Seketika Emas itu Menangis

“Jika takdir meletakkan setangkai mawar di tengah tumpukan duri, bukan berarti kita harus menggenggam semuanya. Cukup petik harumnya, lalu berjalanlah lagi.”

.
Perempuan yang Jatuh di Jakarta Timur

Namanya Kencana. Usianya hampir tiga puluh, tinggal di kontrakan petak di sudut gang sempit Pondok Kopi, Jakarta Timur. Setiap subuh, saat kabut tipis menggantung di atas atap seng dan bau tempe mendoan dari wajan tetangga menulis aksara-aksara lapar di udara, ia melangkah ke stasiun. KRL jurusan Bekasi–Tanah Abang datang seperti napas panjang kota: teratur, riuh, dan selalu sedikit lebih padat daripada yang diharapkan.

Kencana bekerja di sebuah percetakan majalah gaya hidup, klien-kliennya orang-orang yang menua dalam lampu-lampu warm white apartemen mewah, berfoto di atas meja marmer, memajang lilin aromaterapi yang harganya setara sewa kontrakan Kencana sebulan. Ia mengatur pra-cetak halaman-halaman yang berkisah tentang liburan di Sumba, brunch di Menteng, konser jazz di SCBD—menyentuh kemewahan dengan jemari yang masih berbau tinta.

Ayahnya, Pranacitra, seorang guru madrasah yang wafat karena paru-paru akut; ibunya pergi ketika Kencana masih kelas dua SD. Tantenya yang keras mendidik Kencana seperti menjemur cucian: disetrika rapi, dilipat, ditumpuk, dan diharapkan tak kusut lagi. Tapi hidup tak sama dengan kain katun. Ada kusut yang memang harus dibiarkan menjadi lipatan kenangan.

Kencana menyukai radio tua peninggalan ayahnya. Setiap malam, ia memutar kanal berita, menunggu slot musik lawas, lalu memejam. Luka-luka, ia bungkus dengan sabar. Kebutuhan-kebutuhan, ia tutup dengan kerja tambahan. Rindu, ia larutkan dalam suara penyiar yang seolah mengenalnya.

Hidupnya tenang—tenang yang sempit, seperti gang di belakang kontrakan. Sampai Jaka Lodra masuk dari tikungan yang tak pernah ia bayangkan.

.
Percikan dalam Asap Kopi dan Poster Hijau

Lodra datang sebagai perwakilan komunitas kreatif urban untuk proyek kampanye lingkungan. Rambutnya yang sedikit panjang diikat ke belakang, kemejanya selalu linen, sepatunya membisikkan nama merek seperti kata sandi klub eksklusif. Ia berbicara pelan, seolah tahu bahwa di kota yang berisik, orang akan memberi ruang pada yang memilih berbisik.

Mereka bertemu di Warung Kopi Sari Rempah—tempat nongkrong seniman pinggiran kota: dinding dengan mural pudar, kipas angin yang merengek, poster-poster gigs yang tanggalnya sudah lewat. Di sana, di bawah kecap yang menetes dari tutup botol plastik, Lodra berkata, “Kita ini, Ken, dua puing yang terseret arus. Tapi dua puing pun bisa menjadi satu rumah.”

Kencana tertawa kecil, menutupi degup yang mendadak. Ia tak menyadari kalimat semanis itu bisa jadi tangga yang memandu seseorang naik ke lantai yang salah.

Lodra tak menjual mimpi—atau ia terlalu pintar untuk mengakui bahwa ia sedang menjualnya. Ia hanya hadir: membawa laptop, membawa tas, membawa tubuh—dan akhirnya membawa hati Kencana. Ia membantu mengedit naskah, menjemput saat lembur, memasakkan mi dengan topping telur setengah matang di tengah malam. “Pernikahan,” katanya suatu kali, “adalah formalitas masyarakat yang takut kehilangan kontrol. Kita kan modern.” Kencana mengangguk dalam diam; cinta kadang adalah kesediaan kalah dalam argumen yang paling bisa kita menangkan.

.
Kilau Palsu di Balik Dinding Kontrakan

Dua bulan berlalu. Gosip berlari di atap-atap seng lebih cepat daripada kabel-kabel fiber optik menyalurkan internet. Teman redaksi berbisik: “Dia sering kelihatan di Kemang, gonta-ganti perempuan.” Grup WhatsApp kantor menyisipkan foto: Lodra di sebuah kafe, tertawa, tangannya tidak sendirian. Ibu warung sebelah, yang meminjamkan panci saat Kencana ban pecah di dompet, berkata lirih, “Hati-hati, Nduk.”

Ketika ditanya, Lodra menatap Kencana seperti kamera yang mengulik cahaya: teliti dan dingin. “Kau terlalu cepat percaya omongan orang, tapi lambat percaya aku.” Lalu ia pergi malam itu, meninggalkan jejak parfum, tab browser yang masih terbuka, dan sebuah sepasang sepatu mahal di bawah meja.

Sepatu itu dulu membuat Kencana bangga: ia membelinya dari honor lembur, dengan harapan sederhana agar langkah Lodra juga berpijak di lantai yang sama. Kini sepatu itu seperti benda asing—terlalu mulus untuk seorang tamu yang berjalan di hati orang lain tanpa melepas alasnya.

Kencana membungkusnya rapi, menulis sepucuk surat dan menempelkan pada kotak: Aku pernah menemukan emas di tempat yang salah. Tapi aku tak akan mencarinya lagi di sana. Selamat tinggal. Pagi-pagi sekali, ketika burung-burung gereja mengetuk genteng, kotak itu ia letakkan di atas tempat sampah di depan gang. Tetangga menatap heran; Kencana menatap ke dalam dirinya.

.
Runtuh Pelan, Tumbuh Pelan

Hidup melanjutkan dirinya sendiri. Kencana memilih pulang lebih malam agar rumah tak terlalu cepat mengingatkan pada kekosongan. Ia ikut komunitas literasi di Perpustakaan Salemba, mendengarkan orang-orang membaca puisi tentang kota yang selalu meminta lebih. Ia menulis catatan-catatan pendek, memindahkan pecahan hari ke dalam kalimat yang bisa menampung tanpa melukai.

Suatu malam hujan, ia mengetik status: Jika seseorang menghancurkan kepercayaanmu, biarkan. Tapi jangan izinkan dia menghancurkan harga dirimu. Status itu dibaca oleh Raka Yudasmara, jurnalis budaya yang dulu pernah meliput percetakan tempat Kencana bekerja. Raka mengirim pesan sederhana: Kubeli kopi, kau bawa cerita? Ada senyum yang tak disadari mengetuk bibir Kencana.

Mereka bertemu di kios buku bekas Kwitang yang nyaris tersisih oleh toko-toko daring. Raka—dengan kemeja yang sudah agak pudar di siku dan jam tangan yang tak pernah berganti—tak menawarkan apa-apa selain kehadiran yang tidak menuntut. “Jadi kamu sendirian sekarang?” tanya Raka.

“Tidak. Aku ditemani oleh diriku yang utuh,” jawab Kencana. Kalimat itu mungkin terdengar gagah, tapi Kencana tahu: keutuhan adalah proyek berjangka, bukan press release sehari jadi.

.
Jalan-jalan Orang Berkelas dan Orang yang Berusaha Naik Kelas

Jakarta memutar nasib seperti DJ di rooftop party: cepat, bising, dan sering tidak peduli siapa yang kelelahan di dance floor. Di majalah, halaman-halaman glamor terus dicetak. Suatu hari, Kencana dipercaya menjadi liaison produksi untuk edisi khusus “Kota dan Keindahan”—meliput galeri di Senopati, butik bespoke di Gunawarman, kuliner fusion di Kelapa Gading. Ia bertemu Jaya Engrana—pemilik rumah lelang seni yang karismanya mematut orang lain untuk berusaha lebih tegap, lebih rapi, lebih mahal. Ada juga Dina Ninggar, art advisor yang mencoret-coret angka seperti nada; Swara Kelaswara, kurator muda yang mengerti cara membungkus keheningan menjadi pameran; dan Gala Pragalba, PR yang setiap kalimatnya seperti baris-baris yang sudah diuji di cermin.

Mereka semua—nama-nama yang seperti dipetik dari hikayat lama—berjalan di lantai marmer, meneguk flat white dengan tatapan yang berusaha santai, memotret diri tanpa terlihat seperti memotret diri. Kencana, si penjaga warna dan resolusi, menyelinap di belakang layar, merekatkan proof dan deadline dengan selotip transparan. Ia menyadari: orang-orang berkelas dan orang yang berusaha naik kelas terkadang bertemu di lorong yang sama, hanya saja menatap cermin yang berbeda.

Di resepsi sebuah pop-up show, Kencana tanpa sengaja melihat sosok yang tak ingin ia lihat: Jaka Lodra. Lengannya melingkari bahu perempuan bermantel putih. Lodra menoleh, tersenyum, seolah semua drama yang pernah menggulung mereka hanya proyek pilot yang tak jadi tayang. “Kencana! Dunia ini kecil, ya,” katanya ringan, lalu memperkenalkan, “Ini Adaninggar—Dina. Kita baru… kerja bareng.”

Dina menatap Kencana dengan mata yang lembut tapi hati-hati. “Aku pernah baca tulisanmu di zine komunitas,” katanya. “Suka.” Kata suka yang manis itu menampar pelan. Kencana hanya mengangguk, menarik napas yang terasa seperti menelan serpihan kaca.

Raka datang terlambat, menenteng payung lipat yang masih menetes, menyelamatkan Kencana dari kecanggungan yang lebih mahal dari gaun-gaun yang melintas. “Maaf macet,” ucapnya. “Jakarta seperti biasa: semua orang ingin cepat sampai, tapi tak ada yang ingin mengalah.”

.
Seketika Emas itu Menangis

Seminggu kemudian, suatu siang yang lembap dan malas, Kencana memutuskan bersih-bersih. Ia menemukan dompet lama milik Lodra, terselip di antara buku-buku desain. Di dalamnya ada foto polaroid: Lodra dan seorang perempuan—bukan Dina—mengangkat gelas koktail di bar yang lampunya berwarna ungu. Ada bon restoran mahal bertanggal dua malam sebelum Lodra mengucapkan kalimat “Kau terlalu lambat percaya aku.”

Kencana duduk. Ada rasa perih yang tidak lagi meledak, melainkan merayap seperti semut berbaris. Di radio, penyiar memutar lagu lawas tentang emas yang menangis—barang paling berharga yang justru mengalir sebagai cairan hangat dari mata. Di cermin kecil yang retak sedikit di sudut, ia melihat dirinya: mata yang lelah, bibir yang menggenggam kalimat-kalimat yang belum jadi.

Ia membuka jendela kecil kontrakan. Dari kejauhan, Jakarta adalah kolase: kubah masjid, menara gereja, deretan billboard vitamin, jarak-jarak pendek antara harapan dan kenyataan. “Aku tak lagi mencarimu, Lodra,” gumamnya, bukan lagi marah, “karena aku menemukan diriku. Dan ternyata, diriku lebih berharga dari yang pernah kau tawarkan.”

Kalimat itu, ketika diucapkan, seperti memutar kunci di dalam dada—bukan untuk mengunci, melainkan untuk membuka. Seketika emas itu menangis; air mata yang jatuh bukan tanda kalah, melainkan bukti bahwa sesuatu yang berharga masih hidup di dalam diri.

.
Retak yang Menjadi Jendela

Raka mengajak Kencana membuat liputan kecil-kecilan di kanal indie miliknya: “Kota, Kita, dan Ketenangan yang Ditemukan dengan Kaki.” Mereka berjalan kaki dari Taman Suropati hingga ke Taman Menteng, menyusuri trotoar yang baru diperbaiki, menyeberang di zebra cross yang garis-garisnya masih putih terang. Mereka mampir ke penjual buku-buku mata pelajaran bekas, berbagi roti sobek, dan tertawa pada hal-hal yang tidak lucu—ketidaklucuannya membuat mereka merasa aman.

“Orang sering mengira kebahagiaan ada di lantai atas,” kata Raka saat duduk di bangku taman. “Padahal kadang ada di trotoar: kursi beton yang tidak empuk tapi jujur; pohon yang tidak mewah tapi meneduhi; langkah-langkah yang mungkin kecil tapi pasti.”

“Dulu aku ingin naik lift,” sahut Kencana. “Sekarang mungkin aku memilih tangga.”

“Bagus,” kata Raka. “Di tangga, kau bisa berhenti kapan saja untuk melihat pemandangan.”

Di percetakan, Kencana mulai lebih berani. Ia mengusulkan rubrik baru: “Mewah yang Masuk Akal”—membahas desain yang cantik sekaligus terjangkau, artisan lokal yang tulus, kafe-kafe kecil yang menyusun menu dengan hati. Redaktur—yang matanya kritis dan jadwalnya kejam—anehnya setuju. Nama Kencana masuk dalam credit title bukan hanya sebagai operator, tetapi sebagai penulis pendamping. Ia menulis dengan nada yang ia pelajari dari hidup: lembut, tapi tidak memohon; jujur, tapi tidak menghakimi.

.
Siluet-Siluet Menak di Kota

Nama-nama yang dulu seperti dari hikayat, kini menjadi manusia yang mendekat. Jaya Engrana ternyata menyimpan risalah tentang pasar seni kampung yang ia biayai diam-diam. Dina Ninggar—yang semula tampak seperti bayang mewah di ruang pamer—membimbing mahasiswa baru tanpa mengunggahnya ke story. Swara Kelaswara menolak kerja sama dengan perusahaan yang ingin cuci citra melalui pameran. Gala Pragalba bersandar pada dinding belakang panggung suatu malam dan berkata pada Kencana, “Kau menulis dengan napas. Tetaplah begitu. Pekerjaan kami sering menukar napas dengan asap.”

Kisah Menak—tentang Jayengrana, Adaninggar, Kelaswara, Pragalba—bukan lagi legenda di serat-serat lawas; mereka hadir sebagai siluet di kota: punya marah, punya malu, punya harap. Kota, rupanya, tidak hanya melahirkan penipu dan yang tertipu. Ia juga melahirkan orang-orang yang berusaha benar di antara godaan branding dan impresi soft opening.

.
Undangan yang Terlambat

Pada malam Jumat, ponsel Kencana bergetar. Pesan dari nomor yang pernah ia hapal: Ken, bisa ketemu? Ada yang perlu kubicara. Lodra.

Kencana menatap pesan itu lama, seolah membaca ulang buku yang dulu ia hafal dialognya. Di luar, suara azan magrib pecah pelan, menutup lidah kota yang sepanjang hari menuturkan iklan.

Ia membalas singkat: Di Sari Rempah. Jam delapan. Tidak karena rindu, melainkan karena ingin menyelesaikan kalimat yang tersisa.

Warung kopi tak berubah. Kipas angin masih merengek, poster gigs makin kusam. Lodra datang dengan kemeja baru, sepatu yang lain, wajah yang sebenarnya sama. “Maaf,” katanya, “Aku kacau. Aku takut gagal. Aku… tidak ingin sendirian.”

Kencana mendengarkan, menyesap kopi yang mulai dingin. “Kau tidak ingin sendirian,” katanya akhirnya, “tetapi kau memilih cara-cara yang membuat orang lain merasa sendirian. Itu bedanya.”

“Kau masih marah?”

“Aku pernah marah,” jawab Kencana. “Sekarang aku lebih sibuk mengurus orang yang dulu kau tinggalkan di cermin.”

Lodra menunduk. “Bisakah kita mulai lagi?”

Pertanyaan itu—yang dulu akan membuat jantung Kencana menari—kini jatuh seperti batu kecil ke kolam tenang. Ada riak, tapi tidak ada banjir.

“Tidak,” katanya lembut. “Tapi aku berterima kasih. Tanpamu, aku tidak akan mengenali diriku seterang ini.”

Mereka berpisah tanpa drama. Di pintu, Kencana menatap langit yang disobek kabel-kabel listrik. Jakarta tetap bising, tapi suara dalam kepalanya pelan-pelan menemukan tombol mute.

.
Rumah yang Tidak Lagi Sewa

Dengan honor rubrik barunya dan tabungan yang sejak lama diselamatkan dari uang makan siang, Kencana pindah ke studio kecil di Rawamangun. Jendela lebar, lantai parquet, dan dinding kosong yang menunggu cerita. Ia menaruh tanaman hias di dekat balkon: lidah mertua yang konon menyaring udara, dan sirih gading yang tak rewel. Ia membeli rak buku bekas dari marketplace, memolesnya, menatanya dengan sabar. Di meja kerja, ia menempel kertas kecil: “Seketika emas itu menangis, jadikan air matanya cermin.”

Raka datang membantu memikul kardus, menahan tawa ketika menemukan CD lama Kencana—kompilasi lagu-lagu galau 2000-an. Mereka memasak nasi goreng dengan bahan seadanya, makan di lantai, tertawa pada tragedi kecil tumis yang terlalu asin. “Kau seperti rumah,” ucap Raka tiba-tiba.

“Lho, kenapa?”

“Karena ingin ditinggali bukan karena mewahnya, tetapi karena tenangnya.” Raka terdiam sebentar, lalu menambahkan, “Kau tidak perlu menjawab apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu: aku tidak terburu-buru.”

Kencana tersenyum. Jawaban terbaik untuk kalimat itu adalah keheningan yang tidak canggung.

.
Panggung yang Tidak Ada Lampu Sorotnya

Edisi “Mewah yang Masuk Akal” meledak di kanal digital. Komentar pembaca mengalir: “Akhirnya ada yang membahas cantik tanpa gengsi,” “Terima kasih sudah menulis tentang warung kecil kami.” Kencana diundang menjadi pembicara di diskusi komunitas. Ia berbicara tentang warna yang tidak merendahkan isi kantong, tentang desain yang tidak memenjarakan selera, tentang brand yang bukan topeng melainkan jembatan. Di kursi paling belakang, Raka duduk seperti biasa: tidak menatap panggung terlalu lama, tapi memastikan panggung tidak runtuh.

Di akhir acara, seorang perempuan muda menghampiri, mengenalkan diri sebagai Ninggar—bukan Dina—mahasiswi seni rupa yang hampir berhenti kuliah karena minder. “Tulisan Mbak bikin saya ngerasa punya alasan untuk tetap gambar. Gambar yang kecil-kecil dulu nggak apa-apa,” ucapnya.

Kencana memeluk Ninggar sebentar. “Kecil itu jarak yang paling manusiawi,” katanya. “Jarak yang memungkinkan kita saling melihat.”

.
Kota, Emas, dan Air Mata

Jakarta tidak menjadi lebih baik dalam semalam—ia tetap macet, tetap memaksa orang berebut napas. Tapi di sela-sela kemacetan, Kencana menemukan ritme sendiri: trotoar Sabtu pagi, copy rubrik yang kini ditunggu, dapur kecil dengan wajan yang mengingat rasanya menumis tumbuh.

Suatu senja, hujan turun tanpa ancaman. Dari balkon, Kencana melihat air menuliskan garis-garis halus di udara, membasuh nyala kemarahan yang dulu pernah ia pelihara. Radio tua di meja memutar siaran tentang emas: logam yang tak mudah berkarat, tetapi bisa luluh jika dibakar. Ia teringat pada tubuhnya sendiri—bukan emas yang keras kepala, melainkan emas yang berani menangis ketika dibakar.

Ia menulis kalimat terakhir untuk rubrik bulan itu: “Kemewahan paling jujur adalah ketika kita tak lagi terancam oleh cermin; ketika bayangan sendiri menjadi teman, bukan lawan.” Lalu ia menutup laptop, menyeduh teh, dan membiarkan kota bernyanyi tanpa perlu dijawab.

Di layar ponselnya masuk pesan dari Raka: Besok, jalan kaki lagi? Kutemani sampai jarak yang kau mau. Kencana mengetik: Iya. Kita mulai dari Taman Suropati, ya. Lalu menambahkan emoji daun yang baru ia temukan indahnya.

Di dinding dekat balkon, bayangan tanaman memantul bersama hujan. Seketika emas itu menangis—bukan karena kalah, melainkan karena lega. Dan di dalam tangis itu, Kencana kembali melihat jalan kecil menuju pulang.

.
“Ada orang yang datang hanya untuk mengingatkan: betapa kita harus mencintai diri sendiri lebih dulu, sebelum mengizinkan siapa pun tinggal.”

.

.

.

Jember, 23 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #Jakarta #KelasMenengah #SelfWorth #KompasMingguStyle #MenakMadura #UrbanLiterature #HealingJourney #WomenEmpowerment #NamakuBrandku

Leave a Reply