Siwalan Terakhir

“Kadang, yang kita sebut kekalahan hanyalah tapal batas; di baliknya ada halaman rumah kita sendiri—tempat pulang yang selama ini kita cari.”

.

Malam di Surabaya bergerak seperti kereta malam yang tak pernah benar-benar berhenti. Lampu-lampu flyover meneteskan kilau pada aspal basah, dan dari jendela apartemen sewaan lantai delapan, Umar menatap ke arah barat. Di sana, sisa jingga melebur dengan kelabu, seperti dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa lagi menyebut satu sama lain sebagai rumah.

Umar menua perlahan dalam kemeja yang tak lagi disetrika rapi. Jam dinding murahan berdetak, mengingatkannya pada sesuatu yang ia tunda terlalu lama: keputusan. Ia mengusap layar ponselnya—tak ada panggilan dari kantor, tak ada kabar dari teman-teman rapat yang dulu memanggilnya “bro” tiap lima menit. Hanya notifikasi pembayaran listrik yang jatuh tempo, dan satu pesan pendek dari Arimbi yang ia baca berulang-ulang, seperti doa yang tak berani ia aminkan: “Jaga dirimu. Kita baik-baik saja meski tidak lagi bersama.”

.

Kota, Kopi, dan Nama Keluarga

Nama belakang Umar adalah sesuatu yang di keluarganya dibisikkan seperti sandi: garis menurun Menak Madura. Dulu, kakeknya gemar bercerita tentang Umar Maya—lelaki yang menawar nasib dengan keberanian, yang menyelipkan kehormatan di saku baju seperti saputangan. Tapi di kota, nama besar tak mempengaruhi suku bunga KPR. Ia manajer menengah di perusahaan properti yang sedang naik daun; cukup untuk membelikan keponakan kue ulang tahun, tak cukup untuk menahan perempuan yang ia cintai agar tidak memilih lelaki lain yang lebih “ada”.

Arimbi, gadis bermata teduh dengan suara yang selalu turun setengah nada saat gugup, dulu menunggu Umar di halte bus depan kampus. Mereka memimpikan rumah kecil, halaman dengan pohon siwalan, dan suara radio yang memutar berita pagi. Lalu kota mengajarkan pada mereka leksikon baru: down payment, status, brand image, cashflow. Pada kosakata itulah cinta mereka retak.

Di ruang rapat berlantai kaca, nama Wahab menjadi perbincangan. Sepupu jauh yang dulu mirip bayangan di foto keluarga, kini memimpin jaringan restoran yang tumbuh seperti jamur sesudah hujan. Di layar televisi, Wahab diwawancara: jas licin, senyum yang diatur, kalimat yang tajam. “Kunci bertahan di kota adalah membaca selera orang sebelum orang sadar mereka menginginkannya,” katanya.

Umar menelan ludah. Ia ingat: selera Arimbi juga pernah “dibaca” seseorang sebelum ia bisa menjaganya.

.

Retak yang Menjadi Pintu

Pagi itu, berita menyergap kantor seperti angin kotor yang menerobos celah-celah jendela. Perusahaan tersangkut kasus suap perizinan. Dokumen bocor. Nama-nama dicocokkan. Umar, yang menjaga unit legal namun tak berwenang memutuskan, disebut dalam satu memo rapat sebagai pihak yang “mengamini” pelicin. Ia berusaha menjelaskan, tapi di kota, penjelasan sering datang terlambat, dan orang terlanjur memilih diam daripada percaya.

Manajer HR mengajaknya bicara di ruang kecil dengan AC yang terlalu dingin. “Kita ambil opsi terbaik untuk semua pihak. Resign on mutual agreement. Nanti kita bantu reference yang aman.”

“Jadi saya kambing hitam?” tanya Umar, suaranya pecah.

“Jangan begitu, Mar. Kita semua korban keadaan.”
Umar tersenyum. Di kota, korban dan pelaku sering duduk di kursi yang sama, hanya panggilan telepon yang membedakan.

Malamnya, ia pulang membawa kardus berisi sisa-sisa karier: mug bertulisan “Best Team 2023”, lanyard biru, dan notebook dengan halaman-halaman kosong. Ia menyalakan kompor, merebus mie, dan ketika air berbunyi, ia menyadari: yang paling ia rindukan adalah suara seseorang menyuruhnya berhenti menatap panci karena air memang akan mendidih tanpa dipandangi.

Pesan dari Arimbi datang seperti hujan deras yang menutup jarak sekaligus membuka jarak yang lain: “Aku percaya kau bukan orang jahat, Umar. Tapi aku sudah memilih hidup yang tenang. Maafkan aku.”

Umar mematikan kompor. Mie kelewat matang.

.

Jalan Sunyi Menempa Ujung Jari

Ia mulai bekerja serabutan. Pagi menjadi sopir daring, siang menulis artikel berbayar seratus ribu tentang “tips menata ruang minimalis”, malam membantu kawan SMA—Jaya—membuka kios kopi kecil di gang sempit dekat kampus: Siwalan Brew. Nama itu mereka pilih bersama, seperti menamai bayi tanpa upacara. “Biar orang mengingat rasa pulang,” kata Jaya. “Karena pulang itu aroma.”

Kopi mereka bukan kopi yang bisa memesan papan iklan, tapi ia punya cara bercerita sendiri: cold brew dengan gula siwalan, affogato dengan gelato garam laut, dan manual brew yang menetes pelan seperti penantian.

Di sana, Umar belajar lagi menghitung: bukan laba rugi, melainkan detik—berapa lama ia menunggu air mencapai sembilan puluh dua derajat, berapa putaran ia memutar gooseneck kettle, dan berapa banyak kata ia perlu untuk menjawab pertanyaan orang asing tentang kenapa kopi bisa sehangat pelukan.

Pada satu dini hari, saat keringatnya bercampur uap dan lagu indie murung mengisi celah-celah udara, seorang perempuan muda dengan kamera menggantung di leher berhenti di depan kios. “Saya Rengganis, freelance journalist,” katanya. “Boleh saya tulis tempat ini? Ada rasa yang pernah hilang di sini.”

“Rasa apa?”

“Rasa disayang,” jawabnya, enteng, tapi matanya basah. Umar tak menanyai lebih lanjut. Di kota, alasan paling jujur sering terdengar ganjil.

Tulisan Rengganis menjadi benih pertama. Siwalan Brew masuk ke blog komunitas, lalu timeline orang-orang. Mereka datang bukan hanya untuk kopi, tapi untuk cerita. Untuk poster kecil di dinding: “Bagi kami, yang paling pahit bukan kopi yang gosong, melainkan kata-kata yang tak pernah jadi sampai.” Untuk cara Umar tersenyum—tersenyum yang tidak selalu utuh, tapi bisa membuat orang membayangkan rumah.

.

Festival, Panggung, dan Luka yang Bertepuk

Setahun berjalan, Siwalan Brew mendapat undangan festival kuliner kota. Alun-alun disulap menjadi pasar malam raksasa. Stand-stand tumpah ruah warna, bau sate bercampur truffle, suara band indie tabrakan dengan kasidah. Umar menyiapkan signature baru: Es Siwalan Kota, kopi dingin dengan sirup siwalan, jeruk nipis, dan busa tipis yang disapa udara seperti rahasia.

Ketika matahari turun, kerumunan merapat. Tangan-tangan membayar, mulut-mulut menyebut “nikmat”, “aneh”, “unik”—kata-kata yang di kota bisa jadi pujian atau ejekan, tergantung siapa yang mengucapkannya.

Umar sedang mengisi gelas ketika seseorang berhenti di seberang meja. Arimbi. Rambutnya disanggul sederhana, baju pastel yang membikin sore terasa menyejuk. Ia tersenyum ragu. “Kau masih suka menunggu air di titik yang tepat.”

“Dan kau masih suka menyebut nama orang dengan lengkap saat cemas.” Umar melirih, mencoba bercanda pada nasib.

Mereka duduk di bangku lipat di belakang stand. Arimbi bercerita secukupnya: tentang pekerjaan baru di kantor konsultan komunikasi, tentang lelah yang ia obati dengan lari pagi dan doa pelan, tentang alasan sederhana memilih lelaki yang bukan Umar—“Aku takut lapar,” katanya, jujur. “Bukan lapar perut. Lapar kepastian.”

Umar mengangguk. Kota membuat orang lapar dengan cara yang tak terlihat.

Di ujung malam, sorak-sorai bergerak seperti ombak. Wahab naik ke panggung menerima penghargaan “Pelaku Kuliner Kota Tahun Ini”. Ia tampak persis di televisi: terukur, tegas, seolah hidup telah lama tunduk padanya. Kamera menyorot, kembang api meledak, dan untuk sesaat, Umar kembali berusia dua puluh tiga—ketika kalah terasa seperti vonis, bukan pelajaran.

Arimbi menoleh. “Kau marah?”

“Aku pernah,” jawab Umar. “Sekarang aku hanya ingin menjual habis stok gula siwalan.”

Mereka tertawa pelan, bukan pada lelucon, melainkan pada keletihan yang sama-sama mereka kenali.

.

Yang Disembunyikan Kota

Rengganis datang ke kios dua minggu setelah festival, membawa kabar seperti cat air yang ditumpahkan: kabur tapi menyisakan warna. “Aku menulis profilmu. Banyak yang suka. Tapi ada sesuatu yang lain.” Ia berhenti, mencari kalimat. “Tentang kasus kantormu dulu. Ada pola. Nama di memo itu bukan kebetulan. Ada aliran dana ke yayasan yang kebetulan terhubung ke… orang yang sangat kita kenal.”

“Wahab?” kata Umar, pelan.

Rengganis tak menjawab. Ia hanya meletakkan flashdisk di meja. “Kusimpan salinan. Kalau kau tidak ingin membukanya, tak apa. Kadang kebenaran justru menjauhkan kita dari damai.”

Malam itu, Umar duduk di depan laptop bekas yang kipasnya bersuara seperti rintih. Ia membuka file satu per satu: tabel, catatan, surel yang bcc-nya mencurigakan. Nama Wahab tidak terpampang telanjang, tapi jejaknya—perusahaan cangkang, donasi, endorsement proyek—mengalir seperti arus yang tak butuh papan penanda.

Umar memejam. Ada amarah lama yang ingin tumbuh jadi hutan. Ada keinginan menelpon Arimbi, mengatakan sesuatu yang selama ini ia tahan: bahwa pilihan juga bisa salah; bahwa kota lebih kejam daripada yang mereka sangka. Namun ia menahan.

Pagi berikutnya, ia menulis di papan kecil kios:
“Kita tidak menyelesaikan dendam dengan membalas; kita menuntaskannya dengan tumbuh lebih tinggi dari yang pernah melukai.”

Pengunjung memotret. Ada yang menganggapnya romantis, ada yang menyebutnya naif. Bagi Umar, kalimat itu semacam penyangga agar langit tidak jatuh.

.

Gula Siwalan, Garam Laut, dan Rencana yang Jernih

Musim berganti. Siwalan Brew membuka cabang kecil di ujung kota: ruko sempit yang dulunya toko mainan, sekarang rak-rak kayu aroma balsem. Jaya mengurus gudang, Umar mengurus lantai. Mereka merekrut dua barista muda yang lebih piawai memainkan latte art daripada menata patah hati.

Arimbi kadang datang diam-diam. Mereka belajar menjadi dua orang dewasa yang bisa duduk di meja yang sama tanpa menanyakan “kenapa dulu tidak…”. Di beberapa sore, mereka membaca buku—Umar memoir musisi lama yang bangkit, Arimbi reportase perang yang mengajarkan bahwa hening pun punya suara. Di beberapa malam, mereka hanya saling bertukar kabar: “Lampu apartemenmu mulai redup.”Aku tahu, tapi aku suka cahaya yang enggan padam.

Pada satu Minggu yang sejuk, Rengganis membawa kabar baru: media nasional tertarik pada profil Siwalan Brew yang “mengangkat rasa lokal dengan bahasa kota”. Mereka minta merekam proses; ingin melihat Umar menghitung tetes, ingin mewawancarai pelanggan yang kebetulan datang untuk tenang.

“Kalau aku boleh sarankan,” kata Rengganis, “di akhir liputan, sebutlah harapanmu. Bukan dendammu. Kamera menyukai kejujuran yang tak menggurui.”

Umar mengangguk. Ia telah lama menyiapkan kalimat yang tidak ia bagi kepada siapa pun: “Aku ingin orang-orang tahu, kehormatan bisa dikejar tanpa menjejak bahu orang lain.”

.

Panggung yang Menguji dan Meneguhkan

Hari liputan, kota seperti menyisakan rezeki. Hujan turun tepat sebelum kru datang, meninggalkan aroma tanah yang berbaur dengan gula siwalan. Umar mengenakan kemeja putih sederhana. Kamera bergerak, merekam bunyi uap, gelas yang beradu, senyum pelanggan yang tak semua take ulang.

Pada sesi wawancara, juru kamera bertanya hal yang klise tapi tak pernah mudah: “Kalau Anda bisa kembali ke hari ketika nama Anda terseret, apa yang Anda ubah?”

Umar menatap kaca etalase, melihat dirinya terpantul, sedikit gemetar. “Aku akan meminta maaf lebih cepat pada diriku sendiri,” katanya. “Karena terlalu lama percaya bahwa harga diri hanya tinggal jika orang lain membenarkannya.”

Setelah liputan, seseorang menunggu di depan kios. Wahab. Ia datang tanpa rombongan, hanya mobil yang berhenti agak jauh. Wajahnya lebih lelah dari yang terlihat di TV.

“Kau tumbuh perkara besar dari secangkir kopi,” katanya, setengah memuji, setengah mencibir. “Selamat.”

“Terima kasih,” jawab Umar, menjaga suaranya agar tetap di suhu ruang.

“Aku dengar ada yang menggali masa lalu. Hati-hati. Di kota, kebenaran sering kalah cepat dari narasi.”
Umar menatap lurus. “Aku hanya menyeduh kopi. Sisanya, biar orang-orang cium sendiri aromanya.”

Wahab tertawa hambar. “Kau tetap Umar yang tak mau membuat perjanjian gelap. Itu kekuatan sekaligus kelemahanmu.” Ia melambai, pergi seperti angin yang lupa tujuan.

Umar berdiri lama, memandangi jejak ban yang cepat mengering di aspal.

.

Retakan yang Menjadi Cahaya

Liputan itu tayang dan meledakkan timeline. Siwalan Brew kebanjiran pelanggan. Banyak yang datang membawa kisah, menukar uang dengan secangkir keberanian. Di sela-sela itu, media lain mempublikasikan investigasi—Rengganis termasuk penulisnya. Kasus perusahaan properti lama Umar dibuka lebih terang. Nama Wahab tidak muncul sebagai tersangka, tapi cukup untuk membuat panggungnya goyah.

Arimbi menelpon malam itu. “Kau baik-baik saja?”
“Baik,” kata Umar. “Kopi tetap harus turun di sembilan puluh dua derajat.”
“Kau… marah?”
Umar tersenyum pada udara. “Tidak. Aku sedang sibuk melatih barista baru agar busa affogato tidak jatuh sebelum waktunya.”

Hening sejenak. “Umar… kalau waktu bisa diputar, apa yang kau minta dariku?”
“Jangan minta maaf karena memilih dirimu sendiri,” kata Umar. “Tapi jangan lupa mampir kalau rindu rasa rumah.”

Arimbi menangis pelan. Di kota, orang dewasa sering menangis seperti itu: tanpa suara, dengan jeda yang tahu diri.

.

Siwalan Terakhir

Kota bergerak lagi. Siwalan Brew membuka cabang ketiga—bukan di jalan utama, melainkan di gang yang bau kenangan. Di sana mereka menanam satu pohon siwalan kecil di pot semen, sebagai penanda bahwa pulang bisa ditanam di mana saja sepanjang disirami.

Pada suatu senja, Umar menuang kopi untuk dirinya sendiri. Ia duduk di kursi paling pojok, kursi yang ia simpan hanya untuk menulis. Di buku catatannya, ia menulis:

“Aku pernah kehilangan pekerjaanku, kekasihku, dan kepercayaanku sendiri. Aku pernah hendak menukar kehormatan dengan jalan pintas. Tapi kota ini—yang sering kita salahkan—justru mengajariku cara berdiri. Tidak dengan bahu orang lain, melainkan dengan telapak tangan sendiri yang belepotan gula.”

Jaya menghampiri, meletakkan amplop. “Undangan. Kita diminta jadi narasumber di forum UMKM kota.”
Umar tertawa kecil. “Aku dulu takut panggung.”
“Sekarang panggung yang takut kau tidak hadir.”

Malam turun. Lampu-lampu menyala. Di meja kasir, ada kertas kecil yang ditempel Rengganis: “Terima kasih sudah membiarkan kami percaya bahwa yang terjatuh bisa indah ketika bangkit.”
Umar menatap kertas itu lama-lama. Ia menyesap kopinya yang sudah agak dingin, lalu menutup buku catatan.

Di luar, angin mengaduk daun siwalan kecil. Di dalam, jam dinding murah masih berdetak, tapi suaranya kini terdengar seperti musik.

.

“Kehormatan tidak mewah, ia sederhana: menolak jalan pintas ketika kaki masih bisa melangkah.”

Di kota yang selalu terburu-buru, Umar akhirnya menemukan ritme yang bisa ia sebut sebagai miliknya. Ia tak lagi bayangan siapa pun. Ia bukan kisah dendam, bukan juga dongeng kemenangan. Ia hanya lelaki yang belajar membiarkan air mencapai suhu yang tepat—lalu menuangkannya tanpa gemetar.

Dan di atas kota, pada senja yang tak terburu-buru, ia mengerti: siwalan terakhir bukan tentang buah atau gula; melainkan tentang manis yang kita aduk sendiri, tepat sebelum hidup kita hirup pelan-pelan.

.

.

.

Jember, 27 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMinggu #MenakMadura #CeritaKota #SastraModern #Kopi #EmotionalWriting

.

Kutipan pull-quote di dalam naskah

  • “Di kota, korban dan pelaku sering duduk di kursi yang sama; hanya panggilan telepon yang membedakan.”

  • “Yang paling pahit bukan kopi gosong, melainkan kata-kata yang tak pernah jadi sampai.”

  • “Kita tidak menyelesaikan dendam dengan membalas; kita menuntaskannya dengan tumbuh lebih tinggi dari yang pernah melukai.”

Leave a Reply