Penumpang Sementara

“Kita tak akan tahu siapa yang sungguh mencintai sampai hidup berhenti nyaman.
Di hari-hari keras, topeng jatuh, peran terbuka, dan barulah kita mengenali wajah yang tetap menatap tanpa syarat.”

.

Hujan menggulung Jakarta seperti lembaran film yang diputar mundur: lampu-lampu memanjang menjadi garis-garis putih, riuh klakson ditelan basah, dan dari jendela co-working space berlantai dua belas, Jayengrana berdiri menatap kota yang tak pernah selesai tumbuh. Di layar ponselnya, poster kutipan itu berpendar; ia simpan dari sebuah unggahan yang tak sengaja lewat di beranda. Sometimes we need hard days…—kalimat Inggrisnya tajam, tapi Jayeng lebih suka versi Indonesia yang terasa seperti tamparan lembut.

Ia baru saja menjeda presentasi: Hotel Post-Opening Roadmap. Di belakangnya, layar LED masih memamerkan slide bergambar rooftop berlampu biru, kolam renang yang memantulkan malam. Di meja panjang, Retna, Umar Maya, dan Umar Madi berbisik. Mereka bertiga, sejak dua tahun terakhir, adalah orbit terdekat yang mengitari Jayeng—pasca restrukturisasi perusahaan, pasca patah hati, pasca ia memutuskan meninggalkan kenyamanan sebagai karyawan operator hotel internasional, memasuki rimba sebagai konsultan independen.

Retna—arsitek urban yang senang melipat kertas denah seperti origami—duduk dengan punggung tegak. Dari kacamata tipisnya, ia menatap Jayeng seperti menatap maket: mencari sudut, mencari poros, memastikan beban tepat jatuh di pilar. Umar Maya—yang semua orang memanggilnya Maya—adalah analis investasi yang rakus membaca laporan keuangan dan puisi, dua hal yang sama-sama ia sebut “metafora angka”. Umar Madi—dikenal sebagai Madi—ialah teman sekelas Jayeng sejak SMA di Malang; kini ia jadi pengusaha konstruksi dan pemilik beberapa ruko, bakso franchise, serta gudang logistik yang tumbuh dari kecerdikan membaca arus jalan.

“Lanjut?” tanya Retna.

Jayeng menghela napas. “Lanjut. Tapi izinkan aku mulai dari kisah lain.”

Ia mematikan layar presentasi. Di luar, hujan menebal. Di dalam, ia bercerita—bukan sebagai konsultan yang memasang tarif jam, melainkan sebagai manusia yang tengah menghitung ulang siapa yang akan ia bawa naik kapal, siapa yang harus ia turunkan di dermaga berikut.

.

Setahun sebelumnya, di Seminyak, proyek butik hotel berlahan 2.000 meter hampir rampung. Pihak pemilik menunjuk Jayeng sebagai owner’s representative setelah GM pertama mundur mendadak. Sejak itu, harinya diisi mengendus hal-hal kecil: punch list yang tak kunjung bersih, mesin chiller yang pincang, jadwal pelatihan staf yang molor, e-learning yang macet, kontrak pemasok linen yang isinya condong ke satu kubu. Sambil berlari, ia mengajari sales muda tentang rate parity, mengajak tim front office mengulang SOP check-in seperti menari. Ia percaya, detail adalah cara paling lembut untuk mencintai tamu—dan paling jujur untuk menilai kerja.

Retna datang dua kali memeriksa as-built drawing, memastikan fire escape tidak jadi labirin. Maya mematikan phone saat makan malam, sibuk memetakan cashflow pemilik; ia bilang revenue proyeksi tak akan menyentuh break-even jika ADR turun satu digit. Madi menawar biaya fit-out sky lounge; cara bicaranya santai, tapi ia hafal satuan paku, jumlah downlight, harga gypsum.

Malam itu, di rooftop hotel yang masih bau cat, mereka berempat berdiri memandangi cahaya garis pantai. Bintang-bintang seperti peluru perak tertahan awan.

“Kita akan buka tepat waktu,” kata Jayeng. “Kita harus.”

Retna tertawa tipis, “Tepat waktu itu relatif, Jayeng. Arsitek mengerti jam tidak diciptakan adil.”

Maya menambahkan, “Investor hanya percaya tanggal di tabel.”

“Dan kontraktor percaya DP,” seloroh Madi.

Jayeng mengangguk. “Itulah mengapa kita di sini. Agar kepercayaan-kepercayaan itu bertemu.”

Mereka tertawa. Kawan-kawan yang saling mencandai, saling menahan satu sama lain supaya tetap waras.

Namun, tiga bulan kemudian, badai datang dari arah yang lain—bukan cuaca, melainkan manusia.

.

Pihak pemilik menunjuk seorang advisor baru: Wira—lulusan sekolah bisnis yang tajam dan gemar mengutip artikel manajemen. Wira membawa tim kecil, mengusulkan cost cutting di dapur, mengganti pemasok bahan segar dengan yang lebih murah, memangkas sesi pelatihan menjadi separuh. “Lean operations,” katanya, “pasar sudah berubah. Tamu tak perlu kemewahan, hanya value.”

Jayeng tidak anti efisiensi. Tetapi ia percaya ada rasio antara hemat dan kehilangan martabat. Ia ajak Wira duduk, menunjukkan penyusutan kualitas roti sarapan jika mentega diganti margarin, daftar guest expectation menengah atas yang tak bisa ditawar, statistik ulasan daring yang menukik tajam bila sarapan gagal.

Wira mengangguk, menatap layar, lalu tersenyum tanpa suara. “Saya bukan tidak paham. Tapi Anda terlalu romantis, Jayeng.”

Kata “romantis” itu menempel seperti lekat luka.

Sejak malam itu, keputusan penting sering lewat tanpa CC ke Jayeng: pembatalan kontrak barista trainer, pengurangan amenities, pergeseran layout makan malam rooftop agar muat lebih banyak kursi. Tim yang dulu Jayeng latih mulai bingung pada perintah siapa yang harus diikuti. Di WhatsApp group, Retna bertanya tentang perubahan layout yang mengorbankan sirkulasi fire safety; Jayeng menandai, Wira membaca, tak menjawab.

Pada hari pembukaan, hotel berdiri resmi. Soft opening seminggu. Memang, kamar terjual; influencer berdatangan. Tetapi di balik kamera, keluhan kecil menumpuk seperti debu: handuk yang kasar, kopi yang tipis, lampu koridor yang redup di satu sisi. Jayeng menuliskan semuanya dalam laporan yang cermat. Wira membalas singkat: “Noted.

Tiga hari setelah itu, Jayeng menerima undangan rapat: “Evaluasi Post Opening.” Ruang rapat dingin, AC terlalu rajin bekerja. Pemilik duduk di ujung, Wira di sisi kanan, Jayeng di sisi kiri. Retna datang terlambat dari bandara, Maya ikut lewat video call, Madi kena macet.

Presentasi dimulai. Wira tampil rapi; grafiknya runcing, bahasanya rapi. Lalu giliran Jayeng. Ia tak menuduh, ia hanya mengukur—seperti biasa—dengan angka dan contoh. Sepanjang ia bicara, Wira tersenyum tenang.

Sampai di slide terakhir, pemilik bertanya, “Bagaimana next step?”

Wira berkata, “Kita lanjutkan pendekatan asset light: fokus penjualan digital, pengurangan overhead, outsourcing housekeeping.”

Jayeng menahan napas. “Tuan, maaf. Outsourcing housekeeping di fase ini akan mematikan ownership staf terhadap kebersihan kamar. Kultur itu sedang tumbuh. Jika kita pindah, tamu akan melihat.”

Wira menatapnya, “Tamu melihat harga lebih dulu.”

Rapat usai tanpa ketukan palu. Tetapi di parkiran, Jayeng tahu keputusan telah dibuat. Malam itu, ia berjalan sendirian melewati koridor yang masih bau cat, menuju rooftop. Kota masih berkilau. Di ponsel, ia membuka ulang poster kutipan: Sometimes we need hard days…—dan ia mengerti, mungkin inilah salah satu hari itu.

.

Jakarta menyambutnya kembali seperti kenalan lama—tidak hangat, tetapi selalu menyediakan tempat. Jayeng memindahkan basis kerja ke co-working space, memulai ulang. Retna, Maya, Madi tetap ada. Tetapi Wira juga tetap ada—di kepala, sebagai bayang-bayang yang sesekali menyeringai.

Proyek berikut datang dari Malang: adaptive reuse gedung bekas kantor pos menjadi boutique business hotel dengan konsep heritage minimalism. Pemiliknya pasangan pengusaha muda alumni Amerika, senang angka bersih dan narasi rapih. Jayeng menawarkan pendekatan yang sama: detail, pelatihan, ownership di level staf, guest journey yang dirancang sedari parkir.

Ia mengajak Retna memimpin tim arsitektur; Maya menilai skema pendanaan; Madi jadi penghubung lokal—memastikan vendor tidak membuat jalan cerita sendiri. Tim kecil itu bekerja seperti kuartet yang mengerti kapan harus menahan nada.

Di sela-sela pekerjaan, hidup Jayeng perlahan merapikan dirinya. Ia kembali berlari pagi di CFD, membaca ulang buku catatan ibunya, mengajar kelas daring hospitality mindset gratis tiap Jumat malam untuk siswa SMK pariwisata. Di kursus itu, ia selalu mengulang satu kalimat: “Detail adalah sopan santun yang bisa dilihat.”

Retna, di sisi lain, sedang mengisi celah dalam dirinya. Sejak bercerai tiga tahun lalu, ia belajar mempercayai ritme; ia menolak tergesa-gesa, tetapi tak berhenti melangkah. Sosoknya tenang, kadang seperti sungai; Jayeng menghormati jarak itu, memelihara persahabatan yang lapang. Mereka tak menamai; kadang itu cukup.

Maya, setelah bertahun mendalami portfolio, diam-diam menginisiasi impact fund kecil untuk bisnis yang memperbaiki ekosistem lokal. Ia menghubungi Jayeng, “Kita tak bisa hanya berkhotbah tentang layanan. Kita harus menolong dapur juga, bukan cuma ruang tamu.”

Madi, yang selalu tampak riang, sebenarnya menyimpan babak gelap: usaha e-commerce sampingan yang digarap adiknya terseret pinjaman peer-to-peer. Madi menutup lobang dengan menjual satu ruko; ia tak bilang siapa pun selain Jayeng—malam itu mereka duduk di warung rawon, uap kaldu menenangkan, pembicaraan sunyi. “Jangan khawatir,” kata Madi, “kekayaan yang hilang bisa dikejar. Nyawa yang jatuh tidak.”

.

Proyek Malang melaju. Di tengah kesibukan, hard day itu datang lagi—bukan satu, melainkan rangkaian.

Pertama, ibu Jayeng jatuh di rumah di Surabaya; patah tulang lengan, butuh operasi kecil. Jayeng pulang, menginap di kamar masa kecilnya yang temboknya masih ditempeli poster band lama. Di koridor rumah sakit, Retna menunggu bersamanya; ia membawa buku sketsa, menggambar bentuk jendela yang baru dilihatnya. “Rumah sakit ini buruk menyusun cahaya,” komentarnya, dan Jayeng tertawa—di tengah cemas, mereka masih bisa menyebut arsitektur.

Kedua, vendor utama proyek Malang bangkrut. Madi mengetuk pintu gudang malam hari, memastikan barang yang sudah dibayar tidak raib. Ia bertengkar sopan dengan mandor, menawarkan solusi “titip sementara di gudang saya,” dan menyodorkan truk. Jayeng menyaksikan betapa tenangnya Madi mengatasi ambang huru-hara dengan nada suara yang tak pernah naik. Di situ Jayeng tahu, Madi bukan penumpang.

Ketiga, founder couple pemilik proyek bertengkar hebat, urusan sepele yang membesar oleh lelah; ancaman bubar melayang di udara. Maya datang dengan kopi hitam dan term sheet revisi—ia mengusulkan escrow untuk belanja material, milestone pembayaran yang setara, dan sesi mediated conversation tiap dua pekan. “Bisnis yang sehat butuh pagar,” katanya. Jayeng belajar, pagar tak hanya menahan keluar, tetapi juga menahan amarah agar tak liar.

Di sela kepungan itu, Wira muncul kembali—kini sebagai consultant untuk jaringan budget hotel yang akan menjadi kompetitor langsung proyek Malang. Ia menghubungi Jayeng, sok ramah, mengirim tautan press release berisi janji ekspansi 1000 kamar. “Semoga kita masih bisa kolaborasi,” tulisnya. Jayeng menatap pesan itu lama, rasanya seperti menelan batu kecil.

Ia tak membalas. Sebaliknya, ia membuka catatan lama: daftar nama staf dapur Seminyak, nomor mereka, potongan cerita yang pernah ia dengar. Ia bertanya kabar satu per satu. Ada yang pindah kerja ke hotel lain, ada yang membuka warung kecil, ada yang kembali ke kampung. Dari mereka ia belajar lagi: orang bertahan bukan oleh job title, melainkan oleh rasa dianggap.

Sore itu, di teras sebuah kafe dekat kampus, Jayeng menulis. Bukan laporan, bukan proposal, melainkan cerita. Tentang seorang lelaki yang menimbang kembali siapa yang keluarga, siapa sahabat, siapa pasangan, siapa penumpang. Ia menulis bukan untuk diterbitkan, melainkan untuk meletakkan beban ke dalam kalimat agar bisa dilihat dari jarak yang wajar.

Retna membaca naskah itu. “Kamu menulis seperti menata lobi,” katanya. “Ada arus orang datang, orang duduk, orang pergi. Tapi aroma kopi tetap sama.”

“Menurutmu, kita terlalu sering duduk di ruang tunggu?” tanya Jayeng.

Retna menatap hujan yang mendadak jatuh. “Tidak. Kita sedang belajar memilih dengan siapa kita menunggu.”

Kalimat itu tinggal di kepala Jayeng berminggu-minggu.

.

Suatu malam, setelah rapat koordinasi yang ke-13, Maya mengirim pesan: “Periksa Google Review hotel Seminyak.” Jayeng membuka surel. Ada ulasan pedas dari tamu asing: wifi putus, sarapan hambar, tisu habis. Ia merasakan sesak—bukan karena serangan, melainkan karena ia mengingat wajah mahasiswa magang yang dulu tertawa saat ia mengajari cara menyerahkan handuk tangan dengan dua tangan.

Ia menutup laptop, berjalan keluar, memanggil ojek, lalu turun di depan sebuah warung kecil yang belum pernah ia coba. Di sana, seorang gadis menawarkan bakwan jagung dan teh panas. Jayeng duduk, memesan, mendengar obrolan dua pegawai shift malam di meja sebelah. Ia tersenyum: kota ini, betapapun serakah, selalu menyediakan sudut-sudut hangat.

“Mas kerja di hotel?” tanya si penjual, menatap ransel hitam Jayeng.

“Kadang,” jawab Jayeng.

“Kalau hotel tutup, warung kami tetap buka,” seloroh si penjual, tertawa. Jayeng ikut tertawa. Di hati ia menulis kalimat lain untuk naskahnya: sebagian pelabuhan tidak membutuhkan kapal megah; yang mereka perlu hanya perahu kecil yang tahu jalan pulang.

.

Hari pembukaan soft opening Malang akhirnya datang juga. Gedung tua itu, dilapis plaster gading dan jendela-jendela kayu yang dirawat, memantulkan kedewasaan yang tidak bising. Lobi tidak besar, tapi check-in desk dibuat cekung agar tamu merasa dipeluk. Di sudut, coffee corner menjual roti dari UMKM tetangga. Di dinding, foto hitam putih kantor pos tempo dulu memberi tanda pada waktu, bukan mengusirnya.

Staf berkumpul. Jayeng memimpin briefing; ia bukan GM, tetapi sore itu semua mata menemuinya seperti pada seseorang yang pernah mengantar mereka menyeberang jembatan rapuh. “Ada tiga hal,” katanya. “Satu: kita bukan sekadar menjual kamar, kita menjual tenang. Dua: detail is respect. Tiga: jangan lupa tersenyum pada diri sendiri, sebab kadang kita yang paling jarang mendapatnya.” Mereka tertawa, gugup dan gembira.

Di soft opening itu, tamu pertama masuk: pasangan lansia yang dulu menikah di Malang, kini kembali untuk merayakan ulang tahun ke-40. Jayeng mengantar mereka ke kamar 205; di key card tertulis ucapan tangan. Tuan ini berterima kasih sambil gemetar, matanya berair. Jayeng, yang biasanya mampu menahan, hampir ikut menangis.

Malam harinya, sky lounge kecil di atap menyalakan lampu. Madi berdiri dekat bar, menepuk punggung bartender yang ia latih dua bulan. “Ingat, ukuran sedih bukan di mililiter,” katanya. Semua tertawa. Retna memotret sudut-sudut tanpa orang, karena menurutnya arsitektur yang baik tak selalu butuh manusia untuk bicara. Maya berdiri sendirian menatap kota; ia memikirkan angka, tetapi juga memikirkan anak-anak yang suatu hari akan merasakan kota ini tidak hanya sebagai kemacetan, melainkan juga sebagai sekolah.

Wira datang tak diundang. Ia berdiri di pintu, rapi seperti biasa. “Selamat,” katanya pada Jayeng. “Tempat ini terasa… mahal.”

“Bukan mahal,” jawab Jayeng. “Layak.”

Wira tersenyum. “We’ll see.

Jayeng tidak marah. Ia hanya lelah. Ia menatap teman-temannya—Retna, Maya, Madi—lalu menatap langit yang mulai bersih. Dalam hati ia mengulang mantra sederhana: siapa yang tinggal, siapa yang pergi; siapa yang mengasihi, siapa yang menghitung.

.

Perjalanan berikutnya tidak bertubi-tubi, tetapi juga tidak mulus. Ada hari-hari penjualan rendah; ada minggu-minggu ketika review masuk dengan nada yang tidak adil. Ada pula team member yang keluar diam-diam; ada dua yang kembali karena rindu “cara diajari”. Bisnis, seperti cuaca, memang tidak mencari restu kita untuk berubah. Tetapi pelan-pelan, hutan itu membuka jalan setapak: keterisian naik, ADR stabil, repeat guest muncul. Dan di paling sunyi, ada perubahan yang lebih penting: orang-orang di tim mulai saling mengingatkan tanpa perlu pengawas.

Di rumah ibunya di Surabaya, jam dinding bergerak lebih santai. Ibunya belajar kembali mengikat rambut dengan satu tangan. Jayeng menukar jendela lama yang lapuk dengan aluminium; Retna menggambar ulang bukaan agar cahaya pagi jatuh tepat di meja makan. Setiap Sabtu, mereka berdua berkendara ke Malang; di mobil, mereka mendengarkan kaset lawas. “Kita tua?” canda Retna. “Kita pulih,” jawab Jayeng.

Suatu sore, saat matahari nyaris tumplek di puncak gunung, mereka duduk di sky lounge yang sepi. Di bawah, kota memerah pelan; seperti pipi anak habis berlari. Jayeng memberanikan diri bertanya, “Retna, kamu merasa… kita ini apa?”

Retna menatap ujung gelas. “Kita ini dua orang yang pernah patah, lalu belajar berdiri tanpa saling bersandar terlalu kuat. Kadang-kadang, itu lebih sehat.”

Jayeng mengangguk. “Kamu ingin kita memberi nama?”

“Boleh. Tapi biar nanti, saat kita yakin bahwa nama itu tidak akan mengusir makna.”

Jawaban itu seperti kain katun: sederhana, tapi menutup cukup. Mereka diam, puas pada perjanjian yang tak ditulis.

.

Beberapa bulan kemudian, ada kabar dari Seminyak: hotel itu terguncang isu; kambing hitam dicari. Seseorang mengontak Jayeng untuk “membantu menata ulang operasi”. Ia menolak dengan halus. Bukan karena dendam, melainkan karena ia yakin, sebagian kapal tak harus diputar balik hanya karena kita pernah menjadi nakhoda di sana. Ada laut yang lebih cocok pada perahu kita.

Sebagai gantinya, ia mengajukan program kecil: pelatihan gratis untuk housekeeping dari hotel-hotel kecil di daerah. “Terlalu banyak orang baik yang terseret isu,” katanya pada Maya. “Mari bantu mereka berdiri.”

Program itu berjalan di aula serbaguna milik pemerintah kota. Jayeng mengajar bersama beberapa kolega; Retna berbagi materi tentang wayfinding dan psikologi ruang; Madi menyumbang konsumsi; Maya membawa beberapa pengusaha untuk melihat dan mungkin merekrut. Sepanjang hari, tawa dan tepuk tangan memantul di dinding tua. Di akhir sesi, seorang peserta—ibu dua anak—mendekat sambil menahan takut. “Pak,” katanya (ia tetap memanggil Pak!), “saya tadinya mau berhenti kerja, capek diomeli. Tapi hari ini saya ingat alasan saya suka membereskan kamar: karena kamar rapi adalah doa untuk orang lain.” Jayeng mengangguk, dan dadanya hangat—hangat yang tak berasal dari sanjungan, melainkan dari rasa pulang.

.

Suatu malam yang lebih tenang lembutnya, Jayeng mengunjungi kembali naskah yang pernah ia tulis. Ia menambahkan satu bab: “Tentang Penumpang.” Ia menulis, “Sebagian orang datang ke hidup kita seperti kereta bandara—mewah, mengejutkan, cepat—lalu pergi tanpa jejak kecuali tiket yang robek. Sebagian lain datang seperti angkot lama—bising, sering berhenti—namun justru mereka yang paling sigap memutar arah saat jalan ditutup. Kita belajar, bukan semua kursi harus kita sediakan selimut; tetapi untuk beberapa kursi, kita rela memasang sabuk pengaman paling kuat.”

Ia mengirim naskah itu ke Retna. Retna membalas dengan foto sebuah sketsa: bangku kayu di teras, dua cangkir kopi, dan sepasang sandal butut. “Ruang tunggu,” tulisnya. “Untuk kita yang tidak terburu-buru.”

Jayeng tersenyum. Ia lalu menulis pesan ke Maya dan Madi, mengundang mereka sarapan hari Minggu di lobi hotel. “Kita rayakan hal yang sering kita lupakan,” katanya. “Bahwa kita masih di sini.”

.

Pagi Minggu itu, lobi hotel beraroma roti. Madi datang duluan, membawa cerita tentang ruko barunya yang akan disewakan untuk klinik gigi. Maya datang belakangan, mengenakan kemeja putih dan sneakers, matanya berbinar; impact fund pertamanya baru menutup putaran pendanaan. Retna muncul terakhir, menenteng keranjang kecil berisi bunga sedap malam—ia meletakkannya di meja resepsionis. “Agar tamu punya alasan untuk berlama-lama,” katanya.

Mereka duduk. Berbagi roti, berbagi rencana, berbagi diam. Sesekali, staf lewat menyapa. Tamu memotret sudut-sudut. Matahari menerobos jendela, menggambar kotak-kotak cahaya di lantai. Di tengah jeda, Jayeng berkata, hampir tanpa sadar, “Kalian bukan penumpang.”

Mereka tertawa—lalu mengangguk, seperti mengafirmasi kalimat yang telah lama menunggu haknya diucapkan.

Di luar, kota melanjutkan pelajarannya: membuat orang tergesa, membuat orang lupa nama-nama pohon. Tetapi di dalam lobi kecil itu, ada ritus yang pelan: empat manusia menyepakati bahwa dunia tidak harus selalu dikejar untuk bisa dinikmati. Bahwa kapal tidak selalu harus besar, asalkan tahu arah pulang. Bahwa kita boleh lelah, asalkan pulang tidak sendirian.

Dan ketika malam kembali turun, Jayeng menulis satu kalimat penutup dalam naskahnya—kalimat yang ia tahu akan ia bawa lama:

“Kesetiaan paling sunyi adalah hadir ketika tak ada panggung. Pada hari-hari yang keras, di situlah kita akhirnya tahu: siapa keluarga, siapa sahabat, siapa pasangan, dan siapa hanya penumpang sementara.”

.

.

.

Malang, 29 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #HospitalityMindset #Persahabatan #Keluarga #Karier #Bisnis #Edukasi #Malang #Jakarta #MenakJawa

.

Quotes dalam naskah & relevan

  • “Detail adalah sopan santun yang bisa dilihat.”

  • “Sebagian pelabuhan tak butuh kapal megah; mereka cukup butuh perahu kecil yang tahu jalan pulang.”

  • “Nama tak selalu memegang makna; kadang kita memilih menunggu sampai nama tak lagi mengusir.”

  • “Kamar rapi adalah doa untuk orang lain.”

  • “Kesetiaan paling sunyi adalah hadir ketika tak ada panggung.”

 

 

 

Leave a Reply