Pintu yang Tak Pernah Tertutup
“Takdir berjalan tanpa jadwal. Hari tua belum tentu singgah, namun kematian selalu tahu alamatnya.”
.
Kota yang Menelan Napas
Jakarta, dini hari. Jalanan basah oleh hujan yang turun sejak malam. Lampu-lampu jalan mengilapkan aspal seperti sisik ikan yang memantulkan cahaya. Dari ketinggian lantai dua puluh sembilan, Menak Kertapati berdiri di balik kaca kantor. Di kejauhan, kereta listrik menyusuri rel seperti jarum jahit yang menyulam tepi-tepi kota. Ia mengangkat cangkir kopi yang sudah dingin, membiarkan pahitnya menempel di lidah.
Telepon genggamnya menyala, rapat pukul delapan dengan investor dari Singapura. Presentasi desain superblok di pinggir tol: apartemen, pusat belanja, ruang terbuka hijau, dan jargon yang hafal di luar kepala—live, work, play. Ia bisa mengucapkannya dalam tidur.
Namun, di sela kilau lampu gedung dan tangga nada notifikasi, suara lain menembus kepala: suara ayahnya dari masa lalu, seorang nelayan di Pamekasan, menepuk pundaknya saat kecil.
“Jangan risau, Nak. Air pasang dan surut punya waktunya. Tugas kita berangkat, kembali, lalu bersyukur.”
Menak menelan ludah. Di kota ini, pasang dan surut tak lagi punya jadwal. Semua berlomba menjadi gelombang.
.
Pagi yang Berlari
Pukul tujuh, lift penuh parfum dan jas yang diseterika rapi. Di lobi, barista memanggil nama-nama yang ditulis di atas gelas kertas. Menak menunggu flat white sambil membuka surel; 47 belum terbaca. Ia menyeruput kopi sambil menyeberang ke area parkir. Sirine ambulans melintas, membelah udara pagi. Motor-motor ojek daring merayap seperti semut mengelilingi potongan gula.
Di lampu merah Semanggi, seorang pengamen tua memetik gitar yang tinggal tiga senar. Suaranya sumbang tapi hangat. Ia tersenyum pada anak penjual tisu, mengacak rambutnya, lalu memberikan roti yang sudah digigit separuh. Perempuan muda berseragam kantor menatap, sejenak, sebelum kembali menunduk pada layar ponsel.
Menak menatap pemandangan itu lewat kaca mobil. Rasanya seperti ada sesuatu yang disobek dari dalam dadanya. Ia mengeluarkan dompet, hendak menurunkan kaca. Lampu berubah hijau. Mobil di belakang membunyikan klakson panjang. Ia mengangkat kaca kembali, menginjak gas, meninggalkan senyum pengamen yang melekat di spion.
“Kita sering risau pada tangga yang belum kita naiki, sampai lupa bahwa tanah tempat kita berpijak pun bisa runtuh kapan saja.”
.
Ruang Rapat Tanpa Udara
Ruang rapat terlalu dingin. Di layar besar, animasi 3D berputar pelan menampilkan taman rindang di tengah menara kaca. Investor memuji, lalu bertanya: “Berapa persen ruang hijau yang benar-benar bisa digunakan publik, bukan sekadar tampilan?”
Menak menjawab rinci. Angka prosentase, analisis bayangan matahari, sirkulasi udara, efisiensi lift. Ia melihat dirinya memantul di layar: wajah yang tidur tiga jam semalam, mata seperti dua koin perak yang kelelahan.
Setelah rapat, bosnya, seorang pria yang dipanggil orang-orang sebagai Ranggalawe—karena gaya pemimpinnya yang keras dan menukik—menepuk bahunya.
“Kamu calon partner termuda di firma ini kalau proyek ini gol. Fokus. Jangan teralihkan hal remeh.”
“Siap,” jawab Menak otomatis.
Tapi sore itu, di kantin gedung, ia kembali melihat pengamen tua—kali ini duduk di bangku taman mini di depan lobi, memejamkan mata seperti berdoa. Di sisi lain, anak-anak muda berfoto dengan latar gedung kaca, tangan membentuk huruf V, menumpuk filter senja pada foto yang sebenarnya diambil pukul dua siang.
.
Perjumpaan yang Retak dan Menyala
Malam. Hujan reda. Menak makan cepat di sebuah kafe kecil di bawah jembatan layang. Di meja sebelah, seorang perempuan berhijab, wajahnya biasa saja, matanya tenang. Ia sedang membagi-bagikan kotak makanan pada remaja yang duduk mengelilingi meja sumber listrik untuk mengisi gawai. Ketika salah satu remaja menolak karena malu, perempuan itu tertawa kecil, “Malu itu untuk dosa, bukan untuk makan.”
Menak spontan menoleh. Perempuan itu menyapanya, seolah sudah kenal lama. “Mau bantu bungkus? Banyak yang belum kebagian.”
“Iya… boleh,” jawab Menak, terkejut oleh dirinya sendiri.
Namanya Dewi Ratna. Ia relawan komunitas Titik Temu, yang tiap malam Jumat berbagi makan untuk pekerja malam, anak jalanan, dan siapa pun yang membutuhkan. Menak, yang sepanjang hidupnya mengejar tender dan deadline, tiba-tiba terjebak di lingkar kardus, sendok plastik, dan tawa yang anehnya menenangkan.
“Kenapa melakukan ini?” tanya Menak saat mereka berdua berdiri di pinggir trotoar, menatap hujan tinggal sisa-sisa di aspal.
Ratna menjawab pelan, “Agar aku tidak lupa berguna. Kota ini bisa menelan siapa saja. Membagi sedikit adalah cara paling sederhana untuk mengingatkan diri sendiri bahwa aku masih manusia.”
“Ada kebahagiaan yang tak dijual di pusat perbelanjaan—ia tumbuh dari tangan yang memberi, dan mata yang berani menatap luka orang lain tanpa berbalik.”
.
Bayang-Bayang Rumah
Puluhan malam setelah itu, Menak datang tanpa ia sadari sedang mencari apa. Di kolong flyover kuningan, ia bertemu Jaka, anak delapan tahun dengan kaus superman pudar. Jaka suka menggambar. Kali pertama Menak mengajarinya menggambar rumah, Jaka menggambar pintu raksasa.
“Kenapa pintunya besar sekali?” tanya Menak.
“Agar semua orang bisa masuk,” jawab Jaka. “Kalau pintunya kecil, orang yang badannya besar nggak jadi masuk. Aku kan pengen semua boleh berlindung.”
Jawaban itu menghunjam Menak seperti paku menembus kayu. Di laptop kantornya, puluhan file berisi pintu-pintu eksklusif yang hanya bisa dibuka kartu akses orang-orang berduit.
Suatu sore, ketika Ratna mengantar Jaka ke posko darurat karena demam, Menak ikut. Di posko, ia mendengar cerita seorang ibu yang diusir dari kontrakan, seorang sopir yang dirumahkan, seorang lansia yang kehilangan dompet di bus. Semua cerita punya pola yang sama: hidup yang menua sebelum waktunya, bukan karena usia, melainkan karena lelah diperjuangkan tanpa pegangan.
Malam itu, Menak pulang dengan kepala berat. Di lampu merah, ia mencari-cari pengamen tua. Tak terlihat. Ia menatap jalan kosong. Hujan mulai lagi.
.
Retakan
Kabar buruk datang seperti petir yang menyambar tiang listrik: salah satu kontraktor utama proyek superblok terlibat korupsi pengadaan bahan. Media menulis cepat, memelintir headline. Foto Menak yang sedang presentasi diunggah ke berbagai portal berita; komentarnya dibanjiri hujatan. “Arsitek muda panjat sosial.” “Proyek rakus ruang.” “Kota dijual ke modal.” Ia tak tidur dua malam, mendatangi rapat darurat, menyusun klarifikasi yang selalu telat karena opini publik berlari lebih cepat daripada fakta.
Ranggalawe menatapnya dingin. “Kamu harus jadi tameng. Kamu yang paling terlihat, kamu yang paling muda. Selamatkan perusahaan.”
“Pak, ini bukan saya yang—”
“Tidak penting. Tahan badai. Badai berlalu, kita menang tender lain.”
Menak pulang dengan dada terbakar. Di apartemen, ia menyalakan TV tanpa suara, sementara notifikasi ponsel menjerit. Ia membuka folder foto: ayah berdiri di perahu, ibu duduk menampi beras. Ada satu foto lama: Menak kecil, di depan rumah panggung di pinggir pantai, memegang pintu kayu yang lebar. Ayahnya dulu membuat pintu itu sendiri, “Agar tetangga bisa mudah masuk kalau ada apa-apa.”
Ia mematikan TV. Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, ia menangis. Di atas karpet mahal, tanpa penonton, tanpa naskah. Tangis yang datang dari tempat terdalam—tempat yang selama ini diredam deadline dan target.
“Yang berat bukanlah pekerjaan yang banyak, tetapi hening setelah kita sadar telah berjalan jauh ke arah yang bukan milik kita.”
.
Hentakan yang Mengajari
Pagi berikutnya, ia tetap berangkat kerja. Di perempatan, seorang pengantar paket menyalip truk, hampir terserempet. Menak mengerem mendadak. Sekejap itu cukup: hidup beserta rengeknya, rapat-rapatnya, reputasi dan cemasnya, tergantung pada jarak sekian centimeter antara bumper dan besi truk. Pengantar paket menoleh, mengacungkan jempol, melaju lagi seperti tak terjadi apa-apa. Menak menggenggam setir hingga buku-buku jari memutih.
Ia tiba-tiba ingat kalimat yang dulu sering dipakai ayah mengakhiri obrolan: “Yang pasti itu mati, Nak.”
Ada rasa dingin merayap dari punggung ke telapak tangan. Bila tadi ia mati, apa yang tersisa?
Sorenya, ia tak langsung pulang. Ia mencari Ratna di posko komunitas. Mereka duduk di bangku kayu, menatap langit sore yang pecah oranye.
“Aku capek,” kata Menak.
“Tidur,” jawab Ratna ringan.
“Bukan yang itu.”
Ratna menatapnya penuh. “Kalau begitu, berhentilah berlari pada jalan yang bukan milikmu.”
“Aku tidak tahu jalan mana milikku.”
“Kalau tidak tahu, berhenti dulu. Hening dulu.”
“Hening di Jakarta?” Menak tertawa tanpa suara. “Kota ini terlalu riuh untuk hening.”
Ratna menunjuk dadanya. “Hening itu letaknya di sini. Bukan di luar.”
.
Pamit
Malamnya, Menak mengirim surel pengunduran diri. Ranggalawe membalas hanya dengan tiga kata: Kau akan menyesal. Ia mematikan ponsel, berkemas seadanya, lalu membeli tiket kapal ke Surabaya, meneruskan perjalanan darat menuju Pamekasan. Di dalam kapal, suara mesin bercampur lamat-lamat dengan doa para penumpang yang berbaring di karpet, dengan bantal dari tas ransel. Seorang ibu menyuapi balita dengan nasi bungkus. Seorang bapak duduk memandangi gelap laut, mungkin memikirkan cicilan.
Di dermaga, angin asin menyergap seperti salam dari masa kecil. Ia menyewa motor tua, melaju ke kampung. Rumah tua masih berdiri. Tetangga menyambut seperti kabar lama yang akhirnya pulang. Ibunya sudah lama tiada, ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. Rumah kosong menyimpan bau kayu dan kenangan.
Beberapa pekan setelah merapikan tinggalan, Menak bertemu kepala desa. Ia menyumbang sedikit dana untuk merenovasi balai dusun. Namun yang lebih mengganggunya adalah pertanyaan Jaka yang masih tinggal di kepala: pintu besar yang bisa dimasuki siapa saja. Ia mulai menggambar sketsa kecil rumah baca di tepi pantai—bangunan panggung dari kayu, atap genteng, dan sebuah pintu lebar yang bisa didorong anak kecil tanpa kesulitan.
Ia menamai tempat itu Rumah Baca Angin. Pintu yang selalu terbuka. Pada kusennya, ia ukir kalimat: “Masuklah kalau kau lelah. Keluar kalau kau sudah ingat pulang.”
“Pulang bukan alamat; pulang adalah keadaan ketika kita sanggup menaruh beban dan memeluk diri sendiri apa adanya.”
.
Kota yang Kembali Memanggil
Rumah Baca Angin pelan-pelan menjadi tempat singgah. Anak-anak datang selepas sekolah, para nelayan menunggu air pasang sambil membaca, ibu-ibu membawa kue. Di dinding, Menak memasang peta Jakarta. Ia menandai tempat-tempat yang pernah ia rancang—bukan untuk pamer, melainkan pengingat: ada bab hidup yang tak perlu dibakar habis, hanya cukup diletakkan hati-hati di rak yang tepat.
Suatu sore, Ratna datang. Ia berdiri di ambang pintu, menatap tulisan di kusen, lalu tertawa kecil. “Kau benar-benar menepati janjimu pada hening.”
Mereka berjalan di pasir. Ratna bercerita bahwa pengamen tua di lampu merah itu meninggal sebulan lalu. “Katanya, ia jatuh sakit di emperan toko. Yang menemani sampai ambulans datang adalah anak penjual tisu. Tangan si bapak menggenggam roti.”
Menak berhenti melangkah. Di kepalanya, senyum lelaki tua itu muncul lagi. Aku bahkan tidak pernah tahu namanya, batin Menak.
Malamnya, Ratna membuka kotak kecil: di dalamnya, tiket Transjakarta lama, lusuh. “Bapak pengamen itu suka menyimpan tiket yang ia temukan di jalan. Katanya, setiap tiket adalah jejak orang yang pergi entah kemana. Ia ingin percaya bahwa semua orang pada akhirnya pulang.”
Menak menatap tiket itu lama-lama, seolah ada peta rahasia di sana.
.
Surat dari Ranggalawe
Suatu pagi, surel masuk: dari Ranggalawe. Singkat saja: proyek mereka dibekukan. Media sudah menemukan bukti baru, dan pimpinan perusahaan diperiksa. “Kau beruntung keluar lebih awal,” tulisnya. “Kalau kau mau kembali, aku punya rencana baru. Kota lain. Negara lain. Upah berlipat.”
Menak membaca, menutup, lalu kembali membuka. Ia membiarkannya mengendap seminggu, sebulan. Akhirnya ia membalas: Terima kasih. Aku memilih tinggal. Ada pintu-pintu lain yang harus kubesarkan.
Ranggalawe tidak membalas lagi. Namun beberapa bulan kemudian, berita menyebut ia pindah ke luar negeri. Foto terakhirnya di LinkedIn berdiri di depan bangunan baru—megah, dingin, berkilau, dengan pintu yang kecil.
.
Banjir
Musim hujan datang. Beberapa dusun di pesisir tergenang. Di tengah dini hari, Menak dan para pemuda membuka pintu Rumah Baca Angin, memindahkan buku-buku ke atas rak tertinggi, menggulung karpet, menggelar kasur lipat. Anak-anak menangis karena takut. Para ibu menenangkan sambil memeluk. Para bapak memikul barang-barang.
“Pintu jangan ditutup,” kata Menak. “Biar siapa pun yang butuh bisa masuk.”
Di sudut ruangan, ia melihat Jaka—yang diantar Ratna berkunjung saat liburan—menggambar lagi. Pintu besar. Kali ini, ia menempelkan kertas kecil di atas gambar: “Untuk semua.” Menak duduk di sampingnya, mengelus kepala anak itu. Ia berharap suatu hari Jaka tak perlu lagi menggambar pintu besar karena pintu kecil pun sudah cukup ramah.
“Kadang kita membesar-besarkan pintu karena dunia mengecilkan hati. Tugas kita membesarkan hati—agar pintu apa pun terasa cukup.”
.
Jakarta dalam Jeda
Beberapa bulan kemudian, Menak diundang sebuah kampus di Jakarta untuk berbagi cerita tentang arsitektur yang memeluk kemanusiaan. Ia ragu. Ratna menyuruhnya pergi. “Pergilah. Jakarta bukan musuhmu; ia hanya kaca pembesar yang memperlihatkan siapa dirimu.”
Ia kembali ke kota. Di stasiun, ia melihat papan pengumuman kereta: terlambat sepuluh menit. Orang-orang mengeluh, namun tetap berdiri rapi. Ia tersenyum kecil; kota ini telah belajar pelan-pelan untuk menunggu, meski tidak sabar.
Di kampus, ia berbicara tanpa slide. Ia bercerita tentang pengamen tua, Jaka, banjir, dan pintu lebar. Mahasiswa bertanya: “Apakah arsitektur bisa menyelamatkan orang dari kemiskinan?”
Menak menjawab, “Arsitektur tidak bisa menyelamatkan siapa pun sendirian. Tapi ia bisa berhenti memperparah keadaan. Ia bisa memilih tidak menutup pintu, tidak menyingkirkan manusia dari tanah kelahirannya. Ia bisa memilih menambahkan bangku di bawah pohon, alih-alih hanya menambah parkir.”
Seusai acara, seorang mahasiswa menangis pelan. “Kak, aku selalu cemas mengejar IP dan lomba. Tapi rasanya kosong.” Menak menepuk bahunya. “Kau boleh cemas. Tapi jangan biarkan cemas itu memilihkan jalanmu.”
.
Kembali ke Air
Esoknya, Menak menyempatkan diri melewati perempatan tempat pengamen itu biasa duduk. Trotoar kini ditanami bunga kecil. Seorang petugas kebersihan menyapu perlahan. Menak menaruh tiket Transjakarta lusuh itu di bawah pot bunga, lalu berbisik, “Terima kasih sudah mengajarkan senyum, Pak.”
Ia menatap langit Jakarta yang abu-abu, lalu menyeberang menuju halte. Kereta melintas. Gedung-gedung memantul di kaca gerbong seperti mimpi yang terlalu rapi untuk menjadi kenyataan.
Di kepalanya, ia merapikan rencana: memperluas Rumah Baca Angin, menambah ruang kerja kecil untuk nelayan memperbaiki jaring, memanggil dokter puskesmas sebulan sekali, dan yang paling penting—mengundang anak-anak kampus arsitektur untuk magang dan belajar menakar ruang dengan nurani.
“Ruang yang baik bukan sekadar luas; ia adalah tempat di mana napas kita kembali panjang.”
.
Jalan yang Tak Kita Miliki
Tahun berganti. Rumah Baca Angin bertambah meja dan cerita. Jaka bertambah tinggi, sesekali datang membawa kabar nilai raport yang meningkat. Ratna bolak-balik Jakarta–Pamekasan, terus menenun kisah-kisah kecil yang tak masuk berita.
Suatu sore, ketika matahari tenggelam pelan di garis laut, Menak duduk di beranda. Anak-anak membaca, suara mereka berbisik seperti ombak kecil. Di depannya, pintu lebar itu memantulkan cahaya jingga.
Ia mengingat awal mula perjalanan: resah akan hari tua, resah akan proyek, resah akan nama baik. Resah pada hal-hal yang bukan miliknya. Kini, ia masih punya resah—namanya hidup. Tapi resah itu punya tempat: di samping pintu, bukan di depan.
Ia menuliskan sebuah kalimat di buku catatan, untuk ditempel besok di dinding Rumah Baca:
“Jangan biarkan yang belum pasti mencuri harimu yang sudah pasti.
Yang pasti itu mati. Sementara hari ini masih hidup—maka hidupilah dengan memberi arti.”
Menak menutup buku. Angin dari laut mendorong pintu perlahan. Dari jalan pasir, dua anak kecil berlari, tertawa, melompati ambang.
Pintu tetap terbuka. Jalan tetap panjang. Namun untuk pertama kali dalam hidupnya, Menak tak lagi risau pada jalan yang tak ia miliki. Ia sudah cukup dengan yang ada di hadapannya: ruang untuk bernapas, tangan untuk memberi, dan mata untuk menyaksikan manusia menjadi manusia.
.
.
.
Jember, 11 September 2025
.
.
#CerpenKompas #SastraUrban #MaknaHidup #RisauMasaDepan #PintuUntukSemua #JeffreyWibisonoStyle #KotaDanManusia