Sunyi yang Dipilih Shinta

“Tidak semua yang memilih jalan sunyi sedang melarikan diri. Ada yang justru sedang berdamai dengan dirinya sendiri, dalam diam yang tidak dimengerti.”

“Kesunyian bukan kamar terkunci, melainkan jendela yang menghadap ke dalam.”

“Batasan bukan dinding untuk mengusir, melainkan pagar untuk merawat.”

.

Jakarta, pukul enam pagi

Kabut tipis menggantung di sela-sela gedung seperti sisa napas mimpi yang belum selesai. Jalan Sudirman baru saja menggeliat; suara mesin espresso dari kedai 24 jam menimang langkah pejalan yang masih setia menatap lantai, bukan layar. Pada sebuah halte busway, seorang perempuan berjaket cokelat berdiri menunggu, menatap jauh, lalu dekat, lalu ke dirinya sendiri. Namanya Shinta.

Ia menyukai jam ketika kota belum benar-benar bangun, saat lampu merah masih dianggap sebagai hukum, dan para pengendara mengangguk pada kepatuhan. Di jam-jam begini, ia merasa tak dikejar waktu, tak dituntut ramah, tak diminta cerita.

Shinta bekerja sebagai analis risiko korporat—Corporate Risk Analyst—di sebuah perusahaan perhotelan yang menaungi tujuh properti di Indonesia. Kantornya di Kuningan: kaca-kaca bening yang seperti ingin mengatakan transparansi, sementara di dalamnya rapat-rapat menyematkan kata “confidential” di setiap sudut kalimat. Ia bukan sosok populer. Tidak hadir di Instagram. Nomornya senyap di grup WhatsApp kantor; hanya muncul ketika ada yang benar-benar perlu: jadwal audit, catatan temuan, tenggat pelaporan.

Ia pernah mencoba jadi orang yang “mudah diakses”—satu fase pendek beberapa tahun lalu. Foto brunch, unggahan “work hard, play hard”, video tawa dengan rekan setim. Lalu rahasia yang ia bagikan pecah seperti gelas jatuh: beritanya ditarik ke lorong kantor, dipelintir di lift kaca, bernyanyi lirih di pantry. Sejak itu, ia menutup jendela ke luar; mulai membuka jendela ke dalam.

“Aku lebih aman saat tak terbaca,” pikirnya. “Membiarkan orang berasumsi, sementara aku menjaga diriku dari lapar akan validasi.”

.

Urusan Kerja, Urusan Batin

Di ruang yang selalu dingin karena AC, Shinta berjalan seperti bayangan: ada, tetapi tidak menarik sorot. Ia tahu siapa yang mengatur angka untuk menyanjung rapat direksi, siapa yang membuat presentasi palsu yang berkilau, siapa yang menjual prinsip atas nama “demi target”. Namun ia diam. Bukan pasrah—melainkan memilih medan.

Barangkali di tempat lain, seseorang akan menjadi peluit. Di Shinta, peluit itu ia simpan. Ia percaya: bising adalah matahari yang menumbuhkan rumput liar gosip; sementara sunyi—bila dikelola—adalah lading tajam yang merapikan semak.

“Aku suka bagaimana orang tidak menyukaiku,” tulisnya dalam catatan yang kelak akan ia lupa pernah menulis. “Aku suka jarak. Aku suka tidak memiliki keterikatan dengan orang banyak.”

Satu-satunya yang sanggup menyeberangi sunyinya tanpa merusak taman adalah Rama—Chief Marketing Officer yang baru bergabung dari Bali. Rama membaca orang bukan dari kata-kata, melainkan dari jeda. Ia menyukai cara Shinta mengupas risiko seperti mengupas mangga muda: rapi, bersih, dan tak berpuisi. Namun yang membuatnya menoleh bukan kerapihan laporan—melainkan rapi menahan diri.

Rama tidak langsung mendekat. Setiap pagi ia hanya menyapa, “Pagi, Shin.” Kadang bertanya dua kalimat soal tren pasar. Kadang menawarkan makan siang, lalu mundur saat Shinta berkata, “Terima kasih, aku sudah ada bekal.” Ia mengamati, bukan menguntit. Ia hadir, bukan menempel.

Suatu siang, hujan turun halus di balik kaca pantry. Rama berdiri dengan cangkir kertas. Shinta berdiri sejauh dua ubin.

“Kenapa kamu selalu menjaga jarak dari semua orang, Shin?” tanya Rama, akhirnya.

Shinta mengangkat matanya, lurus. “Karena hidup lebih tenang saat orang tidak banyak tahu tentang diriku. Dan aku tidak mau terlalu tahu kehidupan orang lain.”

Rama menatap hujan. “Aku tidak ingin tahu semua tentangmu,” ucapnya pelan. “Aku hanya ingin tahu bagaimana caramu bertahan.”

Di dalam Shinta, sesuatu bergerak, kecil. Mungkin bukan pintu, hanya tirai.

.

Nama-Nama dari Kisah Lama

Di meja terbuka lantai dua belas, rekan-rekan berlalu seperti karakter-karakter dari lakon yang sering ditonton Shinta sewaktu kecil di kampung halamannya: topeng menak di Madura yang sesekali singgah dalam pasar malam; tokoh-tokoh tua dituturkan ulang oleh dalang muda.

Ada Amir, kepala keuangan yang pintar menyimpan guratan lelah di balik senyum; ada Umar—yang semua orang memanggil Umarmaya—analis data yang pecinta statistik seperti pujangga mencintai sajak; ada Madi—nama panggilan Umarmadi—yang kerap bercanda tetapi teliti memeriksa kontrak; ada Rengganis dari legal, tegas, cantik, rapih sampai cara menutup map. Nama-nama seperti dari kisah Menak yang pernah diceritakan kakek—hanya tanpa gelar, tanpa keris, bersenjata spreadsheet dan redline.

Mereka semua, seperti Shinta, berputar di orbit kerja yang menuntut cepat, presisi, dan secanggih mungkin tampak effortless. Perusahaan perhotelan itu bukan main-main: tujuh properti, tiga kota besar, dua kota wisata, satu proyek baru di Yogyakarta yang jadi bahan bisik-bisik—rumor investor asing, rumor kolam renang di atap, rumor sky lounge yang akan membuat sore-sore menganggap malam datang lebih ringan.

Rama mengajak Shinta masuk ke proyek Yogya. “Aku butuh matamu,” katanya. “Bukan cuma angka. Cara kamu melihat celah.”

Shinta menatap kalender. Menghitung jarak. Menimbang letih. “Baik,” jawabnya.

Kereta Malam dan Dinding Tipis

Yogyakarta–Jakarta jadi ritme: kereta malam, suara gesek roda, lampu temaram, bantal tipis yang tak pernah benar-benar memberi tidur. Mereka tiba pagi, rapat siang, meninjau lokasi sore, makan malam bersama tim, kembali ke kamar yang terpisah tapi berdinding tipis—bukan sekadar beton tipis, melainkan keadaan yang membuat mereka mendengar jam tangan masing-masing berdetak di dua kamar yang saling tahu kehadiran.

Mereka berbagi kopi, berbagi peta risiko, berbagi pendapat. Kadang debat. Shinta berangkat dari data; Rama kerap membawa intuisi pasar. “Insting bukan lawan risk,” ujar Rama. “Insting adalah data yang belum sempat ditulis.” Shinta menangkap kalimat itu, menyimpannya di antara catatan-catatan audit.

Di ruang rapat hotel sementara—bangunan tua yang disulap jadi kantor proyek—nama-nama dari kisah lama kembali lewat: Amir mengoreksi CAPEX; Umarmaya menunjukkan tren okupansi pesaing; Madi mengulir kontrak vendor; Rengganis menyusun matriks risiko hukum. Di tengah semua itu, diam Shinta menjadi ruang aman: tim jadi berani jujur di hadapan keheningan yang tidak menghakimi.

Jakarta menunggu mereka pulang dengan gosip. Ofis memeluk kabar lebih erat daripada fakta. “Kayaknya Rama dan Shinta dekat, ya?” bisik seseorang di lift, disambut tawa pelan yang tahu-tahu menyebar seperti kabar diskon. “Shinta main cantik,” celetuk akun anonim di forum internal. Kata-kata seperti semut datang pada tumpahan gula.

Shinta menutup folder. Mengirim email: “Saya mengundurkan diri dari proyek Yogya. Effective immediately.”

Tanpa drama. Tanpa penjelasan. Hanya folder rapi yang mengantar keheningan.

.

Surat di Meja Rama

Beberapa hari setelahnya, Rama menemukan amplop di mejanya. Kertas krem, tulisan tangan yang tegas.

Rama,

Aku tahu kamu tidak menuntut. Tapi aku belum selesai dengan diriku sendiri. Aku pernah dikhianati oleh orang yang kuceritakan hidupku padanya. Maka maaf, aku masih belum siap diceritakan dalam hidup orang lain.

Jika suatu hari kamu menemukan seseorang yang tidak takut pada diamku, temani dia. Mungkin itu versi diriku yang lebih baik.

Shinta.

Rama melipat kertas itu seperti melipat sayap kertas kecil: tidak untuk diterbangkan—hanya agar tidak menutup seluruh meja. Ia membuat dua kopi; satu ia taruh di meja kosong bekas milik Shinta. Entah untuk siapa.

.

Jakarta Tak Pernah Hening, Tapi Hatiku Belajar Tenang

Bulan berjalan. Laporan Shinta tetap datang tanggal lima. Tajam. Jernih. Tanpa emotikon. Mereka berhenti saling sapa; hanya sekali-sekali bersinggungan di rapat umum. Rama berusaha menjadi biasa, tetapi setiap kali melihat angka yang terlalu rapi, ia teringat perempuan yang memilih sunyi bukan karena kalah, melainkan karena tahu.

Suatu siang yang tampak seperti siang lainnya, HR mengirim email: Subject: Pengunduran Diri Shinta – Risk Management Department. Tak ada yang lebih panjang dari kalimat pendek. Ruang kantor tiba-tiba luas; waktu memanjang seperti koridor hotel yang lampunya jarang-jarang.

“Ke mana?” tanya Amir di pantry.

Rama mengangkat bahu. “Mungkin ke tempat yang lebih sepi.”

“Orang seperti itu tak benar-benar pergi,” gumam Amir. “Mereka hanya berpindah ke koordinat yang lebih sesuai.”

.

Tiga Tahun, Satu Tatap

Tiga tahun kemudian, peta hidup menggeser jarum kompas. Rama pindah ke perusahaan rintisan hospitality—lebih lincah, lebih muda, lebih brutal, lebih jujur pada ambisi. Sore itu ia di Bandung, mengisi diskusi pasar pariwisata bersama beberapa pelaku. Ruang konferensi berlapis kaca; langit lembayung melukis Siluet Tangkuban Parahu di kejauhan.

Di barisan belakang, ada perempuan dengan blazer hitam. Rambut dikuncir sederhana. Wajah yang tidak asing, namun tampak lebih tenang seperti jalan selepas hujan.

Shinta.

Rama tidak mendekat. Ia hanya menyapa dari jauh dengan pandang. Shinta mengangguk. Usai sesi, perempuan itu tidak menunggu networking; ia keluar sebelum tepuk tangan benar-benar berhenti.

Di kursinya, ada selembar kertas kecil:

Aku belum ingin bertemu. Tapi aku ingin kamu tahu: aku belajar berdamai dengan sunyiku. Terima kasih pernah mencoba masuk tanpa mendobrak.

Rama menggenggam kertas itu seperti genggam tangan yang tak mungkin diulang. Di atas panggung, pembawa acara menanyakan ringkasan. “Ringkasnya,” jawab Rama, “pasar butuh ruang saja. Seperti manusia. Diberi jarak agar tumbuh.”

.

Kota, Kartu, dan Kamar

Shinta tidak menghilang. Ia bergeser ke rute yang lebih sesuai dengan langkahnya: konsultan independen yang dikontrak untuk membereskan risiko, menyusun SOP, membersihkan jaring-jaring yang kusut di perusahaan keluarga yang ingin menjadi perusahaan sungguhan. Ia menolak diekspos; ia setuju menjadi “ghost writer” bagi kebijakan yang lebih waras.

Di apartemen studio yang jendelanya menatap kota, Shinta belajar menyeduh teh yang tepat untuk jam berbeda. Pagi: hijau. Siang: oolong. Malam: chamomile. Ia belajar berjalan tanpa notifikasi. Ia menulis jurnal pendek: satu halaman, satu kejujuran. Ia mengikuti terapi: seminggu sekali, kursi warna abu-abu, tisu yang selalu ada, kata-kata yang tidak jadi berita.

“Bolehkah aku tetap tidak suka keramaian?” tanya Shinta pada terapisnya.

“Boleh,” jawab sang terapis. “Yang penting kamu tidak benci manusia.”

Shinta tertawa pelan. “Aku tidak benci. Aku hanya berhati-hati.”

“Berhati-hati bukan dosa,” kata terapis. “Berhenti hidup karena hati-hati—itu yang perlu kita urai.”

Shinta pulang dengan PR: menghubungi satu teman dalam seminggu. Ia memilih Rengganis. Mereka bertemu di kafe yang tidak ramai. Berbincang tentang tanaman hias, bukan kantor; tentang buku, bukan bonus; tentang resep sambal, bukan rumor. Shinta pulang dengan hati yang utuh, bukan sakau validasi.

.

Runtuh Pelan, Tumbuh Diam

Di satu proyek, Shinta bertemu lagi dengan nama-nama lama: Amir yang kini membuka firma keuangan kecil namun bersih; Umarmaya yang pindah ke data science sebuah e-commerce; Madi yang menjadi negosiator ulung. Mereka tertawa pendek, matang, tidak lagi ingin menjadi paling lucu di ruangan. Mereka menyebut Shinta “kawan yang bisa dipercaya”—bukan karena mereka tahu semua ceritanya, melainkan karena Shinta tidak pernah menjual cerita.

Dalam sebuah kunjungan audit ke hotel dekat bandara, Shinta melihat sepasang muda-mudi yang berdebat di lobby. Perempuan itu menangis. Laki-laki itu menahan suara, lalu meledak juga. Orang-orang melirik, resepsionis menunduk. Shinta berhenti, memutar tubuh, kembali berjalan. Ia tidak ingin tahu. Ia tidak ingin lupa bahwa hidup orang lain juga punya privat.

Ia menulis di jurnal malam itu:
Terkadang, menjauh bukan berarti membenci. Aku sedang memberi ruang pada diri sendiri agar tidak tenggelam di antara ekspektasi yang bising.

Ia menulis lagi:
Mengharapkan dipahami semua orang adalah cara paling cepat menuju lelah.

.

Telepon yang Tidak Ia Angkat

Suatu pagi, ponsel Shinta bergetar dengan nama yang lama tak muncul: Rama. Shinta menatap layar. Merasa dadanya dirapikan oleh tangan tak terlihat. Ia membiarkan ponsel berdering sampai hening. Pesan masuk:

Shin, aku akan pindah ke Jakarta penuh. Ada proyek butuh risk architect dari awal. Aku ingin mengajakmu, bukan memaksamu. Jika kamu tidak jawab, aku mengerti.

Shinta meletakkan ponsel. Menyeduh teh. Mengendus aromanya. Di pangkuannya duduk seekor kucing rescue yang ia temukan kelaparan di parkir basement—ia beri nama Tole, entah mengapa mengingatkannya pada nama yang sering kakek sebut sewaktu kecil: Jokotole—pahlawan yang geraknya halus namun hantamannya tepat.

“Bagaimana, Tole?” tanya Shinta. Kucing itu menjilat punggungnya, lalu menatap jendela.

Shinta menulis balasan panjang, lalu menghapusnya. Menulis pendek, menghapus. Akhirnya mengirim satu baris:

Rama, aku senang kamu ingat. Saat ini, aku memilih tidak bergabung. Doakan jalannya baik.

Rama membalas dengan lambat, seperti menata perasaan sebelum mengetuk:
Baik, Shin. Semoga jalan sunyimu tetap terang. Kalau suatu hari kamu ingin berbicara—bukan tentang kerja—aku ada.

Shinta tidak membalas. Kadang yang paling jujur adalah tidak melanjutkan percakapan yang kita tahu akan menyeret ke tempat yang kita jaga.

.

Retret yang Tidak Bernama

Pada ulang tahunnya yang ke-35, Shinta mengajukan cuti dua hari yang ia kumpulkan dari proyek-proyek. Ia pergi ke Semarang, kota yang ia pilih bukan karena destinasi, melainkan karena jeda. Ia sarapan di warung pecel di gang, duduk paling pinggir, memerhatikan ibu-ibu yang menawar sayur seolah tawar menawar adalah cara paling rasional merawat cinta.

Di museum kecil yang sepi, ia berdiri lama di depan foto lawas: perempuan-perempuan berkebaya menatap lensa dengan mata yang tidak minta izin. “Mereka juga menjaga jarak,” pikir Shinta. “Bukan karena sombong—karena tahu siapa diri mereka.”

Di kamar hotel, ia membuka laptop, menulis email ke dirinya sendiri:

Subject: Perjanjian Baru

Aku berjanji pada diri sendiri untuk hadir penuh di hidupku, meski tidak penuh di hidup orang lain. Aku berjanji memaafkan masa lalu tanpa harus mengundangnya minum. Aku berjanji membatasi bukan karena takut, melainkan karena sayang.

Ia menutup laptop. Menyalakan lampu tidur. Di dinding, bayangan tirai bergerak seperti gelombang: pelan, konsisten, menenteramkan.

.

Solusi Kecil untuk Hidup yang Tidak Kecil

Shinta mempraktikkan hal-hal yang sederhana:
— menutup ponsel satu jam sebelum tidur;
— membalas pesan dengan jujur tentang keterbatasan;
— berkata “tidak” tanpa esai pembelaan;
— berjalan kaki 20 menit sehari tanpa tujuan;
— memeluk Tole sebelum membuka laptop;
— menulis tiga hal yang ia syukuri, bukan untuk diunggah.

Ia membuat daftar “Aman dan Tidak”:
Aman: perpustakaan, kedai teh kecil, kawan yang tidak memaksa cerita, pekerjaan yang jelas garisnya.
Tidak: grup yang suka membahas orang, rapat yang diwarnai ejekan, proyek yang memaksa jam tidur, hubungan yang minta pembuktian di depan umum.

Daftar itu bukan kitab suci; hanya kompas. Dan kompas tidak melarang orang tersesat. Kompas hanya menawarkan arah saat seseorang siap menatap utara.

.

Surat untuk Yang Pernah

Di akhir tahun yang tidak terasa ingin meriah, Shinta menulis surat—bukan tentang cinta, melainkan tentang persetujuan yang akhirnya ia berikan pada dirinya sendiri.

Kepada yang pernah masuk tanpa mengetuk, terima kasih sudah membuatku belajar memasang kunci dengan bijak.

Kepada yang pernah berdiri di depan pintu dan tidak mendobrak, terima kasih. Kamu memberiku definisi baru tentang hormat.

Kepada diriku yang dulu menuntut dimengerti, maaf. Aku seharusnya memelukmu lebih dulu.

Ia tidak mengirim surat itu. Ia menyimpannya. Sebab beberapa surat memang ditulis untuk tidak dikirim. Agar kita ingat bagaimana menulis untuk diri sendiri.

.

Pertemuan yang Tidak Ditentukan

Beberapa bulan setelah surat itu ditulis, Shinta menghadiri seminar singkat di Jakarta—bukan tentang marketing atau risk, melainkan tentang etika kerja: bagaimana tidak melukai sambil mengejar angka. Ruangan itu penuh orang-orang berwajah lelah yang tetap memoles diri agar pantas disebut “berhasil”.

Rama ada di sana sebagai moderator. Mereka tidak janjian. Mereka juga tidak saling mencari. Namun mata manusia selalu menemukan perhentian di wajah yang pernah memantulkan sesuatu.

Rama menatap sebentar. Shinta mengangguk ringan. Usai acara, kerumunan mengerubuti panggung. Shinta berdiri di belakang, memasukkan ponsel ke tas. Ia hendak pergi saat Rama menyelip, berdiri di jarak yang selama ini mereka sepakati tanpa pernah menulisnya.

“Apa kabar, Shin?”

“Baik.”

“Masih menyukai sunyi?”

Shinta tersenyum, untuk pertama kali di hadapan Rama. “Sunyi tidak selalu suka padaku. Tapi kami saling merawat.”

Mereka tertawa. Pendek. Jujur. Lalu hening sebentar—hening yang tidak canggung.

“Aku ingin bilang terima kasih,” kata Rama. “Kamu mengajarkan bahwa mendekat tidak selalu berarti memegang.”

Shinta mengangguk. “Dan kamu mengajarkan bahwa mundur tidak selalu berarti pergi.”

Mereka tidak bertukar nomor. Tidak berjanji bertemu. Hanya saling tahu bahwa beberapa orang, bila ditakdirkan hadir, akan menemukan cara yang tidak mengganggu.

.

Jakarta Tetap Bising

Jakarta tetap bising. Namun di satu meja, di apartemen lantai dua puluh satu, seorang perempuan menyeduh teh; menyalakan laptop; membuka jurnal risiko, menulis:

“Kedewasaan adalah kemampuan untuk tetap lembut ketika semua orang mengajarkan keras. Dan diam yang dipilih bukan untuk gagah-gagahan, melainkan untuk menyembuhkan.”

Ia menutup buku. Memeluk Tole. Menatap malam dari jendela yang memantulkan wajah yang akhirnya ia percaya.

Dan seperti itu, Shinta hidup. Tanpa banyak suara. Namun penuh keutuhan.

.

Petikan-Petikan (yang ia tempel di pintu kulkas)

  • “Sunyi yang kita pilih adalah taman, bukan kuburan.”

  • “Berlaku baik tanpa banyak bunyi, adalah cara paling elegan mencintai diri.”

  • “Pergi bukan berarti membenci—kadang itu cara paling tulus untuk menjaga.”

  • “Batasan adalah bentuk kasih sayang paling dewasa.”

.

Untuk Para Pekerja Kota

Jika kamu seperti Shinta—tidak menyukai ramai, tak pandai bercerita, dan sering disalahpahami—ingatlah: kamu tidak wajib meminjamkan halaman hidupmu untuk dibaca semua orang. Tulis saja dengan rapi. Simpan di laci yang kamu tahu kuncinya. Izinkan orang tertentu membacanya ketika mereka belajar mengetuk.

Karena tidak semua yang memilih jalan sunyi sedang melarikan diri. Ada yang justru sedang berdamai dengan dirinya sendiri, dalam diam yang tidak dimengerti.

.

.

.

Jember, 1 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #Jakarta #KelasMenengahKeAtas #MenakMadura #Kesunyian #Boundaries #SelfHealing #EtikaKerja #Hospitality #StorytellingFilmis

 

Leave a Reply