Senyap di Ujung Kota
“Aku tidak berubah, aku hanya berhenti menjadi versi yang selalu mengerti segalanya.”
.
Jakarta dan Jejak Kelelahan yang Tak Terucap
Jakarta, pukul enam sore. Langit menggantung abu-abu, bising klakson menyalak tak kenal lelah, dan di tengah padatnya langkah manusia yang sibuk mengejar hidup, seseorang berdiri sendiri di halte bus tanpa lagi merasa perlu menjelaskan keberadaannya: Seta.
Dulu, dia adalah tipe yang selalu ada. Pendengar paling sabar, pengalah dalam setiap konflik, penambal lubang yang ditinggal orang lain. Tapi petang itu, ia hanya ingin duduk diam. Menolak percakapan basa-basi, menolak permintaan yang tak lagi bernurani.
Seta tinggal di kawasan Cipinang, sebuah apartemen kecil yang dulu ia beli bersama harapan-harapan masa muda. Harapan itu kini hanya tinggal lembar-lembar memo bekas tempelan di kulkas. Tentang ulang tahun seseorang, tentang janji makan malam yang tak pernah jadi, dan catatan kecil bertuliskan “Sabar ya, Set… semua akan baik-baik saja.”
.
Karna di Meja Kerja
Di tempat kerja, Seta adalah Karna—setia, tangguh, tapi sering disalahkan. Kantornya, sebuah agensi pemasaran di kawasan Kuningan, tak pernah benar-benar memberinya tempat untuk bersuara. Ia hanya dikenal karena selalu mengerti. Mengerti jika deadline mepet. Mengerti kalau rekan kerjanya absen. Mengerti jika atasannya meledak-ledak karena tekanan investor.
“Seta, bisa bantu rapihin presentasi Bima ya. Dia ada urusan keluarga,” kata Yuni, rekan kerja yang lebih muda dan sudah dua kali naik jabatan lebih cepat darinya.
Seta hanya mengangguk. Seperti biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ia membuka dokumen PowerPoint itu, lalu menutupnya. Ia berdiri, meninggalkan meja, dan keluar dari kantor tanpa menoleh. Di bawah langit Jakarta yang mulai gerimis, ia berjalan pulang. Tanpa jas hujan. Tanpa penjelasan.
.
Lemari yang Penuh Kenangan
Malam itu, ia membuka lemari kecil di kamarnya. Di sana tergantung kemeja batik pemberian Arjuna—sahabatnya yang kini hanya muncul jika ada keperluan pinjam uang atau butuh tumpangan tidur. Di rak, masih ada mug dari Srikandi, mantan kekasihnya yang meninggalkannya tanpa kata-kata karena merasa “Seta terlalu baik.”
Ia menyalakan lilin kecil. Menyeduh kopi. Duduk di lantai. Dan menulis.
“Aku tidak berubah. Aku hanya berhenti memaksa diriku untuk tetap hadir di tempat yang tidak pernah menghargai.”
.
Hari yang Retak di Kantor
Keesokan harinya, pesan dari grup WhatsApp kantor bertubi-tubi masuk. Menanyakan keberadaan Seta. Presentasi kacau. Klien pergi. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Seta tidak membalas apa pun.
Di ruang meeting lantai 12, suasana mencekam. Bima tidak bisa menjelaskan data yang bukan dia yang buat. Yuni panik, mencoba menambal-tambal file yang ia sendiri tidak kuasai.
“Mana Seta? Kok tiba-tiba hilang?” tanya Direktur, wajahnya merah padam.
Tak ada yang bisa menjawab. Karena semua selama ini hanya tahu Seta akan selalu datang menyelamatkan, tanpa pernah bertanya apakah ia sendiri ingin diselamatkan.
.
Perjalanan ke Selatan
Ia naik kereta ke Bogor. Duduk di gerbong paling ujung. Membiarkan musik dari earphone-nya memeluknya. Menatap pohon-pohon yang lewat di jendela seperti adegan film yang diam-diam memintanya memilih: bertahan atau pergi.
Ia memilih pergi. Bukan karena lemah. Tapi karena cukup kuat untuk berhenti.
Setibanya di Puncak, ia berjalan menyusuri gang kecil di dekat Curug Cilember. Di situ ia menemukan kafe kayu bernama “SelaRasa.” Pemiliknya, perempuan setengah baya bernama Kunti, menerima lamaran kerja Seta tanpa banyak tanya.
“Kalau kamu butuh tenang, tempat ini memang bukan untuk terburu-buru,” katanya.
.
Dari Barista untuk Diri Sendiri
Hari-hari berlalu tanpa deadline, tanpa gosip kantor, tanpa orang-orang yang menilai berdasarkan asumsi. Di balik mesin espresso, Seta menemukan dirinya kembali. Menyeduh dengan sepenuh hati, seperti dulu ia menyeduh harapan untuk orang lain.
Suatu sore, seorang pria muda datang. Namanya Ekal. Ia bertanya, “Mas Seta, kenapa pindah ke sini? Gajinya pasti jauh lebih kecil dari Jakarta.”
Seta tersenyum, tidak menjawab. Ia hanya memberikan cangkir kopi hangat dengan sepotong kertas kecil berisi tulisan tangan:
“Aku tidak sedang marah, tidak juga membenci. Aku hanya sedang memilih tenang… karena ternyata damai jauh lebih menyelamatkan daripada sibuk membuktikan.”
Ekal membaca, terdiam, lalu duduk lebih lama dari biasanya.
.
Di Antara yang Menyesal
Sementara itu di Jakarta, kantor mulai mencari pengganti Seta. Tak ada yang bisa menggantikan sepenuhnya. File-nya rapi, dokumentasinya lengkap, tapi auranya—rasa ‘dimengerti’ yang ia beri diam-diam—tidak lagi ada. Bima mengeluh, Yuni frustasi, dan manajer mulai mempertanyakan semua.
“Kita kehilangannya karena kita menganggap dia tidak pernah lelah,” kata salah satu HR. Tapi seperti biasa, kalimat itu hanya terucap saat semua sudah terlambat.
Arjuna datang ke apartemen Seta, hanya mendapati kunci tergantung di gagang pintu dan memo kecil bertuliskan:
“Terima kasih telah menjadikanku tempat menampungmu, meski kamu tak pernah menanyakan perasaanku.”
.
Ketika yang Pergi Justru Menemukan Arah
Seta kini tinggal di sebuah rumah kecil berdinding kayu. Ia menanam tomat, menyiram bunga, dan setiap sore menulis surat untuk dirinya sendiri.
“Yang menjauh, biarlah pergi. Yang salah paham, biarlah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Yang menilai buruk, silakan. Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun.”
Suatu pagi, Srikandi datang. Ia mencari kopi, tapi lebih dari itu, mencari seseorang yang ia tinggalkan dengan gegabah.
“Seta… kamu baik-baik saja?”
Seta menatap mata yang dulu pernah ia cintai tanpa pamrih.
“Aku selalu baik. Hanya saja dulu aku terlalu sibuk meyakinkan orang lain akan itu. Sekarang aku cukup meyakinkan diriku sendiri.”
Srikandi terdiam. Dan untuk pertama kalinya, ia mengerti. Tapi kali ini, ia datang terlambat. Karena seseorang yang telah berdamai dengan dirinya, tidak lagi butuh pengakuan dari masa lalu.
.
Senyap di Ujung Kota
Hujan kembali turun malam itu. Seta duduk di teras. Dengan secangkir kopi dan sepotong tenang.
Ia tahu hidup bukan tentang menjelaskan segalanya. Tapi tentang berdamai.
Dan di senyap ujung kota, ia akhirnya menemukan rumah: dirinya sendiri.
.
.
.
Jember, 29 Juli 2025
.
.
#CerpenKompas #KehidupanJakarta #SelfHealing #PilihTenang #BerhentiMengerti #CeritaUrban #CerpenIndonesia