Rumah Luruh

“Warisan terbesar bukan rumah dan angka di rekening, melainkan cara kita pulang—dengan kepala tegak, hati tunduk, dan tangan yang tetap mau menggenggam tangan saudara.”

.

Hujan merintik di atas Jalan Slamet Riyadi, memantulkan lampu-lampu toko batik yang memanjang seperti halaman novel yang tak selesai-selesai. Di sudut Keprabon, rumah tua keluarga Weningrum—orang-orang menyebutnya dalgendu, sebab leluhurnya pernah memegang kendali lumbung-lumbung beras dan gudang batik—berdiri seperti sebuah nada panjang yang ditahan terlalu lama. Pintu jati setinggi dua setengah meter itu sudah lama tak ditutup rapat. Angin yang membawa aroma tanah basah masuk, lalu keluar lagi dengan napas pendek.

Malam itu, Raras mengetuk pelan. Jemarinya dingin. Ia baru tiba dari Jakarta—mata belum sempat bernegosiasi dengan kantuk—membawa koper kecil berisi blazer lurik, jeans hitam, dan sneakers putih yang sudah gosong oleh aspal kota. “Halo, rumah,” gumamnya. Dulu ia anak yang paling suka menghabiskan hari di pendapa, mencuri mangga di pekarangan, lalu tertawa bersama Jati dan Ragil—dua sepupu yang menjelma kota dalam versi masing-masing.

Eyang Suryo menatapnya dari kursi rotan yang diletakkan miring, menghadap halaman. “Kamu pulang tepat ketika suara hujan jadi gamelan,” katanya. Suaranya tipis, tapi tegas. Tak ada gelar, tak ada nama besar, hanya seseorang yang menjaga siang dan malam agar tidak saling menelan.

Raras tersenyum. “Eyang, aku harus bicara soal rumah.” Ia menelan ludah. Kalimat itu mengendap di lidahnya seperti obat pahit. Di Jakarta, para investor sudah menunggu jawaban—apakah rumah ini dijual, disewa, atau diubah menjadi restoran. Ia, manajer pemasaran di sebuah e-commerce—dengan target, metrik, dan gaji yang ramai angka—ditunjuk menjadi juru bicara keluarga karena dianggap memiliki kepiawaian membungkus benda lama menjadi cerita baru.

“Cerita apa yang ingin kamu jual?” tanya Eyang, mata yang muda di wajah yang tua.

“Bukan cerita, Eyang. Kebutuhan. Pajak tanah naik. Atap bocor. Jendela keropos. Kita semua tinggal tersebar. Jati di Bandung, Ragil di Denpasar, Lintang di Surabaya, Rengga di Singapura, dan aku di Jakarta. Siapa yang sempat merawat? Kita harus realistis.”

Hujan menjawab dengan menebalkan suara di talang. Dari dapur, aroma timlo Solo yang hangat merayap di lorong. Lastri—bibi yang tinggal paling dekat—menaruh mangkuk di meja. “Makan dulu,” katanya. Dalam rumah penuh kenangan, perut jarang boleh kosong terlalu lama.

.

Keesokan paginya, kota membuka mata dengan matahari yang malu. Raras berjalan menyusuri lorong-lorong rumah: kamar-kamar yang dindingnya memajang foto keemasan: arak-arakan sekaten, pengajian malam Jumat, pesta kecil menyambut panen raya. Di teras belakang, ia menemukan kain-kain batik yang dibuat mendiang nenek: parang, kawung, truntum—setia seperti doa yang tak pernah usai.

Pukul sepuluh, mereka berkumpul. Jati tiba dari Bandung dengan jaket denim oversize dan tote bag berisi sketsa. Rambutnya dibiarkan gondrong tipis, bau cat akrilik menyengat halus. Ia kini ilustrator freelance yang laris—mengerjakan sampul buku, mural kafe, sampai gerak identitas brand. Di pergelangan tangannya, gelang perak berukir aksara Jawa bersentuhan dengan jam tangan pintar.

Ragil hadir belakangan, masih terengah dari penerbangan Denpasar–Adisumarmo. Wajahnya kecokelatan, kemeja putihnya dipadukan dengan celana kain motif lurik, sedikit selutut. Ia chef dan pengusaha katering yang terkenal dengan menu comfort food Jawa yang bersahaja—selat Solo dengan dresing lebih ringan, tengkleng yang tak terlalu anyir, nasi liwet dengan toping jamur tiram asap. Kakinya memakai sandal kulit yang dicuci hujan.

Lintang dan Rengga hanya hadir lewat layar. Lintang yang kini menjadi analis data di Surabaya muncul di kolom Zoom dengan latar belakang co-working space: dinding bata, tanaman monstera, dan secangkir kopi susu di meja. Rengga di Singapura, bersweater abu, wajahnya tegas—konsultan keuangan dengan catatan rapi—membawa kata “proyeksi” seperti orang lain membawa payung.

Di tengah pendapa, Eyang Suryo menaruh peta keluarga. Bukan peta struktur, tapi peta rasa: garis-garis yang menghubungkan siapa yang pernah mengantar siapa ke sekolah, siapa yang pernah memungut siapa dari terminal, siapa yang pernah diam-diam membayar uang kos siapa ketika kuliah. “Warisan kita bukan hanya rumah ini,” katanya. “Warisan kita adalah kebiasaan saling menutup lubang atap satu sama lain.”

Jati mengangguk mantap. “Aku setuju mempertahankan rumah. Kita bisa menjadikannya ruang seni. Aku bisa bikin program residensi, pameran, kelas menggambar untuk anak-anak kampung.”

Rengga menghela napas dari layar. “Ide bagus, tapi mari kita bicara angka. Pajak. Biaya renovasi. ROI. Kalau kalian mengubahnya jadi ruang seni, siapa yang bayar listrik tiap bulan? Kalian punya model bisnis?”

Raras, yang terbiasa mempresentasikan proposisi nilai, menatap halaman. Di luar, pedagang satai kere menyalakan arang. Asapnya singgah ke ruang tamu, seperti pesan pendek dari masa kecil: pulanglah, makanlah, baru bertengkar. “Aku punya deck,” katanya. “Konsepnya: rumah ini jadi ‘Rumah Luruh’—tempat rujuk urban. Kafe kecil, coworking, dapur terbuka untuk kelas memasak Ragil, mini galeri untuk Jati, ruang temu warga. Lintang bisa bikin klinik data literasi untuk anak muda; ajari mereka CV, portofolio, literasi finansial. Kita bawa cita rasa Solo ke generasi sekarang tanpa museumisasi yang kaku.”

Ragil tersenyum. “Warung liwet dengan meja bersama. Tak perlu banyak dekor, cukup panci besar, uap nasi, dan sambal tomat yang jujur.”

Lintang mengangkat jempol dari Surabaya. “Aku bisa bantu analitik pengunjung, pricing, loyalty program. Kita pakai pendekatan sederhana: jangan jual nostalgia, jual fungsinya.”

“Dan baju kerja timnya?” tanya Jati sambil bersidekap. “Aku bikin seragam yang meminjam potongan beskap untuk kerah, tapi bahannya katun tipis, warna bumi. Dipadu sneakers putih atau sepatu kulit cokelat. Tidak kebanyakan logo, cukup sebaris aksara ‘luruh’ di lengan.”

Eyang tersenyum pada cara mereka menyusun masa depan seperti orang menyusun lauk di piring kecil-kecil: secukupnya, tapi beragam.

“Kalau begitu,” sela Rengga, “aku minta proyeksi arus kas enam bulan, skenario buruk-menengah-baik. Kita list biaya renovasi, kita cari cicilan lunak, mungkin crowdfunding dari jaringan diaspora Solo. Tapi ingat: jangan menyandera rumah dengan utang yang tak sehat.”

“Rengga,” kata Eyang, “kamu tak di sini, tapi kamu sedang di sini. Kamu yang mengingatkan kami pada angka-angka yang sering dikhianati semangat. Tetaplah begitu.”

.

Siang bergerak ke sore. Hujan kapok. Raras keluar dan berjalan ke arah Pasar Gede. Ia memotret lorong-lorong, warung tengkleng yang meja plastiknya penuh kuah, penjual serabi dengan gerobak yang masih berbau arang. Di ponselnya, folder bernama “Pulang” bertambah satu demi satu: foto-foto yang mungkin kelak jadi materi promosi. Tapi di antara foto, ada video pendek—tangannya gemetar saat merekam Eyang tertidur di kursi rotan. Napas Eyang panjang dan teratur, seperti rumah yang akhirnya percaya bahwa esok masih ada.

Di malam hari, keluarga makan di pendapa. Sate kere, timlo, serabi kinca, es dawet. Tak ada karbohidrat yang dihakimi, tak ada gula yang disesali. Pembicaraan tentang rencana bertubi-tubi. Lintang mempresentasikan bagan sederhana melalui layar: biaya cat, tukang, lampu hemat energi, pemasangan talang baru, perbaikan sumur. Rengga menimpali: “Dana darurat tiga bulan. Pastikan supplier lokal agar uang berputar di kampung.”

“Lalu pengelola?” tanya Lastri. “Kalian kan besok akan pulang lagi ke kota masing-masing.”

Raras menatap Jati dan Ragil. Dalam diam yang ramai, mereka saling mengukur jarak. “Aku bisa bolak-balik tiap pekan,” kata Jati. “Proyekku di Bandung sedang selesai-selesai. Aku kangen tinggal di rumah yang bau kayu.”

Ragil menghela napas. “Bisnis kateringku di Bali lumayan jalan. Tapi aku bisa menitipkan pada tim. Aku mau kembali belajar menakar nasi liwet di pawon masa kecilku.”

“Kalau begitu, kalian akan tinggal di sini,” simpul Eyang. “Rumah ini akan kembali dihuni. Rumah tua paling takut sendirian.”

.

Seminggu berikutnya, pendapa dipenuhi suara bor. Kayu-kayu tua disikat, kaca jendela diganti pelan, bukan sekaligus. Raras memotret setiap progres untuk diunggah ke akun Instagram “@rumahluruh”—ia memilih tone yang bersih: putih, hijau daun, cokelat kayu. Captionnya pendek, dengan bahasa tunduk: “Selamat pagi, tetangga. Hari ini kami mengganti talang. Doakan tak ada bocor.”

Orang-orang berdatangan, bahkan sebelum kafe kecil itu resmi dibuka. Ada alumni sekolah yang pernah latihan karawitan di sini, ada tetangga yang kehilangan tempat mengobrol setelah warung depan gang tutup, ada mahasiswa rantau yang rindu sendok sayur yang menimbulkan bunyi di panci.

Lintang melatih adik-adik kampung membuat CV: “Tulislah namamu seperti kamu ingin dipanggil. Cantumkan alamat email yang kamu jaga. Ceritakan pekerjaanmu seperti cerita yang ingin kamu lanjutkan.” Ia meminjam gaya Jeffrey yang pernah ia baca: menulis bukan sekadar merangkai kata, melainkan menata ulang keberanian.

Jati menempelkan poster: “Kelas Sketsa untuk Siapa Saja.” Ia tidak menawarkan jago, ia menawarkan jam. “Datanglah sejam saja. Duduk, lihat, garis. Sejam itu nanti mengembalikanmu pada napas.”

Ragil menyalakan kompor. Panci nasi liwet berdiri di tungku, ikan asin yang dipanggang pelan mengeluarkan bunyi kecil-kecil seperti bisik. Ia memilih pemasok sayur dari kebun tetangga, telur kampung dari desa sebelah, sambal tomat yang ia ulekan dengan air jeruk limau. “Aku tak ingin kau kenyang karena porsi,” katanya kepada pembeli pertama, “aku ingin kau pulang karena rasa.”

Raras mengatur alur: meja, antrean, pembayaran. Ia menolak pajangan berlebihan. “Biarkan aroma jadi dekor,” gumamnya. “Biarkan ruang kosong jadi tempat orang menaruh pikirannya.”

.

Lima bulan lewat. @rumahluruh punya ritme seperti shalawat yang diulang-ulang: pagi kelas CV, siang warung liwet, malam perpustakaan kecil. Tak ada desain interior yang membentak; hanya kursi sederhana, lampu gantung sekadarnya, dan udara yang mencoba jujur.

Lalu datang kabar: Eyang Suryo jatuh di halaman, pelan, seperti daun yang melepaskan diri pada waktunya. Ia tak langsung pergi; ia mengajarkan seluruh rumah bagaimana menahan haru dengan rapi. Di malam paling berat, Raras duduk dekat ranjang, memegang tangan Eyang. Di jari Eyang, ada bekas tinta hitam karena tadi pagi menandatangani donasi sejumlah buku lawas untuk perpustakaan kelurahan.

“Eyang,” bisik Raras, “rumah kita ramai.”

Eyang mengangguk. “Rumah yang baik bukan yang besar, tapi yang bisa memaafkan hari-hari buruk penghuninya.”

Air mata Raras turun tanpa efek dramatis, seperti hujan sore yang tak lagi ingin mengancam. “Terima kasih.”

“Mereka tinggal di mana saja sekarang?” tanya Eyang, tiba-tiba, seakan merangkum pertanyaan puluhan tahun. “Anak-anak dalgendu?”

Raras menyebut satu-satu, seperti melafalkan doa: “Ada yang di Jakarta, Bandung, Denpasar, Surabaya, Singapura. Ada juga yang pulang hari ini. Ada yang pulang besok. Ada yang pulang tiap kali makanannya habis.”

Eyang tertawa kecil, lalu tidur. Setelahnya, ia membawa pulang segenap keheningan yang pernah ia jaga. Rumah dibiarkan belajar melepaskan.

.

Setelah tahlil tujuh hari, mereka berkumpul lagi. Rengga pulang dari Singapura, kali ini tanpa layar pemisah. Ia duduk di tangga pendapa, menyandarkan punggung pada tiang, sepatu kulitnya ia lepas. “Kalian sudah membuat ekspektasi perantau kalah telak,” katanya, separuh terkagum. “Aku siap alirkan dukungan dari jaringan diaspora. Tapi jangan lupa: urus perizinan, pajak, audit sederhana. Jangan biarkan niat baik pecah di administrasi.”

Jati menyodorkan laporan yang ia print dari laptop: pemasukan tiap hari, biaya bahan, gaji staf, rekening koran. Lintang menambahkan grafik sederhana: jam ramai, menu favorit, angka retensi. Ragil menaruh selembar kertas: daftar pemasok beserta nama-nama mereka, lengkap dengan catatan pendek—“Bu Sum, tomat. Pak Roni, telur. Hargai tepat waktu, jangan tawar habis-habisan.”

Raras menutup pembicaraan dengan satu kalimat yang ia susun sekian malam: “Kita bukan menjual nostalgia, kita menjual kesempatan seseorang untuk merasa diakui—entah sebagai pembeli yang lapar, murid yang bingung, atau tetangga yang butuh menaruh cerita.”

Sore itu, “Rumah Luruh” meresmikan namanya tanpa pita. Seorang anak kecil berlari dari halaman depan ke dapur, mengembalikan mangkok yang masih hangat. “Mbak, sambalnya bikin aku ingat kucingku,” katanya. Semua tertawa, tak paham, tapi paham—sebab setiap lidah punya cara konyol untuk menyebut rindu.

Di malam hari, Raras berdiri di teras. Bulan mengambang seperti buah mangga yang belum masak betul. Teleponnya bergetar: notifikasi review baru di akun Google. Seseorang menulis: “Rumah ini membuat saya berhenti sejenak dari kejaran jam kota. Tidak ada yang mewah, tapi ada yang anggun.” Raras tidak membalas, hanya menyimpan tangkapan layar seperti orang menyimpan tiket kereta pulang—terbukti pernah.

Ia lalu menulis catatan kecil di buku yang disimpan di bawah meja kasir: daftar orang-orang dalgendu masa kini. Bukan daftar siapa anak siapa, melainkan daftar gaya hidup yang mereka peluk dengan tenang: pekerja kota dengan jam teratur, pebisnis kecil yang percaya pada laba tipis tapi panjang, perangkai data yang memanusiakan grafik, pembuat makanan yang menolak menipu lidah, perancang baju yang tidak membuat orang terasing di foto.

Ia mencatat cara mereka berpakaian: beskap yang tersirat di kerah kemeja, kain tenun yang berteman dengan denim, kebaya katun dipadu sneakers, peci yang tidak jadi alat ukur akhlak, dan topi yang tak dijadikan vonis wibawa. Ia menulis makanan yang mereka kejar: selat Solo yang ringkas, timlo yang jujur, tengkleng yang lebih dari iganya, serabi yang tak sabaran menunggu karamelisasi gula.

Ia menulis karier dan income tanpa euforia: gaji bulanan yang ditunggu dengan santai, proyek lepas yang lebih menghitung jam daripada sorak, saham kecil di warung yang lahir dari dompet patungan. Ia menulis kota-kota tempat mereka tinggal: apartemen kecil di Tebet, rumah petak di Buahbatu, kamar kos di Ngagel, kontrakan di Sanur, studio mungil di Toa Payoh—semuanya mapankan cara masing-masing untuk menamai pulang.

Satu halaman lagi ia isi dengan kalimat pendek: “Warisan bukan disimpan; warisan dipakai sampai ada bekasnya.”

Di halaman selanjutnya, ia menggambar denah sederhana masa depan: perluasan perpustakaan, kolam kecil untuk menampung air hujan, dapur kedua untuk kelas anak-anak. Di sudut, ia menulis: “Suatu hari, kita tak perlu lagi bertanya ‘mereka tinggal di mana sekarang?’ karena jawabannya selalu sama: ‘di sini, tiap kali ingin.’”

.

Beberapa bulan setelah “Rumah Luruh” berjalan, datanglah rombongan perantau yang pulang karena undangan reuni. Mereka meletakkan koper di pendapa, membuka sepatu, memesan nasi liwet, dan menyuap pelan. Salah satunya—berambut mulai memutih—mengusap sudut mata. “Ada sesuatu di rasa yang mengembalikan nama,” katanya, tidak pada siapa-siapa.

Jati berdiri di depan kelas sketsa, tersenyum pada anak-anak yang mencoret-coret kertas. “Tidak apa-apa jika garismu tremor,” katanya. “Kota membuat tangan kita gemetar, tapi kertas selalu menunggu.”

Lintang menunjukkan grafik terbaru: “Kejutan: hari paling ramai justru hari kerja jam makan siang. Mungkin karena orang-orang kantor ingin menamai lelahnya.”

Ragil menulis menu di papan: “Liwet jamur—stok terakhir. Tengkleng—masih.” Lalu ia menambahkan, iseng: “Rindu—selalu ada.”

Rengga datang sebulan sekali. Ia duduk di tangga, kadang tak bicara, menyimak orang-orang makan. Dalam diam, ia mengerti: tak semua model bisnis harus mengincar skala; sebagian cukup mengincar riwayat.

Raras, setiap malam, menulis ringkasan hari. Ia meniru gaya mentor favoritnya: kalimat langsung, muatan hati, saran praktis. “Hari ini ada pelanggan yang komplen soal antrian panjang—kita tambah satu kasir jam 12–14. Hari ini ada anak menangis karena pensilnya patah—kita sediakan penghapus dan rautan di semua meja. Hari ini ada orang bertanya: ‘Kalian ini keluarga apa?’—kita jawab: ‘Keluarga yang percaya rumah bisa menyembuhkan.’”

Pada akhirnya, kota tidak berubah. Jam masih mengejar. Target masih menuntut. Gaji masih menunggu tanggal. Tapi rumah tua di sudut Keprabon menjahit lubang-lubang kecil di hati orang yang mampir. Ia tidak menjanjikan surga, ia menawarkan jeda yang memungkinkan kita mendengar lagi suara kita sendiri.

Malam itu, sebelum mematikan lampu, Raras menulis satu kalimat terakhir di buku: “Menjadi dalgendu masa kini berarti tak lagi bergantung pada nama lama; kita merawat nama lama dengan cara baru.”

Ia mematikan lampu, dan dalam gelap yang rapi, terdengar suara sendok bertemu piring dari dapur: Ragil menyiapkan porsi liwet terakhir untuk satpam yang berjaga. Jati menutup jendela satu-satu. Lintang mengirim chat: “Data hari ini sudah aku kirim.” Rengga, empat ribu kilometer jauhnya, mengirimkan emoji dua telapak tangan yang bertemu.

Di teras, kursi rotan Eyang kosong. Tapi kosong yang kini tak menakutkan—kosong yang memberi ruang untuk duduk siapa saja, pulang kapan saja, dan berangkat lagi tanpa perlu izin.

Karena di kota-kota yang membesarkan sekaligus menguji, kita akhirnya paham: warisan terbesar memang bukan rumah dan angka di rekening, melainkan cara kita pulang.

.

.

.

Jember, 27 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#DalgenduMasaKini #SoloUrban #RumahLuruh #WarisanKita #LiwetDanLuruh #GayaHidupJawa #DiasporaSolo #CerpenIndonesia #KompasMingguVibes

Leave a Reply