Ruang di Antara Kita
“Tidak semua orang yang berjalan bersamamu adalah temanmu.
Sebagian hanya penumpang, sebagian hanya persinggahan.
Bijaklah menamai persaudaraan.”
.
Senja di Halte Kota
Langit Jakarta sore itu seperti lukisan muram—sapuan oranye yang dikerik asap knalpot dan sisa debu hari kerja. Di halte busway Dukuh Atas, Anom berdiri dengan ransel hitamnya yang mulai robek di ujung resleting. Keringat membasahi tengkuk; bukan hanya karena gerah, melainkan karena pikiran yang mengganggu: siapa yang masih pantas disebut teman setelah bertahun-tahun di kota ini?
Ia memandangi deret sepatu menunggu bus: pantofel mengilat, sneakers lusuh, sepatu hak yang gemetar menahan letih. Ia pernah percaya, kota besar akan mempertemukannya dengan sahabat-sahabat sejati. Namun, semakin ia menjejak, semakin ia paham: Jakarta pandai menyulap kenalan menjadi “keluarga” untuk lantas menguapkannya dalam ritme waktu. Di kaca halte yang buram, Anom melihat bayangannya sendiri, samar seperti status pertemanan yang menggantung.
TransJakarta merapat. Pintu otomatis terbuka, menyuguhkan hembus pendingin yang mendadak berubah jadi kabut di kacamata. Anom melangkah, berdiri berpegangan di tiang, lalu memejam sejenak. Di luar, gedung-gedung memantulkan keriuhan. Di dalam, ia mencoba merapikan ingatan.
.
Kilas Balik: Kedatangan di Jakarta
Beberapa tahun silam, Anom tiba di stasiun Gambir dengan koper pinjaman dan semangat yang nyaring. Ia meninggalkan Surabaya dengan doa ibunya dan wejangan bapaknya:
“Kanca iku ora mung sing ana ing jejere, nanging sing gelem nyandangi nalika kowé tiba.”
(Teman bukan sekadar yang ada di sampingmu, tapi yang rela menyangga saat kau terjatuh.)
Kala itu, ia menertawakan nasihat itu dalam hati. Bukankah sahabat akan selalu ada? Bukankah foto bersama, tawa di warung kopi, dan obrolan larut malam sudah cukup menjadi tanda?
Jakarta menyambutnya dengan panas yang menampar dan poster lowongan kerja yang menempel miring di tiang listrik. Kos pertamanya berada di gang yang menelan cahaya—sempit, berbelok dua kali, dengan kamar berukuran ranjang dan selembar doa. Pemilik kos berkata, “Kalau air kecil, jangan lama-lama ya, Mas. Giliran.” Anom mengangguk. Ia belum tahu, kota punya cara sendiri mendidik manusia tentang jarak—termasuk jarak antara nama dan makna “teman”.
.
Merta: Sahabat di Bangku Kuliah
Semester awal kuliah, ada Merta—pemuda keras kepala dengan tawa keras yang memantul di koridor kampus. Mereka duduk bersama di kantin, berbagi rokok kretek, menyusun mimpi sambil menatap retak di plafon sebagai peta rute masa depan.
“Nom, nanti kalau sudah kerja, kita sukses bareng,” kata Merta suatu siang, menunjuk retakan yang membentuk garis seperti kompas. “Aku bikin perusahaan, kamu tangan kananku.”
Anom tertawa. Mereka seperti dua sisi mata uang: berbeda namun tak terpisahkan. Mereka membuat janji-janji sederhana: kelak pulang kampung membangun perpustakaan, kelak mengajar anak-anak pinggir kali, kelak berlibur tanpa gawai ke Sumenep, menjejak pasir di ujung Madura.
Usai wisuda, ritme bertukar. Merta diterima di sebuah start-up, fotonya berseliweran di linimasa: hoodie, meja terbuka, bean bag, kopi sachet. Anom masuk ke agensi kecil dengan gaji mengejutkan—kecil. Percakapan mereka memendek, bergeser dari paragraf menjadi emotikon, dari telepon menjadi tanda “seen”. Janji bertemu selalu tertunda, menunggu akhir pekan yang tak pernah datang.
Terakhir kali, pesan ucapan “Selamat ya!” dari Merta datang 11 menit setelah story Anom diunggah. Entah otomatis, entah sungguhan. Sejak itu, nama Merta menjadi penanda biru yang jarang menyala.
.
Wirapati: Rekan Kerja yang Riuh
Di agensi digital marketing, Anom bertemu Wirapati—ramai, ringan tangan, “tim hore” yang selalu siap mentraktir kopi sachet saat lembur menyeberang tengah malam. “Kita ini tulang punggung,” kata Wira, mengangkat gelas kertas yang lemas. “Kalau nggak ada kita, kantor ini ambruk.”
Anom tertawa, lalu kembali menabur kata-kata di dashboard klien. Jam dinding menitik, deadline menutupi matahari. Mereka memenangi pitch, merayakan dengan nasi bungkus di pantry, menempelkan catatan kecil di monitor: We did it.
Dua bulan kemudian, pandemi berganti resesi, resesi berganti efisiensi. Nama Anom tercetak di memo: streamlining. Sore itu, ia keluar membawa kardus. “Nanti kita ketemu lagi, ya,” pesan singkat dikirimnya ke Wira. Centang dua tanpa biru. Grup WhatsApp tim yang dulu riuh mendadak kaku; sticker lucu berhenti di atas percakapan HRD.
Pada malam yang sama, Wira mengunggah foto makan malamnya di rooftop bar, caption: “Survive!” Anom merapatkan jaket, menyusuri trotoar. Ia belajar makna baru: ada pertemanan yang hanya hidup selama tali kepentingan masih terikat.
.
Surati: Foto dan Kenangan
Di lingkaran lain, ada Surati. Perempuan dengan senyum pas untuk kamera, pandai membuat semua tampak indah. “Biar kita punya kenangan,” ujarnya, merapatkan bahu, mengangkat ponsel, memaksa semua tersenyum.
Mereka berpindah kafe dari Kuningan ke Senopati, dari kopi gula aren ke matcha yang fotogenik. Caption Surati selalu puitis: “Besties forever, nothing changes.” Anom kerap ikut, sebab kadang kesepian butuh saksi, walau palsu.
Suatu minggu, Anom sakit demam berdarah ringan. Ia tak mengabari siapa pun. Kosnya sunyi. Lampu neon di plafon bergetar ditampar angin kipas. Selimut berbau obat gosok. Tiga hari kemudian, ketika panasnya turun, ia membuka Instagram: wajahnya tersenyum di feed Surati, efek filter menipiskan letihnya. Caption-nya—lagi-lagi—forever. Ia tergelak pendek, antara syukur dan getir. Di komentar, teman-teman menulis: “Solid banget!” Sementara di ruang tiga kali empat meter, yang solid hanyalah dinding.
.
Reuni: Senyum yang Membeku
Undangan Surati berdering: reuni kecil di kafe bilangan Senopati. Lampu-lampu gantung, kursi kayu, musik pelan yang memantul di kaca. Gelak tawa pecah seperti es batu di gelas. Obrolan melayang dari saham ke skincare, dari destinasi liburan ke promosi jabatan. Kamera ponsel kembali bekerja: boomerang, burst, live.
“Nom, kamu sekarang di mana?” tanya seorang kawan sambil menatap jam tangan.
“Freelance.” Anom tersenyum. Kata itu terasa seperti kue kering—rapuh, manis di luar, hampa di dalam.
“Oh… mantap. Fleksibel ya.” Percakapan pindah haluan. Logo kafe berganti di latar setiap foto. Saat pulang, feed Surati sudah penuh. “Nothing changes,” tulisnya lagi.
Padahal, di langit Jakarta yang memantulkan lampu-lampu, semuanya telah berubah. Dan di dada Anom, ada ruang kosong yang membesar—ruang untuk perasaan yang tak disebut.
.
Kencana: Yang Tidak Pernah Pergi
Di antara nama-nama yang datang dan pergi, ada satu yang bertahan: Kencana. Ia bukan orang yang pandai berkata manis. Ia jarang tampil di foto. Nomor teleponnya tak berganti sejak kuliah. Ia tahu kapan harus mengetuk tanpa membuat gaduh.
Ketika ayah Anom meninggal, Kencana datang paling dulu. Ia yang duduk diam di bus malam menuju Surabaya, menyiapkan bantal leher dari tasnya, tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan. Di rumah duka, ia berdiri di belakang, meminjam bahunya saat doa meneteskan air mata.
“Maaf, aku nggak bisa bikin ayah kembali,” katanya pelan. “Tapi aku bisa duduk di sini.”
Ketika Anom kehilangan pekerjaan, Kencana mentransfer uang tanpa kata, hanya emoji nasi bungkus. “Kembalikan kalau sudah bisa,” tulisnya. Ketika Anom ragu pindah kos karena harga naik, Kencana ikut menawar pada pemilik kontrakan, menawar dengan logika sederhana dan nada menenangkan. Tak ada story. Tak ada tag. Hanya hadir.
“Teman sejati adalah yang tidak membuatmu merasa berkewajiban membayar, tapi membuatmu berkeinginan membalas.”
.
Hujan, Operasi Kecil, Banjir Besar
Hujan turun siang itu, tidak sabar, mengguyur kota seperti mencoba menghapus spidol permanen yang menulis “lelah” di setiap dahi. Anom baru keluar dari rumah sakit setelah operasi kecil—bukan bahaya, tapi cukup membuatnya berjalan pelan. Dari sekian banyak “teman”, hanya Kencana yang menjemput dengan jas hujan tipis yang menempel di punggung seperti sisik ikan.
Mereka menembus banjir di perempatan. Klakson bersahut, motor mendesis seperti ular. Kaca mobil Kencana berembun; wiper bergerak seperti tangan yang tak lelah menyeka kesedihan. Anom menatap lampu-lampu merah yang memanjang di aspal. Air matanya menetes, kali ini bukan karena kecewa, melainkan karena paham sesuatu yang sederhana: wejangan ayahnya dulu bukan petuah tua; ia adalah peta.
“Capek ya?” tanya Kencana tanpa menoleh.
“Capek… tapi lebih ke capek mengerti,” kata Anom.
“Yang penting bukan siapa yang memberi selimut paling tebal,” ujar Kencana. “Tapi siapa yang datang saat kamu kedinginan.”
Mereka tertawa kecil. Di luar, Jakarta terus mendidih. Di dalam, ada ruang hangat yang tak berisik.
.
Sesak di MRT, Lega di Dalam Dada
Hari-hari berikutnya, Anom kembali pada ritme kota. Ia belajar menaruh earphone tanpa musik, hanya untuk mengasingkan diri dari kebisingan. Ia naik MRT dari Fatmawati menuju Dukuh Atas, berdiri sambil membaca notifikasi pekerjaan lepas: tulis naskah, perbaiki tagline, susun rencana konten. Ia menekuni cara baru bertahan: tidak berharap terlalu banyak pada “ramai”, merawat “sedikit” yang berarti.
Di sudut gerbong, sepasang muda berdebat tanpa suara. Bibir mereka bergerak cepat; mata mereka menahan kilat. Anom berpikir: dulu ia akan mengirim foto ke grup, menulis caption lucu. Kini ia memilih memalingkan pandang, memberi ruang. Ruang di antara orang-orang. Ruang di antara kita.
“Kedewasaan bukan berarti memiliki lebih banyak teman, melainkan berani mengurangi yang tak lagi menyayangi.”
.
Percakapan yang Sesungguhnya
Suatu malam, Kencana menjemput Anom di tepi trotoar dekat Stasiun BNI City. Mereka makan soto di warung tenda, duduk menghadap jalan, membiarkan asap kuah menempel di baju.
“Ken,” kata Anom, “menurutmu, kenapa orang-orang mudah pergi?”
Kencana meniup sendok. “Karena kita semua bergegas menuju versi diri yang kita impikan. Dalam bergegas, kita lupa menoleh.”
“Lalu bagaimana menamai orang-orang itu?”
“Namai saja sesuai fungsi. Ada yang kenalan, ada yang kolega, ada yang kawan, ada yang sahabat. Jangan memanggil semuanya ‘keluarga’.”
“Kejam ya,” gumam Anom.
“Bukan kejam, Nom. Jelas. Kejelasan itu kasih sayang. Kalau semua dipanggil ‘sahabat’, kamu akan kecewa terlalu sering.”
Anom mengangguk. Soto habis. Hujan reda. Lampu-lampu toko memantulkan basah yang cantik. Jakarta terlihat seperti lukisan minyak dengan warna-warna yang akhirnya cocok.
.
Pesan dari Masa Lalu
Di kamar kos yang telah dipindahkannya ke gang yang lebih terang, Anom menempel foto kecil: ia dan ayahnya di teras, memandangi angin. Di bawahnya, ia menyalin nasihat lama dengan spidol hitam:
“Aja ngemis dilesung sing ora ana pari.”
(Jangan mengemis di lesung yang tak berisi padi.)
Ia membacanya pelan. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Merta. Nama yang seperti foto tua. Pesan singkat: “Nom, lagi di Jakarta? Ketemu, yuk. Ada proyek. Kita butuh penulis yang bisa ngerasain manusia.”
Anom menatap layar lama. Jemarinya bergerak, mengetik: “Bisa. Kapan?” Ia tidak menyimpan benci, tidak menuntut ganti, tidak menagih janji yang dulu. Ia hanya menandai ulang. Jika Merta kembali sebagai rekan, biarlah ia menjadi rekan. Jika besok pergi lagi, biarlah pergi dalam kata yang tepat.
Keesokan hari, mereka bertemu di lobi gedung kaca. Merta tampak letih, rindang di mata, ranting di senyum. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang target, tentang tim yang burnout. Di sela percakapan, Merta menatap lama: “Maaf, ya. Dulu gue hilang.”
“Semua orang bisa hilang,” jawab Anom. “Yang penting tahu jalan pulang.”
Merta tersenyum. Tidak panjang, tidak palsu. Mungkin, persaudaraan kadang perlu kehilangan untuk belajar jarak aman.
.
Pameran Kecil, Kota yang Bernafas
Suatu Sabtu, Surati mengundang ke pameran foto kecilnya. “Datang, ya. Aku pengin kamu lihat—dan pengin minta maaf juga.”
Di ruang galeri yang wangi cat baru, foto-fotonya tergantung seperti jendela-jendela. Ada foto banjir memantulkan lampu, foto penjual sate di bawah flyover, foto seorang perempuan yang tertidur di bangku halte. Rangkaian foto bertajuk “Ruang di Antara Kita”.
“Selama ini aku memotret untuk disukai,” kata Surati, menatap karyanya. “Sekarang aku memotret untuk mengingat. Habis pandemi kemarin, aku sadar—rasanya kosong kalau semua cuma angka ‘like’.”
Anom berdiri di depan sebuah foto: sepasang tangan memegang payung, tak terlihat wajahnya. Di bawahnya, caption kecil: “Yang penting bukan payungnya, tapi siapa yang menahan gagangnya saat angin menggila.”
Ia menoleh ke Surati. “Cantik,” katanya. “Dan benar.”
Mereka tidak berfoto malam itu. Mereka pulang tanpa tag, tanpa story. Namun, entah kenapa, kota terasa bernafas lebih pelan.
.
Surat yang Tak Terkirim
Malam-malam, Anom kembali menulis. Bukan proposal, bukan copy, melainkan surat-surat yang tak ia kirim. Untuk dirinya lima tahun lalu, untuk orang-orang yang pernah menghilang, untuk mereka yang tetap tinggal.
“Untuk diriku yang dulu, terima kasih sudah naif. Naif menyelamatkanmu dari sinis.
Untuk yang pergi tanpa pamit, terima kasih sudah mengajari batas. Batas menyelamatkanmu dari berharap kepada cermin.
Untuk yang tinggal, terima kasih sudah menjadi lantai. Lantai yang mendukung langkah, meski tidak berkilau.”
Ia menyelipkan surat-surat itu di balik buku, membiarkannya menjadi bantalan tidur. Di jendela, suara kota merambat seperti nadi yang enggan beristirahat. Anom memejam, merasa dadanya lapang.
.
Menamai Ulang Persaudaraan
Pagi yang lain, ia berdiri lagi di halte Dukuh Atas. Kacamata berembun, matahari menyobek sisa mendung. Orang-orang datang dan pergi seperti biasa. Ada yang tersenyum, ada yang cemberut, ada yang sibuk menukar chat dengan chat lain.
Anom merogoh saku, mengeluarkan kertas kecil. Di sana ia menulis:
“Persahabatan sejati tidak dihitung dari banyaknya foto, pesta, atau tawa bersama. Persahabatan adalah diam yang nyaman, hadir yang tulus, dan bantuan yang tanpa diminta. Sisanya—kenalan, kolega, atau penumpang—tak perlu diusir, cukup diberi kursi yang sesuai.”
Bus tiba. Pintu terbuka. Ia naik, berdiri, berpegangan. Jakarta melesat, dan untuk pertama kalinya, Anom tidak merasa dikejar-kejar. Ia hanya bergerak. Di antara orang-orang asing, ia menemukan sesuatu yang akrab: ruang di antara kita—ruang yang tidak lagi menakutkan, melainkan melindungi.
Dan di ruang itu, ia akhirnya berdamai.
.
.
.
Jember, 25 September 2025
.
.
#Cerpen #KompasMingguStyle #RuangDiAntaraKita #Persahabatan #Jakarta #UrbanLife #LiterasiEmosional #CeritaIndonesia #Kedewasaan #MenakMaduraAdaptasi
.
Kutipan-Kutipan sebagai penanda jeda
-
“Kedewasaan adalah seni menghapus label ‘keluarga’ dari semua orang yang hanya sempat bertamu.”
-
“Jangan meminta hujan dari orang yang sibuk mengeringkan bajunya sendiri.”
-
“Yang patah bukan persahabatan; yang patah adalah harapan yang kita pasang terlalu tinggi.”
-
“Kesetiaan tidak berisik—ia muncul sebagai kursi kosong yang selalu menunggu kita pulang.”
-
“Orang yang tetap tinggal adalah doa yang kita lupa ucapkan.”