Teman Setara: Senyap yang Tak Lagi Menyakiti
“Bahagia yang tak bisa dibagi, hanya akan jadi luka yang diam-diam dipelihara.”
.
Malam jatuh seperti biasa, tapi tak ada yang benar-benar biasa di hati Aluna malam itu. Lampu-lampu kios di sudut pasar tua memantul di genangan air, membelah wajah kota seperti potongan film yang diputar tanpa suara. Di seberang, berdiri Cinta—teman kecil yang dulu mengajarinya menulis label pada buku tulis dan menertawakan hujan dengan payung terbalik. Kini, jarak di antara mereka lebih lebar daripada dua garis marka jalan.
“Kenapa kamu selalu bilang aku berubah, Cin?” suara Aluna parau, seperti ombak yang kehilangan pantai.
“Aku nggak bilang kamu berubah,” jawab Cinta, pelan, napasnya berembus tipis di udara lembab. “Aku cuma… nggak ngerti cara kamu ngomong sekarang.”
Kata-kata itu, sependek apa pun, menutup pintu—bukan dengan bantingan, melainkan dengan klik halus yang tak terdengar, tapi terasa. Malam itu, pertemanan mereka retak. Bukan oleh dendam, melainkan oleh jarak emosi yang lama-lama menjadi jurang.
Aluna bukan selebritas. Ia travel consultant yang rapi, memetakan rute, menegosiasikan tarif homestay, merakit kurasi pengalaman: kelas batik pagi hari di kampung kota, jelajah kopi sore di lereng, dan senja yang tidak dijual mahal. Di layar, hidupnya tampak ringan—reel TikTok berlari dari dermaga ke dermaga, foto Instagram bertabur langit jingga. Di balik layar, ada spreadsheet biaya, brief yang direvisi berkali-kali, dan kompromi yang tak selesai-selesai dengan klien.
Di saku ranselnya—berdampingan dengan kartu SIM internasional dan charger dua kepala—Aluna selalu menyimpan sepucuk surat yang ditulis ibunya dulu, dengan tinta yang kini memudar seperti suara yang semakin jarang terdengar.
Nak, jangan takut bahagia. Tapi tolong cari teman yang ikut senang saat kamu senang. Itu lebih langka dari emas di tambang.
Surat itu menyelamatkannya lebih dari sekali: saat kerjasama batal sepihak, saat video yang ia susun seminggu penuh dikomentari “pamer hidup”, saat orang yang paling ia harapkan mengerti justru berkata, “Kamu sekarang beda, ya.”
.
Cinta, sebaliknya, memilih rute kota yang tetap: menjaga apotek kecil warisan keluarga di pojok pertigaan, menikah karena yakin yang tenang lebih aman daripada yang berdebar, menunda mimpi menulis karena “nanti kalau anak sudah SD.” Tak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah cara diam-diam menakar bahagia orang lain dengan gelas ukur kepunyaan sendiri.
Ketika Aluna mulai sering terbang, Cinta makin jarang menjawab telepon. Setiap undangan traveling ditolak sopan, “Lagi sibuk, Lun.” Di belakang, di grup SMA, muncul kalimat yang memerihkan bukan karena tajam, melainkan karena berasal dari tangan yang dulu menggenggam tangannya di halaman sekolah: “Bule-bule aja dikejar demi konten. Emang harus banget, ya?”
Aluna membacanya tanpa tangis. Ia hanya menutup mata, sejenak, menahan sesuatu yang terasa seperti serbuk halus melayang di dada—debu yang tak kasat mata, tapi mengiritasi.
“Kita boleh tidak sama jalan,” bisiknya pada diri sendiri, “tapi jangan sampai saling melempar batu.”
.
Julidan adalah kebisingan yang tidak mengangkat suara. Ia merayap di kolom komentar, di canda yang ditembakkan sambil setengah menatap ke lain arah. Suatu sore, setelah memposting glamping di Nusa Penida dengan caption pendek soal self-reward yang hemat biaya, akun anonim menyambar di X: “Self reward tuh bukan boros dan pamer ya, bestie. Ada yang cuma bisa reward diri pakai Indomie dan air mata.”
Aluna tidak berkewajiban membuktikan hemat. Tapi ia tidak bisa mengusir rasa hampa ketika mengetahui—dari ritme dan pilihan tanda baca—bahwa akun itu milik Cinta. Bukannya marah, ia justru menulis ulang rencana konten: memotret pekerja lokal, menulis ekonomi kecil yang ikut bertahan. Ia memutuskan, jika harus terus berjalan, maka ia akan menapakkan kaki selembut mungkin.
Tetapi kaki selembut apa pun tetap bisa menimbulkan bunyi jika ada hati yang ingin mendengar dentamnya.
.
Perpisahan mereka tidak punya adegan salam. Di hari ulang tahun Cinta yang ke-30, Aluna datang membawa buku yang dulu mereka incar di kios toko buku bekas—yang ternyata kini sudah langka. “Wah, kamu masih inget, ya?” kata Cinta sambil memaling, memberi tempat pada tamu lain. Tidak ada pelukan. Tidak ada tawa. Hanya punggung yang menonjol di antara balon dan lampu.
Aluna meninggalkan pesta tanpa pamit. Di lift, ia melihat wajahnya sendiri di cermin—bukan seperti orang yang baru saja kehilangan, melainkan seperti orang yang baru saja tahu cara kehilangan.
Kadang, kita harus belajar pergi, bahkan tanpa pintu dibuka, tanpa ada yang menahan.
.
Waktu melangkah, juga memilih. Lingkar pertemanan Aluna menyusut, lalu mengeras seperti inti batu di dasar sungai. Raka datang sebagai kebetulan yang dipanjangkan: videografer freelance yang suka memotret langit pukul lima pagi dan punya kebiasaan menyimpan tiket kereta di dompet. Maya, manajer PR sebuah hotel butik yang tangguh sekaligus jenaka—nama yang, entah mengapa, mengingatkan Aluna pada wayang-wayang Menak yang dulu diceritakan ayahnya: Umar Maya si penggerak akal. Madi, barista yang juga runner, tertawa seperti kutipan pendek: cepat, jernih, langsung kena. Retna, editor buku yang gemar solo traveling, sabar, telaten; di matanya ada langit yang tidak cepat padam. Jayen, investor muda yang memilih menaruh modal pada usaha kecil pariwisata berkeadilan, membuka ruang diskusi tanpa deru.
Nama-nama itu terasa akrab—bukan karena terkenal, melainkan karena hangat. Mereka bukan orang kaya raya, tapi mereka tidak merasa kecil ketika Aluna besar; tidak merasa tertinggal ketika Aluna berada di muka; tidak merasa perlu menyalakan api kalau cahaya sudah cukup.
Di ulang tahun Aluna yang ke-31, Raka menghadiahi video pendek: potongan adegan Aluna jatuh-bangun, tersenyum dengan mata setengah berkaca, memapah tripod di pantai berangin. Di belakangnya, suara Maya, Madi, Retna, dan Jayen bergantian: “Lun, hidupmu keren karena kamu bikin tempat untuk orang lain. Bahagiamu menular.”
Aluna menangis—bukan karena terluka, melainkan karena sembuh.
.
Cinta juga berjalan; hanya saja jalannya melingkar. Di warung kopi kampung, di antara suara motor matic dan jendela kayu yang mengelupas, ia menatap ponselnya. Foto terbaru Aluna: memegang mikrofon di panggung kecil digital tourism di Manila; di belakangnya layar berisi peta keterhubungan desa-kota, wisatawan tak diukur dari jumlah like, melainkan dari jejak manfaat. Cinta mengetuk layar, membuka Direct Message yang tiga tahun beku.
Kalau kamu nanti butuh teman cerita, aku masih di sini. Maaf dulu aku nggak ngerti cara mencintaimu sebagai teman.
Pesan terkirim. Centang dua. Tidak pernah biru. Waktu berjalan, dan sebagian penyesalan memutuskan tinggal.
Cinta menatap keluar. Ada anak kecil berlari mengejar kucing. Ada matahari miring yang menyelinap lewat terpal. Ia memeluk dirinya sendiri, bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai pengakuan. Kebahagiaan yang tidak dibagi memang bisa jadi luka yang dipelihara. Ia mengira luka itu penghuni kamar belakang; ternyata penguasa rumah.
.
Aluna melanjutkan pekerjaannya dengan cara yang lebih tenang. Ia mulai menghindari klien yang ingin rate card murah tapi meminta semua deliverable sekaligus. Ia menyusun modul workshop kecil: “Berbahagia Secukupnya, Berbagi Seluasnya” di co-working space bilangan Senopati. Ia menolak menjadi “figur” yang tak menyebut ongkos produksi; ia memilih menjadi pekerja yang tahu nilai.
Suatu siang, ia dan tim kecilnya—Maya, Madi, Retna—bertemu Jayen di sebuah kafe dengan jendela besar menghadap kebun kota. Jayen mengeluarkan sketsa sederhana: micro-tour di Jakarta bagian yang jarang dipotret—kampung tua yang menanam pepaya di atap, bengkel yang mengajarkan sablon eco-friendly, serta rumah makan yang mempekerjakan ibu-ibu kepala keluarga.
“Aku tahu ROI-nya nggak romantis,” kata Jayen. “Tapi kita bisa bikin sistem yang sehat. Tur kecil, margin wajar, dampak nempel.”
“Setuju,” jawab Aluna, menatap peta di meja. “Aku nggak mau membuat jejak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jalan harus jadi jalan, bukan jendela pamer.”
Retna merapikan catatan. Maya mengusulkan narasi. Madi menawarkan kopi dari roaster kawan lama. Raka merekam tanpa banyak suara, seolah percaya bahwa dokumentasi yang baik adalah diam yang tepat waktu.
Dalam banyak tim, ambisi bertarung dengan ambisi. Dalam tim ini, ambisi saling memberi tempat.
.
Sebuah proyek membawa mereka ke Ubud, menyusun pop-up kelas menulis perjalanan untuk pekerja hospitality lokal. Di rooftop hostel—lantai semen dengan meja kayu yang dipernis seadanya—angin senja memutar ujung rambut Aluna. Ia menulis caption: “Aku nggak pengin punya teman banyak. Cukup beberapa, asal bisa duduk bareng dan jujur bilang: ‘gue seneng lo berhasil.’ Itu mahal.”
Ada yang menuding pamer, tetap ada. Tapi jumlahnya mengecil. Yang bertambah justru pesan-pesan dari orang tak dikenal: resepsionis yang diam-diam mengambil kuliah malam, pramusaji yang menabung untuk kursus bahasa, front office yang menulis puisi di balik buku tamu. Hidup tak lagi diukur dari tepuk tangan yang terdengar, melainkan dari tangan-tangan kecil yang ikut bergerak.
Malam itu, setelah kelas ditutup, Raka memutar rough cut video tentang satu hari satu senyum—ruang-ruang yang kembali hidup oleh kunjungan yang benar. Aluna menonton tanpa komentar. Ia hanya menunduk, merapal syukur pendek, dan mengirim foto senja kepada ibunya, meski tahu balasan tak lagi datang berupa kata-kata.
.
Di Jakarta, di sebuah sore lain yang macetnya seperti tradisi, Cinta duduk di ruang tamu yang dinginnya tanpa penghangat. TV menyala tanpa suara. Pelan-pelan, ia membuka lemari tua, mengambil kotak yang berisi koran-koran lama—di antaranya ada satu rubrik cerpen yang dulu mereka baca bersama: Kompas Minggu. Ia tersenyum kecut. Ia ingat pernah ingin berada di halaman itu, bukan sebagai pembaca.
Ia menulis di ponsel: tiga paragraf pendek, jujur, tanpa bumbu. Tentang apotek yang kadang tak punya obat yang dicari orang, tentang pasien yang datang lebih sering untuk bercerita ketimbang meminta resep, tentang kenyataan bahwa ia lebih pandai meracik kata-kata pahit untuk orang lain daripada meracik manis untuk diri sendiri. Ia mengunggahnya—tidak di media besar, hanya di blog kecil yang alamatnya mudah diingat.
Tak lama, seorang perempuan dengan avatar buku paperback mengirim komentar: “Terima kasih, kamu menolong aku merasa dilihat.” Cinta menatap dinding. Ada keheningan baru; bukan senyap yang menyakiti, melainkan hening yang bisa ditinggali.
.
Pertemuan mereka—yang dulu seperti stasiun besar—kini terjadi seperti halte kecil di ujung rute. Setahun setelah malam pasar itu, mereka bertatap muka di launching program micro-tour Aluna di sebuah balai warga yang dicat putih. Cinta datang karena undangan umum dari akun kelurahan yang ia ikuti untuk memantau imunisasi anak. Ia tak mengira akan berdiri lima meter dari panggung, melihat Aluna menjelaskan dengan suara yang tenang dan mata yang tidak lagi mencari restu.
Acara selesai. Orang-orang mengerumuni meja sign-up. Cinta berdiri, diam, seperti batu kecil di pinggir sungai. Aluna melihatnya. Tidak ada musik. Tidak ada sorak. Hanya langkah yang mendekat.
“Hai,” kata Aluna.
“Hai,” balas Cinta. Tangan mereka tidak saling memegang. Mata mereka bertemu lebih lama daripada percakapan.
“Terima kasih sudah datang,” ucap Aluna. Kalimat itu bukan basa-basi; ia menimbangnya dengan telapak hati.
“Aku—” Cinta menarik napas. “Aku baca tulisanmu tentang ibu-ibu kepala keluarga yang kerja di kantin sekolah. Bagus. Aku… minta maaf, Lun.”
Aluna mendengar kata “maaf” seperti bunyi payung pertama saat hujan jatuh: tidak mengusir basah, tapi memberi tempat berteduh. “Kita nggak perlu kembali ke dulu,” katanya. “Tapi… kita bisa mulai dari sini. Kalau kamu mau.”
Cinta mengangguk. Ada air di matanya, tapi bukan air yang menenggelamkan. “Aku nggak minta dibalas pesan. Aku cuma… pengin ngerti caranya jadi teman yang nggak takut bahagia orang lain.”
Mereka berdiri, berdampingan, menatap sisa kerumunan. Raka melambai, Maya tersenyum, Madi mengangkat termos, Retna menyelipkan brosur di kotak donasi, Jayen mengunci kasir kecil di ujung meja. Kota sore itu terasa lebih ramah, bukan karena lampu tambah terang, melainkan karena hati memutuskan menurunkan tirai.
.
Tidak semua yang retak bisa disatukan. Tapi kejujuran bisa mengubah retak menjadi pola. Persahabatan Aluna dan Cinta tidak kembali seperti semula—dan itu kabar baik. Mereka mempelajari versi dewasa: tidak saling mengabarkan setiap hari, tidak saling mengukur langkah, tidak saling menangkap satu sama lain dengan jaring tuntutan. Mereka belajar sebuah kata yang dulu dianggap dingin: batas. Ternyata batas adalah pagar yang menumbuhkan bunga, bukan tembok yang mengusir.
Beberapa bulan kemudian, blog Cinta diundang mengulas program micro-tour dari sudut pandang warga. Ia datang sebagai penulis, bukan sebagai teman selebritas. Tulisannya tenang, manis, tidak meminjam bahasa yang memar. “Bahagia yang dibagi adalah cahaya yang tidak menyilaukan. Ia menerangi jalan seperlunya saja.” Kolom komentar riuh oleh cerita-cerita kecil. Cinta membalas satu per satu dengan rasa syukur yang ditemukannya kembali.
Aluna membaca dalam perjalanan pulang dari pelatihan singkat di Bandung. Ia tersenyum, menutup layar, lalu memotret malam dari jendela bus: lampu-lampu yang bergerak seperti kalimat yang mencari titik.
.
Suatu petang di Ubud, Aluna, Maya, Madi, Retna, Raka, dan Jayen kembali berkumpul di rooftop hostel yang dulu. Angin lembut mengangkat ujung spanduk acara. Aluna mengeluarkan surat tua dari ibunya, membentangkannya di meja. Tinta makin pudar, tapi maknanya semakin pekat.
Nak, cari teman yang ikut senang saat kamu senang. Itu lebih langka dari emas di tambang.
Ia menatap teman-temannya satu-satu. Mereka bukan emas; mereka lebih dari logam mulia. Mereka adalah tanah yang bersedia ditanami musim demi musim. Mereka tidak menuntut hari cerah; mereka tahu cara menyalakan lampu saat listrik padam.
“Terima kasih,” kata Aluna.
“Atas?” tanya Raka.
“Karena kamu-kamu ini bikin senyap tidak lagi menyakiti.”
Mereka tertawa kecil, lalu diam bersamaan—bukan canggung, melainkan akur. Senyap yang satu ini seperti selimut tipis di punggung pejalan jauh. Kota di kejauhan berkedip-kedip. Bintang tidak ramai, tetapi cukup. Bahagia, malam itu, terasa seperti sesuatu yang tidak lagi sendirian.
.
Di jalan pulang, Aluna menulis catatan kecil di ponselnya—bukan untuk diposting, hanya untuk diingat:
Bahagia yang tak bisa dibagi, akan menumpuk jadi bunyi di lorong-lorong dada. Tapi ketika menemukan teman setara—bahkan bila setaranya bukan pada dompet atau panggung, melainkan pada empati—bahagia berubah wujud: dari sorotan menjadi penerangan; dari pamer menjadi pamit kepada luka lama; dari tanda tanya menjadi titik yang menenangkan.
Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela. Dari kaca, ia melihat wajahnya sendiri. Tidak ada efek beauty. Tidak ada filter jingga. Hanya seorang perempuan yang—setelah sekian tahun berkelana—akhirnya paham bahwa perjalanan terbesar bukan dari bandara ke bandara, melainkan dari hati ke hati. Dan untuk perjalanan itu, yang kita butuhkan bukan pengikut, melainkan kawan yang tak gentar kepada terang kita.
Malam melaju. Kota meredup. Di antara keduanya, ada senyap yang tidak lagi menyakiti.
.
.
Jember, 19 Juli 2025
.
.
.#TemanSetara #BahagiaYangDibagi #UrbanStory #KompasMingguVibes #Empati #Boundaries #DigitalTourism #MicroTour #Healing #Storytelling