Pulang Setiap Hari
“Rahmat Tuhan bukan hadiah yang datang sekali, tetapi undangan yang harus dijawab setiap hari.”
“Rahmat itu mahal, begitu juga dengan ketekunan.
Menjadi baik itu susah, tetapi jauh lebih susah bertahan dalam keadaan rahmat.
Sebab tidak semua yang tampak baik akan mengakhiri hidupnya dalam damai,
dan tidak semua yang tampak buruk akan kehilangan harapan.
Tuhan meneguhkan hati yang memilih untuk kembali—hari ini, dan besok, dan besok lagi.”
.
Hujan menggambar garis miring di kaca lantai dua puluh, seperti cat air yang tidak sempat kering. Dari jendela kantor investasinya di Sudirman, Jayengrana memandang lampu kota menyala lebih cepat dari biasanya. Jakarta, dengan semua nyali dan nyaringnya, terasa seperti ruang tunggu yang terlalu terang. Ia baru kembali dari rapat dengan para pemegang saham: platform e-commerce fesyen kelas menengah yang digagasnya memerlukan suntikan dana, sementara angka kerusakan barang dan biaya retur menanjak seperti grafik demam.
Dari ponsel, suara Retna—isterinya—mengalun, tidak keras, tetapi cukup untuk meletakkan tangan di pundak Jayengrana yang sedang tegang.
“Aku sudah di parkiran sekolah Kenas,” kata Retna. “Latihan koor dilanjutkan sampai pukul tujuh. Mereka persiapan Misa Kaum Muda. Kamu bisa menyusul?”
Jayengrana menatap pantulan wajahnya di jendela: mata yang lama tidak tidur, rahang yang sering mengunci. “Aku menyusul,” jawabnya, lalu mematikan layar. Hujan di kaca memantulkan lampu-lampu gedung lain, menyusun tanda salib tak sengaja. Ia menarik napas. Di jalan yang sibuk, ia merasa, seseorang sedang mengetuk dari dalam dadanya, meminta pintu dibuka.
.
Sekolah Kenas berdampingan dengan paroki tua yang teduh. Ketika Jayengrana memasuki aula musik, anak-anak SMA berbaris memegang partitur. Suara sopran pecah—menyatu lalu bertaut—pada bait “Bapaku, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku.” Retna berdiri di sisi kiri, memberi aba-aba tangan. Dulu Retna adalah brand manager di sebuah perusahaan FMCG; sejak Kenas lahir, ia membangun bisnis katering sehat—“Retna Kitchen”—dan mengajar vokal di sekolah. Ia berbaju putih gading, rambutnya dicepol sederhana. Melihat Jayengrana, Retna hanya mengangguk. Senyumnya pendek, tapi hangat; seperti lilin kecil di sudut ruangan.
Setelah latihan, mereka duduk di bangku panjang. Hujan sudah menjadi gerimis. Anak-anak berlarian ke bawah atap, tertawa, sebagian membuka bento sayur dari Retna. Kenas—anak mereka—datang dengan ransel berat, menaruh kepala di pangkuan ayahnya.
“Besok gladi resik,” kata Kenas. “Kami coba aransemen baru. Yohanes bilang, yang penting bukan sempurna, tapi setia.”
“Yohanes?” tanya Jayengrana.
“Pembimbing koor,” jawab Kenas. “Dia lulusan musik gereja, pulang dari Roma. Orangnya ketus, tapi baik.”
Jayengrana mengangguk. Kata “setia” menempel lebih lama di kepalanya. Ia menatap Retna, mencari sesuatu yang telah lama hilang seperti kunci apartemen yang ditaruh sembarang: ketenangan.
.
Malam itu, setelah Kenas tertidur, Jayengrana membuka laptop. Ia menatap tabel-tabel: biaya logistik, pengembalian, biaya iklan, margin. Ia mengerti angka, tetapi angka-angka tidak lagi mengerti dirinya.
Sebuah email masuk dari Wirapati, sahabat lamanya yang kini memimpin sebuah firma konsultan ESG. Subjeknya: “Proyek Pelatihan Pekerja: Siap Kolaborasi?” Wirapati mengusulkan kerja sama: mengalihkan sebagian dana promosi ke program peningkatan keterampilan pekerja gudang—membuat sistem yang mendorong efisiensi sekaligus martabat kerja.
“Kita selalu bicara scale dan growth,” tulis Wirapati. “Tapi laba yang bertahan biasanya lahir dari kebiasaan baik yang bertahan. Orang-orang kita perlu dilatih, perlu dibesarkan. Ini bukan charity, Gran. Ini strategi ketekunan.”
Jayengrana menatap email itu lama. Kata “ketekunan” menimbulkan kenangan samar: kamar kos semasa kuliah, rosario yang diberi ibunya sebelum ia merantau, doa renyah dari seorang pastor paroki yang dulu ia anggap cerewet. Ia menutup laptop. Di ruang tamu, Retna sedang melipat serbet restoran, menempelkan stiker kecil “grace over grind”. Mereka bertukar pandang.
“Besok kamu ke gudang Tangerang?” tanya Retna.
“Ya,” jawab Jayengrana. “Aku ingin melihat sendiri alur retur. Wirapati mengusulkan pelatihan. Aku tidak tahu apa cukup.”
Retna menghela napas. “Tidak ada yang cukup untuk hati yang terus banding. Tetapi Tuhan selalu memberi ‘cukup’ untuk langkah hari ini.”
Mereka tertawa kecil. “Kamu selalu seperti itu,” kata Jayengrana. “Kalimat pendek, tapi menutup mulutku yang selalu protes.”
Retna menatapnya lama. “Gran,” katanya tiba-tiba, “kamu mau ikut misa pagi? Bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk membuat hati dibereskan. Kenas akan latihan lagi, aku harus ke supplier sayur organik. Tapi kamu… mungkin perlu sujud sebentar.”
Jayengrana tidak langsung menjawab. Ia memandangi tangan Retna yang cekatan. Di dalam dirinya, seseorang kembali mengetuk—lebih pelan, lebih sabar.
.
Gereja pagi selalu menguapkan bau kayu dan lilin. Yohanes—yang disebut Kenas—membawakan lagu pembuka. Mata Jayengrana menatap relung patung Kristus, tangan terentang tanpa memaksa. Misa berjalan biasa: bacaan harian tentang anak hilang, homili yang tidak panjang. Tetapi justru kebiasaan itu—urutan yang diulang, doa yang sama—membuat Jayengrana seperti menemukan rel kereta: ia boleh lelah, tetapi ada arah.
Saat komuni, ia ragu. Sudah lama ia tidak mengaku dosa. Di bangku, ia memilih berdoa: “Tuhan, yang aku punya hanya kekacauan.” Ia tetap duduk, menatap pendar kaca patri. Setelah misa, Yohanes menegurnya, “Kamu Jayengrana, ya?”
“Anaknya Kenas,” sambung Jayengrana, tersenyum kikuk.
Yohanes mengangguk. “Aku sering lihat kamu jemput Kenas, tapi jarang bertahan sampai misa.” Ucapan itu tidak menghakimi; lebih seperti catatan seorang guru musik terhadap murid yang potensial. “Kalau butuh bicara, ruang paduan suara selalu terbuka,” tambahnya.
Jayengrana mengangguk. Ia tidak terbuka saat itu—tetapi undangan tersebut menempel seperti sticker “Fragile” di kotak hatinya.
.
Gudang di Tangerang mengembuskan bau karton basah. Di sana, Jayengrana dipertemukan dengan Adaninggar, kepala operasional yang baru tiga bulan bergabung. Adaninggar berbeda dari citra manajer gudang yang biasanya kasar; dia lulusan teknik industri, berambut pendek, bertato kecil salib di pergelangan. Adaninggar memegang tablet, menunjukkan peta masalah: “Masalah kita bukan hanya SOP, tapi kebanggaan kerja. Orang-orang capek, merasa jadi mesin. Retur tinggi karena pengemasan terburu-buru. Kita bisa bangun modul micro learning—lima menit tiap shift—soal kualitas, soal makna kerja. Saya bisa bantu, tapi perlu dukungan manajemen.”
Jayengrana memperhatikan caranya bicara: tidak memelas, tidak sombong. Di papan tulis, Adaninggar menuliskan tiga kata: “Doa—Disiplin—Daya tahan.” Ia menjelaskan: sebelum shift, mereka akan membuat “refleksi satu kalimat”, bukan ritual agama tertentu, tapi pengingat nilai; setelah itu praktik teknis, lalu target harian yang realistis.
“Mengapa perlu refleksi?” tanya Jayengrana.
“Karena orang bukan mesin,” jawab Adaninggar. “Saya orang Katolik. Saya percaya rahmat Tuhan menggenapi disiplin manusia. Kalau orang merasa digenapi, dia tidak gampang menyerah. Dan ketekunan itu menular.”
Kata-kata itu mengingatkan Jayengrana pada email Wirapati. Ia setuju memulai pilot project. Selama tiga minggu, ia turun ke gudang setiap pagi. Mereka menata ulang alur kerja, mengukur bukan hanya jumlah paket yang berangkat, tapi berapa yang pulang sebagai retur. Mereka juga mengukur senyum—dengan cara yang aneh setengah ilmiah: kuesioner singkat tentang rasa memiliki.
Pada pekan keempat, grafik retur menurun. Tidak drastis, tetapi cukup untuk membuat investor berhenti menekan. “Kadang,” tulis Wirapati melalui chat, “Tuhan menyembuhkan dengan antobiotik, bukan anestesi. Prosesnya tidak membuatmu tidur; justru membuatmu bangun.”
.
Suatu sore, Kelaswara datang sebagai tamu. Ia penggerak komunitas “Sekolah Orangtua” di paroki—lulusan psikologi yang mengajar orangtua tentang komunikasi kasih. Retna mengundangnya untuk memberi sesi pada pekerja Retna Kitchen: bagaimana mengelola pikiran saat restoran penuh, bagaimana menjaga lidah agar tidak melukai. Kelaswara mengenalkan metode “examen” yang sederhana: di akhir hari, meninjau dua hal—syukur dan niat perbaikan. Retna menyukai ide itu, lalu mengadopsinya sebagai budaya: setiap malam, tim memasukkan dua kalimat ke grup WA.
“Syukur: menu sayur lodeh habis sebelum jam sembilan.”
“Niat: besok teliti ulang stok santan.”
Ketika Retna menceritakannya pada Jayengrana, ia hanya mengangguk. Di dalam, ia merasa malu. Ia tidak melakukan examen. Bahkan doa makan sering lupa. Namun, tepat di situ ia mengerti: kebaikan rumah tangga tidak terletak pada siapa paling saleh, tetapi siapa yang paling mau belajar.
Malam itu, ia membuka catatan ponsel. Menulis pelan:
“Syukur: hujan berhenti saat Kenas pulang latihan. Niat: mengaku dosa sebelum Paskah.”
.
Sebuah rapat investor yang lain datang. Pria berjas dengan dasi warna batu safir menuding lembar proyeksi. “Kalian masih membakar uang. Fokus pada akuisisi pelanggan. Narasi pelatihan gudang bagus—tapi pasar tidak peduli itu.” Jayengrana hampir menyerah pada insting lama: memuaskan mereka dengan janji instan.
Tetapi ia teringat wajah Adaninggar yang menahan mata mengantuk saat shift pagi. Ia teringat Retna mengantar sayur ke restoran kecil yang baru belajar beli dari petani, bukan tengkulak. Ia teringat Kenas yang memetik gitar sambil menyenandungkan psalm. Ia menatap investor, lalu berkata, “Kami sedang membangun daya tahan—bukan hanya momentum. Kami bersedia berjalan lebih lambat, asalkan tidak kembali ke nol setiap kali badai datang.”
Rapat itu selesai tanpa tepuk tangan. Namun satu investor perempuan—namanya Pujawati—meninggalkan kartu nama. “Hubungi saya,” katanya. “Saya mencari portofolio yang tidak mabuk angka. Saya percaya laba itu hasil samping dari kebajikan yang diulang.”
.
Di rumah, Kenas demam menjelang lomba koor tingkat keuskupan. Retna menempelkan kompres, Yohanes mengirim pesan: “Tidak apa kalau Kenas absen. Koor bukan perkara suara terkeras.” Jayengrana duduk di sisi ranjang, menatap kening anaknya. Ia ingat persis: saat Kenas lahir, cemasnya seperti kota padat tanpa lampu lalu lintas. Ia takut menjadi ayah yang tidak berhasil.
“Ken,” bisiknya, “kalau kamu tidak ikut lomba, kamu tetap anakku. Kalau kamu ikut lomba, kamu tetap anakku. Tidak ada suara yang bisa menambah atau mengurangi cintaku padamu.”
Kenas membuka mata, tersenyum. “Kamu baru pulang dari gereja, ya?”
“Tidak,” jawab Jayengrana, tertawa. “Aku pulang dari ketakutan.”
.
Beberapa hari kemudian, Jayengrana menemui Yohanes di ruang paduan suara. Di ruangan itu ada partitur berserakan dan aroma kopi robusta. “Aku ingin mengaku dosa,” katanya pelan. “Tetapi yang lebih dulu ingin kulakukan adalah belajar ketekunan. Aku… sering memulai tanpa menuntaskan.”
Yohanes menatapnya tanpa menilai. “Ketekunan itu bukan sifat bawaan,” katanya. “Itu latihan. Dalam tradisi kita, ada tiga tiang: doa, sakramen, dan perbuatan kasih. Doa mengarahkan, sakramen menguatkan, perbuatan kasih memelihara. Kamu bisa mulai dari yang paling dekat.”
“Yang paling dekat?”
“Pulangkan dirimu.” Yohanes menepuk punggung kursi. “Setiap hari, pilih satu tindakan pulang: mematikan notifikasi saat makan malam, mengantar Retna belanja walau sepuluh menit, menyapa satpam dengan nama. Pulang itu bukan tempat; itu kebiasaan.”
Jayengrana mengangguk. Kalimat itu masuk seperti obat yang tidak pahit.
.
Sementara itu, usaha Retna meluas. Ia membuat kelas “Dapur Ibu Bekerja”—mengajarkan masak seribu porsi untuk kantoran tanpa mengorbankan nutrisi. Kelas itu menarik klien dari kawasan SCBD, Bintaro, bahkan Bekasi. Retna mengajak Wirapati sebagai narasumber ESG, dan Adaninggar mengajar manajemen waktu. Mereka menjadi ekosistem kecil—tumbuh tidak terburu-buru, tetapi telaten. Di satu sesi, Kelaswara mengangkat tema “lidah yang menyembuhkan”. “Dalam Katolik,” katanya, “kita percaya Sabda menjadi daging. Kata-kata kita pun bisa menjadi roti—atau batu. Di dapur, kata yang benar bisa jadi makanan: ‘terima kasih’, ‘maaf’, ‘ayo, ulang pelan-pelan.’”
Jayengrana hadir di belakang ruangan, mencatat. Ia menuang kopi untuk para peserta. Setiap gerak kecilnya terasa seperti batu bata untuk jembatan yang sebelumnya rapuh.
.
Suatu Jumat Kucinta, paroki mengadakan adorasi. Jayengrana duduk di bangku belakang, lilin berpendar di altar. Adaninggar duduk di baris tiga, sujud lama. Retna tidak bisa hadir—harus mengantar pesanan katering—tetapi ia mengirim pesan: “Doakan aku setia.”
Di keheningan, Jayengrana merasakan sesuatu yang tidak perlu dikejar. Ia tidak mengerti semua dogma, tetapi ia mengerti ini: ada tangan yang lebih besar dari strategi. Ada wajah yang lebih sabar dari target. Ia menulis di ponsel, kalimat yang kemudian ia tempel di papan kantor:
“Ketika hidup terasa seperti grafik naik-turun, peganglah garis yang tidak berubah: kasih.”
.
Musim berganti. Penjualan meningkat tidak meledak, namun stabil. Pujawati resmi masuk sebagai investor. Program pelatihan gudang menginspirasi media bisnis menulis artikel: “Ketika Budaya Kerja Menjadi Pertahanan Ekonomi.” Nama Adaninggar disebut di mana-mana; ia tidak menyukai sorotan, tetapi ia tersenyum kecil saat ibunya mengirim foto kliping koran. Wirapati membawa tim audit sosial, mengukur dampak: tingkat kecelakaan kerja turun, retensi karyawan naik. Mereka merayakannya dengan makan siang sederhana: sayur asam, tempe orek, ikan bakar. Retna membuka doa: “Tuhan, terima kasih untuk roti harian yang datang melalui tangan-tangan manusia.”
Sepulangnya, Jayengrana mengantar Retna melewati gang tempat anak-anak bermain bola. Di ujung gang, seorang bapak paruh baya duduk memeluk tumpukan kardus. Jayengrana mengenal wajah itu: Kertamarta, ayah yang bertahun-tahun lalu ia marahi karena menolak menjual sawah keluarga untuk modal usahanya. Kala itu, Jayengrana merasa benar. Hari ini, ia merasa kecil. Ia turun dari mobil, mendekat.
“Pak,” sapa Jayengrana. Kertamarta menoleh, matanya bercahaya. “Gran?” suaranya bergetar.
Jayengrana berlutut, menatap mata itu. “Aku pulang,” katanya. Mereka berpelukan. Tidak ada kalimat canggih; hanya air mata yang mengering di kerah baju.
Malamnya, mereka makan bersama. Retna memasak ringan: sup jamur, telur dadar, tumis kangkung. Kertamarta bercerita tentang doa pendek yang selalu ia ulang: “Tuhan, jangan biarkan anakku berdiri sendirian.” Jayengrana mendengar dan merasa dalam hatinya—selama ini, ia tidak pernah sendirian.
.
Kompetisi koor berlangsung Minggu pagi. Kenas, yang sudah sembuh, berdiri di tengah barisan—tidak menjadi solis, tidak mencari. Hanya bernyanyi. Saat lagu “Tinggallah Bersama Kami” menggema, Jayengrana memegang tangan Retna. Air matanya turun: bukan karena kemenangan, melainkan karena sesuatu di dalamnya beres. Ia teringat kalimat di awal cerita: rahmat mahal, ketekunan mahal. Tetapi keduanya, kalau dipelihara, berubah menjadi kegembiraan yang tidak bisa dinegosiasikan.
Koor tidak juara satu. Tetapi di luar gedung, Yohanes berjalan pelan menghampiri mereka. “Kalian memuliakan,” katanya. “Dan itu lebih dari memenangi.”
Jayengrana mengangguk. Ia menoleh kepada Retna, kepada Kenas. Lalu menatap langit Jakarta yang sedang mencuci diri. Ia merasa tanda salib di kaca gedung beberapa bulan lalu tidak menghilang—ia pindah ke udara, ke kulit, ke cara mereka menatap satu sama lain.
.
Beberapa bulan setelahnya, perusahaan mereka melewati audit besar. Angka laba tidak mencolok, tapi rapih. Investor yang skeptis pelan-pelan berhenti mencibir. Di gudang, seorang pekerja bernama Tumenggung—panggilan sayang karena badannya besar—meninggalkan catatan di papan tulis: “Syukur: hari ini paket kembali sedikit. Niat: ingatkan teman untuk minum air.” Jayengrana memotretnya. Ia kirim ke Retna: “Lihat, kita tidak hanya menjual barang. Kita sedang membangun manusia.”
Retna menjawab cepat: “Dan Tuhan yang membesarkan.”
Pada malam yang lain, saat menutup pintu balkon, Jayengrana melihat salib kecil yang digantung Retna di pot rosemary. Ia menyentuhnya. Tidak lagi sebagai aksesori, tetapi sebagai pengingat jalan pulang.
Ia menulis di ponsel—examen yang menjadi kebiasaan:
Syukur: hari ini aku menahan mulut saat ingin memotong kalimat orang. Niat: besok aku akan mengantar Kertamarta ke klinik jantung.
Syukur: Kenas tersenyum, meski salah nada. Niat: menelepon Wirapati hanya untuk bertanya kabar, bukan proyek.
Syukur: Tuhan hadir di gudang, di dapur, di rapat. Niat: kembali, kembali, kembali.
.
Di sebuah talkshow bisnis, Pujawati memperkenalkan Jayengrana dan Adaninggar sebagai narasumber. Seorang pewawancara bertanya: “Apa mantra kalian untuk bertahan?”
Adaninggar menjawab singkat, “Refleksi harian. Doa. Disiplin kecil.”
Jayengrana menatap kamera. “Ketekunan adalah persekutuan,” katanya. “Kami melakukannya bersama-sama. Kami mengukur bukan hanya margin, tetapi juga pulang. Karena, sebagaimana diajarkan iman kami, orang bisa kehilangan dunia dan menemukan dirinya—atau sebaliknya. Kami memilih pulang tiap hari, sebelum kehilangan diri kami.”
Semua orang bertepuk tangan. Tetapi bagi Jayengrana, bukan tepuk tangan itu yang berharga. Melainkan pesan dari Retna yang masuk saat lampu studio meredup:
“Terima kasih sudah kembali pada kita, dan pada-Nya. Ini perjalanan panjang. Tapi kita sudah berada di jalan yang benar.”
Ia membalas: “Amin. Bimbing aku ketika aku mulai tergoda untuk kembali cepat-cepat.”
Retna mengirim ikon tangan berdoa, lalu satu kalimat: “Ingat, yang kita bawa ke surga bukanlah perusahaan, tetapi cara kita mengasihi ketika membangunnya.”
Di luar studio, langit malam mengilap, seperti kaca yang baru dilap dengan hati-hati. Tanda salib tidak tampak, dan memang tidak perlu tampak. Ia telah berubah menjadi kebiasaan yang tenang: roti yang dipecah, paket yang dikemas dengan saksama, kata yang dipilih dengan hormat, pelukan yang tidak tergesa.
Di dalam mobil, Jayengrana memutar lagu koor favorit Kenas. Suara anaknya—sedikit serak—membuat malam seperti ruang doa yang bergeser mengikuti ke mana pun mobil itu melaju. Ia berbisik, hampir tidak terdengar:
“Rahmat itu mahal, Tuhan. Tapi Engkau membayarnya lebih dulu. Ajari kami tekun di bawah naungan-Mu.”
Dan Jakarta, yang tak pernah tidur, malam itu terasa seperti rumah yang tak lagi menakutkan.
.
.
.
Malang, 14 Oktober 2025
.
.
.
#CerpenKompasMinggu #FiksiKatolik #Ketekunan #ExamenHarian #BudayaKerja #UrbanStory #Hospitality #ESG
.
Kutipan-Kutipan dari Cerita
-
“Kebaikan rumah tangga tidak terletak pada siapa paling saleh, tetapi siapa yang paling mau belajar.”
-
“Kami bersedia berjalan lebih lambat, asalkan tidak kembali ke nol setiap kali badai datang.”
-
“Pulangkan dirimu—setiap hari, satu tindakan pulang.”
-
“Ketekunan adalah persekutuan; kami mengukur bukan hanya margin, tetapi juga pulang.”
-
“Yang kita bawa ke surga bukanlah perusahaan, tetapi cara kita mengasihi ketika membangunnya.”
.
Catatan Reflektif Solutif
-
Examen Harian: Tulis dua kalimat setiap malam—syukur dan niat perbaikan—untuk melatih ketekunan dalam rahmat.
-
Budaya Kerja Bermakna: Sisipkan satu menit refleksi sebelum shift; bukan ritual agama, melainkan pengingat nilai.
-
Sakramen sebagai Sumber Daya: Kembali ke Ekaristi dan Pengakuan Dosa secara teratur; itu “charger” ketekunan.
-
Perbuatan Kasih Kecil: Ukur hal-hal yang sering tak diukur—sapaan, senyum, kebiasaan menyebut nama—karena di sanalah “laba batin” bertumbuh.
-
Kemitraan Berkeutamaan: Pilih investor, klien, dan mitra yang mengerti daya tahan di atas ledakan sesaat.