Ritme Kota, Ritme Pulang

“Di kota, suara paling bising bukanlah klakson atau mesin kafe—melainkan bisik hati yang menuntut pulang: pada diri yang pernah kita janji, dan mimpi yang pernah kita titipkan.”

.

Lampu-lampu kota menyusun partitur yang tak pernah selesai. Dari ketinggian lantai dua puluh satu, Jayeng berdiri di belakang jendela kaca yang memantulkan sisa hujan. Jalan protokol mengilap seperti pita hitam; mobil-mobil meluncur bak not-not terburu yang tak sabar menutup birama. Di meja kerjanya, sebuah foto lama: lima wajah muda di sebuah kafe—Retna, Umar, Madi, Kelana, dan dirinya—tertawa selebar keyakinan, menatap kamera seperti menatap masa depan yang mereka kira akan selalu setia.

Malam itu, Jayeng baru saja menuntaskan presentasi pengembangan properti—hotel butik dengan konsep “urban sanctuary”—kolaborasi antara arsitek muda dan investor yang gemar bicara tentang “sustainability” sambil menandatangani kontrak di atas marmer dingin. Katanya, orang kota butuh pulang, meski pulang itu hanya seprai linen yang rapi, aroma kopi di lobi, dan senyum resepsionis yang dilatih untuk mengucapkan nama tamu seolah mereka benar-benar diingat.

Telepon bergetar. Pesan dari Retna: “Besok ada kelas perdana gelombang tiga. Kamu datang?” Di samping pesan itu ada foto: ruangan belajar dengan papan tulis transparan, kursi-kursi acrylic, dan jendela lebar yang membiarkan mata bertamasya ke kanopi mangga tetangga. Retna menamai sekolah kecilnya “Rumah Retna”—sebuah akademi karier kilat untuk mereka yang ingin mengubah hidup tanpa harus keluar dari kota. Dalam catatan bisnisnya, Retna menulis: “Orang kota tidak malas; mereka lelah. Mereka butuh kelas yang menjadi jeda, bukan beban.”

“Datang,” balas Jayeng. “Bawa kopi, ya.”

.

Retna tak pernah benar-benar meninggalkan korporat. Di kartu namanya, dulu tertulis: “Senior Human Capital Strategist—Multinational.” Kini, ia menyimpan kartu itu di laci, berdampingan dengan pin emas—penghargaan karena berhasil menurunkan turnover. Di Rumah Retna, ia mengajar teknik presentasi, menata CV, dan sesuatu yang tak pernah ada di modul HR: cara memaafkan diri yang tidak lulus target.

“Kalau targetmu tak tercapai, jangan dulu memaki diri,” katanya di depan kelas. “Mungkin angka-angka itu bukan bintangmu.” Ia tersenyum, mengingat dirinya lima tahun lalu, menangis di toilet kantor berkaca bulat, ponsel bergetar bertubi—rapat, revisi, reminder—bagai pukulan drum di dalam dada.

Di baris kedua, Madi duduk dengan apron yang masih menempel aroma rosemary. Chef kelas menengah—begitu ia menyebut dirinya. Ia tahu istilah “kelas menengah” sering jadi lelucon: bukan kaya, tak mau miskin; bukan selebritas, tetapi tak ingin tampak biasa. Ia tertawa pada dirinya sendiri. Sore nanti ia membuka pop-up dinner di garasi apartemen: lima kursi, satu meja panjang, menu berganti tiap minggu. “Kalau restoran tak bisa kuperbesar,” katanya, “maka aku perkecil saja jarak antara dapur dan pelanggan.”

Umar datang terlambat dengan ransel dan hoodie. “Maaf,” ia mengangkat dua gelas kopi dingin. “Meeting molor. Mereka minta pivot lagi.” Start-up-nya yang semula menawarkan aplikasi perencana tabungan mikro, berubah menjadi aplikasi “teman pulang lembur”—fitur utamanya: peta rute paling terang dan rekomendasi warung yang tutup paling larut. Investor bilang, “Itu lebih dekat ke kebutuhan urban.” Di papan tulis, ia menggambar panah-panah: data, perilaku, kebiasaan. Di kepalanya berdenyut angka: retensi, MRR, burn rate; namun di matanya tersimpan bayangan pintu apartemen sempit yang menunggu diketuk.

Kelana muncul paling belakangan, menggantungkan kamera di leher. Ia influencer yang tak suka permak wajah. “Aku lebih percaya pada keriput yang jujur,” katanya ketika seorang brand menawarkan paket “anti-aging filter.” Kelana membangun studio kecil di lantai mezzanine ruko milik bibinya, menggelar pelatihan “cerita visual untuk wirausaha.” Ia mengajari pemilik laundry membuat video tiga puluh detik tentang bau wangi selesai hujan, atau pemilik toko buku yang menarasikan suara halaman dibalik pada pukul sebelas malam.

Mereka berlima duduk membentuk lingkaran, seperti lima tahun lalu ketika memulai semua ini. Di tengah, ada sebuah jam pasir mini—benda yang selalu Retna bawa—untuk mengingatkan bahwa percakapan harus bergilir. “Waktu milik semua,” ujarnya. “Yang terbanyak bukan selalu terdengar paling benar.”

“Jadi,” kata Retna, memutar jam pasir. “Apa kabar ritme kota kalian?”

“Bising,” sahut Umar. “Bising sekali. Seperti ada yang mengejar, tapi aku tidak tahu apa.”

“Lapar,” Madi mengangkat alis. “Bukan perut. Hati.”

Kelana terkekeh. “Aku sedang belajar tidak menjawab semua komentar. Ternyata, tidak semua ombak pantas dihadapi.”

Jayeng menatap mereka satu per satu. “Aku… sedang membuat hotel untuk orang yang tidak bisa pulang.”

Retna mengangguk. “Atau untuk orang yang berani pulang, tapi memilih menunda.”

Mereka tertawa, bukan karena lucu, melainkan untuk menyamarkan nyeri yang mereka kenal bersama.

.

Hidup kelas menengah ke atas—begitu orang kota menyebutnya—sering dinilai dari sudut: sudut hijau pada aplikasi bank, sudut sudut ruangan minimalis, sudut view dari kafe atap. Namun nyeri, pikir Jayeng, jarang mau terkurung di sudut. Ia bergerak, mencari celah paling terang untuk menampakkan diri.

Suatu subuh, Jayeng memarkir mobil di tepi sungai yang pernah menjadi halaman belakang masa kecilnya. Ia menyalakan radio—saluran berita ekonomi; pembicara bicara tentang “diversifikasi pendapatan”: portofolio, usaha sampingan, kursus daring. Kata mereka, generasi urban harus punya “plan B” secepat jari mengetik kata “checkout.” Jayeng mematikan radio, menatap langit berwarna bubur. “Plan B,” gumamnya, “atau pintu B?” Ia tertawa kecil pada permainan kata yang hanya lucu di kepalanya.

Kepada timnya ia pernah berkata: “Jangan bangun hotel yang bagus. Bangun alasan yang bagus untuk orang datang.” Di dinding ruang meeting, ia menempel post-it: “Kolam renang yang sepi bukan fasilitas, tapi pertanyaan.” Ia ingin lobi yang berfungsi sebagai ruang kelas kecil—tempat Retna bisa mengajar di pagi hari; ia ingin dapur yang terbuka untuk pop-up dinner Madi; ia ingin mezzanine yang bisa memajang karya Kelana. “Hotel bukan hanya tempat tidur,” tulisnya. “Ia harus tempat bangun.”

Investor—seorang pria berambut perak—mendengarkan dengan tangan disilangkan. “Konsep bagus,” katanya. “Tapi angka?”

“Angka bisa diajak bicara,” jawab Jayeng. “Asal kita tahu bahasa mereka.” Ia menatap excel yang seperti hutan angka. “Dan asal mereka juga mau mendengar kita.”

Investor menghela nafas—napas panjang orang kota yang sudah tiga dekade berjabat tangan dengan risiko. “Baiklah,” ujarnya. “Aku ikut, dengan syarat: kamu tetap menjaga profit.”

“Profit,” kata Jayeng, “adalah cara lain menyebut napas yang cukup panjang.”

.

Sementara itu, di Rumah Retna, kelas dimulai dengan menulis surat. “Untuk diri yang lima tahun lagi,” perintah Retna. “Ceritakan dengan jujur kehidupanmu di sana.”

Seorang peserta—karyawati bank—menulis tentang keinginannya membuka taman bacaan. Seorang ayah dua anak—sales otomotif—menulis tentang harapannya kerja jarak jauh agar bisa menemani anak belajar. Seorang guru privat—yang selama pandemi merasakan rasanya ruang kelas di layar—menulis tentang sekolah kecil yang ia impikan. Retna membaca sekilas, dadanya menghangat seperti roti baru keluar dari oven. Ia tahu, sebagian surat tidak akan dikirimkan kepada siapa pun. Tapi menulis adalah cara manusia kota mengizinkan diri bermimpi tanpa takut ditertawakan.

Di luar ruang kelas, hujan rintik-rintik. Umar berdiri di bawah kanopi, menelepon CTO-nya: “Kita kurangi fitur lucu; fokus di inti.” Ia menatap notifikasi yang datang seperti gerimis. Ada pesan dari ibunya di grup keluarga: foto kebun belakang kampung, pohon jambu merah sarat buah. “Kapan pulang, Nak? Bapak sudah mulai menanyakanmu setiap sore.” Umar mengetik: “Minggu depan, Bu.” Lalu menghapus. Lalu mengetik lagi: “Doakan ya, Bu. Aku rilis versi baru pekan ini.” Ia menekan kirim. Dalam hati ia meminta maaf pada jambu merah.

Madi memeriksa daftar belanja: daging sapi untuk “rendang rivisit”—tradisi yang ia pelihara dalam bahasa baru. Ia menolak dikotak-kotakkan: bukan chef hotel, bukan chef bintang, bukan chef rumahan; ia memilih menjadi chef yang menyiapkan meja seperti menyiapkan pelukan. “Orang kota lapar pelukan,” katanya pada asistennya. “Kita suapi mereka dengan cara yang lembut.” Di dinding dapurnya, ia menempel catatan: “Garam secukupnya. Maaf secukupnya. Bahagia secukupnya. Yang kebanyakan malah bikin haus.”

Kelana, di sisi lain, sedang membongkar memori kamera. Ada sebuah foto yang diambilnya tanpa sengaja: seorang perempuan menggendong anak, berhenti di pinggir trotoar untuk merapikan tali sepatu anaknya. Background-nya billboard telepon seluler yang menjanjikan “Hidup Tanpa Batas.” Kelana menamainya: “Batas yang Menahan Kita Agar Tidak Jatuh.” Ia mengunggahnya dengan caption: “Ada batas yang menyelamatkan.” Komentar mengalir; beberapa bertanya di mana beli sepatunya; beberapa menudingnya romantis pada hal remeh. Kelana membalas satu per satu: “Hal kecil adalah cara hidup menunjukkan ukurannya.”

Malamnya, mereka kembali berkumpul, seperti biasa pada hari Kamis terakhir tiap bulan. Tempatnya bergantian: kadang di studio Kelana, kadang di dapur Madi, kadang di kantor Jayeng, kadang di kelas Retna, kadang di co-working Umar. Namun malam itu, mereka memilih atap: kota di bawah kaki, udara yang membawa sisa hujan, lampu-lampu apartemen yang menyala tidak serempak seperti napas orang yang sedang mencoba tidur.

“Kenapa kita selalu bertemu di ketinggian?” tanya Retna. “Supaya bisa melihat jalan pulang dari jauh?” sahut Kelana.

“Supaya kita ingat, tinggi bukan berarti selesai,” kata Madi. “Masih harus turun.”

Umar memeluk lutut. “Aku… akan menunda pendanaan seri A,” katanya. “Aku mau mencari pendapatan sendiri. Kecil dulu. Tapi jujur.” Matanya memantulkan kota.

Jayeng menatapnya seperti menatap adik. “Bagus. Uang yang datang terlalu cepat kadang bikin kita lupa menakar napas.”

Retna mengangkat gelas kertas. “Untuk napas yang cukup,” katanya. “Untuk ritme yang kita pilih sendiri.”

.

Suatu pagi, berita datang seperti notifikasi yang berubah warna: klien terbesar Jayeng membatalkan proyek. Investor beralasan “ketidakpastian pasar”—frasa yang terasa seperti selimut dingin di ruang tunggu. Di grup pertemanan, Jayeng mengetik: “Sepertinya kita harus putar haluan.” Ia menatap maket hotelnya—kayu-kayu kecil, kertas transparan, lampu LED mungil—lalu sebuah gagasan muncul seperti gerimis yang, bila lama, bisa menjadi banjir: “Bagaimana kalau kita mulai dari kecil? Dari ruang yang kita punya? Dari lobi yang bisa disewa per jam?”

Ia menelepon Retna, Madi, dan Kelana. “Kita bikin prototipe. Hotel versi sederhana: ruang tamu bersama.” Mereka tertawa, bukan mengejek, melainkan mengiyakan.

Mereka menyewa sebuah ruko tiga lantai di sudut kota yang tidak begitu mahal. Lantai dasar menjadi lobi dengan meja kayu panjang yang bisa jadi kelas, bisa jadi meja makan, bisa jadi meja kerja. Lantai dua menjadi kamar-kamar kecil dengan seprai putih dan jendela yang tidak memaksakan pemandangan, tetapi jujur dengan apa adanya kota. Lantai tiga menjadi studio Kelana—tempat memotret produk UMKM hingga wajah-wajah yang ingin mendaftar diri pada ingatan.

Mereka menamai tempat itu “Kelana Rumah”—cadangan nama yang dulu disimpan Kelana untuk proyek yang tak jadi. Retna mendesain jadwal: pagi untuk kelas, siang untuk co-working, sore untuk pop-up dinner, malam untuk konser akustik kecil. Umar memasang sistem pembayaran dengan QR yang ia kembangkan sendiri. Madi menulis menu di papan tulis: “Rendang Rivisit (porsi cerita), Sup Daun Kelor (porsi pulang).” Jayeng merapikan semua hal yang tak terlihat—perizinan, SOP kebersihan, jadwal shift, dan senyum yang tidak dibeli.

Malam pertama, lampu-lampu kecil—seperti kunang-kunang yang diajak rapat—menyala. Lima belas orang datang: dua pasangan muda, tiga mahasiswa tingkat akhir, seorang ibu-ibu pemilik warung, seorang fotografer pernikahan, seorang karyawan logistik, dan dua orang asing yang “tersesat” di kota. Mereka makan, bercerita, dan pulang dengan wajah yang sama—letih tetapi lebih hangat.

Di ujung malam, ketika bangku-bangku saling menyentuh karena capek, Jayeng menutup pintu kaca dan menatap teman-temannya. “Kita belum membangun hotel,” katanya. “Tapi kita sudah membangun alasan.”

.

Namun hidup, seperti kota, tak selalu menerangi semua sudut. Suatu siang, Retna menerima telepon dari rumah sakit: ayahnya jatuh di kebun. “Tak parah,” kata perawat. “Tapi butuh dijaga.” Retna duduk di bangku taman kampus tempat dulu ia menulis skripsi, memeluk lutut seperti Umar memeluk lutut di atap. Ia menatap layar ponsel—jadwal kelas, daftar konsultan, rencana modul baru. Di sampingnya, angin menyentuh halaman buku yang tak jadi dibaca.

“Kalau aku pulang kampung sementara?” tanyanya pada lingkaran. “Rumah Retna bisa berjalan.” Ia tahu, kota sering menuntut hadir di dua tempat sekaligus. Ia juga tahu, tubuh cuma punya dua kaki, bukan empat.

Kelana menggenggam tangannya. “Pulanglah. Kita jaga kelas di sini. Kamu jaga kelas di sana.”

“Dan bawa kamera,” tambah Jayeng. “Biar kita belajar melihat kampung dengan mata kota dan kota dengan mata kampung.”

Umar mengirimkan spreadsheet: “Aku atur jadwal pembayaran dan pendaftaran kelas.”

Madi menulis menu baru: “Nasi Uduk Waktu Subuh—untuk orang yang memutuskan pulang.”

Retna tersenyum pada iri yang indah—iri pada hidup yang bersedia memberi pilihan.

.

Di kampung, pagi tidak pernah menyembunyikan dirinya. Ayah Retna duduk di kursi rotan, memegang radio tua yang masih setia memutar berita. “Kota gimana?” tanya ayah.

“Masih bising,” jawab Retna. “Tapi aku belajar menutup pintu tanpa menutup diri.”

Ayah terkekeh. “Pintar. Dulu orang menutup pintu karena takut maling. Sekarang menutup pintu agar tetap waras.”

Retna menceritakan tentang Kelana Rumah, Umar yang mengubah arah, Madi yang memasak pelukan, dan Jayeng yang membangun alasan. Ayah mengangguk-angguk seperti mencicipi kuah. “Kota butuh anak-anak yang mau menukar cepat dengan cukup,” katanya. “Kamu pulanglah kalau kamu rindu; bukan kalau kamu menyerah.”

“Rindu selalu membuatku pulang,” kata Retna. “Dan kota selalu menyuruhku kembali.”

Ayah menatap langit: “Kalau begitu, kalian perlu jembatan.”

Retna menatap ayahnya seperti murid menatap guru yang tak pernah meminta uang kursus. Jembatan. Di kepalanya, lafal “jembatan” berubah menjadi program: “Jembatan Pulang”—kelas jarak jauh yang menghubungkan orang kota dan kampung: pemasaran hasil kebun, kursus fotografi produk, konsultasi keuangan mikro, dan cerita-cerita pendek yang dibaca sebelum tidur.

Ia mengirim pesan pada lingkaran: “Aku menemukan jembatan.”

.

Sementara itu, di kota, badai kecil menyentuh Kelana Rumah. Tetangga ruko mengeluh: “Tamu ramai, parkir susah.” Petugas kelurahan datang membawa formulir: izin, jadwal, denda. Jayeng duduk bersama mereka—mengaji aturan seperti mengaji peta rute baru. “Kami bukan kafe,” katanya. “Kami ruang bersama. Tapi kami akan tertib.” Ia menggambar denah parkir di belakang ruko, menyewa juru parkir sore—pekerja paruh waktu yang iuran BPJS-nya ia urus bersama manajer keuangannya—Umar.

Madi membagi jadwal pop-up agar tidak tabrakan dengan jam ramai tetangga. “Jika ingin lama,” katanya pada tim, “bertetanggalah.” Ia mengirimkan piring rendang ke warung sebelah, meminjamkan oven kepada pemilik toko roti di ujung gang. “Kalau dapur kota bisa berbagi panas,” tulisnya di Instagram, “maka hati bisa berbagi teduh.”

Kelana membuat video pendek bertajuk “Cara Menjadi Tamu yang Baik.” Ia menampilkan adegan-adegan kecil: orang menutup pintu perlahan, memindah sepatu agar tak mengganggu, melipat kursi setelah dipakai. Video itu ditonton ratusan ribu kali. Komentar berdatangan: ada yang bilang “Harusnya semua tempat begini,” ada yang menuduh “Sok menggurui.” Kelana tersenyum. “Menjaga ruang bersama memang terdengar menggurui bagi mereka yang lupa bahwa ruang ini bukan miliknya.”

Jam pasir Retna—yang sekarang dijaga Jayeng—selalu diputar ketika rapat membahas tetangga. “Agar marah tak lebih lama dari pasir.”

.

Setahun berlalu, kota masih bising, tapi bisingnya punya harmoni. Di dashboard Umar, angka-angka kecil berubah menjadi garis tipis menanjak. “Kita tidak meledak,” kata Umar, “tapi kita bernapas.” Di catatan keuangan, ada satu kolom yang selalu ia kasih stabilo hijau: “Biaya Tetangga”—sumbangan lampu gang, arisan RT, THR satpam lingkungan. “Investasi yang paling cepat kembali,” ujarnya.

Madi menulis buku resep tipis—bukan tentang teknik tinggi, melainkan resep-resep yang pernah menyelamatkan hari-hari: sup bening untuk pagi mendung, nasi goreng untuk malam yang ingin cepat selesai, es teh untuk percakapan yang kebanyakan bumbu. “Orang kota sering lupa,” tulisnya di pengantar, “bahwa memasak adalah cara paling manusiawi untuk berkata: aku di sini.”

Kelana memotret jembatan—yang benar-benar jembatan: jalan beton melintasi sungai kampung Retna—di pagi berkabut. Foto itu ia pasangi caption: “Semua yang jauh bisa menjadi dekat jika kita bersedia membayar ongkosnya: waktu, perhatian, dan kesabaran.” Ia mengadakan pameran kecil di lantai tiga; pengunjung menempelkan catatan: cerita tentang pulang dan berangkat, tentang kota yang melukai lalu mengobati.

Retna mengajar dari dua kota: memulai pagi dengan suara ayam dan menutup malam dengan suara klakson pelan. Program “Jembatan Pulang” membuka kelas pemasaran untuk ibu-ibu pengrajin anyaman; video-videonya direkam Kelana, diedit relawan kampus; pembayaran diurus Umar. Produk pertama—tas anyaman—terjual seratus dalam sepekan; separuh pembelinya tinggal di apartemen-apartemen yang menghadap jalan tol.

“Ritme kota,” kata Jayeng suatu malam, “ternyata bisa ditawar.” Ia berdiri di depan jendela ruko, memandangi lampu-lampu. “Kita yang memilih kapan berhenti, kapan lanjut, kapan pulang.”

“Dan kapan memulai lagi,” sambung Retna di layar ponsel, wajahnya diterangi lampu meja.

“Dan kapan membiarkan yang pergi tetap pergi,” tambah Kelana.

“Dan kapan menambah garam,” Madi terkekeh.

Umar menutup laptop. “Dan kapan menutup laptop.”

Mereka tertawa. Jam pasir diputar. Butiran pasir turun pelan, seperti hujan akhir musim yang tidak lagi tergesa.

.

Suatu hari, seorang pria berambut perak—investor yang dulu membatalkan proyek—datang diam-diam ke Kelana Rumah. Ia duduk di sudut, memesan “Sup Daun Kelor (porsi pulang).” Ia memandangi orang-orang yang saling mendengarkan, kursi-kursi yang digeser pelan, papan tulis yang masih menyisakan jejak “maaf secukupnya.” Setelah menyeruput kuah terakhir, ia mendekat pada Jayeng.

“Aku salah menilai,” katanya.

Jayeng tersenyum. “Kota selalu memberi kesempatan kedua pada yang bersedia menatap ulang.”

Investor mengangguk. “Kalau aku berinvestasi sekarang, kamu mau pakai untuk apa?”

“Untuk memperbanyak jembatan,” jawab Jayeng tanpa ragu. “Ruko-ruko kecil di kota-kota lain. Bukan hotel besar. Ruang yang cukup: untuk belajar, bekerja, makan, pulang.”

Investor menatap jam pasir di rak. “Berapa lama?”

“Selama pasir masih mau turun,” kata Jayeng. “Selama kita masih mau memutar.”

Pria itu menyodorkan tangan. “Baik. Kita mulai dengan satu kota.”

Jayeng menyalami. Di belakangnya, teman-temannya menatap—mata yang pernah penuh ragu kini memantulkan nyala lampu yang tidak menyilaukan.

.

Beberapa bulan kemudian, Retna kembali ke kota dengan koper kecil. “Ayah sudah baik,” kabarnya. “Ia menitipkan kalimat: ‘Jangan menunggu jalan lengang untuk berjalan. Jalani saja dengan langkah yang paham.’”

Kelana memintanya mengulang pelan, merekam, lalu menempelkan kalimat itu di pintu kaca Kelana Rumah. Orang-orang yang masuk membacanya seperti membaca doa pendek. Umar membuat versi digitalnya—muncul sebagai pop-up notifikasi setiap kali seseorang menekan tombol “daftar”: sebuah pengingat halus agar tidak mengukur diri dengan kecepatan kota.

Madi memasak sesuatu yang baru: bubur gurih dengan taburan kacang tanah panggang. “Untuk pagi yang ragu,” ia menamai. “Karena tidak semua pagi minta kopi.”

Dan Jayeng, pada suatu malam yang lama, kembali berdiri di belakang jendela, memandangi jalan protokol. Foto lima wajah muda di kafe ia ganti dengan foto terbaru: lima wajah yang masih sama, hanya keriput yang menambah karakter. Mereka menatap kamera seperti menatap masa depan yang kini mereka tahu: tidak selalu setia, tetapi bisa diajak bicara.

Di luar, lampu kota berkedip-kedip—bukan karena padam, melainkan karena mata Jayeng berair. Ia tidak menyeka, membiarkan hangatnya menetes pelan. Di dalam dirinya, ritme kota dan ritme pulang berdamai: seperti dua tangan yang saling mencari, lalu bertaut.

Kepada dirinya sendiri, ia berbisik: “Kita tidak ke mana-mana. Kita ke rumah.”

.

Beberapa tahun kemudian, “Kelana Rumah” hadir di beberapa kota: di tepi sungai kecil yang disulap menjadi jalur sepeda, di belakang pasar tradisional yang tak pernah sepi, di pinggir terminal di mana cerita berangkat dan tiba. Mereka tidak membuka cabang, kata Jayeng; mereka membuka kemungkinan. Dalam setiap ruang itu, jam pasir diletakkan di tempat yang terlihat. Orang-orang datang, mengobrol, belajar, makan, bekerja, lalu pulang. Kota masih bising, tetapi di antara bising itu tumbuh jeda-jeda yang manusiawi.

Dan pada suatu malam ulang tahun lingkaran ke sepuluh, di atap ruko pertama, Jayeng menatap teman-temannya. “Terima kasih,” katanya. “Untuk waktu yang kita putar bersama.”

Retna memeluknya. “Untuk kota yang kita ajari pulang.”

Umar menambahkan: “Untuk kita yang mengizinkan diri berjalan pelan.”

Madi tertawa, mengangkat sendok: “Untuk garam secukupnya.”

Kelana menekan shutter kamera. Klik. Cahaya menempel di sensor. Waktu menempel di hati.

Foto itu, kelak, menjadi poster di depan pintu: lima orang berdiri rapat, kota di belakangnya, jam pasir di meja kecil, dan satu kalimat di bawahnya: “Di antara datang dan pergi, kita belajar pulang.”

.

.

.

Malang, 22 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KelasMenengah #MenakJawaModern #Hospitality #RuangBersama #EdukasiKarier #StartupLokal #RitmePulang #CeritaUrban #Indonesia

Leave a Reply