Sayap yang Tak Pernah Terbang

“Jangan iri pada langit yang dipenuhi elang.
Ada makhluk yang diciptakan bukan untuk terbang,
melainkan untuk menyelam lebih dalam dan pulang membawa cahaya dari dasar.”

.

Kota ini mengilap seperti aquarium raksasa di malam hari: kaca-kaca tinggi memantulkan lampu, arus kendaraan berlapis seperti kawanan ikan yang tak pernah tidur. Di jembatan penyeberangan Dukuh Atas, Samba duduk menunggu angin yang tak juga datang. Telepon genggamnya bergetar tanpa henti—rapat dipercepat, target ditambah, laporan harus selesai sebelum dini hari. Jakarta mendidih, sementara di dalam diri Samba ada samudra dingin yang memanggil.

Ia menatap ke bawah, ke sungai yang disekat beton. Airnya kehijauan dan malas. Suara ayahnya muncul seperti gelombang jauh dari kampung Sumenep: “Nak, tidak semua burung ditakdirkan mengepak sampai langit retak. Ada yang bersayap, tapi sayapnya untuk menyeimbangkan tubuh saat menyelam. Lihat penguin—ia menerima takdirnya, lalu menjadikannya kebebasan.”

Samba menutup mata. Di kantor, rekan-rekan seperti elang: cepat, tajam, dan bangga dengan ketinggian. Samba berusaha mengepak juga, namun udara kota menolak paru-parunya. Ia bisa, bila memaksa. Tetapi setiap kali pulang, ia selalu merasa kehilangan sesuatu yang tak sempat ia namai.

.

Esoknya, di lantai dua puluh lima gedung Kuningan, Samba menghadiri rapat evaluasi. Menak Tirta—atasan yang selalu bicara seakan hidup hanya daftar panah ke atas—menjepitkan kacamata di pangkal hidung.

“Sam, angka presentasimu naik, tetapi kamu kurang agresif. Perusahaan ini butuh orang yang soar, bukan float. Kamu paham?”

Samba mengangguk. Di layar, grafik berwarna melonjak, menurun, lalu memanjat lagi seperti jantung yang kelelahan. Ia memikirkan kawan-kawan di rumah kontrakan Manggarai yang lebih banyak tertawa meski gajinya lebih ramping. Ia memikirkan Rengganis, sahabat masa SMA yang menjadi jurnalis dan semalam mengirim pesan: Banjir lagi di Muara Baru. Mau ikut? Lihat sendiri apa yang jarang kau lihat dari jendela kantormu.

Usai rapat, Samba turun dengan lift yang memantulkan wajahnya: formal, rapi, dan hampa.

.

Muara Baru basah seperti ingatan. Rengganis membawanya menyeberang gang yang menjadi kanal mendadak. Anak-anak menenteng sandal, ibu-ibu menyelamatkan kasur busa yang berat oleh air. Seorang lelaki tua menjemur buku-buku yang mengerut. “Ini kitab ceramah,” katanya sambil tersenyum. “Kalau kertasnya mengkerut begini, suaranya jadi lebih merdu.”

Samba mengeluarkan ponsel, merekam suara lelaki itu. Kalimat-kalimatnya terasa seperti ombak yang masuk ke dadanya. Rengganis sibuk mencatat nama, usia, dan koordinat kejadian. “Kau perhatikan, Sam?” katanya lirih. “Di sini, yang tidak bisa terbang tetap bertahan. Mereka menemukan cara.”

Mereka berhenti di warung soto. Hujan mengguyur atap seng, mengeluarkan bunyi marakas berirama. Samba menatap sesuatu di televisi kecil yang digantung di sudut: dokumenter tentang penguin di kutub. Tampak barisan tubuh hitam-putih yang menyeimbangkan diri di atas es, lalu meluncur ke air sedingin pisau. Narator berkata, “Mereka tidak diciptakan untuk terbang. Tetapi di air, tak ada yang bisa menandingi ketahanan mereka.”

Samba memesan teh. Tangannya gemetar kecil, entah karena udara yang dingin atau sesuatu yang baru saja mengisi dadanya.

.

Di tempat kos Manggarai, malamnya, Samba menulis. Ia menulis tentang lelaki tua penjaga kitab, tentang hujan yang mengkerutkan halaman lalu membuat suaranya merdu, tentang penguin yang tak terbang tetapi menyelam dan pulang membawa cahaya dari dasar. Ia menulis bukan untuk target, bukan demi promosi. Ia menulis seperti bernapas setelah sekian lama menahan napas.

Rengganis membacanya dan mengirim pesan tiga kata: Tulis lagi, Sam.

Tulisan itu, yang diberi judul “Sayap yang Tak Pernah Terbang”, dimuat Rengganis di kolom human interest mingguan. Tangis ibu-ibu, tawa anak yang membiarkan sandal terbawa arus lalu mengejarnya, lelaki tua yang menjemur kitab di atas jerami—semuanya membuat pembaca mengingat wajah-wajah yang biasa musim hujan bawa. Kolom itu viral; komentar berdatangan. Ada yang menandai—“Ini tetangga saya!”—ada yang menawar baju seragam sekolah bekas untuk anak-anak gang itu, ada pula yang sekadar meletakkan doa.

Samba membaca pelan, lalu mematikan layar. Ia tidak suka euforia; ia lebih percaya pada kerja seterusnya. Namun ada sesuatu yang menyala—kecil, tetapi hangat—di dadanya.

.

Minggu berikutnya, mereka pergi ke selatan. Rencananya sederhana: bertemu Jokotole—kawan lama yang kini menjadi pemandu selancar di Pelabuhan Ratu—serta Pottre yang membuka kelas seni untuk anak-anak kampung, dan Siti Rukmini yang membuka perpustakaan kecil dari kardus bekas. Mobil yang mereka tumpangi berisi tawa dan lagu-lagu lama. Samba melihat hamparan sawah, bukit, lalu garis laut yang tipis di kejauhan.

Malam tiba seperti payung besar. Jokotole menyalakan api unggun. Ada suara jangkrik dan garam di udara. Anak-anak desa berkumpul, menatap layar kain tempat Rengganis memutar klip dokumenter penguin yang direkam dari televisi warung soto di Muara Baru. Mereka takjub melihat hewan berkostum rapi meluncur seperti panah ke gelap air.

“Kenapa tidak terbang?” tanya seorang bocah bernama Arjuna.

“Karena mereka diciptakan untuk menyelam,” jawab Pottre, menyodorkan cat air. “Tetapi lihat, sayapnya tetap dipakai: menyeimbangkan badan, mengarahkan laju, memeluk anaknya saat badai. Semua anggota tubuh berguna di habitat yang tepat.”

Samba duduk diam. Api memantulkan wajahnya, menghadirkan bayangan-bayangan masa kecil yang ia simpan di bawah ranjang: tawa ayah, bau jukung yang dicat biru, suara ibu menghitung hasil tangkapan. Ia ingin menanyakan banyak hal pada laut, tetapi laut hanya menjawab dengan bunyi panjang yang sunyi.

Malam itu, mereka menggambar di pasir: elang yang memandang langit, penguin yang memandang air. Samba menulis kalimat kecil di samping gambar penguin: “Batas bukan tembok. Ia pintu ke arah lain.”

.

Pulang ke Jakarta, Samba tidak serta-merta mengundurkan diri. Ia memilih bergerak pelan—atau tepatnya, menyelam pelan. Siang hari ia tetap menjadi staf pemasaran yang rapi, mempresentasikan angka-angka di ruangan yang dingin. Malam hari ia membuka kelas menulis di teras rumah kontrakan Manggarai. Ia menyebutnya Ruang Selam.

Peserta pertama: tiga tukang ojek daring yang suka bercerita di warung kopi tetapi tak pernah menulis, dua pedagang asongan kereta yang penasaran ingin menarasikan perjalanan hariannya, satu ibu rumah tangga yang suaminya kerja malam di pelabuhan, dan seorang satpam gedung yang diam-diam mengoleksi buku cerita silat.

Jokotole, kebetulan sedang libur dari selancar karena cuaca buruk, datang mengajarkan teknik napas dan fokus—bagaimana menahan dorongan untuk langsung “terbang” dalam menulis, padahal yang dibutuhkan adalah “menyelam”: mengulang, mengingat, mengendus detail, meraba ulang luka. Pottre mengecat mural penguin di dinding luar kontrakan. Siti Rukmini menata buku sumbangan di rak, labelnya ditulis tangan. Rengganis, tentu saja, datang membawa perekam dan kamera.

Malam-malam di Ruang Selam mengubah banyak hal. Keberanian tumbuh dari hal-hal kecil: seorang ojek menuliskan pengalamannya mengantar ibu hamil yang pecah ketuban tepat di depan lampu merah; pedagang asongan menulis tentang sepatu lusuh yang menolak pensiun; satpam menceritakan satu malam saat ia diajak main catur oleh direktur yang tak bisa tidur. Mereka menulis dengan dada yang panas, tangan yang gemetar, dan mata yang basah—seolah kata adalah rumah yang selama ini mereka cari.

Samba mengedit, memberi catatan halus, dan mengirim sebagian ke koran dan blog komunitas. Satu-dua dimuat. Nama mereka tercetak hitam di kertas yang kita beli di kios pagi—kertas yang selama ini hanya singgah sebentar, kini disimpan dalam plastik berbekas minyak. Mereka tersenyum, dan kota—yang sering tak peduli—menoleh sebentar.

.

Di kantor, perubahan Samba tercium. Menak Tirta memanggilnya lagi.

“Kau sibuk di luar, Sam? Lihat, performa timmu turun dua persen. Aku butuh orang yang fokus di skyline, bukan seafloor.” Ia tertawa kecil, seolah membuat lelucon cerdas.

Samba menatap grafik. Dua persen. Ia tahu bagaimana mengejarnya: menekan vendor, mendesak tim lapangan menambah jam kerja, memangkas jeda makan siang. Ia tahu resepnya. Ia juga tahu harga yang harus dibayar manusia di balik angka-angka itu.

“Pak, boleh saya ajukan opsi lain?” katanya.

Menak Tirta berkedip. “Aku suka orang yang punya opsi.”

“Kita tidak memaksa tim. Kita mundurkan target enam minggu. Kita ajak vendor duduk memilih prioritas bernilai. Kita berikan dua hari recovery setelah fase pertama. Hasilnya mungkin tidak meledak, tapi—”

“Tidak meledak?” Menak Tirta memotong. “Kita dibayar untuk meledak.”

Samba diam. Ada sesuatu yang tenang tumbuh dalam dirinya, seperti air yang tiba-tiba menemukan jalan ke laut.

“Kalau begitu, izinkan saya mengundurkan diri per akhir bulan.”

Kalimat itu terucap begitu saja, jernih seperti bunyi lonceng. Aneh, keputusan terbesar hidupnya datang tanpa guntur. Menak Tirta membuka mulut, menutupnya lagi. Lalu ia memanggil HR.

Di lift, Samba menatap pantulan wajahnya. Masih rapi. Tetapi ada garis baru di sekeliling mata—bukan kerut kelelahan, melainkan bekas dari senyum yang lama tertahan.

.

Hari-hari setelah resign keras sekaligus hening. Pagi, ia bangun tanpa jam alarm perusahaan. Angin di Manggarai masuk dari kisi jendela. Ia membuat kopi, membaca, lalu menyusuri kota. Dengan Rengganis, ia pergi ke Senen, merekam mulut pedagang buku bekas yang menceritakan bagaimana halaman-halaman mencari pembacanya sendiri. Dengan Siti Rukmini, ia mampir ke Rusunawa Jatinegara, mengajak anak-anak menulis “Surat kepada Kota”: Kota yang baik, tolong jaga saluran airku; Kota yang baik, jangan biarkan ayahku pulang tanpa senyuman.

Ruang Selam semakin ramai. Mural penguin di dinding ditambahkan garis-garis air oleh Pottre, seperti jubah. Jokotole mengajar “Teknik Memegang Duka”—bagaimana menulis tanpa tergesa menghakimi diri sendiri. Samba membuat rubrik “Harapan Kecil” di blog komunitas; setiap pekan, satu tulisan dipilih, diberi ilustrasi, dan dibacakan melalui siaran langsung yang sederhana.

Lalu datang ujian yang tidak menyenangkan: kabar penggusuran kontrakan untuk pelebaran jalan. Pemilik tanah menerima tawaran. “Maaf, saya juga butuh makan,” katanya—dan memang benar. Rencana digelar: memindah Ruang Selam ke gudang kosong bekas warung fotokopi di bawah flyover. Tetapi di gudang, udara lebih pengap, dan bunyi kendaraan seperti amarah yang berkelanjutan.

Samba menulis “Surat untuk Jalan Raya”. Teksnya singkat:

“Kami bukan batu sandungan. Kami hanya orang-orang yang belajar berjalan. Jika jalan harus lebar, berilah kami setapak kecil di tepinya, agar kami bisa tetap pulang.”

Tulisan itu beredar, berhenti di seorang arsitek yang sedang merancang ruang publik partisipatif. Ia mengundang mereka berdiskusi. Sebulan kemudian, sebuah ruang baca mungil berdinding kaca berdiri di bawah naungan jembatan, dilengkapi lampu tenaga surya. Di dindingnya, Pottre melukis penguin yang menyelam, membawa lentera kecil. Anak-anak menyebut tempat itu “Akuarium Kata”.

Pada peresmian sederhana, Samba berdiri di depan mikrofon—bukan tipe panggung yang ia bayangkan ketika dulu muda dan bimbang; ini panggung kecil dengan karpet tipis, beberapa kursi plastik, dan kue-kue titipan para ibu. Ia membaca beberapa puisi, lalu menutup dengan kutipan yang kini telah menemani hari-harinya:

“Kekuatanmu bukan di langit yang tak bisa kau gapai,
melainkan di kedalaman tempat kau sanggup bertahan.
Jangan iri pada sayap orang lain;
di lautanmu sendiri ada bintang yang menunggu.”

Tepuk tangan menggema di bawah flyover—beradu dengan bunyi knalpot, serupa paduan suara yang tak pernah dilatih. Rengganis menutup kamera dengan mata berkaca. Jokotole menyandarkan papan tulis ke dinding. Siti Rukmini membagi-bagikan buku, memungut sampah plastik yang terselip di sudut. Pottre menghapus noda cat dari jarinya.

Malamnya, Samba berjalan seorang diri ke Ancol. Angin pantai mengantar bau solar dan garam. Lampu kapal seperti bintang yang tersangkut di air. Ia duduk di dermaga kayu, menulis pada buku catatan kecil: Hari ini, aku tidak menjadi elang. Aku menjadi penguin. Aku tidak gagal. Aku menemukan samudraku—di mata anak-anak yang berani menulis, di tangan tukang ojek yang menahan getar, di suara ibu yang mengubah dapur menjadi perpustakaan kecil, di ruang baca bawah jembatan yang berkilau seperti aquarium.

Ia berhenti menulis. Ada jeda yang panjang, hening yang mewah. Lalu ia menambahkan satu kalimat lagi, yang kelak menjadi judul bukunya:

“Sayap yang tidak terbang pun bisa menjadi pelukan bagi dunia.”

.

Beberapa tahun berlalu. Buku kumpulan tulisan Ruang Selam terbit dalam cetakan kecil dan laris di lingkaran yang tepat. Mereka mengadakan “Ritual Kopi Tengah Malam” setiap awal bulan—menyeruput panas, menulis pelan, membaca bersama. Anak-anak yang dulu datang malu-malu kini memandu diskusi, bercita-cita menjadi guru, juru masak, perawat, atau penulis yang meramu kisah seperti sup.

Samba tidak berhenti memotret luka, tapi ia juga tidak lupa memotret perbaikannya. “Jangan jadikan kemalangan sebagai komoditas,” kata Rengganis suatu malam. “Tugas kita bukan menjual air mata, melainkan menyilangkan tangan agar ada jembatan kecil untuk berpindah.”

Pada malam yang dingin di akhir tahun, Samba pulang ke Sumenep. Rumah tua telah kosong; ayah dan ibu tinggal di seberang yang sunyi. Ia berjalan ke pantai, ke jukung biru yang catnya telah pudar. Langit rendah; tak ada elang. Ombak menggulung kecil, putih, melebur.

Ia mengucap syukur pada laut yang dulu ia tinggalkan dan kini menjemputnya kembali. Bukan untuk tinggal, melainkan untuk mengakui: ia selalu berasal dari sini—dari air yang tenang tetapi dalam, dari tangan-tangan yang lebih tertarik menenun jala daripada menambatkan bendera di puncak.

Samba menunduk, mengusap pasir hingga menemukan cangkang kecil. Ia menempelkan telinga: bunyi yang ia dengar seperti desah kota, tetapi lebih jujur. Di kejauhan, jukung-jukung menyalakan lampu; dari tempatnya berdiri, lampu-lampu itu seperti barisan penguin memegang lentera.

Ia tersenyum. Kakinya tidak bergetar lagi.

.

Pada sebuah sore yang cerah, di Akuarium Kata, seorang anak bertanya, “Kak, kapan kita terbang?”

Samba memandangnya, lalu menunjuk mural penguin yang menyelam.

“Kita akan terbang,” katanya. “Tetapi definisi terbang tidak satu. Ada terbang yang melompat dari tebing dan menangkap angin. Ada terbang yang meluncur di air dan meminjam arus. Kau pilih yang mana?”

Anak itu menatap mural lama-lama, lalu menjawab dengan mantap, “Aku mau terbang yang tidak mengecewakan lutut.”

Tawa pecah. Samba ikut tertawa, lalu memulai kelas. Mereka menulis tentang jalan raya yang sabar, tentang ibu yang menaruh kunci di bawah tikar, tentang hujan di atap seng yang memukul dengan ritme penuh harapan. Kata-kata bergerak di atas kertas seperti kawanan ikan—tak tersusun rapi pada awalnya, tetapi berkilau jika kena cahaya.

Di ujung kelas, Samba menutup buku dan memandang kota. Ia tahu, di menara-menara kaca, grafik masih melompat-lompat seperti jantung maraton. Ia tahu, di ruangan-ruangan dingin, ada orang-orang yang harus menyaksikan presentasi tentang masa depan yang dibatasi margin. Ia tidak membenci mereka. Ia hanya memilih kedalamannya sendiri.

Karena pada akhirnya, yang ia lalui bukan pelarian, melainkan pulang.

“Kekuatan bukan di langit yang tak terjangkau,
melainkan di kedalaman yang sanggup kita terangi.”

Dan pada kedalaman itulah—di bawah jembatan, di sudut gang, di tepi dermaga, di halaman buku yang mengerut karena air—Samba menemukan bahwa sayap yang tak pernah terbang bisa menghangatkan dunia seperti pelukan panjang setelah badai.

.

.

.

Jember, 2 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraKota #InspirasiHidup #RuangSelam #PenguinMetafora #JeffreyWibisonoV #HumanInterest #Jakarta

Leave a Reply