Senandika di Ujung Purnama
“Jangan minta dihargai; tumbuhkan keahlian agar dunia menghargaimu dengan sendirinya.”
“Harga diri tak lahir dari belas kasihan, melainkan dari keberanian memperbarui diri.”
.
Jakarta tidak pernah menurunkan kecepatannya untuk siapa pun. Ia melaju, membiarkan orang-orang mengejar sendiri ritmenya: lampu lalu lintas yang selalu beringsut terlambat, bunyi pengeras dari stasiun MRT yang terdengar seperti perintah militer, dan jendela-jendela kantor yang menyala larut, seolah lembur adalah agama baru kaum menengah ke atas. Di sela gedung yang bertengger angkuh dan trotoar tempat gelandangan menggelar kardus, ada satu sosok berjalan dengan kepala tegak, bahu mantel tipis menahan angin AC pusat kota yang lolos dari lobi-lobi megah: Kertanagara—yang oleh tetangga hanya dipanggil Naga.
Usianya lima puluh tiga, rambut memutih seperti garis-garis pada peta yang mulai usang, tetapi sorot mata Naga muda. Dari arah Sudirman, ia berjalan menuju halte Tosari, mengantongi buku catatan kecil: jadwal tur pagi ke Kota Tua, rencana kelas siang “Menulis E-Book dengan AI,” daftar permintaan daging halal dari dua warung yang mempercayakan proses sembelih padanya. Di setiap halaman, ada kalimat-kalimat ringkas yang bunyinya tajam seperti kampak: “Belajar—bukan untuk disukai, melainkan untuk berguna.”
Pagi itu, ia menjemput Jayengrana—anak muda yang akrab disapa Jayeng—di depan Stasiun Dukuh Atas. Jayeng bekerja di sebuah startup pialang aset, gaji cukup untuk KPR apartemen tipe studio, sepeda lipat mahal, dan kopi susu premium yang dibeli dengan voucher diskon. Jayeng adalah gambaran pemuda kota yang sukses di permukaan: jaket bahan teknis yang memantulkan cahaya, gawai terbaru, kosa kata “burn rate” dan “runway” mengalir seperti hafalan doa. Namun matanya sering singgah pada wajah Naga dengan semacam rasa ingin tahu: bagaimana seseorang bisa terlihat tenang ketika arah hidup sudah dua kali dihantam angin.
“Pak, hari ini rutenya seperti biasa, ya? Monas—Kota Tua—Glodok—Museum Bank Indonesia?” tanya Jayeng dalam bahasa Inggris karena di sampingnya ada Zubaidah—Zuba—perempuan keturunan Madura-Jakarta yang kini jadi konsultan komunikasi lintas budaya. Zuba sedang menyiapkan modul orientasi untuk expatriate yang akan bekerja di Jakarta; ia meminta Naga menjadi narasumber lapangan.
“Seperti biasa,” jawab Naga, juga dalam bahasa Inggris yang meluncur bersih, kemudian berganti Belanda ketika dua turis dari Utrecht menyapanya. Ia memperkenalkan diri, menjelaskan bahwa rute mereka bukan sekadar foto-foto; ada kisah migrasi, sejarah perdagangan, dan peta emosi kota yang perlu dipahami. “Kalian akan melihat bagaimana sebuah kota bertahan dengan kecepatannya sendiri. Jika kalian terlalu lambat, ia tidak marah. Ia hanya pergi.”
Dulu, Naga manajer rantai pasok untuk perusahaan multinasional. Ia hafal kode pos, pelabuhan, bandara, dan kerutan di dahi kolega saat kontainer terlambat. Ia pernah tinggal di Rotterdam, pulang karena orang tua sakit, lalu keburu masuk pusaran PHK pascapandemi. Bukan hanya gaji yang hilang. Status sosial menyusut; sapaan berubah dari “Pak” menjadi “Mas” lalu “Bang.” Beberapa tetangga mengira ia menyimpan skandal. Jakarta mah begitu: tak sempat mengonfirmasi, tetapi rajin menyimpulkan.
“Kalau dunia berubah, jangan menunggu diseret arus. Belajarlah berenang,” tulisnya dalam catatan 2021. Kalimat yang menyelamatkannya berkali-kali.
Ia mulai mengikuti pelatihan: pemandu wisata bersertifikat, juru sembelih halal (juleha), kursus AI untuk penulisan dan desain, public speaking, hingga kelas etika pelayanan. Bukan karena semua itu menghasilkan uang besar, melainkan karena satu kesungguhan sederhana: menukar simpati orang dengan kompetensi yang tak bisa ditukar tambah.
Zuba—yang ibunya dari Pamekasan dan ayahnya dari Kemayoran—adalah teman lama Naga sejak era magang tahun 90-an. Ia pernah berkata, “Naga, di kota ini kesabaran adalah mata uang. Kalau simpanan sabar kita cukup, krisis hanya jadi musim yang datang dan pergi.” Naga mendengarkan. Lalu ia melakukan pekerjaan yang ada di depan mata: membantu menyapu gang, menjaga pos RW saat malam, hingga menjadi penerjemah dadakan bagi tetangga yang ditagih debt collector asing lewat telepon. Pelan-pelan, orang tidak lagi memandangnya sebagai mantan siapa-siapa, melainkan sebagai seseorang yang bisa diandalkan.
.
Rute tur pagi mengalir dengan ritme yang Naga kenal: Monas yang setia mengilapkan kepercayaan diri kota; Museum Bank Indonesia yang sunyi tetapi berisi; Glodok yang wangi herbal dan dupa bersilang dengan aroma ayam goreng cepat saji. Di Jalan Pintu Besar Utara, Naga berhenti sejenak di depan bangunan kolonial dengan pilar-pilar kelelahan menahan usia. Ia menceritakan kisah pelayaran dan kecemasan, tentang kapal yang kembali dengan muatan lebih sedikit, tentang orang-orang yang menabung harapan pada komoditas yang naik dan turun seperti napas.
“Kota ini mengajarimu untuk berdiri tanpa sandaran. Karena sandaran seringkali pindah tangan sebelum kau sempat bersandar,” ujarnya. Dua turis dari Utrecht mengangguk, entah karena paham atau karena bahasa metafor Naga memikat.
Umarmaya—Maya—muncul dari arah kafe, membawa dua gelas kopi untuk Naga dan Zuba. Perempuan berhijab dengan kacamata bulat itu adalah mahasiswa magister psikologi industri yang magang di perusahaan konsultan Zuba. Ia mengumpulkan data tentang stamina mental pekerja kota. “Pak, saya butuh testimoni bagaimana Bapak bertransisi,” katanya pelan.
Naga tersenyum, menerima kopi. “Menikah, bercerai, di-PHK, loncat bidang—semua tentang transisi. Jangan memberi nama besar pada ketakutanmu. Ia hanya rasa asing dalam diri.”
Maya mencatat. Dalam hati, ia bertanya-tanya, bagaimana seseorang setua Naga bisa bicara tentang ketenangan tanpa terdengar menggurui. Ia baru menyadari, mungkin karena Naga tidak menyampaikan teori; yang ia berikan adalah riwayat luka yang sudah dipeluk sampai jinak.
.
Siang turun seperti lampu hotel yang meredupkan dirinya sendiri. Di rumah kontrakan dua petak di bilangan Tebet, Naga menata latar Zoom-nya: rak buku mini, lampu cincin murah yang cukup untuk mengusir bayangan, dan sepucuk poster kecil tanpa teks—hanya gambar purnama. Sesi daringnya bertajuk “Menulis E-Book dengan Bantuan AI: Dari Ide ke Publikasi.” Pesertanya campur: eksekutif yang bosan pada presentasi panjang, ibu rumah tangga yang ingin menambah penghasilan, pensiunan yang kelebihan waktu.
“Mulailah dari pertanyaan yang mendesak di hidup Anda,” ucap Naga kepada kamera. “AI bukan tongkat sihir; ia hanya asisten yang sabar. Anda yang memutuskan ke mana kaki Anda menapaki malam.”
Komentar berloncatan di kolom chat, tepuk tangan virtual naik seperti kembang api sunyi. Di layar kecil, Naga menangkap wajah Umarmadi—Madi—seorang pemilik kios daging dari Rawamangun yang beberapa bulan lalu memintanya menjadi juru sembelih bersertifikat di musim kurban. “Pak Naga, nanti habis Magrib mampir, ya,” tulis Madi. “Ada pesanan khusus.”
Naga membalas singkat: “Siap.” Ia menutup sesi daring, menyimpan rekaman, lalu melipat laptop seperti menutup buku doa.
Sore, ia menuju kios Madi. Di sana, bau besi darah bersetubuh dengan bau daun pepaya yang menunggu tugasnya melunakkan daging. Madi mengeluarkan catatan pesanan: seorang ibu di Kemang mengadakan pengajian keluarga; ia menekankan daging mesti disembelih sesuai syariat dan diproses higienis. “Klien saya menengah ke atas, Nag. Mereka menghitung reputasi seperti menimbang berat daging. Kalau kerja kita beres, reputasi ikut naik.” Naga mengangguk. Ia paham: di kelas sosial mana pun, yang dicari selalu sama—ketenangan hati.
Ia bekerja dengan doa yang pendek namun fokus. Tidak ada konten viral di sini. Hanya disiplin yang terlipat dalam gestur kecil, dalam cara memeriksa pisau, dalam kesediaan menjawab pertanyaan anak kecil yang ingin tahu kenapa kambing perlu diikat. Usai semuanya rampung, Madi menepuk bahu Naga. “Rezeki orang sabar itu datangnya tak pernah mendesak, tetapi selalu pas.”
.
Malam naik. Di warung kopi dekat kontrakan, purnama tergantung seperti piring porselen pada dinding biru. Di meja ujung, Rengganis—Rengga—mantan istri Naga, duduk dengan gelisah, menunggu anak mereka, Lintang, yang baru pulang dari Bandung. Lintang magang di sebuah agensi kreatif kelas atas; ia pulang dengan tas kain berlogo asing dan cerita tentang ‘client pitch’ yang tak pernah tidur. Mereka bertiga sepakat bertemu setelah berbulan-bulan hanya bertukar emoji.
“Pa,” sapa Lintang, memeluk Naga, pelan. Sementara Rengga menyesap kopi dan menyembunyikan getir yang tak lagi punya tempat untuk tumbuh.
Percakapan mereka awalnya dangkal: kabar kerja, kabar kota, kabar harga. Lalu Lintang menubrukkan pertanyaan yang disimpannya lama. “Pa, di usia segini, apa yang Bapak takutkan?”
Naga memandang purnama. “Takut dianggap selesai.”
“Bahkan setelah semua pelatihan, semua aktivitas itu?” sela Rengga, suaranya tetap berusaha datar. Ada sisa marah terhadap situasi yang dulu memisahkan mereka: ia lelah menjaga rumah sendirian saat Naga terdampar dalam ketidakpastian pekerjaan.
“Ya,” jawab Naga. “Kota ini bisa membuat kita merasa sudah tidak diperlukan. Tapi aku memilih melawan prasangka itu dengan kerja yang berguna. Itu saja.”
Lintang mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Aku sering merasa tidak cukup, Pa. Di kantor, semua orang lebih muda dan lebih cepat. Rasanya seperti kita ini hasil lama yang mencoba menyesuaikan format baru.”
“Tidak apa-apa,” kata Naga. “Kita bukan file yang harus di-convert. Kita manusia yang terus bertumbuh. Kau tak usah meniru kecepatan orang lain. Tetapkan kecepatanu sendiri, asalkan konsisten.”
Rengga akhirnya ikut meneteskan air mata, bukan karena sedih, melainkan karena lega: ada bahasa yang bisa menjelaskan letihnya bertahan di kota yang menukar kesetiaan dengan target. Malam itu, mereka bertiga tidak membahas masa lalu. Mereka membicarakan besok—karena hanya besok yang bisa dinegosiasikan.
.
Sementara itu, di rumah kecil Naga, pesan-pesan masuk: undangan mengisi kelas di sebuah coworking space di Kuningan, permintaan tur khusus dari pasangan Belanda yang ingin menyusuri jejak keluarga di Pasar Baru, juga pertanyaan dari Maya tentang apakah kelelahan mental bisa diringankan dengan rutinitas kecil yang bersih. Naga menjawab semua dengan cara yang paling ia kuasai: sederhana dan tepat.
Ia membuka draf e-book barunya: “Ulang Hidupmu di Usia 50: Panduan Praktis untuk Karier Kedua.” Di halaman pertama, Naga menulis kalimat yang ia percayai menjadi pintu: “Kisah hidupmu mungkin tak bisa disalin, tetapi ilmunya bisa diwariskan.” Lalu ia menambahkan catatan pinggir—kelak dijadikan quote tersendiri: “Usia boleh lima puluh, pikiran tetap dua puluh lima. Dunia tidak bisa mengabaikan orang yang bersedia belajar.”
Ketika jam menunjukkan hampir tengah malam, Naga keluar ke teras. Purnama tertambat di situ—diam, tegar. Ia menggumam senandika yang tak terlalu puitis, tetapi cukup untuk menenangkan dadanya: “Aku tidak mencari panggung. Aku mencari fungsi.” Di jalan, langkah-langkah orang pulang terdengar seperti metronom. Jakarta, yang siang tadi bising, sekarang seperti menelan suaranya sendiri.
.
Keesokan paginya, kabar buruk datang dari grup RT: Sarman, tetangga depan kontrakan yang setahun terakhir menganggur, pingsan karena kelelahan mengejar order ojek daring. Orang-orang mengerumuni, beberapa memotret, beberapa melempar tautan donasi. Naga menutup gawainya, bergegas. Ia menahan kepala Sarman, memanggil ambulans, memastikan istrinya tidak kebingungan dengan sebaran informasi palsu yang lebih cepat dari kendaraan medis.
Di ruang IGD, Zuba datang, membawa tas berisi kebutuhan dasar. “Beri kami daftar obat yang harus dibeli,” katanya pada perawat. Jayeng muncul lima belas menit kemudian—entah dari kantor atau dari gym—menawarkan mobilnya untuk mengantar apa pun yang perlu. Maya menyiapkan daftar rumah sakit rujukan dan nomor-nomor penting. Madi mengirim pesan: “Kalau butuh daging buat keluarga, bilang. Gratis.”
Naga menatap mereka: jalinan orang-orang yang tidak sempat mengikrarkan diri sebagai keluarga, tetapi bertindak selayaknya keluarga. Ia sadar, ini bukan kisah heroik. Ini hanya administrasi empati—yang di kota seperti Jakarta sekalipun, masih mungkin dijalankan.
Di tepi tempat tidur, Sarman membuka mata. “Maaf merepotkan, Ga,” suaranya tipis.
“Tidak ada yang repot,” jawab Naga. “Kau hanya lupa bahwa hidup ini maraton, bukan sprint promosi.”
Sarman mengangguk samar, lalu tersenyum. Di wajahnya, ada sedikit rasa aman yang selama ini jarang mampir.
.
Malam kembali menetes seperti susu di tepi gelas. Warung kopi tempat purnama menempel tak jauh dari IGD. Naga duduk di bangku luar, ditemani Zuba. Angin membawa lamat-lamat musik dari kafe sebelah. “Aku suka caramu mengubah simpati jadi sistem,” kata Zuba. “Kau tidak menolak bantuan, tapi kau menolak jadi tokoh utama dalam drama orang lain.”
Naga menjawab pelan, “Simpati itu bisa jadi jeruji yang hangat. Orang merasa nyaman di baliknya, lalu lupa keluar. Aku tidak ingin tinggal di situ.”
“Lalu kau tinggal di mana?” tanya Zuba, setengah menggoda.
“Di tempat yang menuntut kompeten: ruang kelas, dapur yang meminta daging bersih, jalur tur yang butuh cerita jujur.”
Zuba menatap purnama. “Kadang aku iri pada ketenanganmu.”
“Jangan,” kata Naga. “Ketenangan ini juga mahal. Harganya adalah menelan kecewa tanpa balasan. Harganya adalah menerima bahwa beberapa orang akan pergi ketika kita berhenti menjadi bahan bakar drama mereka.”
Zuba tertawa kecil. “Baiklah, aku akan menabung.”
“Tabung di tempat yang benar,” jawab Naga. “Di dirimu sendiri.”
.
Dua minggu setelah malam itu, undangan resmi datang: sebuah universitas swasta di bilangan Bintaro meminta Naga mengisi kuliah umum “Karier Kedua di Usia Matang.” Auditorium berkapasitas tiga ratus kursi, sebagiannya diisi orang-orang berdasi, sisanya berkaus dengan laptop terangkat. Naga berdiri sendirian di panggung—tanpa presentasi yang terlalu ramai, hanya latar purnama yang sama.
Ia mulai bercerita—bukan tentang bagaimana dunia kejam, melainkan tentang bagaimana ia belajar berenang. Ia menyebut nama-nama yang menolongnya: Madi yang mempercayakan tanggung jawab yang tidak bisa main-main; Maya yang memperlihatkan betapa pentingnya bahasa yang menenangkan; Jayeng yang meminjamkan kecepatan kota milik generasinya; Zubaidah yang menambatkan nasihat seperti jangkar—cukup berat untuk membuat perahu tidak terseret badai, tetapi tidak terlalu berat sehingga perahu meninggalkan dermaganya.
Tepuk tangan mengalir seperti hujan akhir musim. Di barisan depan, Lintang berdiri paling dulu, wajahnya kering oleh bangga. Rengga duduk di tengah, matanya tak lepas dari sosok di panggung yang pernah ia marahi karena diam, dan kini ia pahami: diamnya Naga dulu adalah cara lain untuk bersuara—pada diri sendiri.
Usai acara, seseorang—pria sebaya Naga dengan kemeja mahal dan jam tangan yang mencolok—menghampiri. “Saya bagian HR dari grup properti. Mau jadi konsultan internal untuk program reskilling karyawan kami yang terdampak integrasi?”
Naga menimbang, bukan karena ragu kemampuan, melainkan karena ia belajar mengatakan ya untuk hal yang tepat. “Mari bicarakan,” katanya. “Asal kita sepakati: program ini bukan kosmetik. Kita benar-benar melatih orang supaya punya keahlian.”
Pria itu mengangguk, seakan baru diajar cara sederhana untuk menghormati manusia.
.
Malam itu, setelah perjalanan panjang, Naga kembali duduk di warung purnama. Kopinya tetap pahit, tetapi lidahnya sudah lama berdamai dengan rasa. Di ponsel, pesan masuk dari Maya: “Pak, saya menulis kesimpulan magang: ‘Harga diri tumbuh dari kompetensi yang dipelihara dengan konsisten. Simpati adalah pintu yang baik, tetapi bukan tempat tinggal.’ Boleh saya sisipkan nama Bapak?”
“Jangan,” balas Naga. “Sisipkan saja kalimat ini: ‘Belajarlah berenang ketika arus berubah.’ Siapa pun bisa memilikinya.”
Ia mematikan layar, menatap purnama. Senandika di dadanya bukan lagi monolog yang kesepian; ia berubah menjadi peta: ada simpang, ada arteri, ada jalan tikus, semuanya menuju rumah yang bernama diri. Jakarta masih melaju, tidak peduli siapa pun yang tertinggal. Tetapi Naga, dengan kepala tegak dan tangan yang terus belajar, telah menemukan ritmenya sendiri—sebuah ritme yang membuat kota terpaksa menoleh, bukan karena kasihan, melainkan karena hormat.
Dan di ujung purnama itu, ia menulis satu kalimat terakhir dalam catatan hariannya:
“Dunia tidak bisa mengabaikan orang yang berguna.”
.
.
.
Jember, 24 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #Senandika #KarierKedua #JakartaLife #HargaDiri #BelajarSeumurHidup #MotivasiRealis #MenakMaduraAdaptasi #AIWriting #UrbanStory
.
Quotes acuan cerita
-
“Jangan minta dihargai; tumbuhkan keahlian agar dunia menghargaimu dengan sendirinya.”
-
“Harga diri tak lahir dari belas kasihan, melainkan dari keberanian memperbarui diri.”
-
“Kalau dunia berubah, jangan menunggu diseret arus. Belajarlah berenang.”
-
“Kisah hidupmu mungkin tak bisa disalin, tetapi ilmunya bisa diwariskan.”
-
“Simpati adalah pintu yang baik, tetapi bukan tempat tinggal.”
.
Catatan:
Senandika berasal dari bahasa Jawa dan juga digunakan dalam sastra Indonesia klasik. Secara etimologis dan fungsional, “senandika” memiliki makna Leksikal bentuk monolog, yaitu ucapan atau tuturan dari seorang tokoh yang berbicara kepada dirinya sendiri, mengungkapkan isi hati, pemikiran, keresahan, atau perenungan yang mendalam.