Percakapan yang Tertunda: Saat Luka Tak Lagi Dibungkam
“Yang tertunda bukan berarti terlambat. Kadang kita butuh jeda untuk menguat. Tapi pada akhirnya, semua perlu diselesaikan dengan keberanian.”
— NamakuBrandku
.
Langit Jakarta menggantung kelabu. Ujung Februari tampak murung, seperti menunda hujan yang sudah seharusnya turun. Di sebuah kedai kopi kecil di Blok M, Ronggiyah duduk sendiri. Wajahnya tenang, tapi mata dan jemarinya menyiratkan ketegangan yang tak biasa. Barista memanggil namanya pelan, meletakkan secangkir cappuccino dengan latte art berbentuk ombak. Ia menatap buih itu lama-lama—gelombang kecil yang selamanya pecah tanpa suara.
Ronggiyah, tiga puluh tiga tahun, konsultan pemasaran yang biasa menyusun kampanye untuk merek-merek yang ingin terlihat relevan. Sehari-hari ia merancang cara orang jatuh cinta pada produk. Rapi, terukur, presisi. Namun ada satu hal yang tak pernah masuk ke dalam spreadsheet: perasaan yang tertunda. Tiga tahun lalu, ia kehilangan sesuatu yang tak pernah sempat ia tutup rapat-rapat: perpisahan yang tidak pernah benar-benar terjadi.
Ponselnya bergetar. Ia mengira notifikasi dari klien—rancangan presentasi untuk pitch Senin depan. Tapi bukan.
“Kamu masih suka kopi di tempat biasa?
Aku di Jakarta seminggu.
Mau bicara.”
— Wiramenggala
Nama itu memaku dadanya. Wiramenggala. Lelaki yang dulu mendekat perlahan dan menghilang lebih cepat. Dulu, mereka tak pernah bertengkar. Tak ada kata “selesai”. Hanya sunyi yang beranak pinak, menciptakan jarak yang dibiarkan tumbuh. Pesan itu seperti mengetuk pintu kamar yang lampunya sengaja dimatikan.
Ronggiyah menutup ponsel. Ia memutuskan untuk tidak membalas. Malam itu ia tak bisa tidur. Ada sesuatu yang menggeliat: bukan rindu, melainkan keberanian yang bangun terlambat.
.
Dua hari kemudian, Ronggiyah kembali ke kedai itu. Ia tidak berjanji akan datang. Ia hanya muncul, seperti hujan yang tak bisa lagi ditunda. Wiramenggala sudah duduk di kursi luar, dekat pot palem yang selalu dipindahkan petugas keamanan saat malam. Jaket hitam lusuhnya masih ia pakai. Matanya tetap sama: ramah tapi sembunyi-sembunyi.
“Terima kasih sudah datang,” katanya.
Ronggiyah mengangguk. Di hadapannya, lelaki yang pernah ia cintai itu tampak ringkih. Bukan ringkih fisik; ringkih yang lebih halus, seperti kertas surat yang lama disimpan.
“Aku datang karena sadar, ada yang belum selesai,” ucap Wiramenggala.
“Dan kamu pikir, dengan diam dulu, kamu menyelesaikan?”
“Aku pikir… aku menghindari menyakitimu.”
“Kamu salah,” Ronggiyah menatap lurus. “Justru diam itu paling menyakitkan.”
Wiramenggala menghela napas. “Aku pergi karena merasa tidak layak. Kamu terlalu utuh. Aku terlalu penuh retak.”
Sore itu, orang-orang lalu lalang. Ojek online menepi, anak-anak SMA berseragam abu-abu mengejar bus. Jakarta seperti biasa: sibuk dan tidak peduli. Namun di meja kecil itu, dua orang belajar menyebut luka dengan nama.
.
Hari-hari berikutnya, mereka bertemu tanpa jadwal yang ketat. Terkadang di taman kota Menteng, terkadang di sudut perpustakaan modern di Sudirman yang baunya seperti kertas baru. Mereka tidak kembali menjadi sepasang kekasih. Mereka menjadi dua orang yang berutang kejujuran.
Wiramenggala bercerita tentang masa kecilnya di pesisir Pamekasan—tentang ayah yang jarang pulang, tentang ibunya yang menjahit hingga larut, tentang tumpukan utang yang membuat suara tawa di rumahnya terdengar seperti sesuatu yang mewah. “Di rumah, kami diajari menunda marah agar tetangga tidak tahu. Lama-lama, aku juga menunda bicara. Hingga jadi kebiasaan.”
Ronggiyah mendengarkan. Tiba gilirannya, ia juga meletakkan kartunya di meja. Ia bercerita tentang tuntutan kerja, tentang peran “perempuan kuat” yang tak pernah ia pilih tapi telanjur melekat. “Aku bisa menyelesaikan krisis brand dalam seminggu. Tapi aku tidak bisa menyelesaikan hatiku sendiri selama tiga tahun.” Ia tersenyum hambar. “Aku pikir kalau aku cukup baik, cukup sabar, cukup memberi, aku akan dicintai. Nyatanya, aku ditinggal oleh diam.”
Wiramenggala menatapnya. “Aku takut cinta adalah penjara. Kamu mengejarku, aku berlari. Kamu berhenti mengejar, aku kehilangan arah.”
Di antara kalimat-kalimat itu, mereka belajar bahwa luka yang tak pernah disebut akan terus meminjam wajah-wajah baru—kemarahan kecil pada barista yang lupa gula, kesal pada sopir taksi yang memilih rute memutar, kecewa pada tubuh sendiri yang tiba-tiba sakit tanpa sebab. Semua menjadi dalih yang nyaman untuk tidak menatap cermin.
.
Suatu senja, hujan menggodok langit. Mereka berteduh di bawah pohon asam di halaman sebuah gedung tua. Uniknya, keteduhan itu justru menegaskan jarak yang lebih jujur dari sekadar atap.
“Aku tidak datang untuk mengulang,” ujar Wiramenggala pelan. “Aku datang untuk bertanggung jawab atas diamku. Jika bisa… memperbaiki yang masih mungkin.”
Ronggiyah menatap daun yang tertiup angin. “Terima kasih sudah bicara. Karena dulu yang paling menyakitkan bukan kamu pergi. Tapi kamu tidak berpamitan pada perasaanku.”
“Maaf,” kata Wiramenggala.
“Maafmu penting,” balasnya, “tapi lebih penting lagi kebiasaan barumu. Aku perlu tahu suaramu bisa dipercaya.”
Wiramenggala mengangguk. “Aku sedang belajar terapi. Konselorku bilang, di keluargaku kami memelihara tradisi menunda konflik. Seperti doa yang ditahan. Kita mengira itu sopan, padahal busuk.”
“Di keluargaku, kami merayakan kemandirian sampai lupa meminta tolong,” sahut Ronggiyah. “Sama busuknya.”
Mereka tertawa kecil—tawa yang tidak ingin meyakinkan siapa pun. Hanya tawa yang mengakui bahwa manusia kerap lucu saat sedang sedih.
.
Beberapa minggu kemudian, Ronggiyah diundang menjadi pembicara di seminar pemasaran digital di Kuningan. Setelah sesi, ia berjalan bersama Kelaswara—teman lamanya dari komunitas baca—melintasi lorong kaca yang memantulkan cahaya sore.
“Gimana kabar kamu dan… Wiramenggala?” tanya Kelaswara, tersenyum menggoda.
“Sedang belajar bicara.”
“Belajar bicara itu terdengar sederhana.”
“Kalau basah pertama kali, sederhana. Kalau banjir, kamu baru tahu mengurasnya perlu pompa,” jawab Ronggiyah, separuh bercanda.
Kelaswara mengangguk-angguk. “Kamu masih ingin menjadikannya rumah?”
Ronggiyah tidak langsung menjawab. “Aku ingin menjadikan diriku rumah dulu. Biar kalau ia datang, ia punya alamat.”
Malam itu, Ronggiyah menulis di jurnalnya: ‘Yang tertunda pada akhirnya akan bicara. Kalau tidak lewat mulut, lewat mimpi. Kalau tidak lewat mimpi, lewat tubuh.’ Ia teringat beberapa bulan terakhir—lampu kamar yang lebih sering dimatikan lebih cepat, punggungnya yang mudah kaku, perutnya yang mual tiap kali melihat notifikasi. Semua ternyata bukan penyakit, melainkan percakapan yang gagal.
.
Suatu Sabtu, hujan akhirnya turun. Jakarta memantulkan dirinya di genangan. Mereka kembali ke kedai kopi pertama itu, duduk di luar, memandangi hujan seperti menonton film yang pernah ditinggal sebelum adegan akhir.
“Gi,” kata Wiramenggala, “kalau aku bilang ingin memulai dari awal—bukan melanjutkan yang dulu, bukan mengulang yang salah—tapi membangun dari hari ini, dari versi kita yang sekarang. Apakah ada ruang untukku?”
Ronggiyah tidak menatapnya. Ia menatap hujan. Menghitung detik yang jatuh. “Ruang itu ada. Tapi bukan untuk luka lama. Hanya jika kamu mau bicara, dan belajar hadir.”
Wiramenggala menggenggam tangannya. Tidak kuat, tapi cukup. “Aku di sini,” katanya pelan. “Dan aku akan bertahan.”
Ada sesuatu yang mencair di dada Ronggiyah. Bukan janji bahagia. Bukan pula keputusan final. Hanya sejenis ketenangan seperti lagu instrumental di lobi hotel: tidak mengubah apa-apa, tapi membuat orang berjalan lebih pelan.
.
Beberapa bulan berjalan, kebiasaan baru diciptakan. Setiap Selasa malam, mereka mengadakan Percakapan Seperempat Jam—telepon lima belas menit tanpa multitasking, tanpa rapat yang diselipkan, tanpa pesan yang terlambat dibalas karena “baterai habis”. Mereka membuat Aturan Tiga T: Tahu, Tunda, Tutup. Tahu apa yang dirasa, Tunda reaksi agar tidak menyakiti, Tutup dengan kalimat konkret: “Kita sepakati begini, ya.”
Suatu kali Wiramenggala terlambat mengabari. Biasanya, ini pemicu lama yang siap menyala. Tapi ia mengirim pesan suara: suaranya terdengar ragu, sekaligus jujur. “Aku tadi panik. Proyek di kantor kacau. Reflex-ku ingin diam dan menyendiri. Aku takut kamu marah. Sekarang aku sedang latihan untuk bicara walau suara di kepalaku bilang ‘nanti saja.’ Aku minta lima menit untuk tenang, habis itu kita telepon?” Pesan itu seperti melihat anak kecil yang naik sepeda tanpa roda bantu. Terhuyung, tapi maju.
Di panggilan telepon, Ronggiyah bernapas pelan. “Terima kasih sudah bilang sekarang, bukan besok.” Ada jeda. “Kamu tahu rasanya seperti apa menunggu kabar dari orang yang kamu sayang?”
“Seperti menunggu hujan yang janji turun lalu lupa?”
“Seperti menunggu dirimu sendiri pulang.”
Wiramenggala tak menjawab. Di ujung lain, napasnya terdengar pecah pelan.
.
Pada suatu Minggu pagi, mereka menghadiri kelas yoga di Kemang. Instrukturnya—seorang pria bernama Umar—mengajak semua peserta duduk diam tiga menit. “Jeda bukan kemewahan,” katanya. “Jeda adalah ruang untuk memeriksa apakah kita masih jadi manusia.”
Ronggiyah memejamkan mata. Di kegelapan itu, ia melihat dirinya tiga tahun lalu: perempuan yang mengglorifikasi sibuk agar tak terasa sepi. Ia melihat pesan-pesan yang tak dibalas, panggilan yang sengaja dibiarkan berdering hingga padam. Ia ingin peluk dirinya yang dulu, mengatakan: ‘Sebentar lagi kamu belajar. Sakit, tapi kamu belajar.’
Usai kelas, mereka sarapan bubur di warung tenda—sumbu kerlap lampu jalan berebut dengan matahari. “Kalau suatu hari kita tidak bersama, apa pelajaran terbesar yang kamu bawa pulang?” tanya Ronggiyah tiba-tiba.
Wiramenggala mengaduk buburnya, terlalu lama. “Bahwa diam bukan perlindungan. Ia cuma penunda eksekusi.”
“Dan aku,” kata Ronggiyah, “belajar bahwa kuat itu bukan tidak menangis. Kuat itu berani berkata ‘aku takut’ sebelum ketakutan itu mengubahku jadi batu.”
Mereka saling tersenyum. Di meja sebelah, seorang bocah menumpahkan susu kotaknya, ibunya tertawa dan menyeka lembut. Tiba-tiba, tawa itu terasa seperti doa: sederhana, tak bermotif, tapi menghangatkan udara.
.
Ketika pekerjaan menuntutnya ke Surabaya selama seminggu, Ronggiyah menulis email pada dirinya sendiri—semacam surat yang kelak ingin ia baca: ‘Gi, jika suatu hari kamu lupa bagaimana bicara, ingat tiga hal: 1) tanyakan apa yang sebenarnya kamu rasakan, bukan apa yang kamu pikir orang lain ingin dengar, 2) beritahu, walau suaramu gemetar, 3) siap mendengar jawaban yang tidak kamu suka, sebab di situlah pintu solusi.’
Di Surabaya, ia bertemu klien di ruang rapat berkarpet abu-abu. Presentasinya berjalan mulus. Setelahnya, ia menyempatkan diri ke Ampel, menatap orang-orang yang berjalan pelan di antara kios-kios. Udara beraroma dupa, dupa yang membawa orang memohon dengan cara masing-masing. Ia membeli tasbih kayu cendana—bukan sebagai simbol religius, melainkan sebagai penanda ritme: satu helaan napas—satu kejujuran kecil; satu langkah—satu keberanian kecil.
Sore itu, sebuah pesan masuk. Bukan dari Wiramenggala. Dari ibunya: “Kapan pulang, Nak? Bapak pengin makan rawon bareng.” Ia tersenyum. Ada percakapan lain yang selama ini juga tertunda: keintiman yang malu-malu antara ayah-anak. Malamnya, ia menelpon ayahnya. Mereka bicara hal-hal kecil: tanaman cabai di halaman, hujan yang merusak genteng, pertandingan sepak bola yang tak jadi ditonton bersama. Tapi di ujung telepon, ada sesuatu yang tak lagi tertahan. “Pa,” katanya, “terima kasih sudah berusaha. Kita jarang bicara ya.” Di seberang, ada batuk kecil, lalu suara yang tua tapi jujur: “Iya, maaf ya, Gi.” Dan untuk pertama kalinya, maaf itu tidak melemparkannya ke masa lalu; justru membukakan jalan pulang.
.
Ronggiyah kembali ke Jakarta dengan hati yang lebih lapang. Ia bertemu Wiramenggala di stasiun MRT. Mereka berjalan tanpa tujuan, naik-turun eskalator seperti anak muda yang baru belajar menghabiskan waktu bersama. Di halte, seorang bapak penyapu jalan menata dedaunan yang basah. Ronggiyah berhenti sejenak, memperhatikan caranya menyisir trotoar. “Rapi itu bentuk kasih sayang,” gumamnya.
Wiramenggala menoleh. “Kasih sayang pada siapa?”
“Pada kota, pada orang tak dikenal, pada diri sendiri.”
Ia tertawa kecil. “Kamu kalau jadi iklan layanan masyarakat, aku yakin viral.”
“Kalau viral, apakah luka kita cepat sembuh?”
“Tidak,” jawabnya. “Tapi mungkin kita tidak lagi merasa sendirian.”
Mereka melanjutkan berjalan. Di jembatan penyeberangan, Jakarta tampil seperti miniatur yang gemerlap. Mobil-mobil bagai kunang-kunang tergesa. Angin malam mengangkat rambut Ronggiyah. Tanpa sadar, mereka berhenti, memandangi kota yang sama-sama telah mereka salahpahami: tempat yang keras tapi menyimpan banyak ruang teduh bagi mereka yang mau melambat.
.
Waktu membentang. Beberapa musim hujan dan kemarau berlalu. Mereka tidak selamanya mulus. Ada malam-malam ketika Wiramenggala ingin kembali pada kebiasaan diamnya. Ada pagi-pagi ketika Ronggiyah terlalu waspada, mencurigai jeda sebagai tanda bencana. Namun setiap kali salah satu terpeleset, yang lain menarik: pertama dengan mengingatkan, kemudian dengan memeluk.
Di sebuah sore, usai menghadiri pameran seni di SCBD, mereka duduk di bangku panjang, memandang kolam dangkal yang memantulkan awan. “Aku mencintaimu,” kata Wiramenggala, lirih. “Tapi bahkan jika suatu hari cinta kita selesai, aku ingin tetap jadi orang yang bicara.”
Ronggiyah menoleh. “Dan aku mencintaimu,” jawabnya, “tapi bahkan jika suatu hari kita berpisah, aku ingin tetap jadi orang yang mendengar.”
Mereka diam. Diam yang bukan lagi penjara, melainkan taman.
.
Suatu pagi, Ronggiyah menerima pesan dari seorang klien lama: “Terima kasih sudah menolak proyek kami kemarin. Penolakanmu jelas dan membuat kami memperbaiki brief.” Ia tersenyum. Dulu, ia takut mengatakan tidak karena khawatir kehilangan kesempatan. Kini, ia tahu tidak adalah ruang bagi ya yang lebih tepat.
Di cermin, ia melihat wajahnya. Tak muda, tak tua. Ada garis baru di sudut mata—bukan kehancuran, melainkan peta. “Aku telah kembali ke diriku,” katanya pelan. Di meja, tasbih cendana itu tergeletak. Ia memutarnya tiga butir: tahu, tunda, tutup.
Sebelum keluar rumah, ia mengetik pesan: “Terima kasih sudah jadi rumah yang belajar—bukan rumah yang mengurung.” Terkirim. Beberapa menit kemudian, balasan datang: “Terima kasih sudah jadi alamat yang jelas—bukan legenda yang membuatku ragu pulang.”
Di luar, langit Jakarta tidak lagi kelabu. Atau mungkin tetap, tapi kini ia sudah punya payung. Ia melangkah ke halte. Bus datang tepat waktu. Di bangku pojok, ia membuka buku catatannya dan menulis satu kalimat yang ingin ia simpan lama-lama:
“Bukan cinta yang menyembuhkan, melainkan keberanian untuk bercakap—meski suara kita gemetar—tentang apa yang kita takutkan dari cinta itu.”
Dan pada hari itu, percakapan yang tertunda tidak lagi dibungkam. Ia berjalan, pelan tapi terus, menuju orang-orang yang ingin ia ajak pulang: dirinya sendiri, keluarganya, lelaki yang kini duduk di seberang, dan kota yang selalu bising tapi diam-diam mendewasakan.
.
Penutup Reflektif–Edukasi–Solutif
Percakapan yang tertunda adalah jam pasir yang terus menetes di bawah sadar. Ia menjelma badan lelah, emosi meledak tanpa sebab, dan keputusan-keputusan tergesa. Jalan keluarnya jarang dramatis: sediakan ritual bicara (mis. Seperempat Jam Telepon, Aturan Tiga T: Tahu–Tunda–Tutup), tulis jurnal untuk memetakan pola, dan—bila perlu—datanglah ke konselor seperti kita datang ke bengkel. Kita tidak rusak; kita hanya butuh disetel ulang.
Pada akhirnya, yang membuat dua orang bertahan bukanlah janji tanpa cela, melainkan kebiasaan kecil yang setia. Luka lama memang tidak bisa dihapus, tetapi bisa dirangkai ulang menjadi pengetahuan agar langkah berikutnya tidak jatuh di lubang yang sama.
“Yang tertunda bukan berarti terlambat.
Kita bisa memulai kapan saja, asalkan bicara.”
.
.
.
Jember, 12 Juli 2025
.
.
#PercakapanYangTertunda #CerpenKompasMinggu #UrbanJakarta #KeberanianBicara #KesehatanEmosional #HubunganDewasa #MenakMadura #ReflektifEdukasiSolutif
.
Quotes yang Menyertai Cerita
-
“Keberanian paling sunyi adalah menyebut luka dengan namanya sendiri.”
-
“Diam tidak pernah netral; ia memihak kebusukan yang tumbuh di bawah karpet.”
-
“Jeda bukan kemewahan; jeda adalah metode agar hati tak salah alamat.”
-
“Kita baik-baik saja bukan berarti kita selesai; bisa jadi kita hanya pandai menyembunyikan.”
-
“Memaafkan bukan melupakan; memaafkan adalah memberi tempat baru untuk hal yang sama sekali baru.”