Program Tetangga

“Kita mungkin tidak mampu memperbaiki dunia hari ini, tetapi kita pasti mampu memperbaiki cara kita memperlakukan orang hari ini.”

.

Malam di Jakarta turun seperti selimut hotel bintang lima: berat, rapi, dan dipilih dengan saksama. Di balik kaca apartemen lantai tiga puluh dua, Jayeng berdiri memandangi kota yang pernah ia klaim sebagai miliknya. Lampu-lampu dari koridor tol dalam kota membentuk huruf S yang berdenyut perlahan, seperti nadi raksasa. Di meja bar, setengah gelas espresso tonic mendingin. Pesan WhatsApp dari tim e-commerce berdering: conversion rate stagnan, cart abandonment naik. Di ruang yang sama, Sekar—pasangannya selama dua puluh dua tahun—menghela napas, menutup laptop dengan pelan, seakan menyimpan seluruh letih ke dalam perangkat tipis itu.

“Besok aku ke Surabaya,” kata Sekar tenang. “Pitching proyek CSR di sekolah lama. Adaning juga rolling out kampanye Halal & Heritage untuk jaringan kafe.”

Nama-nama mereka bergema seperti riwayat hikayat lama yang dibongkar dan disusun ulang di ruang rapat ber-AC. Jayeng, Sekar, Adaning—mereka seperti wayang yang turun ke kota: menandatangani dokumen, menyusun strategi, memperbaiki SOP, mengerjakan cashflow, berganti peran antara pengusaha dan manusia yang sering lupa tidur.

“Praba telepon tadi,” tambah Sekar. “Kelana Hub mau tawarkan waralaba di Bandung, tapi minta royalty fee diturunin. Kamu ketemu dia?”

“Nanti,” jawab Jayeng. “Aku masih ngecek tender post-opening hotel di Malang. Ada hal-hal kecil yang bisa jadi bocor besar.”

Keduanya tertawa singkat—tawa orang dewasa yang tahu: hal-hal kecil selalu lebih jujur, dan karena itu, lebih berbahaya.

.

Pagi berikutnya, mereka terpisah jarak dan jadwal. Sekar di pesawat menuju Juanda, menulis ulang naskah presentasi di ponsel: “Kota baik bukan hanya yang tinggi gedungnya, tetapi yang tinggi ingatannya pada akar.” Ia tidak lagi mengejar sensasi tepuk tangan. Ia mengejar kelegaan: satu sekolah bertambah kebun, satu kantin bertambah menu sehat, satu murid mengerti mengapa daun lebih hijau kalau dipegang dengan hati-hati.

Di Jakarta, Jayeng turun ke lobi apartemen dengan kemeja linen dan tas kerja berisi tiga proposal. Sopir ride-hailing bertanya, “Pak, ke mana?”

“Ke tempat Praba,” kata Jayeng. “Kita mau bicara tentang menghilangkan rasa takut.”

Sopir tertawa, menatap spion, memastikan candanya cukup sopan.

.

Praba tinggal di rumah berpagar rendah di bilangan Kemang—kemewahan baru di kota ini adalah pagar rendah. Di teras, pot-pot monstera dan kopi drip yang pelan menetes. Praba memeluk Jayeng seperti sahabat lama yang sama-sama pernah menertawakan keterbatasan. Mereka berdua membangun Kelana Hub tiga tahun lalu, memulai dari satu rumah bekas salon yang disulap jadi coworking plus kafe; mengundang komunitas—desainer, founder, jurnalis—untuk bertukar kepala dan meminjam optimisme.

“Royaltinya ditawar?” tanya Jayeng.

“Dunia lagi hemat, Geng,” jawab Praba. “Semua orang ingin rasa lima bintang harga dua bintang.”

“Kita bukan hotel kapsul,” ucap Jayeng. “Tapi kita juga bukan menara gading. Kita menara air: harus mengalir.”

Praba mengangguk, menatap jauh. “Kalau kamu menara air, aku apa?”

“Kamu hujan. Kamu datang tanpa bisa dinegosiasikan, dan karenanya membawa kejujuran.”

Mereka tertawa. Lalu jeda yang tepat jatuh di antara gelas kopi dan tumpukan kertas rencana ekspansi.

“Aku mau mundur dari operasional harian,” kata Praba tiba-tiba. “Ayah sakit. Aku perlu pulang, mungkin berbulan-bulan. Kamu yang pegang Kelana.”

Kalimat itu menumbuhkan dingin yang pelan di urat leher Jayeng. Ia memikirkan payroll, vendor, leasing, dan rumor yang menyusup seperti semut kecil. Ia memikirkan tingkat retention staf barista yang menurun, dan mahasiswa part-time yang entah kenapa selalu punya ujian saat peak hours.

“Kamu tahu aku selalu bisa jaga,” kata Jayeng. “Tapi kamu juga tahu: aku sudah lelah di dalam. Lelah yang rapi.”

“Lelah yang rapi,” Praba mengulang. “Seperti bilik rapat yang semua kabelnya dimasukkan ke lantai, tak terlihat, tapi tetap ada arus.”

.

Nama-nama lain mengalir ke hari itu. Adaning—perempuan yang selalu datang seperti musik setengah pop setengah doa—mengirim voice note dari Surabaya: “Sekolah itu mau bikin program free lunch mingguan. Aku usul gandeng komunitas. Boleh aku pakai nama Kelana, CSR track-nya?”

“Pakai,” jawab Jayeng. “Tapi ganti nama program. Jangan ‘charity’. Pakai ‘tetangga’.”

“Kenapa?”

“Karena yang baik itu bukan sedekah dari langit. Itu pintu depan yang dibuka.”

Di Malang, Sekar keluar dari meeting dengan kepala sekolah, berjalan menyusuri koridor berkeramik putih. Ia teringat anak mereka, Ragil, yang sekarang menempuh ilmu di Yogyakarta. Ragil bilang: “Aku ingin jadi arsitek ruang sosial.” Sekar tertawa saat mendengarnya dulu—sekarang, ia mengerti: Ragil ingin merancang ruang-ruang yang membuat orang ingin duduk lebih lama dan saling mendengar.

Sekar menelpon Jayeng saat senja menutup genteng rumah orang. Suara pesawat kecil dari lapangan terbang militer jauh di timur.

“Kamu baik?” tanya Sekar.

“Baik adalah kata kerja yang panjang,” jawab Jayeng.

“Jawabannya apa, Geng?”

“Ya. Aku sedang memanjangkan kata itu.”

.

Krisis tidak memilih jam. Satu influencer foodies menulis ulasan pedas tentang Kelana: kopi menurun, playlist membosankan, barista seperti kehilangan senyum premiumnya. Komentar beranak pinak. Adaning mengirim tangkapan layar. Sekar mengirim emotikon mata peluk.

Jayeng tidak membalas. Ia hanya datang ke Kelana malam itu, duduk di bangku tinggi, memesan Americano.

“Boleh minta tanpa basa-basi?” katanya pada barista yang baru dua minggu masuk.

Barista mengangguk, tangan gemetar sedikit, lalu bergerak. Grinder mendengung. Air panas bertemu bubuk. Aroma naik ke langit-langit kafe seperti doa yang malu-malu.

“Namamu siapa?” tanya Jayeng.

“Nama saya Kerta.”

“Aku Jayeng.” Ia tidak menyebut dirinya pemilik. “Kamu suka musik apa?”

“Gamelan campursari. Tapi semua tertawa kalau aku putar.”

“Putar sekarang. Biar semua tahu: tertawa bukan alasan berhenti.”

Kerta ragu sedetik, lalu menekan layar. Campursari mengisi ruang: tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan. Orang-orang menoleh, lalu kembali bercakap. Di sudut, dua anak SMA tersenyum. Di meja lain, ibu-ibu arisan yang sudah menegaskan no sugar untuk cold brew mereka, melanjutkan cerita tentang kursus bahasa Korea.

Jayeng menyesap Americano. Terlalu pahit. Tetapi jujur.

“Teruskan,” katanya kepada Kerta. “Besok kita latihan signature smile yang tidak menjual, hanya menerima.”

“Latihan apa, Pak?”

“Kemampuan mengakui yang sederhana: ‘Terima kasih sudah datang.’ Lalu membiarkan orang pulang dengan merasa lebih ringan.”

.

Satu bulan berikutnya, narasi bergerak seperti kamera tracking: Kelana memperbaiki SOP kecil—matikan downlight pukul sembilan agar orang tidak memaksa begadang di bawah cahaya yang terlalu jernih; ganti gelas yang terlalu gemuk dengan yang lebih ramping; ajak supplier roti lokal untuk menitipkan sourdough dua kali sepekan, bukan tiga; latih barista menyisipkan satu kalimat memanusiakan di tengah transaksi: “Capeknya bagaimana hari ini? Semoga kopinya menenangkan, ya.”

Di sekolah Surabaya, Sekar menyaksikan pilot project kantin sehat berjalan: porsi nasi lebih kecil, sayur lebih berwarna, dan cucian piring terasa lebih ringan karena banyak yang tandas. Anak-anak mengirim gambar-gambar rumah impian mereka: beranda luas, rak buku tinggi, dapur dengan meja penuh buah. “Arsitek ruang sosial,” gumam Sekar. Ia mengirim foto-foto ke Ragil. Kata Ragil: “Bu, rumah yang baik bukan yang megah. Yang baik itu yang membuat orang ingin tinggal.”

Di Jakarta, Jayeng menandatangani dua dokumen: satu termination vendor yang tidak pernah tepat waktu, satu kontrak kecil dengan komunitas pembaca puisi yang akan mengisi Kelana tiap Kamis malam. Pada malam pertama, puisi datang seperti hujan yang diminta. Seseorang membaca larik: “Kota ini terlalu terang untuk kesedihan, maka kita sembunyikan duka di bawah meja-meja kafe.” Orang-orang bertepuk tangan. Ada yang menahan air mata, menatap cangkir seolah di sana ada selat kecil tempat kapal-kapal ingatan berlayar.

.

Masalah keluarga mengetuk di akhir Desember. Ibu Sekar jatuh di kamar mandi. Diagnosa sederhana namun tidak pernah sederhana: tulang rapuh, hati memanggil. Sekar pulang ke Malang, tinggal lebih lama dari rencana. Ia jadi project manager untuk hal yang tidak pernah dia tuliskan di CV: memandikan ibu, menidurkannya dengan kisah lama, menyiapkan bubur di stainless pot kecil, dan menolak beberapa zoom meeting dengan kalimat yang tegas tapi lembut: “Hari ini saya belajar tentang sabar.”

Jayeng menyusul di akhir pekan, menyetir mobil sendiri. Jalan tol yang dulu terasa sebagai bukti peradaban kini seperti benang panjang yang menahan dua sisi hidupnya agar tidak tercerabut. Di rumah kecil dengan halaman jambu air, mereka berbincang tanpa diksi manajerial.

“Aku takut,” kata Sekar.

“Takut apa?”

“Takut semua ini berujung pada kehilangan.”

“Semua ini selalu berujung pada kehilangan.” Jayeng menggenggam tangan Sekar. “Tapi kehilangan bukan akhir. Ia bentuk lain dari memiliki: kita belajar menyebut yang tak terlihat.”

Keduanya menatap langit yang bersih. Bintang satu-satu muncul, seakan lampu-lampu kecil di rooftop kota yang pernah mereka kendalikan jam operasionalnya.

.

Di awal tahun, Praba kembali ke kota dengan mata lebih tenang. Ayahnya berpulang, tapi rumah keluarga menjadi lebih teduh. Ia memeluk Jayeng lama-lama, tanpa kata yang harus mengeraskan dada.

“Aku baca semua perkembangan,” kata Praba. “Kamu menjahit Kelana dengan jarum yang nyaris tak terlihat.”

“Ternyata, jarum terbaik adalah perhatian.”

“Kita lanjut ekspansi?”

“Kita lanjut memperluas makna.”

Mereka tidak menambah cabang. Mereka menambah alasan: program tetangga menjadi agenda yang diingat orang—sekali seminggu, penjual nasi pecel di seberang jalan menaruh panci di bar Kelana; selama dua jam, siapa pun boleh makan. Bukan karena kasihan. Karena kota ini letih dan lapar dengan cara yang tidak pernah bisa dilihat dari dashboard.

Di malam peluncuran program itu, Adaning datang membawa poster sederhana. Di bagian bawah tercetak nama-nama: Jayeng, Sekar, Praba, Adaning, Kerta, Ragil. Sebuah keluarga yang tidak sepenuhnya diikat oleh darah, tetapi oleh kepercayaan untuk bertumbuh.

“Namamu kenapa dicetak kecil?” tanya Jayeng pada Adaning.

“Supaya orang membaca isi, bukan orang,” jawab Adaning.

.

Suatu sore yang tidak direncanakan, Sekar mengajak Jayeng berjalan di tepi Kali Ciliwung yang dinormalisasi. Mereka berdiri di jembatan kecil yang tak banyak orang memerhatikan.

“Dulu aku ingin keluar dari kota ini,” kata Sekar.

“Sekarang?”

“Sekarang aku ingin menetap dengan cara baru. Bukan menguasai, tapi merawat.”

Jayeng tersenyum. “Kita tua.”

“Kita dewasa,” koreksi Sekar. “Tua itu data, dewasa itu keputusan.”

Di bawah jembatan, air bergerak pelan membawa sisa daun, bekas malam. Cahaya sore memantul di permukaan, memotong wajah-wajah mereka menjadi dua yang rukun. Jayeng memotret, lalu menulis di caption pribadi—bukan untuk engagement, tapi untuk mengingat: “Kita tidak kalah oleh kota. Kita memutuskan bagaimana berdamai.”

.

Suara tawa Kerta menyelinap dari dalam Kelana, menyambut pelanggan yang datang dengan payung menetes. Ia sudah pandai menyapa: bukan sekadar kalimat hafalan, tetapi perhatian yang membasuh. Di Kamis malam, komunitas puisi bertambah. Seseorang membaca kutipan dari hikayat lama—tentang orang-orang yang pergi berperang dan pulang membawa luka yang tidak terlihat. Di meja, sepasang suami istri berpamitan pada anak mereka yang esok berangkat studi ke luar negeri. Di sisi lain, dua perempuan muda membicarakan bisnis thrift yang lahir dari kehilangan pekerjaan; mereka tertawa, lalu menuliskan rencana rapi di kertas yang basah oleh tetes gelas.

Semua manusia di ruangan itu berkisah dengan bahasa masing-masing. Kelana hanya menyediakan kursi.

.

Di sebuah dini hari, saat kota seperti mencabut sepatu hak tinggi dan berjalan telanjang, Jayeng menulis surat untuk dirinya sendiri. Bukan daftar target, melainkan daftar pelepasan.

  1. Melepaskan ambisi yang menyamar sebagai tanggung jawab.

  2. Melepaskan keinginan untuk selalu menang di percakapan.

  3. Melepaskan rasa bersalah karena ingin pulang lebih cepat.

  4. Melepaskan konsep sukses yang tidak bisa memeluk.

Ia menutup surat itu, menaruhnya di inbox email yang hanya ia buka pada waktu yang dia pilih. Ia menatap Sekar yang tertidur, menarik napas, lalu mengirimkan satu pesan: “Terima kasih sudah memilih cara-cara yang pelan.”

Sekar menjawab saat subuh masuk: “Pelan bukan lambat. Pelan itu sadar.”

.

Musim berikutnya menulis ulang agenda. Bukan tanpa krisis: harga bahan baku naik, traffic media sosial naik turun seperti suhu badan anak kecil, dan di satu Rabu ada pelanggan yang marah karena wifi terputus saat pitch deck hendak terkirim. Jayeng datang, meminta maaf, menawarkan kopi gratis, dan—tanpa menjanjikan rembulan—mengantarkan pelanggan itu ke coworking tetangga yang back-up internet-nya lebih stabil.

Lelaki itu kembali keesokan hari, membawa dua temannya. “Tempat kalian jujur,” katanya. “Aku tetap butuh itu.”

Di rapat sore, Jayeng menulis di papan: semakin jujur semakin kuat. Ia menatap Kerta, menatap Adaning, menatap tim yang memutuskan untuk stay meskipun tawaran bekerja di tempat lain semakin menggiurkan. Sekar masuk belakangan, membawa dua loyang roti pisang yang ia panggang di rumah.

“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada,” kata Sekar, mengulang kalimat lama, “tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”

Kafe sunyi sejenak, seperti memberi ruang pada kalimat untuk duduk. Lalu, seperti biasa, kota kembali bersuara. Ada pintu yang dibuka, ada langkah yang masuk, ada uang yang berpindah, ada cerita yang menetap.

.

Malam itu, di meja paling ujung dekat jendela, Ragil pulang tiba-tiba dari Yogyakarta. Ia melihat kedua orang tuanya berdiri di depan bar—bukan sebagai raja dan ratu, melainkan sebagai penjaga api kecil. “Boleh aku gambar ulang tata ruang Kelana?” tanya Ragil. “Biar aliran manusia lebih human.”

“Aku tunggu sejak kamu belajar mengukur tidak hanya dengan meteran,” kata Jayeng.

“Aku ingin bikin dua zona,” sambung Ragil. “Satu untuk yang butuh keramaian agar bisa bekerja. Satu untuk yang butuh diam agar bisa merasa.”

“Dan satu lagi untuk yang butuh pulang,” tambah Sekar.

“Pulang itu di mana?” tanya Ragil.

“Di tempat yang tidak mengingatkanmu pada kegagalanmu,” jawab Sekar.

Mereka bertiga tertawa. Lalu mereka bekerja pelan, memindahkan meja, menggeser kursi, menyederhanakan signage, menurunkan satu pigura motivasi yang terlalu bising, menggantinya dengan foto hitam putih jalanan kota—seorang pria menyeberang dengan payung, seorang perempuan menggandeng anaknya, sepasang karyawan tertidur di bus malam.

Kota tidak pernah selesai. Karena itu ia bisa dicintai.

.

Pada akhirnya, tidak ada puncak dramatis. Tidak ada pengumuman grand opening yang mendadak viral atau investor yang mengetuk membawa angka delapan digit. Yang ada: satu keluarga yang—secara darah, pertemanan, dan kebersediaan—memutuskan untuk tumbuh. Yang ada: dua cangkir kopi pada jam yang seharusnya orang tidur, satu poster yang ditempel dengan pita kertas, dua tangan yang mengupas pisang untuk roti besok, dan seorang barista yang mulai berani memutar campursari di kota yang gemar gemuruh.

Yang ada: Jayeng dan Sekar saling memeluk tanpa pertanyaan, karena jawaban sudah meminta izin untuk istirahat sebentar. Di luar jendela, Jakarta memantulkan sketsa rencana yang terus diganti, Surabaya menyimpan suara kelas yang sedang makan siang dengan sayur yang lebih berwarna, Malang menyilangkan angin di sela genteng, dan Yogyakarta menyiapkan denah ruang yang membuat orang ingin tinggal.

Di atas semua itu, ada kalimat yang terus mereka rawat, ditempel di ruang staf, huruf-hurufnya sederhana:

“Kita mungkin tidak mampu memperbaiki dunia hari ini, tetapi kita pasti mampu memperbaiki cara kita memperlakukan orang hari ini.”

Dan di situlah, diam-diam, kota ini menemukan detak yang lebih manusiawi.

.

.

.

Malang, 3 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #ProgramTetangga #CerpenUrban #KelasMenengah #Hospitality #KebaikanSosial #CSRIndonesia #CeritaUrban

Leave a Reply