Senyap dalam Kepemimpinan

“Kekuatan seorang pemimpin tak selalu terdengar. Kadang ia terasa: setenang jeda, setajam tatapan, seteduh tangan yang menuntun tanpa menarik.”

.

“Jangan hanya kagum pada pemimpin yang bersuara lantang. Kadang, yang paling bijak justru diam, berpikir, dan bertindak saat semua orang sibuk bicara.”

Senin pagi itu, Jakarta seperti biasa: gaduh, terburu-buru, dan penuh kompromi. Di antara deru klakson dan laju kendaraan yang berebut ruang, seorang pria berbatik biru tua turun dari Transjakarta di halte Dukuh Atas. Namanya Yudha. Sosoknya tenang; rambutnya nyaris penuh uban, namun matanya menyimpan semangat yang tak lekang. Angin dari kolong flyover membawa bau aspal dan sisa hujan dini hari. Di atas trotoar berubin yang licin, orang-orang memegang kopi kertas, mengetik pesan di ponsel, memperbaiki masker, menawar ojek daring.

Yudha menyelinap ke arus manusia yang mengalir ke gedung kaca tempat ia bekerja: sebuah perusahaan konsultan strategis dengan klien dari konglomerasi ritel hingga teknologi finansial. Delapan tahun ia pimpin firma itu; delapan tahun ia menyalakan obor budaya kerja yang ia sebut: “tajam seperti jarum, hangat seperti lampu.” Tapi hari ini lain. Rapat direksi jam sembilan bukan lagi soal strategi kuartal berikutnya. Hari ini tentang peralihan—tentang siapa yang akan duduk di kursi yang selama ini ia panaskan dengan keputusan-keputusan sunyi.

Di ruang rapat lantai 27, langit Jakarta tersusun di balik jendela. Lima nama terpampang pada agenda: Jayeng, Umar, Madi, Wirapati, dan Sabrang. Nama-nama itu ia pilih sendiri, bertahun-tahun lalu, saat ia menulis panduan nama panggilan untuk talenta muda—adaptasi dari kisah Menak Madura yang pernah ia dengar dari kakeknya di kampung halaman. “Agar kau ingat,” tulisnya waktu itu, “bahwa ambisi modern pun bisa punya darah lama.”

Mereka masuk satu per satu. Dasi terikat rapi. Jam tangan menyala halus. Sepatu mengilap. PowerPoint siap menyalak.

Yudha berdiri, menatap dengan jarak yang adil. “Saya tidak butuh pemimpin yang hanya pintar berkata-kata,” ucapnya. “Saya butuh pemimpin yang menanam tujuh sifat kepemimpinan dalam tindakan: visi, komitmen, integritas, adaptasi, komunikasi, kecerdasan emosional, dan hasil.”

Jayeng berbicara pertama. Suaranya berat namun lembut, presentasinya ringkas. Ia bicara tentang menyeimbangkan pertumbuhan dan keberlanjutan, tentang mengurangi kebisingan rapat, tentang mengembalikan fokus pada tiga metrik yang berarti. Tanpa hiperbola.

Umar datang dengan ledakan energi. Grafik menanjak, timeline padat. Ia janji “berlari lebih kencang”, “melipat gandakan jam kerja”, “selalu online”.

Madi fleksibel: “Kita harus gesit,” katanya. “Pivot cepat, kembang kempiskan tim sesuai proyek.”

Wirapati memukau dengan retorika: tiap slide diberi kutipan, tiap kutipan ditebalkan. Kata-kata manis seperti lampion. Sorot mata beberapa direksi sempat terpesona.

Sabrang paling sederhana. Ia banyak bertanya: “Apa yang paling mengganjal di meja Anda?” Ia menahan diri untuk tak menggurui. Ia mencatat. Semua terasa biasa—dan justru itu yang menempel dalam benak Yudha.

Yudha mendengarkan tanpa banyak menyela. Ia tahu panggung mudah memperdaya. Kepemimpinan, pikirnya, bukan mikrofon yang dipasang keras-keras; ia lebih mirip barometer: senyap, tapi membaca tekanan.

.

Tiga hari selepas presentasi, Yudha turun dari menara. Ia melepas jas, menggulung lengan kemeja, menyematkan name tag tamu, dan menyamar sebagai “pengamat proses” yang dikirim kantor pusat. Ia duduk di pojok pantry, di coworking lantai mezzanine, di ruang diskusi kecil yang dindingnya penuh post-it. Ia ingin mendengar bunyi-bunyi di balik angka.

Ia menyaksikan Jayeng mengakhiri rapat lima belas menit lebih cepat demi memberi ruang tanya staf junior. “Yang belum paham, jangan malu. Lebih mahal memperbaiki salah paham daripada memperbanyak pertanyaan.” Ia menutup laptop ketika anak magang mengetuk pintu, “Mas, boleh minta dua menit?” Dua menit jadi lima. Lima jadi sepuluh. Di ujung, anak itu pulang dengan wajah lega.

Ia mendapati Umar mengetik pesan di grup pukul 00.48: “Besok presentasi jam delapan, semua deck revisi versi 7.1 ya.” Besoknya, Umar menang, presentasi mengalir cepat; namun sehabis rapat ada yang memijat tengkuk—kelelahan tertawa tanpa suara.

Ia melihat Madi berdiri di depan whiteboard: lincah, sigap, bergerak bagai penari. Tapi setiap keputusan berubah seperti kemudi yang gampang oleng. Timnya cepat, namun cemas—besok akan jadi apa lagi?

Ia mengikuti Wirapati ke sesi pitching klien. Kata-katanya gemerincing, tatapannya menenangkan, tawa ringan. Klien kagum. Namun di lift turun, seorang analis memanggilnya, “Mas, rectification angka slide 14?” Wirapati menjawab sambil tersenyum: “Kamu aja yang atur ya. Yang penting impresinya dapat.”

Sementara Sabrang… tidak memukau. Ia hadir. Ia menandai chat Slack yang tak terjawab, menelepon staf yang absen rapat—bukan untuk memarahi, tapi untuk menanyakan apakah anaknya yang demam sudah lebih baik. Ia berjalan ke meja finance, duduk sejajar saat ada dispute tagihan vendor. “Kita coba dengar dulu,” katanya. Ia memotong rapat yang memanas dengan memindahkannya ke warung soto di bawah. “Hangatkan perut, dinginkan kepala.” Usai makan, masalah yang buntu bergerak setengah jalan tanpa perlu mengangkat suara.

“Leadership bukan hanya tentang memimpin di atas panggung,” bisik Yudha pada dirinya di tepi jendela. “Tapi tentang hadir tepat ketika tak ada spotlight.”

.

Jakarta merapatkan awan pada Kamis sore. Di Senopati, hujan turun seperti koreografi yang tak pernah gagal: deras, yakin, membuat lampu mobil jadi ekor-ekor komet. Server internal tiba-tiba melambat; platform analitik yang hendak dipresentasikan ke klien besar esok paginya menolak mengunggah data. Chat tim menjadi riuh; grup “Project Bimasena” menyala.

Umar mengambil alih. “Semua ke kantor! Kita nyalakan war room!” Ia memacu semangat, memesan pizza, menyalakan musik elektronik. Rasa urgensi memantik adrenalin, tetapi juga menyalakan amarah. “Siapa yang approve query ini? Ini bikin crash!” Ia mengetuk meja. Ada yang menunduk.

Madi menawarkan pivot instan: “Kita ganti demo. Tampilkan versi mock-up. Klien tahunya sama.”

Wirapati mengajukan ide besar: “Jadikan ini momentum. Kita minta reschedule, tampil lebih besar minggu depan, bawa narasi yang lebih heroik.”

Jayeng menutup laptop. “Kita pecah masalah,” ujarnya pelan. “Database, network, akses vendor, dan narasi ke klien. Tidak ada yang salah sendiri. Salahnya sistem yang terlalu bergantung pada satu jalur.”

Sabrang menggeser kursi. “Aku turun ke lantai 7. Bicara dengan IT building. Dan aku telepon vendor konektivitas sekarang.”

Di tengah badai perintah dan saran, Yudha berdiri di belakang, tak bicara. Ia mengamati peta tubuh tim: siapa yang menghela napas panjang, siapa yang menahan kata-kata di gigi, siapa yang menyelamatkan yang lain dari kalimat-kalimat kecut.

Pukul 20.13 listrik di satu blok kawasan meredup sesaat sebelum kembali menyala. Server masih bandel. Orang-orang menatap jam. Hujan belum memberi ampun.

Sabrang kembali ke war room dengan baju sedikit basah. “Koneksi dari lantai 7 ada routing yang berkonflik. Tim gedung sudah memperbaiki. Aku juga minta vendor tambah bandwidth sementara. Waktu tunggu 30 menit.”

“Baik, sementara itu?” tanya seseorang.

“Jayeng, cek ulang narasi tanpa angka yang bergantung pada query real-time. Umar, pilih tiga metrik yang tidak berubah valuenya meski sistem lambat; kita tunjukkan integritas data. Madi, simpan pivot sebagai cadangan terakhir. Kita jujur pada klien: ada kendala jaringan, tapi kita punya jalan untuk tetap mempertahankan keputusan bisnis.”

“Jujur?” Wirapati mengernyit. “Kesannya lemah.”

“Kepercayaan tidak dibangun dari kedap suara,” kata Sabrang. “Tapi dari pintu yang kita biarkan setengah terbuka agar orang bisa melihat kita bekerja.”

Di bibir Yudha, senyum kecil tak terlihat. Ia ingat kalimat kakeknya: “Sikap itu ibarat aromatik sederhana di dapur—sedikit saja cukup mengubah rasa keseluruhan.”

Pukul 21.02, koneksi pulih. Mereka uji. Metrik tiga pilar keluar. Query penunjang menuntut waktu lebih, tetapi narasi sudah siap. Mereka pulang bergantian. Jakarta tinggal genangan.

.

Pagi berikutnya, presentasi berlangsung tanpa sorak, tanpa tepuk yang berlebihan. Mereka tak menutupi gangguan semalam; mereka menjelaskan mitigasi. Klien yang berbahu wangi kopi hitam mengangguk-angguk, “Kita tidak butuh jago sulap. Kita butuh mitra yang tidak panik.” Kontrak diperpanjang enam bulan.

Di lift turun, Umar menepuk bahu Sabrang. “Kau dingin sekali semalam.” Sabrang tertawa kecil. “Aku panas, hanya belajarnya dari dalam.”

Yudha berjalan terpisah, menatap bayangan wajahnya di dinding lift yang memantul. Di ruang rapat sore itu, komisaris bertanya, “Siapa pilihanmu?”

Ada dinamika gemerisik. Nama-nama di kepala direksi menari, beberapa membawa kilau, beberapa membawa janji. Yudha memilih senyap sejenak. “Sabrang.”

“Yang presentasinya biasa itu?” seorang direksi tak menutupi keterkejutannya.

“Yang kehadirannya membuat orang lain berfungsi,” jawab Yudha. “Yang mendengar sebelum bicara. Yang menyalakan mesin, menyejukkan kepala, dan membuat keputusan kecil tepat waktu agar keputusan besar tidak perlu dramatis.” Ia menghela napas, mengetahui betapa rapuhnya momen ini. “Ia punya visi yang membumi, komitmen pada hasil tanpa merusak hidup orang, integritas yang mengakui batas, adaptasi tanpa kehilangan arah, komunikasi yang lebih banyak bertanya daripada menuduh, empati yang tidak sentimental, dan—yang paling penting—hasil yang konsisten.”

Rapat berakhir lebih cepat dari perkiraan. Kabar disampaikan. Beberapa wajah lega, beberapa menahan kecewa yang rapi. Malamnya, Sabrang mengirim pesan singkat ke Yudha: “Saya tidak akan menjadi bayangan Anda. Saya akan menjaga terang yang Anda nyalakan.”

.

Dua bulan berlalu. Tidak ada pidato bombastis. Tidak ada poster motivasi baru di pantry. Tidak ada rebranding. Yang berubah justru ritme: rapat lebih ringkas, tiket pekerjaan lebih jelas, cuti dipandang sebagai strategi menjaga mesin, bukan kelemahan. Ia merapikan handover antar divisi, memperkenalkan “Jam Sunyi” pukul 14.00–15.00 di mana rapat dilarang agar orang menuntaskan pekerjaan inti. Ia mengganti satu kebiasaan yang diam-diam paling mahal: grup chat yang meledak di malam hari. “Jika bukan darurat layanan klien, jadikan malam sebagai jam memperbaiki diri,” tulisnya.

Di bawah kepemimpinannya, satu hal tak banyak dibicarakan: tingkat keluar-masuk karyawan menurun. Mereka tetap bekerja keras, tapi jarang menatap layar dengan tatapan habis. Mereka jadi seperti kota yang menutup warung ketika hujan deras, bukan memaksa tenda tambah tinggi.

Yudha menyaksikan semua itu dari jendela rumahnya di Pasar Minggu. Ia sudah pensiun. Pagi-pagi ia menyeduh kopi tubruk dan menyiram pot melati. Ia membaca buku yang dulu hanya disentuh di akhir pekan. Sesekali ia menulis di blog pribadinya tentang filosofi kerja: bahwa ketegasan bukan berarti bising, dan kebaikan bukan berarti lembek. Posnya dibaca ratusan orang; beberapa mengirim surel terima kasih. Ia tersenyum kecil, menghapus spam, mengarsipkan pesan.

Suatu pagi, surat beramplop putih datang. Tulisan tangan rapi. Dari Sabrang.

“Pak Yudha,” begitu isinya, “Anda mengajarkan saya bahwa memimpin bukan mengangkat suara, melainkan mengangkat martabat. Bukan membuat orang paham Anda, melainkan membuat mereka paham diri dan pekerjaan mereka. Saya akan menjaga terang itu. Terima kasih karena memilih saya bukan karena saya mengesankan, tapi karena saya membuat yang lain terasa mungkin.”

Yudha melipat surat itu pelan. Di luar, matahari membentuk garis keemasan di pagar. Di dalam, dadanya hangat.

.

Namun cerita yang baik jarang berakhir tanpa ujian. Kuartal berikutnya, resesi kecil mengetuk kota. Beberapa klien memotong anggaran, beberapa proyek ditunda. Di kantor, kabar itu berjalan seperti bisik-bisik di saluran AC. Ada ketakutan yang tak mau disebut namanya: PHK.

Sabrang memanggil seluruh manajer. “Ini sulit. Kita harus mengurangi biaya. Namun kita punya pilihan: memotong jam lembur, menegosiasikan ulang kontrak vendor, menunda rekrutmen baru, mengurangi bonus, dan… ya, saya lebih memilih memotong tunjangan direksi dulu sebelum kita menyentuh kepala siapa pun.” Ia berhenti. “Kalau semua langkah ini masih tidak cukup, barulah kita bicara hal terakhir. Tapi sebelum itu, saya ingin usul satu mekanisme: rotasi proyek lintas divisi untuk menjaga produktivitas dan belajar keterampilan baru. Kita akan transparan.”

Ia mengirim email yang jarang dikirim seorang direktur: detail. Orang-orang membaca. Mereka gemetar, tetapi punya pegangan. Beberapa menulis balasan pribadi: “Terima kasih karena tidak menutupinya,” “Kalau perlu saya pindah tugas.” Bahkan ada yang menawarkan pemotongan gaji sukarela selama tiga bulan. Sabrang menolak yang terakhir. “Kita tertibkan struktur, bukan heroisme personal.”

Sore itu, Sabrang pergi ke rumah sakit kecil di Pasar Rebo. Ibunya dirawat karena tekanan darah. Di lorong yang antiseptik, Yudha berdiri di depan mesin penjual minuman. Mereka bertemu tidak sengaja. “Pak,” sapa Sabrang.

“Bagaimana kantor?” Yudha bertanya dengan senyum yang mengertikan.

“Seperti hujan deras yang kita tahu akan reda, tapi tetap basah,” jawab Sabrang.

“Jangan takut menyebut kata takut,” kata Yudha. “Marah yang tak disebut jadi dendam; takut yang tak disebut jadi panik. Pemimpin tak menjadi kebal, hanya menjadi cermin.”

Sabrang mengangguk. “Saya ingin menjadi jembatan, Pak. Yang membuat orang berani melintas.”

“Jembatan tak bicara keras-keras,” sahut Yudha. “Ia berdiri kuat, sedikit melengkung mengikuti beban. Dan ia tak menuntut orang mengucapkan terima kasih setiap kali dilewati.”

Mereka tertawa kecil. Dua laki-laki yang dipertemukan oleh senyap; yang satu sedang turun dari bukit, yang lain masih mengukur kemiringan.

.

Perlahan, cuaca ekonomi membaik. Firma bertahan tanpa memecat satu pun orang. Laba tak meledak, tapi cukup membayar janji. Dalam sebuah rapat akhir tahun, Sabrang menyalakan layar, menampilkan satu slide dengan empat kata: “Terima kasih telah bertahan.” Tak ada kembang api. Hanya tepuk tangan yang tidak serentak, lalu semakin rapi; tepuk tangan yang bukan untuk satu orang, melainkan untuk cara.

Di sudut ruangan, foto Yudha tergantung di dinding galeri pimpinan. Orang-orang kadang melewati tanpa menoleh. Tapi di hari-hari genting, selalu ada yang berdiri beberapa detik di depannya, seolah meminta restu. Tidak ada suara yang keluar dari pigura, tentu saja. Yang ada hanya pantulan diri: apakah hari ini kau telah menjadi versi pemimpin yang kau butuhkan saat kau masih junior?

Suatu malam, Sabrang menulis catatan kecil di buku saku—kebiasaan yang ia tiru dari Yudha. “Pemimpin adalah ruang hening tempat orang-orang berani berkata jujur,” tulisnya. “Ia tak selalu menjawab. Terkadang ia hanya memegang bahu.”

Ia menutup buku. Di luar, Jakarta mulai menata lampu-lampu untuk Natal. Di dalam, seseorang yang dulu menganggap dirinya biasa sedang memimpin dalam senyap.

.

Yudha duduk di teras, memandangi langit oranye yang membara beberapa menit sebelum magrib. Ia teringat perjalanannya: dari meja akuntansi yang dingin, ke ruang rapat yang serba terang, ke warung soto tempat pertengkaran reda. Ia teringat wajah-wajah yang berubah: takut jadi sabar, bingung jadi tahu, marah jadi bergerak. Ada rasa kehilangan yang lembut, seperti melepas buku ke rak: selesai dibaca, namun akan dicari saat dibutuhkan.

Ia menulis satu paragraf terakhir di blognya malam itu:

“Kepemimpinan yang saya tahu bukan soal menggerakkan banyak mulut, melainkan menenangkan banyak hati. Ia bukan mitos orang kuat, melainkan cerita orang cukup—cukup teguh, cukup jujur, cukup hadir. Jika suatu hari kamu memimpin, pimpinlah seperti kamu menuntun anak kecil menyeberang: tidak menarik lengannya kencang-kencang, tidak pula mendorong dari belakang. Kau berjalan di sisi, menyejajarkan langkah.”

Beberapa jam kemudian, pesan masuk dari alamat yang tak ia kenal: foto ruang rapat lantai 27, dengan selembar kertas ditempel di pintu. Tulisan tangan itu berbunyi:

“Jam Sunyi. Rapat dilarang. Kerja inti diutamakan.”

Di bawahnya ada emotikon senyum ditarik miring. Yudha tertawa kecil—tawa yang terdengar di dadanya sendiri. Ia mematikan lampu. Senyap memimpin malam.

.

.

.

Jember, 1 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#SenyapDalamKepemimpinan #Leadership #BudayaKerja #Empati #ManajemenTim #CerpenKorporat #Jakarta #UrbanStory #MenakMadura #WorkEthics

.

Quotes tambahan untuk pembaca:

  1. “Keberanian pemimpin bukan pada suara yang meninggi, melainkan pada hati yang tidak mudah direndahkan.”

  2. “Jujur itu tidak selalu nyaman. Tapi di situ kepercayaan tumbuh dan dewasa.”

  3. “Sabar bukan berarti lambat; ia cara tercepat sampai pada keputusan yang benar.”

 

Leave a Reply