Ruang Kosong di Keramaian
“Gengsi yang bising, hati yang sunyi”
“Tak semua yang berkilau membawa terang; sebagian hanya menyoroti sepi yang kita sembunyikan.”
.
Kota ini, sebut saja Jakarta, berpendar seperti layar raksasa yang tak pernah padam. Di atas flyover, lampu-lampu sedan Eropa mengalir seperti komet yang disiplin. Di bawahnya, warung kaki lima tetap menyalakan kompor biru sambil menatap bintang-bintang palsu di fasad gedung—iklan digital yang mengulang janji kaya, sehat, cantik, sukses, seakan semuanya soal metode yang tepat dan kartu kredit yang memadai.
Pagi bergerak seperti shift kerja. Jam tujuh, sekolah internasional menurunkan anak-anak dengan seragam tanpa kerah; jam sembilan, coworking space memutar musik yang disurvei “aman untuk produktivitas”; jam sebelas, restoran brunch mengganti daftar menu dari eggs benedict ke steak frites. Dan di antara semua, orang berjalan lebih cepat dari pikirannya sendiri.
Di kota seperti ini, definisi “naik kelas” bukan lagi soal pengetahuan, melainkan tentang bagaimana menata bingkai. Bingkai hidup, bingkai unggahan, bingkai obrolan. Yang penting tampilan: sudut yang benar, caption yang tidak terlalu memaksa, senyum yang pas. Di sinilah tokoh-tokoh kita hidup, bernafas, berjuang, dan—diam-diam—retak.
.
Jaka di Lorong Jam Tangan
Jaka bekerja sebagai account director di sebuah agensi periklanan di SCBD. Umurnya tiga puluh enam. Ia terlatih mengukur nilai dengan angka: reach, engagement rate, conversion. Dalam rapat, ia fasih membuat orang merasa butuh. Dalam hidup, ia diam-diam takut menjadi orang yang tak dianggap.
Siang itu, setelah mempresentasikan kampanye “Hemat adalah Gaya Baru”, Jaka melangkah ke mal mewah. Ia masuk ke butik jam tangan Swiss—yang di iklan mereka disebut “alat ukur waktu yang membekukan momen”—padahal Jaka tahu, waktu justru bergerak makin mahal setelah orang membelinya.
“Model terbaru, Pak Jaka,” sapa pramuniaga yang hafal namanya. “Daftar tunggu panjang, tapi untuk Bapak bisa kami percepat.”
Jaka tertawa kecil. Di dalam wallet-nya, ada tiga kartu kredit. Batasnya cukup untuk “mempercepat” banyak hal kecuali ketenangan. Ia menandatangani slip pembayaran dengan tangan yang entah mengapa sedikit gemetar. Gaji bulan ini akan habis sebelum tanggal dua puluh. Tapi unggahan flatlay jam tangan baru akan membuat namanya kembali disebut di lingkaran pertemanan kantor: “Keren, Bro. You deserve it.”
Sore harinya, di lift kantor, Jaka menangkap cermin menyajikan versi dirinya yang paling rapi. Dasi tipis, setelan bersih, jam mengilap. Namun di kedalaman bola mata, ada kilau cemas yang tak bisa dilapisi filter. Seperti ruangan yang pencahayaannya bagus, tetapi ventilasinya buruk.
“Tak semua kilau adalah terang; sebagian hanya pantulan dari sesuatu yang tak kita punya.”
.
Rukmini dan Kalender Arisan
Rukmini tinggal di sebuah klaster premium di pinggiran selatan. Suaminya—yang tidak akan kita ceritakan karena ini bukan kisah cinta—sering pergi dinas. Rukmini mengelola agenda keluarga dan, yang lebih melelahkan, memelihara “posisi” dalam jaringan sosialita: arisan di hotel bintang lima, charity lunch di ballroom, private viewing butik baru di PIK.
Ia memiliki kalender besar di dapur, ditempeli tempelan magnetik—setiap warna menandai kelas acara. Biru untuk arisan inti, merah untuk ulang tahun penting (yang tidak boleh absen), kuning untuk kegiatan amal (yang wajib dipajang di media sosial), hijau untuk spa day (yang kadang menjadi tempat orang bertukar rahasia).
Anak laki-lakinya bersekolah di luar negeri. Rukmini bangga dan terluka sekaligus setiap kali menerima pesan singkat: “Ma, aku sibuk. Nanti telpon ya.” Ia mengerti logika: tumbuh dewasa butuh jarak. Tapi hatinya tidak mudah dilatih. Ia sering membuka voice note lama anaknya saat SD, mengulang suara cempreng yang memanggil “Buuu..” seolah memanggil sebagian dirinya yang tertinggal.
Siang itu, Rukmini menghadiri charity luncheon bertema “Kasih untuk Negeri”. Ada gala, ada lelang, ada foto bersama di depan backdrop raksasa penuh logo sponsor. Rukmini menyumbang angka yang nyaman untuk difoto—tidak terlalu kecil, tidak terlalu besar; cukup untuk disebut “inspiratif”. Di panggung, MC memuji para donatur sebagai “pilar empati”. Rukmini tersenyum seperti diharuskan.
Setelah acara, ia duduk sebentar di toilet hotel yang sepi—ruang paling jujur di sebuah kemewahan. Ia mengeluarkan ponsel, memandangi foto barusan. Tiba-tiba ia ingin menangis tanpa alasan yang dapat diceritakan. Mungkin karena ia sedang baik-baik saja tetapi juga tidak benar-benar apa-apa.
“Kita bisa membeli panggung, tapi tidak bisa menyewa makna.”
.
Wiratma dan Pameran Nama
Wiratma, yang biasa dipanggil Wira, adalah konsultan acara dan fixer—semacam penghubung yang tahu siapa pemilik gedung, siapa pemegang tender, siapa artis yang rate card-nya bisa dinegosiasi. Di kartunama, jabatannya “Managing Partner”. Di kenyataan, pekerjaannya “mengatur agar semuanya tampak beres”.
Jaringan adalah modal. Karenanya ia selalu hadir di tempat yang benar: wine tasting di Senopati, book launch di Kemang, gathering pengusaha muda di hotel. Wira senang menyebut nama-nama penting di obrolan, seperti kurator seni yang memajang karya di rumah orang. Nama-nama itu menempel seperti lukisan pinjaman—menambah nilai ruang, tapi bukan miliknya.
Malam itu ia mengurus soft opening restoran baru milik seorang “Arya Wetan”—nama adaptasi dari kisah lama, di sini berarti pengusaha yang gemar mengejar tajuk berita. “Restoran harus viral,” kata Arya. “Penuhi dengan figur terkenal. Jangan lupa photo corner yang shareable.”
Wira melangkah cepat, memberi instruksi pada kru: lampu warm white, musik jazzy tapi tidak terlalu keras, makanan datang dalam course kecil untuk memudahkan foto. Tamu-tamu berdatangan: selebgram, influencer, kolektor seni, juga para pejabat yang tak semestinya ada tetapi memang selalu ada.
Wira berkeliling, menyalami, menyebut nama. Semua tampak berhasil. Namun di pojok, ia melihat seorang karyawan part-time—cewek muda dari universitas swasta—mengikat tali apron yang mulai rusak. Di punggung tangannya, ada bekas luka minyak panas. Melihat itu, dada Wira berdesir oleh sesuatu yang lama. Ia ingat ibunya dulu berjualan gorengan di teras kontrakan, bau minyak bekas yang tak bisa benar-benar hilang meski lampu diganti warm white.
Usai acara, Wira duduk sendirian di area smoking. Ia menatap skyline yang berkilau. Ia, anak pedagang gorengan, kini dikenal banyak orang penting. Tetapi mengapa airmata kadang muncul tanpa undangan? Ia tertawa kecil, merokok dengan tubuh condong ke depan—posisi orang yang diam-diam ingin dipeluk oleh waktu.
“Naik kelas itu penting, tapi jangan sampai melupakan lantai tempat kita pertama kali belajar berdiri.”
.
Pertemuan yang Bukan Kebetulan
Mereka bertiga—Jaka, Rukmini, Wira—bukan sahabat, tetapi kota yang sama mempertemukan mereka berkali-kali di acara yang berbeda. Paling sering di charity night bernama “Sahabat Sehati Foundation”—organisasi amal yang menggabungkan konser dengan lelang diam-diam, disiarkan live untuk memaksimalkan engagement.
Di after-party sebuah acara, mereka duduk satu meja, capek dengan sepatu formal yang terlalu berat untuk lantai dansa. Musik elektronik meredup, barista membuat espresso martini untuk orang-orang yang takut mengantuk memikirkan hidup.
“Aku baru beli jam,” kata Jaka, mencoba santai. “Investasi kecil untuk memanjakan diri.”
“Bagus,” sahut Wira, nada suaranya profesional. “Ada launching jam merek lain bulan depan. Bisa kuajak kalian, lumayan buat exposure.”
Rukmini menatap gelas air mineralnya. “Kalian tahu,” ia mulai, “sebenarnya aku iri pada orang-orang yang bisa tidur siang tanpa rasa bersalah. Aku seperti lupa cara.” Ia tersenyum, tetapi ada gemuruh kecil di baliknya.
Obrolan yang awalnya ringan perlahan membuka pintu-pintu yang biasanya dikunci. Mungkin karena semua lelah menjaga peran. Mungkin karena musik cukup keras untuk menenangkan rasa malu.
“Aku takut,” ujar Jaka tiba-tiba. “Takut suatu hari orang-orang sadar bahwa aku biasa saja. Bahwa semua ini hanya kostum.”
Wira mengangguk pelan. “Kau bukan sendirian.” Lalu menatap Rukmini. “Mbak, apa yang paling berat?”
“Sunyi,” jawab Rukmini. “Debut baju baru, gelang baru, acara baru. Tapi ketika masuk mobil dan supir bertanya ‘pulang Bu?’, aku ragu menjawab. Rasanya tidak ada tempat yang benar-benar menungguku.”
Mereka terdiam. Di kejauhan, lampu-lampu kota seperti tetes hujan yang lupa jatuh. Hati mereka—yang selama ini disuruh diam oleh logika—akhirnya bicara.
“Kadang yang paling keras bukan musik di klub, melainkan suara hati yang meminta kita berhenti pura-pura kuat.”
.
Layar yang Retak dari Dalam
Perubahan tidak datang dengan teriakan. Ia masuk lewat celah kecil: malam yang terlalu sepi, saldo yang tak kunjung tumbuh, atau kalimat sederhana dari orang tak dikenal.
Jaka dan Audit Pribadi
Setelah pertemuan itu, Jaka mulai membuat “audit pribadi”. Ia mencetak tiga bulan mutasi rekening, menandai semua yang “untuk impresi”. Hasilnya mengejutkan: 63% pengeluaran bukan untuk kebutuhan, bahkan bukan untuk keinginan. Itu biaya “agar dianggap setara”. Ia tertawa getir.
Pagi-pagi, ia berjalan menyeberang jembatan penghubung dari stasiun MRT ke kantornya. Di bawah, pekerja konstruksi berbaris masuk lokasi proyek. Mereka tidak memerlukan jam Swiss untuk bangun tepat waktu. Jaka menepuk dadanya sendiri, bertanya pelan: “Apa sebenarnya yang sedang kuukur?”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Jaka menolak undangan launching yang biasanya ia datangi. Ia pulang lebih cepat, membuka jendela apartemen kecilnya, dan menyeduh kopi sachet. Rasanya biasa saja, tetapi ada ruang di kepalanya yang tiba-tiba terasa lapang. Ia seperti menemukan mute button untuk dunia.
Rukmini dan Meja Dapur
Rukmini memindahkan kalender magnetiknya. Ia merapikan lemari dapur, mencuci piring sendiri alih-alih memanggil housekeeper. Bukan karena ingin menghemat, tetapi ia merindukan bunyi air dan piring yang beradu; ritme rumah yang manusiawi.
Ia memulai kebiasaan baru: mengirim pesan singkat ke anaknya tanpa harapan balasan panjang. “I miss you. I’m fine.” Lalu menutup ponsel, mengaduk sop sayur, dan duduk menatap halaman kecil di belakang rumah. Hatinya belum tenang, tetapi ia belajar menutup pintu bising yang selama ini dibuka lebar untuk menepis rasa sepi.
Di salah satu charity lunch, Rukmini mengusulkan agar sebagian dana tidak hanya untuk foto serah terima, tetapi dialokasikan untuk pelatihan kerja bagi ibu-ibu di rusun. Usulannya ditanggapi sopan, tetapi panitia lebih sibuk mengatur siapa duduk di high table. Rukmini menyimpan kecewa itu, lalu diam-diam menemui relawan lapangan untuk bertanya apa yang benar-benar diperlukan. “Materi pembukuan sederhana, Bu,” kata mereka. “Agar usaha kecil bisa bertahan.”
Rukmini pulang membawa ide yang tidak instagramable, namun untuk pertama kali dalam waktu lama, ia merasa hari itu meaningful.
Wira dan Tanda di Tangan
Wira menghubungi karyawan part-time yang tangannya pernah dilihatnya terluka. Namanya Samba—adaptasi nama Menak yang dulu berarti ksatria, di sini berarti pekerja gigih. Samba bilang kuliahnya hampir berhenti karena biaya. Wira menyodorkan proyek kecil: membantu data entry vendor. “Dibayar harian,” kata Wira. “Tidak besar, tapi cukup beli buku.”
Samba menatapnya, bingung. “Kenapa, Mas?”
Wira tidak tahu harus menjawab apa. Karena malu pada ibunya. Karena ingin dirinya yang sekarang diterima oleh dirinya yang dulu. Karena ingin punya alasan pulang selain kontrak kerja. “Karena bisa,” jawabnya singkat.
Di opening restoran berikutnya, Wira mengatur agar sebagian makanan sisa dibungkus rapi, bukan sekadar dibuang. “Biar kru kenyang,” ia bilang. Ada yang nyeletuk, “Nanti image jadi murah, Bro.” Wira tersenyum. Ia kepengin hidup yang kadang sedikit murah hati untuk dirinya sendiri.
“Sebagian luka sembuh ketika kita berhenti mengukur diri dengan mata orang lain.”
.
Malam Lampion di Atap Kota
Musim hujan datang. Jakarta menjadi kota payung dan sepatu basah. Di sebuah rooftop hotel, Sahabat Sehati Foundation mengadakan appreciation night. Jaka hadir dengan jam lamanya, yang kaca retaknya ia biarkan. Rukmini datang tanpa perhiasan mencolok, hanya bros kecil bergambar bunga sedap malam. Wira menyelipkan amplop kecil untuk Samba: kartu tanda mahasiswa yang baru dibayar kembali.
Acara berjalan biasa: sambutan, video testimoni, serah terima cek raksasa. Namun panitia menambah sesi baru: menyalakan lampion kertas. “Mari lepaskan harapan ke langit,” kata MC. “Tag akun kami.”
Mereka bertiga berdiri berdampingan. Lampion Rukmini tersangkut sebentar di pagar kaca, lalu terlepas pelan. Jaka menatap nyala kecil itu, seperti melihat versi dirinya yang lebih jujur melayang ke tinggi yang tidak menakutkan. Wira mengangkat ponselnya, siap merekam, tetapi kemudian memasukkannya kembali. Ada momen yang pantas disimpan hanya di tubuh.
“Keinginan kalian apa?” tanya Wira, setengah bercanda.
“Bisa tidur siang tanpa rasa bersalah,” kata Rukmini.
“Punya tabungan yang tidak memanggilku untuk dipamerkan,” kata Jaka.
“Aku ingin pulang,” kata Wira. “Bukan ke kampung. Ke diriku sendiri.”
Mereka tertawa kecil. Langit malam menampung lampion-lampion seperti doa yang tidak minta dilihat orang.
“Kadang yang kita butuhkan bukan pencapaian baru, melainkan persetujuan dari hati untuk menjadi orang biasa.”
.
Audit Kota: Fakta yang Tak Bisa Disangkal
Keesokan hari-hari setelah malam itu tetap keras. Email tetap berdatangan, tagihan tetap tanggalnya. Kota tidak berubah hanya karena tiga orang bertambah jujur. Tetapi ada hal-hal kecil yang bergeser:
-
Jaka mengajukan work from home seminggu sekali untuk mengerjakan deck tanpa distraksi rapat yang bisa jadi email. Ia menolak satu endorsement jam karena “tidak sesuai kebutuhan”. Orang kantor mengira ia sedang menawar harga. Jaka diam saja; tidak semua pertobatan perlu diwartakan.
-
Rukmini mengusulkan kelas pembukuan di rusun sebagai program lanjutan. Ia bersedia menjadi “admin” tanpa diekspos. “Biar ibu-ibu yang tampil,” katanya. Ia membawa beberapa panci dari rumah, memasak sayur asem untuk makan siang bersama. Ada yang berbisik, “Ibu lagi kena masalah, ya?” Rukmini tersenyum: gosip sering terlambat memahami kebenaran.
-
Wira menolak permintaan klien memasang photo corner di halaman masjid dalam acara amal: “Kurang etis.” Proyek itu pindah ke vendor lain. Keuangannya agak seret sebulan itu, tetapi wajahnya tidak terlalu letih.
Pada suatu sore yang pekat, Jakarta dikepung banjir. Foto-foto memenuhi grup WhatsApp: underpass tergenang, tol tersendat, mal tutup lebih cepat. Wira terjebak di loading dock sebuah hotel bersama kru. Rukmini mengoordinasi grup ibu-ibu untuk mengirim nasi bungkus ke posko. Jaka berjalan kaki lima kilometer melewati genangan demi mencapai stasiun MRT yang masih beroperasi.
Di loading dock itu, Wira memandang karyawan-karyawan yang menggulung celana, tertawa di tengah repot, dan tetap saling menawarkan rokok. Ia rasakan sesuatu yang lama: rasa akrab pada repot yang nyata. Tidak ada press release, tidak ada engagement rate. Ada manusia yang basah dan lapar, dan orang lain yang berbagi apa yang bisa.
“Hidup memaksa kota untuk jujur ketika air naik ke lutut.”
.
Ruang Tunggu yang Sunyi
Beberapa minggu kemudian, ibu Wira sakit. Ia dirawat di rumah sakit kecil, bukan yang mahal tapi bersih. Wira menunggu di bangku plastik lorong, menatap jam dinding yang berdetak biasa saja. Jaka dan Rukmini datang tanpa janjian—kabar di kota bergerak lewat jalur yang tidak tercatat.
Mereka duduk bertiga, sunyi. Rukmini membawakan bubur ayam. Jaka diam-diam melunasi biaya kamar kelas dua yang tidak jauh beda harganya dengan satu botol champagne di klub pusat kota. Wira menatap mereka, ingin menjelaskan sesuatu, tapi kata-kata macet di tenggorokan.
Ibu Wira keluar dari ruang tindakan dengan wajah cerah. “Cuma maag,” kata dokter. “Kurangi kopi, kurangi cemas.” Semua tertawa pelan.
Di parkiran, sebelum berpencar, mereka saling memeluk pendek—pelukan orang dewasa kota yang tidak punya kebiasaan memeluk. Tidak ada unggahan, tidak ada tag akun. Hanya rasa yang untuk sekali ini tidak perlu pembenaran logika.
“Bukan kemewahan yang menyelamatkan kita, tetapi orang-orang yang tetap duduk ketika kursi di sekitar mulai ditinggalkan.”
.
Kota Tetap Menang, Kita Tetap Manusia
Waktu bergulir. Tahun berganti. Kota tetap sibuk membangun cerita kejayaan. Gedung baru berdiri, jalan tol bawah tanah dibuka, bandara menambah rute. Orang-orang baru memasuki permainan yang sama, belajar cepat bagaimana menata bingkai. Social climber datang silih berganti, seperti ombak yang tidak pernah bosan memeluk pantai palsu.
Jaka, Rukmini, Wira tidak keluar dari permainan—mereka hanya mengatur ulang aturannya di kepala. Sesekali mereka masih tergoda: Jaka menatap jam baru di etalase; Rukmini menerima undangan gala yang terlalu mengilap; Wira bermimpi proyek raksasa yang namanya akan disebut di mana-mana. Mereka manusia, bukan poster.
Namun ada brake system yang tidak mereka punya dulu: suara hati yang diizinkan bicara. Suara itu tidak cerewet, tidak revolusioner, tetapi konsisten mengingatkan: “Apa ini sungguh perlu? Atau hanya agar kamu merasa ada?”
Pada suatu Minggu pagi, mereka bertiga bertemu di taman kota yang baru selesai direvitalisasi. Ada jalur sepeda, ada perpustakaan kecil, ada kolam dangkal tempat anak-anak berlari. Mereka membawa kopi dari kedai sebelah—bukan generik, bukan mewah.
“Kalau dulu,” kata Jaka sambil mengamati matahari, “Minggu begini pasti kupakai untuk brunch di hotel. Demi konten.”
“Demi tenang,” sahut Rukmini. “Aku tidak lagi takut dibilang ‘turun kelas’. Aku hanya takut turun hati.”
Wira menghela napas. “Kota selalu menang. Ia selalu punya cara membuat kita kembali sibuk. Tapi mungkin yang kita butuhkan bukan menang melawan kota. Cukup tidak kalah dari diri sendiri.”
Mereka tertawa. Di sebelah, seorang anak kecil menabuh air kolam dengan telapak tangan—menyipratkan cahaya ke udara. Rukmini teringat anaknya di seberang samudera; Jaka teringat masa sekolah ketika jam tangan adalah hadiah kelulusan, bukan syarat pergaulan; Wira teringat ibunya yang kini pulang dengan perut lebih ringan.
“Kebahagiaan kelas menengah bukan soal jumlah ‘like’, melainkan tentang kemampuan berhenti di tengah jalan, menengok hati, lalu berkata: aku cukup.”
.
Hati yang Tenang di Pusat Keramaian
Malam turun lagi di kota yang mengenal lebih banyak jenis lampu daripada bintang. Di apartemennya, Jaka menutup laptop tanpa menunggu notifikasi. Ia menulis post-it: “Tabungan adalah napas.” Di rumahnya, Rukmini menempelkan jadwal kelas pembukuan ibu-ibu rusun di pintu kulkas—menjadikan rumah sebagai basecamp yang bukan untuk pamer. Di kamarnya, Wira menatap tangan Samba yang kini tanpa luka, mengulas rencana kecil: beasiswa praktis untuk kru event yang ingin kuliah malam.
Kota masih bising. Jalan tol bawah tanah masih macet pada jam yang dijanjikan bebas hambatan. Grup WhatsApp tetap gaduh mengirim invite pesta. Tetapi di tengahnya, ada ruang kecil yang pelan-pelan tumbuh: ruang hati yang tidak lagi dipaksa mengalah pada logika.
Dan ketika pagi datang lagi, mereka melangkah ke hari seperti biasa—tanpa proklamasi, tanpa poster motivasi—hanya dengan kalimat yang cukup untuk menjadi jangkar:
“Tidak semua hal bisa kita terima dengan logika, tetapi hati yang lapang dapat menampung lebih banyak dari yang kita kira.”
.
.
.
Jember, 25 September 2025
.
.
#CerpenJakarta #KompasMingguStyle #SocialClimber #SastraPerkotaan #KelasMenengah #RefleksiHati #UrbanLife #CerpenIndonesia
.
Quotes dari cerita
-
“Gengsi adalah hutang yang menagih sebelum tanggal jatuh tempo.”
-
“Bila tujuan hidup hanya agar dilihat, maka kita tak akan pernah benar-benar terlihat.”
-
“Kesuksesan palsu selalu minta saksi; ketenangan tidak.”