bawah, mobil-mobil bergerak seperti makhluk purba yang disulap lampu. “Tongkat mengajarkan tubuh mengingat keseimbangan,” jawabku. “Tapi ia tak pernah memaksa badan melupakan sayap.”

Jayan tersenyum. Udara di ketinggian seperti membawa pulang suara-suara yang kita kira sudah kita buang. Ia menoleh, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam dari minta maaf atau terima kasih. Tetapi teleponnya berdering—nomor seorang investor yang baru ia kenal pekan lalu, yang mau menanam modal tahap awal. Dalam sepuluh menit, Jayan mengangguk berkali-kali, mengucap “baik”, “siap”, “setuju,” dengan nada yang membuat lampu-lampu kota tiba-tiba seperti bintang yang memutuskan turun.

Di detik itulah, tanpa sadar, aku melihat jam pasir di balik matanya mulai berputar ke arah yang biasa.

.

Presentasi pertama Jayan di hadapan investor berlangsung di ruang rapat hotel tempat Retna bekerja. Karpetnya motif krem dengan relief gelombang, lampu-lampu downlight memanjang seperti doa yang ditulis dengan pensil 2B. Umar menyiapkan mockup booth untuk program pop-up store yang akan digelar di beberapa mal; Madi membawa termos kopi panas untuk membantu Jayan merapikan degup; aku berdiri di belakang, mengingatkan Jayan menghela napas sebelum slide ketiga, menegakkan bahu saat ia mulai berbisik.

“Kita bukan hanya menambah toko,” kata Jayan membuka presentasi, “kita membangun jalur pulang dari pabrik ke perayaan.” Di slide berikutnya muncul angka-angka: margin produksi, biaya shipping, return rate, cost of acquisition, lifetime value. Jayan menyusun logikanya seperti orang yang menulis surat pada dirinya sendiri.

Sebelum presentasi berakhir, investor itu, lelaki paruh baya yang memasukkan kunci mobil ke dalam saku seperti menyembunyikan komitmen, berkata, “Saya tertarik. Tapi saya ingin anda fokus pada segmentasi menengah ke atas saja. Produk premium. Jangan buang waktu di UMKM yang masih bingung packaging. Kita bangun kurasi. Kita pilih yang sudah jadi. Disrupsi itu juga disiplin.”

Jayan mengangguk. Ada jeda di sana, sependek helaian rambut, sebesar satu kota. Malam itu, saat kami makan di warung tenda yang menjual soto betawi dekat flyover, Jayan diam sepanjang piringnya mendingin. Ketika ia bicara, aku tahu satu musim telah bergeser.

“Aku paham kenapa ia bilang begitu,” katanya. “Kurasi adalah jalan cepat. Tapi aku memulai ini karena ingin menampung yang tidak punya ruang.”

Aku menatapnya. Ia memesan teh tawar. “Kadang kita harus memilih jalan yang bisa kita bayari dengan darah kita sendiri,” ujarku. “Yang penting, jangan lupa dari mana jalan itu berangkat.”

Jayan mengangguk. Tetapi sejak malam itu, rapat-rapatnya semakin sering diadakan di tempat-tempat yang membungkus kata “prioritas” dengan kain bernama “efisiensi”. Ia mulai jarang membalas pesan di grup kami, mulai memilih datang terlambat ke pop-up store yang diorganisir Umar, mulai absen di kelas pelatihan packaging yang difasilitasi Madi untuk peserta baru. Retna tetap menautkan Jayan dengan media-media yang lebih besar, sampai suatu hari ia mengirim pesan pendek kepadaku: “Dia sedang naik. Pegang topimu.”

Aku menulis di buku catatanku: “Mengingatkan diri: tongkat yang baik tahu kapan berhenti menyodorkan ujungnya.”

.

Aku tak pernah menghitung berapa malam yang kulewati menunggu presentasi selesai, menunggu rencana diralat, menunggu Jayan belajar memuji dirinya sendiri tanpa merendahkan orang lain. Aku belajar menyusun ulang folder-folder di laptopku: “Pitch Jinjing v1,” “Pitch Jinjing v2,” “Investor Q3,” “Investor Q4—fast lane,” “PR angle—curated premium.” Di file yang sama, aku menuliskan catatan: “Narasi bukan hanya merapikan kata; ia menyalakan lampu di lorong yang takut.”

Suatu hari, Jayan muncul di kantorku dengan mata yang terlalu terang untuk siang. “Kita masuk headline,” katanya seraya menyodorkan ponselnya. Di layar, sebuah portal berita gaya hidup menulis: “Jinjing, Kurasi Fesyen Kelas Menengah Baru yang Tahu Apa yang Mereka Mau.”

Aku membaca pelan. Retna menandai artikelnya—pemberitaan bagus, angle mulus, foto-foto bersih. Ada satu kalimat yang membuatku, entah mengapa, menarik napas lebih dalam: “Kami percaya pasar premium butuh pintu khusus; kami menyediakan kuncinya.” Kata “kami” di situ seperti ruangan luas yang tanpa sengaja menghapus posisi kami semua, yang dulu menambal dinding ketika rumah ini belum punya jendela.

Aku tersenyum. “Selamat,” kataku. “Kita—kau—sudah sejauh ini.”

Jayan mengangguk. “Aku ingin mengundangmu ke peluncuran flagship store,” katanya. “Akhir bulan. Semua investor akan hadir. Aku juga ingin minta maaf kalau belakangan ini…”

“Tak perlu,” potongku. “Orang yang membelah badai memang harus mengabaikan tepian sementara.”

Ia menatapku, lama. “Kau baik,” ujarnya.

“Aku sehat,” jawabku. “Itu beda.”

.

Peluncuran flagship store Jinjing diselenggarakan di sebuah mal baru di kawasan Senopati. Lantai marmernya memantulkan langkah-langkah yang percaya diri; kaca-kaca etalase mengilapkan penolakan. Umar berdiri di ujung ruangan, melihat instalasi display yang bukan rancangannya; Madi menenteng dua thermos, tapi coffee corner diganti oleh mesin kapsul berkilat; Retna mengatur red carpet, memasang media wall, dan menyembunyikan lelah di balik lipstik yang akan tetap merah bahkan saat senja kehabisan suara.

Jayan tampil dalam setelan abu-abu tipis. Ia berpidato singkat: “Jinjing adalah cara kita merayakan kepastian pilihan,” ujarnya. “Bukan hanya brand, tapi cara berjalan.” Tepuk tangan menyusul, lensa kamera mengejar. Di sudut ruangan, ada tiga perempuan pemilik butik kecil yang pernah ikut kelas packaging yang difasilitasi Madi; mereka berdiri agak jauh, memegang undangan VIP yang diberikan Retna dengan penuh harap.

Seusai acara, Jayan mendatangiku. Di tangan kirinya, ponsel terus bergetar. “Ning,” ia memanggilku begitu, memendekkan Adaninggar seolah mendekatkan jarak. “Terima kasih untuk semua. Aku tahu tanpa kamu, slide ketiga itu tak akan setenang itu.”

Aku mengangguk. “Kamu berjalan,” kataku. “Itu sudah cukup.”

“Dan kamu…” Ia menatapku, mencari kata yang aman. “…akan tetap di sekitar?”

Aku tertawa pelan. “Di kota ini, ‘sekitar’ punya dua arti,” kataku. “Fisik dan perasaan. Yang kedua lebih luas, tidak macet.”

Ia menunduk, lalu merangkulku sekilas, seperti orang yang hendak berpisah dengan penanda jalan yang menuntunnya melewati kabut. Saat ia melangkah pergi untuk foto bersama investor, dua staf PR memintaku bergeser.

Di kejauhan, Umar menatapku. Ia mengangkat bahu—gerakan kecil yang artinya: kita paham, kita tetap teman. Madi menghampiriku, menyodorkan termosnya. “Masih panas,” katanya.

Kupinjam satu gelas kertas. Kuseduh kopi roastery-nya yang harum. Aku berdiri di sisi ruangan, memerhatikan Jayan yang menyebut nama-nama baru di panggungnya. Aku tidak pahit, tidak juga manis. Hanya hangat, seperti kopi yang tahu kapan harus diminum.

.

Malam-malam setelah itu agak sunyi. Grup WhatsApp kami berubah menjadi museum pesan—jam-jamnya dipenuhi notifikasi yang tak pernah benar-benar menyapa. Jayan makin jarang muncul. Jika muncul, ia mengirim tautan pemberitaan, kontrak, angka, rencana ekspansi ke Surabaya—kota dengan apartemen-apartemen yang memantulkan musik dari klub di lantai bawah tanah.

Suatu malam, Jayan menelepon. Suaranya seperti orang yang berdiri dekat jendela tapi tak mau melihat keluar. “Aku capek,” katanya.

“Apa yang kau kejar, Jan?”

“Versi diriku yang tidak lagi butuh diantar.”

“Kau sudah sampai,” ujarku. “Sekarang, pertanyaannya: kau mau masuk ke rumah yang mana?”

Ia terdiam cukup lama hingga aku bisa mendengar denting sendok di cangkir orang lain di kos-kosan sebelah. “Aku… takut,” katanya.

“Belajarlah duduk,” kataku. “Bukan menambah kecepatan.”

“Kamu masih jadi tongkat,” katanya.

Aku tersenyum, liar dan lirih di saat bersamaan. “Tak ada tongkat yang marah saat tanganmu pulih,” ujarku. “Yang marah biasanya tangan yang berharap tetap kau genggam.”

Telepon berakhir dengan janji akan bertemu pekan depan. Tapi janji, di kota ini, sering ditukar dengan tender.

.

Aku menemuinya bukan pekan berikutnya, melainkan dua bulan setelah, ketika Jayan akhirnya memutuskan membuka pop-up di Surabaya dan mampir ke Jakarta hanya untuk urusan investor. Kami bersua di lobi hotel tempat Retna bekerja. Di sana, lampu gantung kristal seolah ingin mengajari kita bagaimana caranya tampak kukuh sambil menggantung.

“Kamu kelihatan berubah,” kataku.

“Lebih tebal?” Jayan tertawa kecil.

“Lebih tipis,” kubalas. “Tipis antara yang kau incar dan yang kau tinggalkan.”

Ia mengangguk. Di sisi kami, seorang ibu menggendong balita yang menangis kecil karena kaus kakinya copot. Dunia memang selalu punya alasan untuk rewel. “Aku ingin minta tolong satu hal lagi,” kata Jayan.

Kupikir ia akan berkata soal press kit, atau pidato, atau sesi media yang memerlukan angle menyentuh. Ia menyebut sesuatu yang lain: “Bisakah kamu tidak datang jika aku meluncurkan flagship Surabaya? Investor ingin aku… menata lingkaranku.”

Kata-kata itu jatuh seperti piring keramik yang tidak pecah—hanya memantul, kemudian kembali ke meja, utuh, tetapi kita tahu retaknya ada di dalam.

Aku menarik napas, menatap lampu gantung yang bergeming di udara. “Kamu ingin aku tidak ada,” kataku perlahan, memastikan aku tidak salah dengar. Aku tidak marah, anehnya aku juga tidak sedih. Mungkin, karena pada saat itu, aku memutuskan menjadi orang dewasa di kota yang membujuk kita tetap remaja.

“Aku…” Jayan menggaruk kepalanya. “Kupikir, tongkat… biasanya ditinggal di rumah ketika orang sudah bisa berlari.”

Aku tersenyum. “Tongkat, kalau dipaksa diajak berlari, bisa patah,” ujarku. “Tenang saja. Aku tidak akan datang.”

Ada lengang di antara kami, lengang yang tidak jahat. Retna melintas, menyapa kami dengan tatapan yang paham lebih banyak daripada yang dinyatakannya. Umar mengirim pesan di grup: “Proyek booth Surabaya fix. Good luck, Jan.” Madi menyusul: stiker kopi beruap.

“Aku ingin bilang terima kasih,” kata Jayan akhirnya.

“Bilanglah pada dirimu sendiri di cermin setiap pagi,” balasku. “Itu akan menjaga punggungmu lebih tegak daripada ucapan terima kasih padaku.”

Ia mengangguk. Matanya menahan sesuatu yang tak jadi jatuh. Mungkin hujan. Mungkin kenangan.

.

Malam peluncuran Surabaya, aku menyalakan televisi kamar kontrakanku yang jarang kugunakan. Ada liputan singkat: Jinjing meluncurkan flagship kedua, berkolaborasi dengan tiga desainer muda. Dalam tayangan, Jayan tampak sangat siap dengan setelan yang lebih pas, senyuman yang lebih panjang, dan kata-kata yang seperti dikurasi sebelum dilahirkan.

Aku menutup televisi. Di meja, ada draft proposal pelatihan untuk sekelompok pengusaha rintisan yang dikelola pemerintah kota—aku diminta menjadi mentor komunikasi dan storytelling. Aku mengirim pesan ke panitia: “Saya setuju.” Lalu kubuka laptop, menulis modul pertama: “Membedakan Tongkat dan Sayap.”

Di modul itu, aku menulis: “Menemani orang pada masa tergelapnya adalah kehormatan yang tidak bisa dibayar oleh porsi foto di panggung. Tetapi ingat: misi kita bukan dipanggil naik panggung, melainkan memastikan panggungnya berdiri kokoh—meski kita menonton dari balkon.”

Aku menutup modul dengan satu paragraf: “Ada yang akan meninggalkanmu ketika mereka sembuh. Jangan buru-buru menyebut mereka lupa daratan. Sebab, sebagian sembuh adalah berani berjalan sendiri. Tugasmu adalah mendoakan telapak kaki mereka tidak lupa sejarah.”

.

Suatu subuh, Jayan mengirim pesan singkat: “Aku bermimpi kehilangan sesuatu tapi entah apa. Lalu terbangun dengan keringat.” Pesan itu dikirim pukul 04.17. Aku membalas pada pukul 07.03: “Kalau kau bisa menamai yang hilang, kau tak sepenuhnya kehilangannya.”

Ia membalas dengan emoji yang malas. Hidup terus berjalan. Jinjing buka lowongan; Umar menuntaskan proyek interior untuk butik yang dulu tak kebagian lampu; Madi membuka kelas cupping untuk anak-anak magang yang matanya belum paham bahagia; Retna pindah hotel dan membuat kampanye baru soal keramahan yang tidak menjual senyum, tetapi menjual kelegaan. Aku, Adaninggar, mencatat nama-nama itu dalam buku yang halaman terakhirnya selalu terasa cukup.

.

Setahun setelah hari ketika Jayan memintaku berhenti hadir, aku menerima undangan via surel: “Anugerah Kewirausahaan Kreatif: Mengapresiasi Pelaku yang Membawa Dampak.” Di daftar nominasi, ada nama Jayan. Foto profilnya memantulkan lampu-lampu yang sudah tak mengajarinya apa-apa. Aku menatap undangan itu lama. Lalu kututup laptop. Kukira aku selesai.

Tapi kota punya kebiasaan buruk: membawamu ke tempat yang kau hindari dengan cara yang kau tidak curigai. Dua minggu kemudian, organisasi yang mengundangku sebagai mentor meminta aku membawakan materi di acara yang sama: sesi “Narasi di Balik Keberhasilan.” Aku tertawa sendiri membaca agenda. Di antara jeda makan siang dan coffee break, namaku dan Jayan dipisahkan oleh dua pembicara lain. Aku tidak menolak. Itu bukan lagi tentang kami.

Hari itu, aku datang dengan gaun biru tua sederhana. Umar mengirim pesan: “Tarik napas.” Madi menulis: “Aku di luar. Kubawakan kopi.” Retna menyusul: “Jangan kabur.” Aku mengangguk pada layar.

Di panggung, Jayan duduk di kursi akrilik yang tabu untuk goyah. Ia berbicara fasih: soal kurasi, kolaborasi, disiplin, integritas. Ia menyebut satu hal yang membuat orang-orang mencatat: “Kita butuh orang-orang yang berani berada di baris belakang,” katanya. “Yang tidak ikut foto, tapi ikut bangun kamar ganti.” Orang tertawa kecil. Ia melanjutkan, “Kepada mereka, aku ucapkan terima kasih.”

Kalimat itu melayang di ruangan, lalu mendarat entah di mana. Ia tidak menyebut nama. Dan itu adil. Tidak semua doa harus punya alamat.

Sesi “Narasi di Balik Keberhasilan” berlangsung setelahnya. Aku bercerita tentang bagaimana kata-kata bisa menidurkan trauma dan membangunkan keberanian. Aku bilang, “Di kota yang terlalu cepat ini, menolong sering dianggap jeda. Padahal, menolong adalah cara berjalan yang tidak menabrak.”

Seseorang dari audiens bertanya, “Bagaimana menghadapi seseorang yang pergi setelah kita dampingi?”

Aku tersenyum. “Seperti melepas anak belajar naik sepeda,” kataku. “Kita berlari sambil memegang sadel, lalu pada saat yang tepat, kita lepaskan. Semua orang menatap anaknya yang melaju. Jarang yang menatap orang yang berhenti berlari. Tapi lihatlah: orang itu tersenyum. Ia tahu tangannya sudah lama tidak menggigil.”

Tepuk tangan terdengar. Di kursi depan, Jayan menatapku. Pandangan yang tidak meminta maaf, tidak pula minta kembali. Hanya pandangan yang mengerti. Dan itu, pada akhirnya, lebih memulihkan daripada dua kata yang terlambat.

Setelah acara, ia menghampiriku di koridor. Lampu-lampu neon memantulkan bayang-bayang yang lebih jujur daripada lampu gantung. “Ning,” katanya.

“Jan,” jawabku.

“Kau… baik-baik?”

“Sehat,” jawabku. “Itu beda.”

Ia tertawa kecil. “Kau tidak menanyakan aku?”

“Tidak perlu. Aku bisa menebak kau sedang belajar membelah jam kosong.”

Ia menatap sepatu kulitnya. “Terima kasih,” ia mengulang.

“Kau tak perlu,” ulangku.

Kami berdiri sebentar, seperti dua orang yang menunggu lift yang tak kunjung turun padahal tangga ada di sebelah. Lalu kami berpisah. Ia ke kiri, aku ke kanan. Kota menelan langkah kami dengan wajar.

.

Pada malam-malam yang tidak kehabisan lampu, aku menulis catatan pendek yang kutempel di dinding kamar:

  • “Kasih bukan penjara; ia peron.”

  • “Kesetiaan bukan rantai; ia peta.”

  • “Melepas bukan kalah; ia selesai.”

Di bawah tiga kalimat itu, kutulis satu lagi: “Ketika badai berlalu, jangan merebut pelangi. Tugasmu cukup melipat jas hujan, menggantungnya, lalu tidur.”

.

Bertahun kemudian, aku menerima bingkisan kecil: sebuah sketsa arang yang menggambarkan sebuah tongkat diletakkan rapi di sudut ruangan, sinar pagi mengusap gagangnya. Di belakangnya tertulis tangan: “Untuk orang yang mengajariku berjalan tanpa memenjarakanku. —J.”

Aku tersenyum. Kuhitung ulang umur sketsa itu di dindingku. Kota meminjamkan sejenak sunyi yang pantas. Tidak semua bab butuh epilog panjang. Ada yang selesai hanya dengan menutup jendela.

Di luar, hujan rapat-rapat. Di dalam, aku menyeduhi diriku sendiri secangkir kopi Madi, memasang playlist favorit Umar yang memadukan Debussy dan kereta komuter, lalu membaca rilis pers Retna tentang kampanye hotel yang baru: “Keramahan yang Tahu Pulang.”

Kutelpon ibuku, yang tinggal di sebuah kota kecil dekat laut. “Aku baik-baik saja,” kataku.

“Sehat?” tanya ibu.

“Sehat,” kujawab. “Itu beda.”

Dan pada dini hari yang tidak menjanjikan apa pun selain kelanjutan, aku bersyukur pada semua tongkat yang pernah kupinjam dari semesta—termasuk diriku sendiri, yang belajar, pelan-pelan, menaruhnya kembali dengan tulus.

.

“Yang menemanimu di masa tergelap tak selalu hadir di panggung keberhasilanmu; tapi tangan yang dulu menahanmu jatuh tetap akan mendoakan telapak kakimu kuat di jalan baru.” — Adaninggar

.

.

#CerpenKompasMinggu #FiksiUrban #KelasMenengah #MenakMalangan #MenakJawa #StartupIndonesia #Hospitality #LettingGo #Storytelling #EmotionalWriting

Leave a Reply