Pergi untuk Sembuh: Menanam Akar di Tanah Baru
“Pergi bukan tanda lemah; kadang itu cara paling jujur untuk tetap waras.
Akar tidak tumbuh di tanah yang diracun.
Lepaslah dari tempat yang melukaimu; carilah tanah baru, udara baru, cahaya baru.”
.
Matahari yang telat bangun meneteskan cahaya kuning pucat di atas deretan atap seng di Petogogan. Dari jembatan penyeberangan yang pernah ia gambar di layar—lalu disunat anggaran sampai tinggal rangka—Amir memandang arus kendaraan yang menggeram dan sabar sekaligus. Kota ini pandai pura-pura: yang bising terlihat sibuk, yang diam mengendap seperti luka. Amir memegang map lusuh berisi pengunduran diri. Tinta hitam di atas kertas putih: ramping, sederhana, tegas—lebih tegas dari dirinya sendiri yang semalam masih ragu.
Ada pesan dari Zubaidah, kekasih yang belakangan terasa seperti papan reklame: terang, mengundang, dan selalu menyuruh orang menatap ke atas. “Jangan impulsif. Bertahan sedikit lagi. Bonus akhir tahun sudah dekat,” tulisnya. Bertahan—kata yang di Jakarta diartikan macam-macam: bertahan di pekerjaan yang menggerogoti, bertahan di kontrakan dengan langit-langit yang mengelupas, bertahan di hubungan yang makin sering menghitung laba rugi.
Amir pernah punya cita-cita sederhana: menata trotoar agar pejalan kaki tak merasa seperti tersangka. Ia kuliah teknik sipil karena suka garis lurus dan sunyi jam-jam gambar. Di perusahaan konsultan tempat ia bekerja, garis-garis diubah menjadi angka; angka diperas jadi laba; laba disisakan secukupnya untuk jembatan, sisanya untuk piala di lemari direktur. Umarmadi, kepala tim yang piawai memutar-balik pasal, menyebutnya “efisiensi”. “Yang penting proyek jadi, Mir. Tidak semua angka bisa jujur. Kita bekerja untuk kenyataan, bukan idealisme.”
Kenyataannya menampar tiga minggu lalu. Seorang ibu terjatuh dari ramp jembatan yang terlalu curam. Amir ingat malam-malam panjang di kantor, ketika ia menulis catatan keberatan pada kemiringan yang dipaksakan. Ia masih menyimpan e-mail yang tak direspons, tanda terima yang entah kemana, juga tatapan Umarmadi yang mengandung ancaman berlapis gula. Berita online menyebut “kelalaian desain”. Kantor mengeluarkan pernyataan pers yang rapi dan ringan, seolah-olah tubuh yang patah bisa disembuhkan oleh kalimat pasif. Di ruang rapat ber-AC dingin, Amir diminta menandatangani revisi as built yang tak pernah ia setujui. Ia menolak. Sejak itu ia disejajarkan dengan meja kopi—didatangi, tapi tidak dianggap.
Pagi ini, di jembatan yang memantulkan getir, Amir memilih berhenti menjadi garis lurus yang dibengkokkan. Ia melangkah ke kantor dan menyerahkan surat. HRD berwajah kosmetik tersenyum kaku, menawarkan sesi healing virtual dan cuti tanpa bayaran. Amir menolak. “Saya perlu tanah baru,” katanya. Kalimat itu terdengar asing sekaligus akrab, seperti doa yang baru ditemukan.
.
Di angkot menuju kos, ia duduk di samping Umarmaya, pengemudi ojek yang sering mangkal di depan kantornya kalau hujan turun. Umarmaya—bukan nama panggung, melainkan warisan dari cerita keluarga tentang penjelajah padang pasir—selalu membawa bau minyak kayu putih dan pengetahuan yang tidak ia cari.
“Wajahmu hari ini seperti betik yang dipetik belum matang,” kata Umarmaya, menyalakan rokok yang tidak jadi dihisap karena sopir melarang.
“Baru putus hubungan kerja,” sahut Amir, separuh bercanda. “Habis ini mungkin putus kontrakan, putus internet, putus harapan.”
“Harapan tak bisa diputus. Ia cuma pindah alamat.” Umarmaya tersenyum. “Kamu ingat pitutur: urip iku urup? Hidup itu menyala. Kalau kamu terus berada di ruangan yang dipadamkan, bagaimana apimu tak habis?”
Amir menatap jendela yang menyimpan Jakarta dalam pigura kecil. Di luar, kios pulsa membuka pintu seperti membuka nasib. Warung pecel lele menggantungkan ikan yang digoreng seperlunya. Seorang bapak memikul balon berwarna neon, menawar kebahagiaan ringan untuk anak-anak yang menunggu sesuatu yang lebih besar dari balon. Urip iku urup. Kalimat yang terlalu sederhana untuk masalah yang terlalu rumit, pikir Amir. Tapi barangkali kesederhanaan adalah cara agar kita berani melangkah lagi.
“Jadi kamu mau kemana?” Umarmaya bertanya.
“Belum tahu. Surabaya, mungkin. Teman mengajak bergabung di komunitas perencana kota yang mengerjakan koridor pejalan kaki di Kalimas. Proyek kecil, honor kecil, tapi katanya mereka membangun seperti menanam.”
Umarmaya menatap ke depan, seperti sedang membaca cuaca. “Pergi kalau perlu pergi. Aja nggrantes neng papan sing gawe loro. Jangan meratap di tempat yang membuat luka.”
.
Zubaidah menunggu di kafe kecil dekat stasiun. Ia mengenakan blazer yang membuatnya tampak seperti tujuan. Di bagian bawah blazer itu, hatinya mungkin tidak sama. Zubaidah pandai bicara, pemenang lomba pidato sejak SMA, lalu jadi eksekutif humas di sebuah perusahaan startup yang percaya semua bisa diselamatkan oleh presentasi.
“Kamu bisa menyesal setelah ini,” ucapnya tanpa salam. “Di sini kamu sudah dapat posisi, tinggal beberapa tahun bisa jadi manajer.”
“Manajer dari apa? Dari ketidakjujuran yang rapi?” Amir mengaduk kopi terlalu lama. “Aku ingin bangun sesuatu yang tidak mematahkan orang.”
“Dunia belum ideal,” jawab Zubaidah datar. “Kadang kita harus menutup mata sebentar untuk membuka pintu. Kamu selalu keras kepala, Mir. Selalu mengingatkan what if. Hidup butuh fast lane juga.”
Amir tersenyum pahit. “Mungkin hidup butuh jalur pejalan kaki yang aman. Biar pelan, tapi sampai.”
Keduanya diam. Jakarta tidak. Motor menembus trotoar, pengamen menyanyi dengan suara yang lebih jujur dari liriknya, kurir paket berdesak-desakan, suara notification memotong percakapan. Zubaidah menatap luar jendela. “Aku tak mau pindah ke kota lain,” katanya akhirnya. “Karierku di sini.”
“Tak apa,” ucap Amir. “Pergi bukan berarti meninggalkanmu. Tapi barangkali kita harus memberi kesempatan pada masing-masing untuk tumbuh.”
“Lalu kita?” tanya Zubaidah.
“Kita—entah nanti. Kalau memang akar kita cocok, ia akan menemukan tanahnya kembali.”
Zubaidah menunduk, dan sejenak Amir melihat dirinya dari mata perempuan itu: pemuda yang tidak kaya, tidak memiliki kendaraan, tapi membawa peta yang digambar oleh hati. Mereka berpisah tanpa kata indah. Di trotoar yang kasar, Amir menemukan kelegaan yang ironis: kebebasan selalu menuntut biaya, dan ia siap membayarnya dengan kegamangan.
.
Kereta menuju Surabaya berangkat menjelang malam. Di gerbong ekonomi yang kini lebih sopan dari masa kecilnya, Amir duduk di samping seorang perempuan yang sibuk memindahkan foto dari ponsel ke gawai. Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Adaninggar, jurnalis lepas yang menulis tentang ruang publik. Ia hendak meliput gerakan anak muda menata tepi Kalimas. “Kamu Amir?” Adaninggar bertanya begitu tahu tujuan Amir. “Namamu disebut-sebut teman-teman di Komunitas Lajur. Katanya kamu arsitek garis lurus.”
“Teknik sipil,” Amir mengoreksi.
“Di kota, perencana itu penyair yang menggunakan beton,” kata Adaninggar sambil tertawa kecil. “Kamu akan suka Kalimas saat fajar. Lampu-lampu memantul seperti bintang yang tak sempat kembali ke langit.”
Amir mendengarkan cerita. Adaninggar mengisahkan Surabaya yang mencipta jalur sepeda, membuka trotoar dari belenggu parkir, menanam pohon di tepi jalan. Ia mengisahkan anak-anak bermain di plaza yang dulunya tempat sampah. Ia menyebut nama Umarmadi dengan nada yang berbeda: bukan kepala tim di Jakarta, melainkan figur masa lalu yang juga pernah nyaris mengikis idealisme, sebelum ia memilih menjadi pekerja kreatif. Dunia ternyata kecil, pikir Amir: orang yang memaksanya mundur di Jakarta barangkali juga pernah dipaksa mundur oleh orang lain di kota lain.
Malam bergeser. Amir terlelap, memimpikan jembatan tanpa tepi. Dalam mimpi itu, ia berdiri di atas sungai gelap dan menabur benih lampu. Lampu-lampu tumbuh menjadi pohon yang berbuah jalan, dan orang-orang menyeberang tanpa takut terjatuh. Saat terbangun, fajar menyembul, dan kereta memasuki Surabaya seperti pisau memasuki buah: hati-hati, namun pasti.
.
Komunitas Lajur menyambut dengan nasi pecel dan tawa. Mereka bukan pegawai bersetelan, melainkan guru TK, tukang parkir, perawat klinik, mahasiswa, pedagang asongan—orang-orang yang sepakat bahwa berjalan kaki adalah hak yang terlalu lama dipinjamkan pada kendaraan. Amir mendengar rencana-rencana kecil: zebra cross di depan puskesmas, taman baca di kolong jembatan, festival lampu untuk mencegah sudut gelap. Ia menyimak dengan kagum bagaimana mereka mengumpulkan dana: dari patungan, pelelangan foto, kelas menulis, pertunjukan busking.
Amir memulai dari pekerjaan paling sederhana: menggambar ulang jalur trotoar di sekitar sekolah dasar. Ia menolak menggunakan perangkat lunak mahal, memilih papan tulis dan penggaris panjang karena anak-anak bisa ikut menonton. Ketika seorang pedagang mengeluh kiosnya akan tergusur, Amir tak membawa pasal, melainkan kursi. Mereka duduk berdua, memikirkan cara agar kios tetap ada dan trotoar tidak hilang. Solusinya lahir dari kompromi yang tidak meminggirkan: kios mundur setengah meter, tenda diatur jam operasinya, trotoar jadi dua meter cukup untuk orang tua menuntun anak.
“Ini bukan desain yang menaklukkan kota,” kata Amir pada Adaninggar yang datang meliput. “Ini desain yang menundukkan diri pada hidup warganya.”
Adaninggar menulis dengan mata yang bersinar. Ia punya kebiasaan aneh: selalu membawa lampu senter kecil di tas. “Kadang-kadang,” ujarnya sambil menyalakan senter itu di sore yang sudah terang, “kita cuma perlu mengingatkan diri sendiri bahwa cahaya bisa dibawa.”
.
Musim hujan datang seperti tamu lama yang tak pernah benar-benar pergi. Sungai menggelepar, udara mengandung bau tanah dan sabun murah. Pada suatu malam, kota diguyur hujan deras sejak Magrib. Amir bersama kelompok ronda komunitas memeriksa titik genangan. Mereka menyusuri koridor pejalan kaki yang baru dibangun di tepi Kalimas—dengan drainase sederhana yang diusulkan Amir, talang pipa terbuka yang memudahkan warga membersihkan sampah. Di ujung koridor, seorang anak menjerit. Seorang ibu—Amir teringat peristiwa di Jakarta—tergelincir dekat turunan. Kali ini ramp-nya landai, ada handrail yang kokoh, ada lampu kecil di sepanjang bibir turunan. Anak itu tidak jatuh; ibunya pulih dengan cepat. Ia menatap Amir dengan mata yang berterima kasih tanpa kata.
Di bawah hujan deras, Amir menyadari sesuatu yang sederhana dan telak: desain yang jujur bukan soal kemegahan, melainkan rasa aman yang pelan-pelan menjadi kebiasaan. Kota menyampaikan terima kasih dengan caranya sendiri: bau rumput basah, langkah kaki yang mantap, tawa anak yang kembali pecah setelah tangis.
Keesokan hari, berita lokal memuat foto koridor itu. Adaninggar menulis judul: “Tanah Baru untuk Melangkah.” Ia menuliskan kisah Amir tanpa memuja, menyebutnya hanya salah satu dari banyak orang yang memilih berdiri di pihak pejalan kaki. Di akhir artikel, Adaninggar menuliskan kalimat yang membuat Amir terdiam lama: “Kota bukan hanya tempat kita tinggal. Ia cermin: jika kita memaksa diri berdiri di tanah yang meracun, wajah kita ikut kusam. Pindahlah. Bawa serta cahaya.”
Artikel itu dibagikan di berbagai grup. Sebagian memuji. Sebagian mencibir. “Trotoar itu cuma sepotong drama,” tulis seorang akun anonim. “Dihujani sehari sudah bangga.” Amir tersenyum—dulu komentar semacam itu bisa melumat semangatnya. Sekarang tidak. Barangkali karena ia telah memindahkan akar.
.
Zubaidah muncul kembali. Ia datang ke Surabaya untuk urusan klien dan meminta bertemu di warung rawon dekat Taman Apsari. Tatapannya melembut, seperti kain yang baru dijemur.
“Kamu terlihat lain,” katanya setelah sup hitam mengepul di antara mereka. “Aku lihat berita itu. Kamu—bahagia, ya?”
“Bahagia bukan kata besar,” jawab Amir pelan. “Ia seperti garis kecil yang akhirnya pas.”
Zubaidah mengaduk rawon. “Di Jakarta, aku dipromosikan. Gaji naik. Tapi aku sering pulang dengan mata yang capek karena harus membenarkan sesuatu yang dari awal tidak benar. Kamu menulari aku, Mir. Idealisme itu menular.” Ia tertawa, namun suaranya retak. “Aku takut pindah. Aku takut kalau pergi terlihat seperti kalah.”
“Kalah dari siapa?” Amir balik bertanya. “Dari bayangan orang tentang kita? Kalah itu saat kita terus bertahan di tempat yang mengubah kita menjadi orang yang tidak kita kenal.”
Zubaidah menghela napas panjang. “Maukah kamu menungguku—entah sebagai apa. Teman, sahabat, apa saja. Beri aku waktu menemukan tanah baruku.”
Amir menatap perempuan itu, yang masih ia sayangi dengan cara yang kini lebih tenang. “Aku tak pergi kemana-mana,” katanya. “Aku hanya akan terus berjalan.”
Mereka berpisah dengan janji yang tidak menuntut. Di trotoar, Adaninggar memotret bayangan pepohonan: ranting yang menulis puisi pada aspal. “Bayangan bisa menyejukkan tanpa harus menutup matahari,” katanya. Adaninggar dan Zubaidah, dua perempuan dengan cahaya berbeda, kini berjalan di orbit yang tidak saling melukai.
.
Bulan-bulan berikutnya, kerja kecil meluas. Koridor di Kalimas menjadi festival yang tak direncanakan: ibu-ibu membawa tanaman dalam pot, anak-anak melukis di lantai, komunitas musik menaruh panggung portabel. Di sela acara, seorang pria berkemeja rapi mendekati Amir. Wajahnya setengah dikenali, setengah ingin dilupakan. Umarmadi.
“Proyekmu ramai,” katanya, mata tak sepenuhnya bertemu. “Aku sedang di Surabaya, mengurus tender.” Ia menatap koridor yang ramai. “Aku ingin minta maaf.”
Kata maaf melayang di udara basah. Amir menunggu, bukan untuk memaafkan dengan dramatis, melainkan untuk menyadari bahwa ia tidak lagi digerakkan oleh amarah yang dulu menambatinya. “Aku juga minta maaf,” katanya akhirnya. “Karena dulu membenci orang sebelum mengerti betapa sulitnya melepaskan sistem yang membesarkan.”
Umarmadi tertawa pendek. “Kamu masih idealis.”
“Sekarang aku realistis,” sahut Amir. “Realistis percaya pada langkah kecil yang bisa dihitung, bukan pada kompromi yang menghapus jejak.”
Mereka berjabat tangan. Itu bukan akhir dari kejahatan kota, tentu. Tapi mungkin itulah awal dari keberanian—kedua belah pihak mengakui luka dan tidak menggosoknya dengan garam.
.
Suatu dini hari, Amir duduk di tepi koridor. Lampu-lampu kota bergoyang seperti ikan-ikan kecil. Langit belum pekat, belum juga terang. Ia mengeluarkan catatan kecil: daftar rencana baru. Jembatan penyeberangan yang ramah kursi roda di pasar Dupak. Perpustakaan mini di halte. Program adopt-a-drain—adopsi saluran air—agar warga menjaga parit di depan rumah. Di halaman pertama buku catatan itu, Amir menulis kutipan yang dulu dibisikkan Umarmaya: “Harapan tak bisa diputus; ia hanya pindah alamat.”
Amir memejam sebentar. Di kejauhan, suara adzan menyentuh langit. Ia teringat rumah masa kecil di Jember, suara ibu memanggilnya bangun, aroma nasi jagung. Ia menelpon ibunya, mengabarkan kabar yang sederhana: “Bu, aku sehat. Di sini aku menanam.” Ibunya tertawa, dan tawanya menyejukkan lebih dari udara subuh.
Menjelang terang, Adaninggar datang membawa termos kopi. Mereka duduk sejajar, memandang kota yang kembali menjadi milik orang-orang yang bergegas. Adaninggar menyodorkan secangkir, uapnya naik pelan seperti doa.
“Kalau nanti kamu diajak kembali ke Jakarta,” tanya Adaninggar, “kamu akan kembali?”
“Jakarta bukan musuh,” jawab Amir. “Musuhnya adalah tempat dalam diri yang rela diracun. Kalau suatu hari aku bisa kembali dengan akar yang kuat, siapa tahu aku menanam di sana lagi.”
Matahari akhirnya muncul, tidak terlalu spektakuler, tapi hangat. Di trotoar, sepasang kaki kecil berjalan dengan mantap. Seorang ayah menuntun, seorang ibu tertawa, dunia yang sederhana tapi cukup. Amir tersenyum. Kota ini telah memberinya tanah baru; sekarang tugasnya menjaga agar tanah itu tidak keracunan lagi—oleh serakah, oleh malas, oleh putus asa. Ia melipat peta yang tak lagi berupa garis, melainkan wajah-wajah yang berjalan: rapuh, kuat, manusia.
.
Beberapa waktu kemudian, Zubaidah mengirim foto. Ia berdiri di stasiun yang bukan lagi di Jakarta, dengan koper dan mata yang disiram cahaya. “Aku pindah ke Semarang dulu. Ada posisi di lembaga yang mengadvokasi ruang publik,” tulisnya. “Kamu benar. Pergi bukan kalah.” Amir membalas dengan gambar koridor yang malam itu dipenuhi lampu-lampu kertas. “Selamat datang di tanah baru. Kita bertemu di tengah jalan.”
Dan begitulah: jalan, bukan tujuan, yang memulihkan. Di atas aspal yang masih menyimpan bekas hujan, kaki-kaki menulis cerita mereka masing-masing. Kota, dengan segala kebengalannya, pelan-pelan diajak mendengar. Amir bangkit, memasang helm sepeda. Ia mengayuh menyusuri tepian sungai. Di matanya, air yang dulu tampak seperti cermin buram, kini menjadi halaman terbuka. Di halaman itu, ia membaca satu kalimat sederhana yang menutup sekaligus membuka: kamu tidak harus sembuh di tempat yang melukaimu; kamu hanya perlu memberi dirimu kesempatan untuk tumbuh.
.
.
.
Jember, 27 Agustus 2025
.
.
#Cerpen #Kota #RuangPublik #MoveOn #Healing #Surabaya #UrbanStory #Trotoar #ArswendoVibes #LiterasiKota