Rumah di Antara Lampu
“Jangan menukar dirimu dengan tepuk tangan siapa pun;
engkau bukan panggung, engkau adalah rumah.”
.
Di balik kaca gedung yang memantulkan langit kelabu, Jayengrana berdiri menatap dirinya sendiri. Dari kejauhan, Jakarta seperti brankas yang baru saja dibuka: cahaya-cahaya meluap, jalan-jalan memuntahkan klakson, dan wajah-wajah sibuk berhamburan, seolah setiap orang sedang mengejar alarm yang tak pernah benar-benar berhenti berbunyi. Jay—begitu ia dipanggil—mengangkat kerah jaket tipisnya, menahan angin dari pendingin ruangan lobi coworking di Sudirman yang tubuhnya tak pernah sanggup berdamai dengan suhu “kantoran”.
Buku barunya baru saja naik cetak. Ia penulis nonfiksi yang sekaligus pembicara publik, berkeliling dari satu panggung ke panggung lain, menakar harap orang-orang pada kalimat-kalimatnya. Para pembaca menyukai caranya mengubah konsep rumit menjadi kalimat seperti air minum dingin—jernih, langsung terasa manfaatnya. Di ponselnya, notifikasi terus menari: undangan diskusi, tanya jawab media, permintaan podcast, hingga ajakan bergabung ke komunitas yang memakai namanya sebagai magnet. Semua mengesankan kedekatan. Semua memantulkan kesan Jay kuat, Jay bisa, Jay harus hadir.
“Jay.”
Suara itu memotong sela pikirannya. Retnasari berdiri dua langkah di belakang, menenteng map bening berisi rundown. Rambutnya diikat sederhana; baunya campuran kopi, hujan, dan parfum yang tidak ingin menonjol. Retnasari—Sari—teman lama Jay sejak masa-masa menulis di majalah kampus. Setelah bertahun-tahun, peran mereka berputar. Hari ini Sari menjadi penggerak di belakang layar: memastikan mikrofon tak menduakan suara, memastikan kursi disusun dengan jarak yang akrab, memastikan agenda tetap manusiawi.
“Tamu sudah datang beberapa,” ujarnya, menunjuk aula kecil yang tembus pandang dari lobi. “Orang-orang dari komunitas baca, editor, dua jurnalis. Umar Madi juga.”
Jay mengangguk. Nama itu selalu mengantarkan kehangatan. Umar Madi, sahabat yang dulu menampung Jay ketika tulisan pertamanya dipatahkan redaktur. Orang yang mengajari Jay untuk menulis tidak dari marah atau gelisah saja, melainkan dari rasa ingin menolong yang sabar. Umar pernah berkata: “Kalimat yang baik bukan yang membuat orang bertekuk, tapi yang membuat orang berdiri.”
“Dan,” Sari memberi jeda, menatap mata Jay, “Umar Maya datang terlambat. Dia bilang ingin mendengarkanmu dari belakang. Tanpa foto-foto.”
Jay tertawa kecil. “Sejak kapan dia suka tempat belakang?”
“Semenjak kau mulai terlalu sering di depan.”
Jay terdiam. Ada setetes yang jatuh di dalam. Ia bukan tak suka panggung. Panggung pernah menyelamatkan hidupnya. Namun akhir-akhir ini, tepuk tangan terasa seperti embun yang menipu: sejuk sesaat, lalu lenyap.
.
Di aula, kursi-kursi disusun melingkar. Jakarta di luar kaca seperti layar film bisu—mobil mengalun pelan, neon mengedip. Seseorang mengatur suara piano dari playlist, volume yang menempel pada percakapan, bukan menenggelamkannya. Jay melangkah ke tengah, menyapa dengan mata, bukan mikrofon. Sari duduk di samping, mengisyaratkan agar ia memulai.
“Terima kasih sudah datang,” kata Jay. “Aku tidak membaca bagian mana pun dari buku malam ini. Aku ingin mendengarkan dulu.”
Senja masuk ke ruangan seperti air sirup. Orang-orang memperkenalkan diri: seorang guru bahasa dari Cawang yang membawa buku untuk ditandatangani anak muridnya, seorang engineer yang akhir-akhir ini belajar retorika karena diminta presentasi di kantor, seorang barista yang memulai klub baca di kiosnya yang sempit. Mereka berbicara—pelan, jujur—tentang kenapa datang: karena kalimat-kalimat Jay “mengajar tanpa merendahkan,” katanya salah satu. Yang lain bilang ia merasa ditemani saat membongkar kebiasaan lama.
Jay mencatat semua cerita. Ada keterampilan yang berkembang dari panggung ke panggung: kemampuan menata ruangan menjadi telinga yang legitimasinya setara. Ia belajar membiarkan hening tumbuh agar yang berbicara memilih kata-kata yang tepat, bukan kata-kata yang tergesa. Di sudut, ia melihat Umar Madi masuk, berdiri di belakang, menautkan tangan di depan perut. Mato—panggilan akrabnya—mengangguk pelan.
Ketika giliran Jay, ia bercerita tentang kota yang tidak pernah menjadi “rumah” jika rumah dimaknai sebagai tempat bersandar tanpa topeng. “Kita hidup di antara lampu, tapi sering lupa mematikan lampu di kepala,” katanya. Beberapa tertawa kecil. “Yang paling sulit dari pekerjaanku bukan belajar berbicara, tapi belajar diam. Diam, bukan menyerah. Diam, untuk mendengarkan hidup yang minta di-formulasi.”
Seseorang bertanya tentang “progres”: bagaimana tahu bahwa jalan yang dipilih tidak salah? Jay mengingat paragraf di bukunya: bahwa “kemajuan” sering dicetak dari angka-angka: penjualan, jangkauan, jumlah audiens. “Tapi kita yang menentukan valuta keberhasilan. Apakah angka, atau keberanian untuk melepaskan angka ketika kita harus kembali menjadi manusia?”
Sore memanjang, percakapan bertumpu. Di akhir, Sari mengangkat tangan. “Kita cukupkan,” katanya, “biar ada sisa untuk temu yang lain.”
Mereka bertepuk tangan. Bukan gegap gempita, melainkan semacam tepuk yang mengucap: kita pulang membawa secuil roti.
.
Hujan turun setelahnya, deras seperti seseorang yang akhirnya mengakui kebenaran paling dalam. Jakarta terlihat baru dilahirkan: lampu-lampu memantul di aspal, pejalan kaki merapat ke bawah jembatan, ojek-ojek menepi di bawah rindang flyover. Jay memutuskan berjalan kaki ke halte MRT. Sari menawarkan payung, tapi Jay menolak. “Biarkan kota memandikanku,” katanya. Sari melepas tawa.
Di peron, Jay duduk. Ia menatap punggung-punggung orang yang menunggu, masing-masing seperti judul buku yang belum disunting. Seorang anak kecil mengintip ke kaca, mengabar diri dengan bayang-bayangnya. Di seberang, seorang perempuan yang kemudian ia kenali sebagai Retnasari—bukan Sari—hanya namanya mirip, menggendong bayi yang tidur dengan mulut sedikit terbuka, napasnya menempel ke pipi ibunya.
Ketika MRT tiba, Jay berdiri. Di dekat pintu, ia mendengar nama yang lama tak keluar dari kebun ingatannya: “Jayengrana?”
Suara itu milik Umar Maya. Rambutnya sudah memutih di beberapa bagian. Lengan bajunya digulung rapi; jam tangan tua tetap setia berkilau sayu. Umar Maya, salah satu gurunya, bukan dari panggung dan podium, melainkan dari teras rumah dengan teh hangat dan suara radio.
“Kau masih mengumpulkan orang seperti lebah?” tanya Umar Maya sambil tersenyum.
“Lebah bukan untuk dikumpulkan,” Jay balas. “Lebah datang sendiri pada bunga.”
“Lalu kau bunganya?”
“Kadang-kadang. Kadang aku hanya pot bunga.”
Mereka tertawa. Di antara wajah-wajah asing, tawa itu seperti kode yang disampaikan diam-diam oleh masa lalu. Umar menepuk bahu Jay. “Kau terlihat lelah.”
“Lelah yang dipelihara,” Jay mengaku.
“Lelah yang dipelihara akan minta nama,” kata Umar. “Kalau tidak diberi nama, dia akan menuntut panggung.”
Keduanya turun di stasiun yang sama. Hujan sudah mengecil, seperti sedang menulis tanda baca terakhir. Umar mengajak Jay ke warung soto di bawah rimbun trembesi, lampunya kuning tua, lantainya semen yang bergaung pelan. Bau kaldu menabrak indra tanpa minta izin. Mereka duduk, memesan dua mangkuk, dua gelas teh hangat.
“Engkau pernah berkata,” Jay membuka percakapan, “bahwa kata-kata paling kuat adalah yang kita ucapkan kepada diri sendiri. Belakangan, aku merasa kata-kata kepadaku berubah jadi skrip kerja.”
Umar meniup soto. “Kau tahu, retorika bukan semata seni memengaruhi orang lain. Itu juga seni menolong dirimu untuk menemukan tempat berdiri. Kalau panggung menjadikanmu menara, turunlah jadi jembatan.”
“Jembatan ke mana?”
“Ke halaman belakangmu sendiri.”
Jay memejam. Di halaman belakangnya: kampung kecil di Jember tempat ibunya menjemur baju, sore yang turun dari suara adzan, ayah yang menggambar kota di buku tulis karena belum sanggup mengunjunginya. “Dulu,” Jay berbisik, “aku ingin menjadi siapa pun yang membuat orang tuaku percaya bahwa pilihan mereka benar. Sekarang aku sering lupa: bagaimana caranya menjadi diriku sendiri tanpa memerankan keinginan semua orang.”
Umar Maya mengangguk. “Lihat piringmu. Setiap orang memintamu menambahkan lauk, tapi perutmu satu.”
Mereka makan pelan. Kuah menghangatkan sesuatu yang bukan sekadar tubuh. Hujan berhenti. Udara mengembun di kaca.
“Besok kau ada apa?” tanya Umar.
“Pertemuan dengan komunitas yang baru,” kata Jay. “Katanya mereka ingin belajar mengorganisasi acara, tapi minta aku yang memimpin. Aku ingin menolak, namun kalimatku selalu berutang kepada kebaikan.”
“Pimpin,” kata Umar, “tapi buatlah seperti main. Biarkan sebagian dirimu duduk dan menonton.”
Jay merasakan kalimat itu mencari tempat. “Pimpin seperti main,” ia mengulang pelan, seperti sedang menghafal pada diri sendiri.
.
Ruang kumpul yang mereka sewa minggu itu berada di atap gedung apartemen di pinggir kota. Lift berhenti di lantai paling atas; pintu keluar dibuka ke halaman kecil dengan rumput sintetis, beberapa lampu tali melintang di udara, dan pemandangan kota menghampar tanpa malu. Orang datang satu per satu: Retnasari membawa roti, Umar Madi menyeret speaker kecil, Wirun—itu nama panggilannya—menggotong dua termos besar berisi kopi. Ada juga Sabari—Saba—yang baru lulus kuliah, mengatur kursi-kursi bundar dengan kemeja digulung sampai siku.
Jay memulai dengan permainan. “Kita buat kota dari benang,” katanya. Ia membagikan gulungan benang; setiap orang yang bicara memegang ujung benang lalu melemparkannya ke orang lain yang tersapa, sambil menyebut satu hal yang membuat mereka tinggal di kota ini: “Peluang,” “rasa ingin tahu,” “gaji bulanan,” “rumah sakit terdekat,” “kesempatan minta maaf,” “transportasi,” “mimpi yang bisa diukur,” “bahasa yang dipahami banyak jenis orang.” Benang-benang membentuk jaring sederhana, menahan cara mereka saling menatap agar tidak jatuh. Kota itu terjadi dalam genggaman.
“Sekarang,” Jay berkata, “anggap benang ini urat nadi. Kalau aku menarik perlahan, sebut satu hal yang ingin kalian lepaskan.”
Ruang menjadi lebih sunyi. Seseorang berkata, “Keinginan untuk selalu benar.” Yang lain: “Kebiasaan menunda tidur karena takut besok.” Sabari bergumam, “aku ingin melepas pikiran bahwa aku tidak cukup.” Ujung benang bergetar.
Giliran Jay. Ia merasakan puluhan mata menunggu; bukan menuntut, melainkan menanti kejujuran yang setara. Jay menarik benangnya. “Aku ingin melepas tepuk tangan yang kubayangkan perlu untuk membuktikan keberadaanku.”
Lampu-lampu tali meredup sedikit, seperti ikut mendengarkan. Angin datang, mengibaskan rambut orang-orang. Kota di bawah tampak jauh; mereka, justru terasa dekat.
Umar Madi mengangguk. “Kalau begitu,” katanya, “kita rayakan dengan hal paling tak layak panggung: saling bertukar cerita pendek, lima menit per orang, tanpa nasihat, tanpa kesimpulan.”
Mereka mulai. Seorang staf rumah sakit bercerita tentang pasien yang menanyakan apakah malam bisa ditunda. Seorang desainer menceritakan klien yang ingin ia menggambar ulang masa kecilnya. Saba, dengan pipi memerah, menuturkan bagaimana ia berdiri di perempatan hidup: pekerjaan yang aman atau peluang yang menantang. Kata-kata mengalir seperti teh hangat. Tidak ada kesepakatan, hanya ada ruang.
Ketika giliran Jay kembali, ia mengambil napas. “Aku teringat rumah masa kecil. Setiap kali listrik padam, ayah akan menyalakan lilin, dan ibuku mencarikan kipas dari kardus. Mereka bilang: ‘Gelap tidak selalu perlu dilawan; kadang diterima lalu dinegosiasi.’ Sejak itu aku belajar, kemajuan bukan semata menyalakan semua lampu, tapi juga berani memilih lampu mana yang padam agar terlihat bintang.”
Umar Maya berdiri, memutar musik pelan. Mereka mengangkat gelas plastik, menepukkan roti ke udara seperti ritual kecil. Malam menipis jadi dini. Kota di bawah menunda kantuknya untuk mereka.
.
Di rumah, Jay membuka laptop untuk sekadar memindahkan catatan. Ia membaca ulang kalimat-kalimat yang ditulisnya selama seminggu terakhir. Ia menertawakan beberapa paragraf karena terlalu “berusaha bijak”—seperti orang yang hendak masuk rumah tapi lupa melepas sepatu. Ia buang yang tidak perlu. Ia simpan apa adanya.
Di layar ponsel, pesan masuk dari nomor tanpa nama.
Dari: Ibu
Jantung Jay melompat kecil. Nomor itu dulu diganti kakaknya ketika ponsel ibu rusak. Tanpa sapaan, pesan itu hanya memuat foto halaman buku catatan tua: tulisan tangan yang ia kenal, huruf-huruf yang miring pelan. Kalimatnya pendek: “Nak, ingat. Kalau kau capek, itu tanda kau pernah bergerak. Kalau kau kosong, itu tanda kau perlu pulang.”
Jay membaca berulang-ulang. Ia teringat bau minyak kayu putih, kain jarit yang menempel di pipinya waktu kecil, suara kipas yang menyeret udara malam. Pulang bukan berarti kembali ke kota kelahiran; pulang berarti kembali ke alasan kenapa ia memulai.
Ia menutup laptop, mematikan semua lampu kecuali satu di dapur. Ia menjerang air, membuat teh, duduk di lantai ruang tamu. Ia menyender ke sofa, memejam. Hening tidak lagi menakutkan. Hening serupa kawan yang menepuk bahu, berkata: “Kau tidak harus kuat setiap waktu.”
Di bawah jendela, Jakarta masih bergerak. Namun gerakannya kini bukan lawan, melainkan latar. Jay membuka mata. Di kepalanya, kalimat lain muncul: Aku ingin dipilih oleh tenang, bukan oleh sibuk. Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Malam menjadi semacam panggung yang akhirnya memperkenalkannya pada penonton yang paling jujur: ia sendiri.
.
Keesokan harinya—meski tanpa menyebut nama hari—ia menata ulang jadwalnya. Bukannya mengurangi panggung, ia mengubah cara hadir. Setiap undangan ia tanggapi dengan satu pertanyaan: “Apakah aku diminta untuk mengajarkan, atau diminta untuk membenarkan?” Jika yang kedua, ia menawar. Jika tak bisa ditawar, ia menolak. Sari memakinya “pelit,” tapi matanya tertawa lega.
Dalam satu sesi di aula kecil di bilangan Kuningan, Jay meminta semua peserta berdiri menghadap jendela. “Lihat gedung-gedung itu,” katanya. “Di balik kaca, ada orang yang baru saja menangis, ada yang sedang jatuh cinta, ada yang mencari tiket pulang, ada yang memikirkan supaya anaknya tidak sakit. Retorika yang kita pelajari bukan untuk mengalahkan mereka, melainkan untuk menolong mereka berbicara dengan dirinya sendiri.”
Seseorang bertanya: “Apa kita tak perlu mengejar pertumbuhan?”
Jay menggeleng. “Kejar. Tapi ingat kata seorang kawan: pertumbuhan yang baik tidak melukai akar.”
Mereka mengangguk. Ada sesuatu yang bergeser. Kadang pergeseran itu kecil, seperti jarum jam. Namun jam dicipta agar yang bergerak bukan hanya jarumnya.
.
Hari terakhir pekan itu, Jay menutup ponsel sejak sore. Tidak ada siaran langsung, tidak ada buletin, tidak ada absen moral di media sosial. Ia pergi ke pasar buku loak di gang sempit, memilih-milih sampul yang sudah lunas dimakan waktu. Ia menawar tanpa suara, membiarkan penjual menebak siapa dirinya. Ia membeli satu buku robek berjudul Seni Mengatur Napas. Pulang, ia membuka halaman tengah: ada nama orang tak ia kenal dan tanggal yang sengaja dihapus tipis.
Ia menggelar tikar di ruang tamu, membuka jendela. Angin mengantarkan sisa-sisa senja. Jay memegang buku itu seperti memegang wajah temannya. Ia membaca tanpa rancangan untuk mengutip di panggung. Ia membaca seperti orang lapar makan malamnya.
Ketika gelap turun sempurna, lampu-lampu tetangga menyalakan cerita masing-masing. Jay mematikan lampunya, meraba kegelapan yang tidak lagi terasa seperti musuh. Ia mendengar napasnya sendiri. Pelan. Cukup. Di suatu tempat, kota tetap bergemuruh. Tapi di titik ini, ia berada di antara dua nada: riuh dan diam. Di sanalah ia berjanji pada dirinya:
Aku akan terus berbicara. Tapi aku juga akan berlatih pulang.
“Karena menjadi manusia bukan tentang seberapa keras kita terdengar,
melainkan seberapa jernih kita mendengar diri.”
.
“Kadang yang paling menghantam bukan kerasnya dunia,
melainkan cara kita berusaha kuat tanpa jeda.”
“Berhentilah sekadar jadi panggung. Jadilah rumah.
Di rumah, orang pulang bukan untuk tepuk tangan, tapi untuk tenang.”
.
.
.
Jember, 1 Oktober 2025
.
#CerpenKompasMinggu #SastraIndonesia #KisahKota #Retorika #KesehatanMental #Kepemimpinan #NamakuBrandku #Jayengrana #UmarMaya #Retnasari