Stoples Jalan Pulang

“Dalam hidup yang deras, menang bukan soal siapa paling besar, melainkan siapa paling cepat belajar—lalu berani berubah tanpa kehilangan hati.”

.

Hujan di Jakarta turun seperti benang-benang halus yang ditarik dari langit. Dari jendela kamar lantai empat, lampu-lampu kota tampak seperti kunang-kunang yang tersesat di kaca. Jokotole berdiri mematung menatap jalan MH Thamrin, di mana mobil-mobil mengalir seperti ikan di sungai yang tak habis-habis. Di bawah, neon merah Rengganis House—hotel butik di gang kecil dekat stasiun—berkedip pelan, seolah ikut bernafas.

“Kalau hujan begini,” gumamnya, “suara kota seperti radio tua. Kresek-kresek tapi tetap kita dengarkan.”

Pintu berderit lembut. Rengganis masuk sambil menenteng tray berisi dua cangkir teh rosella. Rambutnya basah sedikit, mata yang jernih itu menyimpan lelah sekaligus semangat yang keras kepala. “Tamu kamar 203 minta dua bantal tambahan. Katanya satu bantal untuk memeluk rasa rindu.”

Jokotole tersenyum tipis. “Rindu memang benda tak terlihat yang beratnya kadang melebihi koper 32 kilogram.”

Di lobi, Samba—manajer operasional yang gesit—sedang menempelkan polaroid baru pada dinding mosaik tamu. Di bawah foto, tulisan tangan kecilnya: “Mawar, perawat dari Depok. Istirahat tiga hari setelah enam minggu begadang di UGD. Suka makan sup buntut jam dua pagi.” Rengganis percaya, dinding itu bukan sekadar ornamen. Ia album keluarga sementara bagi orang-orang yang tak sengaja bertemu di persimpangan hidup.

.

Berbulan-bulan terakhir, kota bersiap menelan yang kecil. Sebuah jaringan hotel raksasa—Aurora Holdings—membuka cabang besar hanya tiga kilometer dari gang mereka. Billboard menyala: “Harga besar jadi kecil. Nikmati standar dunia.” Grup perhotelan ramai membahasnya. Ada yang memuji, ada yang cemas, ada yang sinis. Namun buat yang kecil-kecil seperti Rengganis House, billboard itu seperti bayangan burung besar di langit: menutup matahari beberapa detik, membuat burung-burung kecil di pohon merunduk.

“Diskon yang tidak masuk akal,” kata Samba, menutup ponsel dengan wajah mendung. “Kalau ikut perang harga, kita siap-siap jual kursi lobi.”

“Jangan turun ke perang orang lain,” jawab Rengganis. “Kalau kita kelinci, mainnya di kelincahan. Eling lan waspada.

Jokotole menatap papan tulis putih yang penuh coretan: check-in fleksibel, ritual kopi tengah malam, peta rasa kampung, kelas dua jam. Ada panah-panah kecil, rencana eksperimen yang tampak sepele tapi bisa dijalankan tanpa rapat panjang. “Kita bikin pengalaman yang tidak bisa dibanderol di billboard,” katanya. “Yang kalau ditiru pun, rasanya tetap seperti cetakan.”

Malam itu mereka resmi memulai Ritual Kopi Tengah Malam. Lampu lobi diredupkan, kompor kecil dinyalakan. Rengganis menuang air panas ke bubuk kopi Madura, uapnya naik seperti doa. Jokotole bercerita tentang nelayan Kalianget yang membaca arah angin dari kelip air; Samba mengajak tamu menulis satu kalimat jujur pada kertas kecil—kalimat yang tak perlu ditandatangani. Kertas-kertas itu kemudian dimasukkan ke stoples kaca bertuliskan “Semoga Jadi Jalan Pulang.”

“Kenapa namanya ritual?” tanya seorang tamu.

“Karena kebaikan perlu diulang sampai menjadi kebiasaan,” jawab Rengganis. “Witing tresno jalaran saka kulina.

.

Pekan berikutnya, ruang kota bergerak lebih cepat. Aurora mengumumkan grand opening dengan kembang api, konser mini, dan kupon sarapan gratis. Di gang kecil, Rengganis House tak punya kembang api, hanya punya Komo—kucing loreng yang sering tidur di dekat pintu masuk, dan kotak kayu bekas yang dijadikan rak buku kecil “Pinjam—Kembalikan—Tinggalkan Catatan”. Namun ada hal lain yang bergerak diam-diam: setelah ritual kopi pertama, seorang tamu mengunggah potongan video uap kopi dan kalimat-kalimat jujur itu. Video pendek itu menyebar seperti kabar baik. DM Instagram mulai berbunyi: tanya, pesan, cerita.

“Bisa check-in jam sembilan malam, Kak? Aku habis shift.”

“Bisa, asal kasih tahu keinginannya apa,” jawab Samba. “Kamar hangat, musik pelan, atau bantal tambahan?”

“Bantal untuk rindu,” balas mereka, lalu emoji senyum yang menahan tangis.

Rengganis melihat data booking di layar. “Ada pola,” katanya pelan. “Yang datang bukan yang berburu diskon. Mereka yang mencari ruang untuk menurunkan bahu.”

Di papan tulis, Jokotole menambahkan dua eksperimen: Check-in Lentur—jam check-in bisa disesuaikan tanpa biaya; dan Peta Rasa Kota—peta mini berisi rute menuju warung soto jam dua pagi, kios buku bekas di gang buntu, perajin kulit yang menerima kelas hand-stitching dua jam. Mereka menamai paket ini “Dua Jam yang Tidak Akan Kausesali.”

“Kenapa dua jam?” tanya Samba.

“Karena di kota ini, dua jam bisa mengubah pikiran orang,” jawab Jokotole. “Kalau lebih lama, itu liburan. Kalau pas dua jam, itu jeda.”

.

Satu sore yang basah, ketika hujan menabuh atap seng tetangga seperti drum improvisasi, seorang lelaki paruh baya masuk. Jasnya rapi, payungnya hitam mengilap. Ia memperkenalkan diri sebagai Andaka—direktur operasional Aurora.

“Kami mengamati dari jauh,” katanya datar tapi ramah. “Ini tempat kecil yang hangat. Hangat adalah komoditas yang langka. Bagaimana kalau hangat ini kita buat berskala?”

Rengganis mempersilakannya duduk. Jokotole menuang teh rosella. Andaka bercerita tentang skema akuisisi, tentang jaringan pemasaran, tentang angka-angka yang memabukkan.

“Dengan dukungan kami,” katanya, “pengalaman dua jam Anda bisa ada di tiga puluh cabang. Pendapatan Anda lipat ganda. Keamanan masa depan. Standar terjaga.”

Jokotole menghela napas. “Standar itu penting. Tapi beberapa hal bagus karena tidak standar.”

Andaka tersenyum tipis. “Pasar bergerak cepat. Yang hesitasi, tertinggal.”

Rengganis menatap dinding polaroid: senyum kaku para tamu yang baru pertama kali difoto dengan kamera instan; mata sayu para pekerja malam; tawa kecil anak yang memeluk Komo. “Kami tidak menolak besar,” katanya pelan. “Hanya saja, ingin tetap jadi kelinci yang bisa zigzag. Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake.

Andaka bangkit. “Baik. Saya anggap ini bukan penolakan, melainkan jeda.”

Ketika pintu tertutup, lobi kembali kecil. Tapi kelegaan yang menggembung sebentar itu cepat mengempis saat notifikasi masuk: Aurora promosi lebih gila. Sarapan gratis diantarkan ke kamar. Layanan cuci gratis. Diskon ulang tahun bagi semua—bahkan bagi yang bukan sedang ulang tahun, asal mau bernyanyi pelan di lobi.

Samba mengusap wajah. “Kita ini siapa?”

“Pertanyaan yang bagus,” kata Rengganis. “Kita jawab lewat perbuatan.”

.

Malam Malam listrik padam sekelurahan. Suara nafas kota berubah—dari mesin menjadi manusia. Tamu-tamu turun ke lobi, beberapa gelisah. Tanpa menunggu, Samba mengeluarkan lampu-lampu darurat kecil—dibeli Jokotole di pasar minggu lalu “untuk berjaga-jaga”—dan menyalakannya satu-satu. Ruangan jadi kuning keemasan.

“Teman-teman,” ujar Jokotole, “malam ini tak ada TV, tapi ada cerita. Saya mulai, nanti siapa pun boleh menyambung.”

Ia bercerita tentang laut di Sumenep, angin yang kadang bagai ibu yang menimang, kadang seperti ayah yang mendidik dengan suara keras. Rengganis membagi cookies garam laut; seorang tamu mengambil biola dari kotak dan mengalunkan lagu pelan; seorang perawat tentang bagaimana ia belajar tertawa tanpa suara agar tak membangunkan pasien. Lampu-lampu tetangga mulai menyala kembali, tapi di lobi itu, orang-orang tak segera bubar. Mereka duduk lebih lama.

“Mas,” bisik seorang tamu, “besok saya harus presentasi. Bolehkah minta sepuluh menit pagi untuk latihan di lobi, lampunya yang nyala satu saja?”

“Boleh,” kata Jokotole. “Lampu boleh satu, tapi semangat harus dua.”

Keesokan pagi, ia presentasi di lobi kecil itu. Samba memegang timer, Rengganis jadi “audiens bayangan”. Setelah selesai, mereka tepuk tangan pelan. Si tamu pamit, kemudian kembali sore hari dengan dua kotak donat: “Saya diterima kerja.” Di dinding polaroid, kertas kecil tertempel: “Terima kasih untuk berani kecil demi membuat kami besar.”

.

Keberuntungan punya cara datang yang tidak selalu meyakinkan. Video ritual kopi yang sempat diunggah tamu hari itu tiba-tiba menanjak tajam. Komentar berdatangan. “Seperti ruang tamu di kota orang.” “Seperti rumah singgah untuk yang rindu pulang.” Booking naik. Tamu-tamu menulis hal-hal jujur di kertas-kertas kecil, menyumbang cerita yang tak ditemui di brosur wisata.

Samba membawa kabar: repeat guest meningkat. Lama menginap rata-rata bertambah satu malam. Pengeluaran tamu di sekitar hotel ikut naik karena “peta rasa” mereka. Warung soto di gang Buntu yang dulu sepi jam dua pagi sekarang kehabisan cawan. Perajin kulit menambah dua kursi bambu di bengkel, membuka tiga kelas seminggu.

“Agility itu ternyata bukan gerak cepat saja,” kata Jokotole. “Ia juga menyimak cepat. Lalu menambal di tempat.”

Di rapat kecil, mereka menyepakati beasiswa kecil: potongan harga untuk perawat, teknisi listrik, musisi jalanan—mereka yang mengisi malam kota. “Sepi ing pamrih, rame ing gawe,” ucap Rengganis. Di ujung catatan, ia menulis: “Jangan menabur duri di jalan orang lain; bisa jadi kelak kita berjalan di jalan yang sama tanpa alas kaki.”

.

Namun badai dari dalam selalu lebih merepotkan. Suatu pagi, Samba menerima telepon. Ibunya di Pamekasan masuk rumah sakit. Wajah gesit itu pucat.

“Pulang,” kata Jokotole, tak menunggu Samba meminta izin. “Keluarga dulu. Kami jaga kota kecilmu di sini.”

Hari-hari itu, roda operasional pincang. DM menumpuk, AC lantai tiga menetes. Rengganis mengambil peran guest relation dan konten media; Jokotole belajar jadi teknisi dadakan, dibantu tutorial video yang ia tonton sambil menyeka keringat. Setiap malam, mereka duduk di anak tangga lobi makan roti sisa sarapan sambil menghitung hal-hal kecil yang berhasil. Ada tawa pendek, ada mata yang basah, ada tangan yang saling meremas ketika mesin laundry mendadak berhenti.

“Kalau begini terus, kita akan patah,” lirih Rengganis.

“Kita boleh rapuh,” kata Jokotole. “Yang penting tidak salah arah. Alon-alon asal kelakon itu bukan lambat; itu hati-hati. Begitu yakin, berlari.”

Samba kembali tiga hari kemudian. Ibu membaik. Ia mencium tangan Rengganis dan Jokotole. Malam itu mereka bertiga menonton hujan dari ambang pintu lobi. Komo, kucing loreng, tidur di karpet kecil seperti segitiga hangat.

.

Andaka datang lagi, tanpa jas, hanya kemeja lengan digulung. Wajahnya lebih ramah, seperti seseorang yang baru saja melepaskan dasi panjang. “Saya salah duga,” katanya pelan. “Saya kira kalian sentimentil. Ternyata kalian sistematis. Sentimen yang dilatih.”

Ia menawari kemitraan uji coba: pengalaman dua jam dipasang di dua properti Aurora, tapi dengan syarat—tim Rengganis House memimpin pelatihan host, dan tidak ada ritual yang diganti gimmick.

“Kami tidak ingin kehangatan jatuh jadi prosedur,” kata Rengganis. “Kehangatan harus ditelurkan dari kebiasaan, bukan dari skrip.”

Andaka tersenyum. “Setuju.”

Mereka berjabat tangan. Tidak ada kembang api. Hanya tiga cangkir teh dan dua piring pisang goreng. Tapi untuk pertama kalinya, Jokotole melihat sesuatu di mata Andaka: lapisan manusia yang selama ini tertutup laporan.

.

Tiga bulan berlalu. Kota berdetak seperti biasa: macet, panas, hujan, teriakan pedagang, suara sirene ambulan, lagu dangdut yang tumpah dari warung kopi. Di tengah itu, Rengganis House tetap kecil, tapi tak lagi merasa sendirian. Dinding polaroid memanjang sampai pojokan, stoples “jalan pulang” bertambah satu—yang lama sudah penuh. Warung soto di gang buntu memasang jam tambahan di dinding: “Pukul dua—pukul empat”—jam khusus untuk tamu yang datang dengan mata merah.

Pada ritual kopi keseratus, lobi penuh. Rengganis membuka dengan suara yang nyaris bergetar:
“> Jangan takut menjadi kecil, takutlah menjadi besar yang kehilangan kepekaan.

Orang-orang hening. Jokotole menatap wajah-wajah itu, seperti membaca puisi di udara: perawat, barista, pegawai pabrik, mahasiswa perantau, pemain biola, sopir malam, pegawai bank, dan satu lelaki yang dulu datang dengan jas rapi—kini duduk santai dengan lengan kemeja tergulung, tersenyum kecil. Andaka.

Ia mengangkat cangkir. “Saya belajar sesuatu. Raksasa memang bisa berlari di jalan lurus. Tapi di kota, jalan jarang lurus. Terima kasih sudah menunjukkan zigzag tanpa sinis.”

Malam itu ada yang bernyanyi pelan. Ada yang menulis kalimat jujur: “Aku akan pulang ke rumah dan menelepon ayah.” Ada yang menuliskan: “Besok aku mengajukan cuti untuk melihat anakku pentas.” Ada yang hanya menggambar hati kecil dan menulis: “Terima kasih telah membuatku merasa cukup.”

.

Pagi setelahnya, Jokotole pulang sebentar ke Sumenep. Naik kapal motor ke Kalianget, ia duduk di geladak, mencium asin yang ia rindukan. Di rumah panggung, ibunya menjemur ikan, menepuk-nepuk bahunya pelan. “Kota itu seperti laut, Totol. Bukan untuk dilawan, tapi untuk dibaca. Kalau angin berubah, jangan marah. Pindahkan layar.”

Di perjalanan balik, ia menulis di ponsel beberapa kalimat untuk dirinya sendiri:

  • Agility adalah adab kepada perubahan: menyimak, menimbang, dan menjejak tanpa menabrak.

  • Pengalaman hangat tidak bisa dibundel. Ia ditenun dari kebiasaan kecil.

  • Lebih baik menjadi kelinci yang kembali ke lubang aman daripada menjadi singa yang lupa pulang.

Sesampainya di lobi, Rengganis menunggu dengan mata sedikit panda. “Tadi sore ada gadis dari Banyuwangi. Wawancara kerja lagi. Dia minta doa.”

“Sudah kita doakan?”

“Sudah. Dengan kopi.”

Mereka tertawa kecil. Di dinding, polaroid baru menempel. Di stoples, kertas-kertas jujur bertambah. Kota di luar tetap deras, tapi di dalam lobi itu, waktu seperti mengerem sedikit agar orang sempat mengikat tali sepatu.

.

Menjelang tengah malam, ketika ritual kopi usai dan orang-orang kembali ke kamar, Jokotole menulis di buku tamu:

“Kita tidak sedang melawan raksasa. Kita sedang melatih telinga agar peka pada langkah-langkah kecil. Karena di kota, yang paling pelan pun bisa paling lama tinggal di hati.”

Ia menutup buku, mematikan sebagian lampu. Komo menggeliat, mengeong pelan, lalu tidur lagi. Di luar, Jakarta berderu. Dalam mimpinya, Jokotole melihat seekor kelinci melompat di atas punggung kota, tidak takut pada bayangan besar, karena ia tahu: ada banyak gang kecil untuk pulang.

Dan di sana, di gang yang menampung hujan dan lampu sisa, Rengganis House terus berdetak—seperti doa yang diulang, seperti nyala kecil yang dijaga dengan telaten. Bukan karena ingin mengalahkan siapa pun, melainkan karena percaya bahwa yang gesit, yang peka, yang tekun belajar, pada akhirnya akan menemukan jalannya sendiri.

“Bukan semua yang cepat sampai lebih bahagia; yang bahagia adalah yang tahu kapan berbelok, kapan menunggu, dan kapan berlari lagi.”

.

.

.

Jember, 29 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Agility #Hospitality #Pariwisata #CerpenUrban #FilosofiJawa #Jakarta #CustomerExperience #BisnisLincah #Storytelling

Leave a Reply