Peta yang Tak Hilang
“Yang hilang bukan rumah, tapi peta—tentang siapa yang bisa dititipi anak, di mana suara air mengalir, dan bagaimana cara manusia saling menemukan di tengah kota.”
.
Malam itu Jakarta menatap balik dari kaca rooftop sebuah gedung perkantoran di Sudirman. Lampu-lampu seperti barisan doa yang tak pernah selesai dilafalkan; pendar kuning merayap di dinding-dinding kaca, menubruk awan rendah, memantul dalam pupil orang-orang yang menunda pulang. Dari ketinggian itu, Jayeng berdiri di sisi terluar pagar kaca, setangan angin memantulkan wangi hujan yang tertahan. Ia baru saja menolak kesepakatan terakhir: satu proyek hunian premium yang menawarkan “sky villa” dengan jaminan pemandangan langit—langit yang sama yang sering dilupakan penghuni apartemen ketika layar ponsel menutupi cakrawala.
Jayeng, konsultan brand hospitality yang dulu dikenal cepat naik takhta di industri, menyadari satu hal: apa yang ia bangun selama ini terlalu gemerlap untuk menampung lelah manusia. Di telinganya berdesing kalimat yang dulu ia catat di jurnal: “Bisnis terbaik adalah yang membuat orang merasa pulang lebih dulu daripada membayar.” Namun malam ini, kalimat itu terdengar seperti peringatan.
Di bawah sana, sebuah kafe kecil di pojokan Setiabudi memutarkan lagu pelan dari speaker yang sekarat. Di dalamnya, Rengganis merapikan apron di pinggang, memantau catatan stok kopi dan roti bebas gluten. Wajahnya tenang seperti garis arsitektur minimalis yang ia suka; di dahinya, kerut halus yang lahir dari pilihan-pilihan sulit. Ia arsitek yang sengaja membatasi proyek komersial agar bisa menjaga kafe ini—warisan dari ibunya yang pandai meramu rempah. Kafe itu bukan sekadar usaha; ia museum kecil untuk aroma masa kecil, ketika ibunya mengenalkan bedak kopi dan resep kue rempah yang menenangkan.
Pintu kafe berbunyi. Umara masuk tanpa menunggu lampu hijau. Rambutnya berantakan, hoodie abu-abu basah oleh gerimis, dan di lengan kirinya tergenggam map jinjing berisi presentasi investor. Ia pendiri sebuah startup ed-tech yang sedang tumbuh cepat: platform beasiswa, micro-credential, dan kelas kerja lintas karier. Di layar-layar iklan kota, wajahnya sering tampil sesaat—memperkenalkan cara belajar yang “antimainstream, fleksibel, relevan.” Namun malam ini, wajahnya menyimpan kabar lain.
“Investornya minta pivot.” Ia duduk, menatap meja kayu yang sedikit retak. “Dari akses beasiswa ke pinjaman biaya kursus berbunga rendah. Katanya lebih cepat monetisasi.”
Madi, yang sedari tadi mencatat di sudut kafe sambil menggambar diagram alur program komunitas, mengangkat kepala. Madi mengajar sosiologi di universitas negeri pinggiran, sekaligus merintis pusat pelatihan kerja untuk anak lulusan SMK di kampung kota: kelas barista, fotografi produk, penulisan CV, public speaking. Di lengannya, tato tipis bergambar burung kecil nyaris tak terlihat. “Bunga rendah bagi kamu mungkin rendah, Mar,” katanya pelan, “bagi mereka, itu tetap gunung.”
Empat sahabat itu—Jayeng, Rengganis, Umara, dan Madi—telah saling menyapa sejak SMA di Malang. Nama-nama mereka—serupa gema lama yang turun dari kisah-kisah Menak di panggung kecil kampung: Jayeng yang selalu maju memecah jalan; Rengganis yang lirih namun tegas; Umara yang suka melesat dengan logika tajam; dan Madi, adik kelas yang membumi, menyiangi kata seperti menyiangi lahan. Di meja itu, kota yang besar menyusut menjadi segelas kopi dan beberapa keputusan yang tak bisa ditunda.
“Masih jadi rencana pindahin 63 KK di kampung tepi kali?” tanya Madi pada Jayeng.
Jayeng menghela napas. “Mereka akan ‘direlokasi’ ke rusun sementara. Dokumen lengkap. Secara legal semua rapi. Tapi rasanya kok seperti kita menukar suara air dengan decit lift.”
Rengganis menaruh secangkir kopi di depan masing-masing. “Aku diminta merancang ruang terbuka hijau di podium mall proyek itu. Dua hektare taman untuk menebus hilangnya pekarangan 63 KK? Taman yang bagus selalu boleh, tapi apakah kita masih mendengar suara ibu-ibu menjemur kain, anak-anak main karet, bapak-bapak memperbaiki radio?”
Umara memijit pelipis. “Kalian percaya, investasi ini bisa berputar jadi hal baik? Aku… aku ingin tetap hidup dari mimpiku, tapi tak mau menggadaikan alasan kenapa memulainya.”
Madi menuliskan sesuatu: tiga kata, diberi lingkaran: “Mendengar. Merekam. Mengembalikan.”
Ia mendongak. “Sebelum memutuskan, kenapa kita tidak turun dan mendengar? Bukan sebagai konsultan, arsitek, founder, atau pengajar. Sebagai manusia yang punya kota yang sama.”
.
Kampung itu—mari kita sebut Kampung Jayengrana—berdiri di tepian kali yang airnya berwarna teh menua. Jalannya sempit, cukup untuk dua motor berpapasan jika salah satunya mau mengalah. Dindingnya mural spontan—bunga, tokoh pewayangan, ajakan buang sampah, dan di satu sudut tulisan tangan besar: “Rumah adalah tempat kita mengingat siapa kita.” Di teras-teras sempit, orang menjemur pakaian sambil memantau berita dari televisi kotak.
Rengganis berjalan paling depan, menyapa siapa saja yang memandang. Seorang perempuan tua, Retna, duduk di bangku kayu, menatap mereka dengan mata cerah. “Mau cari siapa?”
“Kami mau belajar, Bu,” jawab Madi, spontan. “Tentang kampung ini.”
Retna tertawa pendek, mengibas kipas. “Belajarlah pada anak-anak. Mereka paling tahu di mana kelereng jatuh dan siapa tetangga yang masak lodeh paling pedas.”
Dalam dua jam, mereka mengonfirmasi apa yang di atas kertas hanya berupa data: 63 KK bukan angka; itu 63 cerita yang saling menumpang seperti panci di dapur kecil. Ada Kencana, janda muda yang menambal baju di malam hari setelah siang bekerja di laundry; ada Kelaswara, lulusan D3 yang nyambi driver ojek aplikasi ketika lamaran kerja tertolak berkali-kali; ada Umar—bocah kelas enam SD—yang menghapal nama-nama awan dari buku perpustakaan keliling; ada Raras, penjual rujak yang memintal humor untuk menahan hari.
“Kalau kami pindah,” kata Retna kemudian, “yang hilang bukan rumah bambu, Nak. Yang hilang peta. Di kepala kami, ada peta: siapa yang bisa dititipi anak, dimana tukang tambal panci, kapan banjir biasanya datang, jam berapa tukang roti mengalah murah hati. Peta itu yang kami takut tak dibawa.”
Jayeng menatap sekeliling. Di kepala, maket 3D proyek terasa dingin. Podium mal dengan rooftop garden, food hall dengan konsep “kuliner Nusantara kurasi chef,” mengganti warung-warung dengan poster “taste of tradition.” Ia membayangkan Retna duduk di sudut food hall, menatap harga es teh yang bersalin rupa. Mendadak rasanya mual.
“Kalau,” kata Madi lambat-lambat, “kita tak hanya memindahkan rumah, tapi memindahkan peta? Membuat peta baru di rusun yang mereka rancang sendiri?”
Umara mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Di ed-tech, kau bicara co-creation, kan? Bagaimana jika relokasi bukan program yang selesai pada berita, tapi proses yang dipimpin warga? Data yang kita miliki: kompetensi tiap rumah, impian, rute ekonomi. Kita rangkai itu menjadi peta kebutuhan: ruang berkegiatan, zona usaha rumahan, jadwal daycare gotong royong, kelas keterampilan, kredit mikro yang benar-benar mikro, dan—ini penting—jalur pulang ke kampung lama minimal sekali seminggu, supaya memori tidak putus.”
“Dan di sisi bisnis?” Jayeng menatap Madi, seperti anak yang diam-diam ingin percaya pada keajaiban.
“Di sisi bisnis,” potong Rengganis, suaranya tenang, “kita ubah definisi nilai. Taman di podium bukan tebusan, tapi jembatan. Food hall bukan kurasi chef ternama, melainkan inkubator UMKM Kampung Jayengrana: Rujak Raras, Jahit Kencana, Kopi Retna, Servis Radio Pak Paiman. Tenant prioritas mereka, dengan sewa pre-emptive—tiga tahun pertama hanya seperlima harga normal, naik bertahap seiring omzet. Desain arsitektur memelihara jalur interaksi. Tidak semua harus modern seperti render; sebagian dibiarkan organik, asal bersih dan aman.”
Umara membuka map, menggambar cepat: panah dari kampung ke rusun, dari rusun ke mal, dari mal kembali ke kampung. “Platformku bisa jadi tulang punggung data. Kita buat modul micro-credential: barista untuk anak SMK, akuntansi sederhana untuk UMKM, literasi digital untuk ibu-ibu, manajemen stok untuk warung. Beasiswa berbasis kerja, bukan pinjaman. Investorku mungkin akan ngedumel. Tapi jika kita buktikan traction… mungkin dia akan malu,” ia tertawa, pendek.
“Yang paling berat bukan investor,” kata Madi, “melainkan melatih diri tidak menjadi pahlawan. Kita fasilitasi, bukan menyelamatkan.”
Retna mengangguk, seperti mendengar doa yang tak diucapkan. “Nak, orang kota sering lupa: yang menguatkan bukan bangunan, tapi caramu memberi tempat pada nama-nama. Jangan pindahkan kami dari nama kami.”
.
Perjuangan dimulai dengan hal-hal kecil yang lucu dan melelahkan: rapat warga pukul tujuh malam yang baru dimulai setengah sembilan; dokumen yang harus ditandatangani tapi tinta pulpen habis; anak-anak yang bertengkar di depan peta rencana rusun sambil memperebutkan spidol warna. Rengganis menggelar lokakarya arsitektur partisipatif di balai RT: minta warga menggambar “rumah impian” di kertas bekas kalender toko bangunan. Hasilnya beragam: ada yang menggambar dapur besar untuk jualan, ada yang menggambar balkon panjang untuk jemur pakaian dan menumbuhkan tanaman obat, ada yang menggambar ruang TV kecil dengan kursi-kursi plastik yang bisa dilipat.
“Ruang TV ini buat apa?” tanya Rengganis pada Kencana.
“Buat nonton sinetron bareng? Bukan. Buat rapat dadakan kalau ada musibah,” jawab Kencana, pipinya memerah. “Kami butuh ruang untuk menahan panik bersama.”
Di pertemuan lain, Jayeng belajar mengunyah ego. Ia terbiasa membuat presentasi “wow”; di kampung, ia belajar mendengar orang membahas kebutuhan paku, anggaran cat, serta perlunya rak sepatu di luar pintu untuk menghindari lantai becek. Saat ada bapak-bapak yang menyindir, “Mas ini biasanya ngomong di TV, ya? Kok di sini diam?” Jayeng tertawa. “Biar gantian, Pak. Di TV, saya lancar ngomong. Di sini, biar belajar mendengar.”
Umara menata ulang model bisnis platformnya. Ia menulis surat ke investor: “Kami akan mengejar revenue lewat B2B dengan proyek-proyek CSR yang ingin benar-benar berdampak, bukan lewat bunga pinjaman yang memperpanjang lingkaran beban.” Ia menutup laptop, menatap malam. Di sisi ruang kerja, foto almarhum ayahnya dibiarkan tegak. Ayahnya dulu pedagang buku bekas di belakang kampus. “Kau dulu mengajariku menghitung laba,” bisik Umara pada foto itu, “hari ini izinkan aku menghitung berkah.”
Madi menjahit modul pelatihan dengan kain sehari-hari. Ia tahu betapa mudahnya program sosial menjadi poster. Maka ia memastikan satu hal: setiap kelas harus berakhir dengan sesuatu yang bisa dipegang—sepiring roti yang benar-benar enak, foto produk yang benar-benar menggoda, CV yang benar-benar rapi, kepercayaan diri yang benar-benar duduk tenang di dada.
Pada hari relokasi, hujan turun pelan. Truk-truk datang, menunggu di mulut gang. Ada tangis yang ditahan, ada tawa yang dibiarkan lepas supaya tangis tak jadi pemilik. Rujak terakhir di halaman Retna dibagi tipis-tipis. Jayeng memeluk seorang bocah yang memintal pertanyaan: “Bang, nanti kali di sana ada? Kalau tidak ada, siapa yang akan mendengarkan air?” Jayeng menelan air liur. “Kalau tidak ada, kita buat suara air sendiri: dari ketukan sendok di gelas, dari tawa tetangga, dari doa ibumu setiap pagi.”
Di rusun, kebingungan pertama menunggu: kunci pintu yang tertukar, lift yang macet, pipa yang bocor karena kencang memasang gantungan jemur. Tapi peta yang mereka bawa—meski belum lengkap—menuntun. Rengganis membuka lantai dasar sebagai “serambi bersama”: kios-kios kecil untuk UMKM dengan signage sederhana. Di sudut, Madi memasang papan tulis putih: jadwal kelas minggu ini, daftar titip anak, pengumuman arisan, dan—di bagian paling bawah—doa singkat yang bergantian ditulis warga, lintas keyakinan.
Tiga bulan kemudian, sesuatu yang jarang disiapkan oleh proposal akhirnya terjadi: kebahagiaan kecil tak rapi. Rujak Raras membuka cabang kios di podium mal, tepat di sisi eskalator. Pada hari pertama, antrean bukan dari pengunjung mal saja, tetapi juga dari satpam, cleaning service, pekerja proyek. Mereka membeli dengan bangga, seperti membeli potongan diri sendiri. Jahit Kencana kebanjiran order perbaikan jas dan gamis dari butik di lantai tiga. Servis Radio Paiman (yang menjelma “Servis Elektronik Paiman & Anak”) menggantung papan bertuliskan: “Kami memperbaiki barangmu, kamu memperbaiki hariku.”
Platform Umara merilis fitur “Peta Pulang”: visualisasi peta baru yang dibangun warga sendiri—jalur belanja bulanan, siapa yang bisa ditelepon saat anak sakit, ruang terbuka kering untuk main karet, slot waktu dapur bersama untuk produksi roti. Ketika investor bertanya, “Apa metrik keberhasilannya?” Umara menjawab, “Ketika warga menambahkan paku ke dinding tanpa menanyakan ‘apakah boleh’, sebab mereka yakin tempat ini milik bersama.” Investor diam, lalu menawarkan pilot bagi tiga kampung lain. Umara setuju, dengan syarat: “Kita investasi pada kemampuan, bukan sekadar infrastruktur.”
Jayeng menutup kontrak lama dan membuka kantor kecil di ruko dekat rusun. Ia menamai perusahaannya kembali: “Pulang Brand Studio”. Portofolionya bukan lagi sekadar hotel mewah dan restoran instagramable, tetapi juga program pendampingan layanan pelanggan bagi UMKM, desain pengalaman bagi ruang-ruang publik, dan kampanye “Senin Tanpa Marah” untuk perkantoran. Ia mengingat satu tamu yang mengeluh keras di lobi hotel bertahun lalu, dan ia yang muda waktu itu menanganinya dengan teknik. Hari ini, ia ingin menanganinya dengan manusia.
Namun kota punya cara menguji mereka. Suatu sore, gerimis jatuh seperti garis-garis tipis pada jendela. Rengganis menerima telepon: ibunya terjatuh di dapur. Patah tulang pinggul. Dunia mengecil, seperti kertas arsitektur yang tiba-tiba harus digulung. Di rumah sakit, Rengganis menatap lorong panjang tanpa perabot, suara mesin monitor seperti jam pasir yang menipis. Ia duduk, memegang tangan ibunya yang hangat.
“Aku mau menutup kafe sementara, Bu,” katanya.
Ibunya menggeleng pelan. “Kopi itu caramu berbicara dengan dunia. Jangan bungkam suaramu gara-gara aku jatuh. Tutup sebentar boleh. Tapi ingat, tanggung jawab bukan batang pohon yang mematahkanmu—ia atap yang melindungimu.”
Rengganis menangis diam-diam. Malam itu, ia menulis pesan kepada tim kecilnya, meminta izin untuk merancang ulang shift dan menambah dua kursi untuk volunteer dari Kampung Jayengrana yang ingin belajar meracik kopi. Madi membalas: “Aku punya dua anak SMK yang semangat. Besok kubawa.”
Di hari pertama Rengganis kembali ke kafe, Umara datang dengan berita lain: regulator meminta izin tambahan untuk kios-kios di podium mal. Ada risiko penutupan sementara. “Ini masalah tanda tangan dan stempel, bukan niat,” kata Umara, lelah.
Jayeng menatap mereka. “Kota selalu memaksa kita memilih kecepatan. Ayo pelankan sedikit, tapi jangan berhenti. Kita kumpulkan data dampak: omzet UMKM, tingkat kepuasan pengunjung, penyerapan tenaga kerja dari warga. Kita presentasikan bukan sebagai belas kasihan, tapi sebagai logika bisnis yang tak bisa disangkal.”
Mereka menyusun presentasi yang aneh: slide berisi foto-foto senyum, angka-angka sederhana, dan satu video 30 detik tentang anak-anak yang menyiram tanaman di balkon rusun, tertawa karena terpeleset. Di akhir presentasi, Madi menutup dengan kalimat: “Yang kami minta bukan dispensasi, melainkan pengakuan bahwa kota ini tumbuh karena orang-orangnya yang mau menanam, bukan karena kertasnya yang rapi.” Pejabat itu terdiam, kemudian mengangguk. “Coba dulu enam bulan. Tanggung jawab kebersihan dan keamanan kalian yang pegang.”
Dalam enam bulan itu, kota menunjukkan wajah lain: tidak semuanya gemerlap, tidak semuanya gelap. Suatu malam, listrik mati di rusun. Tangga gelap, lift berhenti, anak-anak menangis, ibu-ibu mencari lilin. Dari lantai dasar, suara nyanyian melambung: lagu daerah yang dibawakan fals tapi riang. Rengganis menyalakan lampu-lampu kecil di kafe, membagikan teh panas. Jayeng mengatur arus keluar masuk, memastikan orang tak saling tabrak. Umara mengalihkan server sementara ke cloud tetangga; platformnya tetap hidup—papan pengumuman digital menyala di ponsel-ponsel, memandu pembagian lilin, jadwal naik turun tangga untuk orang tua, nomor telepon ambulans. Madi memimpin permainan kata-kata untuk anak-anak di selasar; tawa memantul seperti kunang-kunang.
“Lihat,” kata Retna di tengah kegelapan, “kita berhasil menyalakan kota dari dalam.”
.
Setahun setelah relokasi, mereka kembali ke kampung lama—bekas Jayengrana—yang kini sudah rata dan menjadi taman sementara sebelum konstruksi dimulai. Rumput muda tumbuh malu-malu. Di pinggir kali, papan kecil bertuliskan “Di sini, dulu ada rumah-rumah yang saling menjaga.” Jayeng berdiri, menutup mata, mendengar suara air yang tak lagi menyeberang dinding. Rengganis memotret langit yang berusaha menyelinap di antara gedung-gedung. Umara menaruh map di tanah, seolah membiarkan mimpi dijemur. Madi menaruh bunga liar.
“Mungkin suatu hari,” kata Jayeng, “orang datang ke mal bukan untuk belanja, tapi untuk merasa pulang.”
“Mungkin suatu hari,” sambung Rengganis, “arsitektur bukan sekadar tentang bentuk yang indah, melainkan tentang peta yang tak putus.”
“Mungkin suatu hari,” Umara tertawa, “investor menilai return bukan hanya dari angka, tapi dari air mata syukur yang tak tercatat di laporan keuangan.”
“Mungkin hari itu hari ini,” Madi mengakhiri.
Di ponsel Jayeng, masuk pesan dari seorang perempuan yang dulu mereka bantu pindah: Kencana. “Mas, jahitan saya sekarang punya tiga pegawai. Satu dari mereka baru berhenti jadi baby blues, katanya, karena tempat kerja kami tak marah kalau dia menangis sebentar. Terima kasih sudah mengajari kami menyulam peta.” Jayeng membaca pelan. Ia menutup ponsel, menatap teman-temannya. Di dadanya, sesuatu pulang.
Malam turun pelan. Di kejauhan, layar iklan raksasa menampilkan wajah-wajah yang menjanjikan masa depan. Kota mengangkat bahu, menenangkan napas, dan untuk sesaat, sepi menjadi guru yang baik. Di udara, suara yang sama sejak awal cerita—suara yang memanggil orang untuk pulang, bukan ke alamat, melainkan ke diri yang sempat ditinggalkan—menggema, lembut tapi tegas.
“Jangan lupa,” bisik Rengganis, “rumah bukan hanya atap di atas kepala, melainkan cara kita menamai satu sama lain.”
“Dan kota,” sambung Madi, “adalah halaman yang kita urus bersama.”
Umara menyalakan ponsel, mengetik perlahan ke investor: “Terima kasih telah bersabar melihat kami pelan. Pertumbuhan yang paling stabil ialah pertumbuhan yang menghormati manusia.” Ia mengirim, lalu memasukkan ponsel ke saku.
Jayeng menatap langit. “Kita tak perlu jadi pahlawan. Cukup jadi orang-orang yang tidak menambah jarak antara gemerlap dan terang.”
Mereka berjalan menyusuri pinggir kali, seperti empat anak SMA yang dulu sering bolos untuk menonton teater kecil di kampung sebelah. Suara air memantul di bawah jembatan. Di atas jembatan, lampu-lampu menyala bergantian, seakan mengerti: pulang tidak selalu berarti kembali; kadang, pulang berarti maju bersama.
.
Di kafe, keesokan paginya, Rengganis menggantung tulisan tangan ibunya yang sekarang berjalan pelan dengan tongkat. Tulisan itu sederhana, huruf miring sedikit ke kanan: “Hidup yang baik adalah hidup yang membuat orang lain lebih berani untuk hidup.” Di bawahnya, ia menempel foto empat sahabat di kampung lama: mereka menghadap kamera dengan mata jernih dan baju yang basah gerimis. Tidak ada pahlawan, tidak ada yang berdiri di depan. Ada jarak yang pas di antara bahu mereka—cukup untuk orang lain menyelip, cukup untuk dunia bertumbuh.
Di pintu, lonceng kecil berdenting. Pelanggan pertama masuk, membawa tas kerja, wajah letih, dan senyum yang berusaha lahir. “Kopinya seperti biasa, ya?” katanya.
“Seperti biasa,” jawab Rengganis. “Dan hari ini, kami punya roti baru dari anak-anak pelatihan. Cobalah.”
Pelanggan itu duduk. Ia menghela napas panjang, menatap jendela. Di luar, kota berjalan seperti biasa—bah, macet, promosi diskon, rapat yang mendadak. Di dalam, hari mulai dengan sesuatu yang pelan tapi pasti: sepotong roti, secangkir kopi, dan keyakinan kecil bahwa kebaikan bisa dirancang, dipresentasikan, dinegosiasikan, dan—yang paling penting—dihidupi.
Mungkin inilah kabar terbaik dari kota: di antara gedung-gedung yang berlomba menembus awan, manusia masih bisa menemukan cara untuk pulang.
.
.
.
Malang, 22 Oktober 2025
.
.
#PetaYangTakHilang #CerpenMinggu #JeffreyWibisonoV #UrbanHumanism #ArsitekturPartisipatif #UMKM #nJawaNi #KisahPulang #SastraKota