Semoga Jadi Jalan Pulang

“Tidak setiap pintu yang tertutup adalah penolakan; kadang itu pengalihan arah yang menyelamatkan kita dari jalan yang salah.”
“Terlambat tidak selalu kalah; kadang penundaan adalah berkat yang tak tampak.”
“Detour bukan rintangan—ia mukjizat yang menyamar.”

.

Hujan mengguyur Jakarta seperti suara ribuan jarum menari di atas atap asbes. Dari jendela kedai kopi kecil di Tebet, lampu-lampu mobil berarak seperti ular merah. Anggara menatap cangkirnya yang tinggal setengah; pahitnya mendingin lebih cepat dari hatinya yang baru saja kehilangan kepastian. Jam di dinding menunjuk pukul enam lewat sepuluh, tetapi waktu seakan tidak bergerak. Notifikasi terakhir di ponselnya—“Kami mengucapkan terima kasih atas kontribusi Anda. Karena kondisi ekonomi, perusahaan harus melakukan efisiensi…”—masih menyala di layar. Kata “efisiensi” menggulung sisa harga dirinya seperti tikar usang.

Rengganis, barista dengan rambut dikepang dan tatapan selapang sawah masa kecil, meletakkan tatakan kayu di depan Anggara. “Masih sama?” tanyanya, suara setipis gerimis.

“Masih,” jawab Anggara. Ada jeda di situ—jeda yang biasanya diisi rencana, kini kosong.

Pintu kedai terbuka. Angin menyelip masuk bersama seorang lelaki bertubuh ramping dengan jaket hijau yang basah. Samba. Ia mengibaskan jas hujan seperti ayam kampung baru diceburkan ke selokan. “Gar!” serunya. “Ternyata kabarku dan kabarmu sama. Bedanya, aku dibilang ‘alih strategi konten’. Padahal inti katanya: bye.”

Mereka tertawa tanpa suara, seolah takut menyinggung perasaan meja, kursi, also hujan. Rengganis ikut tertawa, lalu pergi menjemput pesanan di bar. Di dinding, poster hitam-putih menggantung: “Not every closed door is a rejection.” Sudut bawah poster ada tulisan spidol Rengganis: “Kadang pintu tertutup adalah cara Tuhan menyuruh kita menggeser gagang ke arah lain.”

.

Hari Saat Pintu Dipaku Dari Dalam

Ada suara pintu besi tergesek, itu bunyi memori. Paginya, di lobi kantor yang dindingnya penuh mural motivasi, orang-orang berdiri dengan mata setengah percaya. Di atas panggung portabel, seseorang berjas menyampaikan kalimat yang sejak pandemi jadi warisan kosakata manajemen: right-sizing, cost-saving, sustainability of operation. Kata-kata itu jatuh seperti hujan batu, pecah di kepala masing-masing.

Ketika namanya dipanggil tim HR, Anggara sudah tahu. Ia menandatangani beberapa lembar kertas; bagian paling menyebalkan adalah keharusan mengembalikan kartu akses putih yang dulu ia banggakan. Di lift, ia menatap pantulan wajahnya yang pucat. Ia ingat pertama kali kartu itu dibuat, betapa ia memotret kartu itu dari segala sudut, seperti dokumentasi sebuah pernikahan. Kini pernikahan itu bubar, dan ia kembali jadi bujangan di tengah kota yang tidak hafal namanya.

Ia menahan diri untuk tidak menelepon Ibu di Sumenep. Jika suara Ibu masuk, tangisnya akan pecah seperti kaca retak dipukul palu. Ia memilih berjalan kaki dari Sudirman ke Setiabudi, menyusuri trotoar yang baru rapih; angin membawa suara kereta dari Stasiun Sudirman Baru, menimbulkan dengung yang entah kenapa menenangkan. Kota ini tidak pernah benar-benar tidur; hanya berpura-pura pejam untuk memperhatikan langkah manusia yang gamang.

.

Ruang Tunggu Yang Tidak Dihitung Jam

Setelah beberapa hari, Anggara belajar bahwa pekerjaan hilang lebih menyakitkan ketika malam. Siang bisa disibukkan dengan mengatur CV, mengirim email, belajar kursus gratis tentang data analytics yang separuh dipahami. Tetapi malam… malam adalah ruang tunggu di mana jam tidak dipasang.

Samba selalu datang pada malam-malam seperti itu. Kadang membawa lauk dari warteg, kadang hanya membawa cerita: penumpang yang mengajariku rute tercepat, ibu-ibu yang memesan motor sambil tetap memeluk anaknya, pegawai yang mendadak turun di lampu merah karena sadar, “Saya sudah tak mau pulang ke rumah yang itu.” Kisah-kisah jalanan membuat ruang tunggu tidak terlalu dingin.

Anggara mulai menulis. Awalnya pendek: penggalan percakapan, potongan adegan. Ia kirimkan ke blog gratis, kemudian memberanikan diri mengirim ke satu-dua media. Balasan pertama datang: “Terima kasih, naskah Anda belum bisa kami terima.” Ia ketawa lirih. Penolakan masih terasa lebih baik daripada sunyi.

Rengganis yang sesekali duduk di meja mereka sesudah kedai tutup, sering menjadi pembaca pertama. “Ada yang jujur di kalimat ini,” katanya suatu malam, menunjuk paragraf yang menulis tentang hujan di lampu merah. “Nggak usah meniru siapa-siapa, biar saja kalimatmu menua dengan caranya.”

“Witing tresno jalaran saka kulina,” sambungnya sambil merapikan gelas. “Cinta itu tumbuh karena biasa. Termasuk cinta pada jalan baru.”

.

Satu Patah Hati Di Trotoar Sudirman

Di lampu merah dekat gedung tinggi yang memantulkan langit, Anggara menatap Ratri. Udara malam lembap, bau tanah dan asap knalpot bercampur. Ratri—dengan mata teduh yang dulu membuat Anggara percaya bahwa masa depan itu punya raut—menarik napas. “Maaf, Gar. Aku menerima pinangannya. Aku tidak bisa menunggu kepastianmu yang entah kapan datang.”

Tidak ada marah. Tidak ada drama. Hanya diam panjang, seperti jeda panjang di antara dua lagu. Ratri melambai, menyetop taksi, pergi.

Anggara berjalan tanpa tujuan. Ia melewati jembatan penyeberangan, melihat kota dari ketinggian; neon memantul di sungai yang matang. Ia duduk di bangku yang catnya mengelupas. Teleponnya bergetar; pesan dari Samba: “Gar, warung kopi macam mak bapak di Kebon Kacang masih buka. Perlu teman?”

Ia membalas: “Datang.”

“Kadang, orang yang pergi bukan pengkhianat; ia cuma penunjuk arah bahwa hati kita tak boleh menetap di rumah yang tidak menyambut.”

Di warung yang menjaga semalam suntuk, mereka makan nasi goreng yang terlalu berminyak dan terlalu enak. Samba tidak menasihati, tidak juga menyuruh Anggara bangkit. Ia hanya bercerita tentang bocah SD yang setiap pagi melewati gang sambil bersiul, seolah hidup adalah lagu yang pernah disepakati semesta. Obat dari patah hati, ternyata, kadang cuma minyak bawang, suara sendok, dan kawan yang tahu kapan diam.

.

Jokotole, Tukang Jam Dari Lorong Waktu

Pagi berikutnya, Anggara berjalan kaki tanpa rencana. Sampailah ia di sebuah lorong kecil antara dua ruko tua; di sana, duduk seorang lelaki tua memperbaiki jam tangan. Di papan kayu tertulis: Jokotole—Service Jam & Kunci.

“Jam bukan untuk melawan waktu,” kata Jokotole ketika Anggara bertanya kenapa jarumnya harus diganti. “Jam itu pengingat agar kita tidak tertelan. Kalau jam rusak, kita mudah merasa abadi.”

Anggara mengetawai kebijaksanaan yang jatuh begitu saja dari mulut Jokotole. “Pak, bagaimana kalau hidup terasa terlambat?”

“Orang terlambat karena ingin cepat sampai,” jawab Jokotole. “Padahal sampai itu bukan di alamat; sampai itu di hati. Selama hatimu belum terbit, kamu akan terus merasa malam.”

Anggara tak tahu kenapa kata-kata itu menetes pelan ke dalam dirinya. Ia membeli jam bekas dari Jokotole, jam yang kacanya lecet tetapi bunyinya pelan dan tekun. Sejak hari itu, setiap kali menatap pergelangan tangan, ia seperti mendengar suara lelaki tua itu: “Jangan takut terlambat; takutlah pada cepat yang salah arah.”

.

Ruang-ruang Kota Yang Menjadi Kelas

Jakarta memiliki sekolah yang tidak pernah mengeluarkan rapor. Anggara menemukan kelasnya di bus Transjakarta yang melaju di jalur tengah, di peron KRL saat orang berebut ruang dan tetap menyisakan tempat untuk bayi, di RPTRA Taman Mataram saat anak-anak menggambar rumah dengan atap segitiga dan halaman terlalu luas.

Ia mulai mengajar menulis di sana, secara sukarela. Rengganis ikut membantu: menghubungi ibu-ibu PKK, menyediakan termos teh; Samba menyediakan motor. Kelas sederhana itu mereka namai “Ritual Kopi Tengah Malam”—bukan karena kopinya harus diminum tengah malam, melainkan karena kebiasaan baik harus diulang, seperti doa yang tidak pernah merasa selesai.

Di akhir kelas, mereka menulis satu kalimat jujur pada secarik kertas: “Aku ingin pulang ke versi diriku yang berani tertawa.” Atau “Aku capek jadi anak baik; aku mau jadi anak bebas yang tidak menyakiti.” Kertas itu dimasukkan ke dalam stoples kaca bertuliskan Semoga Jadi Jalan Pulang.

Ritual itu membuat Jakarta tidak lagi terasa hanya beton dan tagihan listrik.

.

Surat-Surat Yang Tidak Pernah Dikirim

Malam-malam tertentu, Anggara menulis surat yang tidak pernah ia kirim—kepada Ratri, kepada perusahaan lama, kepada Ibu. Surat-surat itu disimpan di folder Draf. Ia menulis, menghapus, menulis lagi. Dalam salah satu surat untuk Ibu, ia menyalin pepatah Jawa yang diajarkan kakeknya: “Urip iku urup: hidup itu menyala.” Ia menulis bahwa ia sedang belajar menyala kembali dengan korek baru.

Di sinilah narasi hidupnya dirangkai seperti film: montage pagi di halte bus, petang di perbatasan hujan, malam di layar laptop, subuh ketika azan menyelinap dari surau kecil di belakang kos-kosan. Anggara memerhatikan hal-hal kecil yang dulu dilewatinya: suara penjual tahu bulat yang ditarik-tarik, tangis bayi yang ternyata berhenti begitu ibunya menyanyi lagu lawas, tukang parkir yang selalu siap ketika pengemudi mengerutkan dahi.

Ia menulis semua itu. Ia tidak tahu apakah tulisan-tulisan itu akan sampai ke orang lain. Tapi ia tahu, menulis menyelamatkannya dari rasa ingin marah pada apa pun.

.

Ketika “Tidak” Menjadi Cara “Ya” Memperkenalkan Diri

Penolakan demi penolakan datang dari media. Ada yang sopan, ada yang formal, ada yang sepi. Tetapi pada sebuah Minggu siang, teleponnya berdering.

“Mas Anggara?”
“Iya.”
“Saya dari redaksi. Naskah ‘Pintu yang Tertutup’ kami terima. Bisa kirim foto dan biodata singkat?”

Anggara menoleh ke jam Jokotole. Jarumnya seolah memberi hormat. Ia menutup telepon, terduduk, lalu tertawa sendirian seperti orang yang baru sadar ia masih hidup. Samba yang datang mengantar nasi padang ikut memeluknya. “Kau lihat? Jalan memutar itu ternyata bukan tersesat.”

Di edisi itu, cerpen Anggara dimuat. Komentar di kolom pembaca ada yang menyentuh: “Terima kasih; aku membacanya di halte bus, dan rasanya seperti seseorang membuka payung di atas kepalaku.” Ada juga yang biasa saja. Tidak apa-apa. Yang penting, naskahnya mengembara, bertemu orang-orang yang mungkin membutuhkan kata-kata lebih dari sekadar status online.

.

Rengganis dan Panggilan Dini Hari

Pukul dua dini hari, telepon Anggara berdering. Rengganis. Suaranya pecah: “Ayah… ayah mendadak sesak. Aku di IGD. Bisa tolong ambilkan dompetku di kedai? Aku panik.”

Dalam beberapa menit, Anggara sudah melaju naik motor bersama Samba. Hujan menghapus garis-garis lampu jalan, kota menjadi cat air yang diseret air mata. Mereka sampai di rumah sakit; Rengganis duduk di kursi plastik, matanya sembap.

“Terima kasih,” katanya. “Ayah sering bilang, hidup itu seperti kopi yang diseduh lama; panasnya habis, aromanya tidak.”

Kota ini memberikan cara untuk dekat tanpa banyak kata. Ayah Rengganis membaik malam itu. Ketika Anggara pulang, ia merasa pintu di dadanya tidak lagi digembok.

.

Banjir Di Hari Peluncuran Buku

Beberapa bulan kemudian, penerbit kecil menawarkan untuk membukukan cerpen-cerpen Anggara. Judulnya disepakati: Reruntuh Jalan yang Menuntun Pulang. Peluncuran buku digelar sederhana di ruang komunitas di Blok M. Tentu saja, pada hari itu Jakarta memutuskan untuk hujan lebat. Jalanan macet, beberapa undangan tak bisa datang. Tetapi di dalam ruangan, kursi-kursi yang terisi membuat hangat.

Samba membuka acara. “Saya bukan MC,” katanya, “tapi saya orang yang melihat bagaimana seorang kawan belajar menerima kehilangan seperti menerima hujan tanpa berusaha memukul awan.”

Anggara membaca satu bagian: tentang Jokotole, tentang stoples “Semoga Jadi Jalan Pulang”. Suaranya bergetar, tetapi ia tidak menutupi getaran itu. Seorang ibu—peserta kelas menulis yang dulu selalu merasa tulisannya “jelek”—menangis di bangku belakang. Seusai acara, ia memeluk Anggara: “Kalau menulis bisa menyelamatkanmu, mungkin ia juga bisa menyelamatkanku.”

Di luar, air menggenang setinggi mata kaki. Anak-anak melompat-lompat di genangan, tertawa. Anggara menatap mereka dan merasa—untuk pertama kalinya sejak lama—bahwa pencapaian sejati bukan tepuk tangan, melainkan kemampuan tertawa meski kaki basah.

.

Telepon Yang Tidak Diangkat

Suatu sore, Ratri mengirim pesan: “Selamat untuk bukunya. Aku membaca cerpenmu. Kita baik-baik saja, kan?”

Anggara mengetik banyak kalimat—lalu menghapusnya. Ia akhirnya menulis: “Terima kasih. Kita baik-baik saja. Kau bahagia, ya.”
Tidak ada balasan. Dan itu baik-baik saja. Pintu itu sudah ditutup dengan lembut dari kedua sisi.

“Beberapa jalan memang tidak untuk kita; beberapa tangan memang ditakdirkan lepas agar kita belajar menggenggam diri sendiri.”

.

Musim Panas Di Dalam Diri

Waktu berjalan. Kota mengering dari hujan. Kemarau datang. Jaket digantung, kaus oblong jadi seragam tidak resmi. Rengganis mulai menabung untuk melanjutkan kuliah. Samba, setelah berbulan-bulan menjadi pengantar segala hal, memutuskan membuat kanal video pendek berisi kisah-kisahnya di jalan. Anggara ikut menulis naskah, membiarkan suaranya hadir lewat orang lain. Kanal itu tumbuh pelan; komentar datang dari sesama pekerja malam, dari mahasiswa rantau, dari ibu-ibu yang bangun pukul empat untuk menyiapkan bekal.

Suatu malam, mereka bertiga duduk di atap parkir gedung tua. Kota terhampar seperti rangkaian sirkuit. Angin membawa suara pesawat—entah lepas landas dari Halim atau mendarat di Soekarno-Hatta. Anggara menatap lintasan cahaya di langit.

“Gar,” kata Rengganis, “kalau suatu saat ada pintu lain yang lebih sempit, kamu akan milih memaksa masuk atau cari pintu lain?”

“Aku akan cari jendela,” jawab Anggara, setengah bercanda. “Kalau tidak ada, kubuat sendiri dari sisa-sisa reruntuh.”

Mereka tertawa. Lalu diam. Diam yang hangat seperti selimut.

.

Sebuah Perjalanan, Bukan Ke Mana-Mana

Undangan datang dari komunitas literasi di Surabaya. Mereka meminta Anggara berbagi tentang menulis dari pengalaman kehilangan. Ia menunda beberapa kali, karena biaya dan alasan lain—tetapi Samba sudah keburu memesan tiket promo atas namanya. “Kau butuh berpindah pemandangan,” katanya. “Kadang jalan pulang butuh jalan memutar yang lebih jauh.”

Di dalam pesawat, Anggara duduk di kursi dekat jendela. Awan terlihat seperti kapas di pameran sains anak-anak; di sela-selanya, sinar matahari menari. Ia teringat poster di kedai Rengganis. Ia tersenyum. Bukan karena semua masalah selesai; tidak. Tetapi karena ia mengerti bahasa baru dari semesta: “Tidak” hanyalah aksen; maknanya tetap mengarah pada kebaikan.

Di Surabaya, ia bertemu anak-anak SMA yang bertanya, “Kak, gimana caranya nggak takut ditolak?” Anggara menjawab, “Bukan tidak takut—tapi berjalan sambil mengajak takut duduk di kursi penumpang, bukan setir.”

Ia menginap semalam di rumah seorang relawan yang keluarganya menyajikan rawon terlalu lezat; esoknya, ia menyeberang ke Madura, menengok Ibu. Di halaman rumah, angin asin dari laut membawa lagu masa kecil. Ibu memeluknya lama. “Ibu sedih mendengar kabar kau tak lagi di kantor,” ucapnya pelan. Anggara mendongak; senyum Ibu menghapus jarak zaman. “Tapi Ibu lebih senang melihat matamu sekarang. Dulu matamu seperti pintu tertutup. Sekarang ada jendela.”

.

Kota, Yang Akhirnya Mengakui Warga Barunya

Kembali ke Jakarta, Anggara mendapati kotanya tidak lagi terasa beringas. Ia menyewa ruang kecil di perpustakaan komunitas—tempat yang dulu jadi ruang tunggu—untuk klub menulis setiap Sabtu sore. Nama klubnya tetap: Ritual Kopi Tengah Malam. Kelas-kelas itu kadang sepi, kadang ramai; kadang lebih banyak tawa dibanding tulisan. Mereka belajar bahwa menulis bukan untuk mengalahkan orang lain; menulis untuk membuktikan kita masih punya napas.

Rengganis membuka kedai kopi kecil di samping perpustakaan. Samba—dengan kanal videonya yang mulai dikenal—memasang kamera di pojok. Ia menembedah kisah-kisah kecil orang-orang: tukang cuci sepatu yang ingin menghadiahi ibunya mesin cuci, satpam yang melukis miniatur gedung pakai tusuk gigi, mahasiswi yang bekerja paruh waktu di toko bunga. Cerita-cerita itu menjadi jembatan; orang tidak lagi saling menuduh. Mereka saling mendengar.

Pada suatu malam, Jokotole datang terseok membawa kantong plastik. “Aku baca di koran, ada buku,” katanya sambil menunjuk Anggara. “Jamku sudah tidak kuketuk-ketuk lagi. Bunyinya tetap pelan, tapi rasanya lebih merdu.”

Anggara memeluk lelaki tua itu. Rasanya seperti memeluk waktu yang berbaik hati.

.

Sebuah “Tidak” Terakhir

Kebahagiaan tidak kebal terhadap ujian. Itu ia pelajari ketika tawaran kerja datang dari perusahaan baru—gaji menggiurkan, posisi menjanjikan. Anggara ragu. Hatinya belum selesai mengeluarkan akar dari tanah yang kini ia cintai. Tetapi logika berbisik: “Ini kesempatan.”

Ia berdoa, menimbang. Lalu datang kabar: proses rekrutmen dihentikan karena reorganisasi. “Maaf, belum rezeki,” tulis email itu. Dulu, ia pasti membanting ponsel. Kini ia menatap layar, lalu menutupnya pelan. Di luar, gerimis. Di lantai kedai, stoples kaca “Semoga Jadi Jalan Pulang” tampak berkilat tersentuh lampu. Ia memasukkan secarik kertas: “Tetap percaya pada jendela.”

“Kadang, semesta berkata ‘tidak’ karena ‘ya’ berikutnya butuh ruang untuk mendarat.”

Malam itu, ia menulis cerpen baru, tentang lelaki yang menolak menutup tokonya meski untung tipis; tokonya menyediakan payung di sore-sore tanpa hujan. Just in case, katanya. Karena tidak semua orang siap. Karena beberapa badai datang dari dalam kepala.

.

Jalan Pulang

Bulan berganti. Di halaman belakang perpustakaan, mereka menggelar layar tancap mini, memutar film pendek karya Samba tentang kota dan orang-orangnya. Di akhir pemutaran, Rengganis membacakan penggalan dari Reruntuh Jalan yang Menuntun Pulang. Warga sekitar duduk di kursi plastik, anak-anak berlarian mengejar bayangan mereka di dinding.

Anggara menatap langit yang tidak lagi sepenuhnya gelap. Ia sadar, jalan pulang tidak selalu kembali ke rumah. Kadang, jalan pulang adalah perjalanan yang membuat kita merasa pantas duduk di rumah mana pun—bahkan ketika kota berubah-ubah wajah.

Ia ingat kata-kata Ibu: “Hidup itu menyala.” Ia menatap jam Jokotole, lalu pada wajah Rengganis dan Samba yang tertawa. Di sela riuh tawa itu, ia mendengar bunyi paling jernih di dunia: bunyi jarum jam yang tekun berjalan.

Pintu-pintu di kota tetap akan menutup, bergeser, terbuka lagi. Tetapi sekarang ia tahu, yang terpenting bukan pintunya—melainkan kaki yang berani melangkah, hati yang mau memaafkan, dan tangan yang tak lelah membuat jendela.

“Kadang, detour adalah mukjizat yang menyamar, dan keterlambatan adalah cara Tuhan menyuruh kita melihat peta dengan mata baru.”

Dan malam itu, di tengah kota yang selalu terburu-buru, Anggara pulang. Bukan ke alamat, melainkan ke dirinya yang baru: seseorang yang cukup berani untuk percaya pada “tidak”, cukup sabar menunggu “ya,” dan cukup setia menjaga api kecil di dalam dada.

.

.

.

Jember, 3 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #KompasMinggu #UrbanLife #MotivasiHidup #PintuTertutup #Detour #RitualKopiTengahMalam #MenakMadura #JeffreyWibisonoV #Jakarta

Leave a Reply