Pelan yang Menyembuhkan

“Ya Allah, lembutkanlah setiap jalan yang terasa terjal, pastikanlah yang masih ragu, dan jadikanlah yang tak mungkin sekadar cerita menjadi nyata. Karena di setiap kesulitan, Engkau sisipkan cara baru untuk bertumbuh.”

.

Di sebuah dini hari yang dilapisi kabut pendingin udara, Jakarta berkedip seperti layar ponsel: notifikasi, angka-angka, dan harapan yang berkedip kemudian padam. Di menara kaca yang menjatuhkan bayangan ke jalan protokol, Jayangrana menatap kota dari jendela apartemen lantai dua puluh tiga. Kopinya mendingin, dan jam digital di dinding mendesis pelan: 04:44—angka simetris yang baginya seperti pengingat bahwa hidup kadang cuma barisan pola yang menantikan makna.

Ia pernah menjadi kepala divisi di bank investasi yang mengusut akuisisi lintas benua. Gajinya rapi, dasinya lebih rapi. Namun pandemi menyapu peta, perusahaan merger, jabatan disederhanakan, dan Jayangrana—Jaya, begitu ia dipanggil—tiba-tiba punya waktu terlalu banyak untuk bertanya: Siapa aku saat ex-title melepas namaku?

Di meja dapur, Renggani—arsitek interior dengan portofolio kafe dan butik—mengukur kain linen untuk proyek butik di Senopati. Rambutnya diikat seenaknya, namun setiap gerakannya presisi. Mereka tak berdebat soal uang; mereka berdebat soal makna. Renggani percaya ruang bisa mengubah cara orang saling memandang. Jaya percaya angka bisa menumbuhkan atau meruntuhkan kerapuhan.

“Kalau butik ini jadi,” gumam Renggani, “aku mau sebagian fee-nya dipakai untuk perpustakaan kecil di kampung pinggir tol Cipinang. Anak-anak butuh ruang sunyi untuk bertumbuh.”

“Ruang sunyi?” Jaya tersenyum. “Kota ini sulit memberi sunyi.”

“Kalau sulit,” jawab Renggani tanpa menoleh, “kita pinta pada Yang Memudahkan.”

Kalimat itu jatuh seperti batu kecil di kolam batin Jaya, memantulkan doa yang kerap ia baca diam-diam: Ya Allah, jadikan yang sulit menjadi mudah… Namun di layar ponselnya, email investor untuk rintisan food-tech yang ia bangun—KopiKelana—masih abu-abu: “We’re passing, given market headwinds.” Ia meletakkan ponsel, menatap kota yang tak pernah benar-benar tidur; barangkali kota memang terjaga tapi tidak sadar.

.

Pagi menetes di atap gedung, dan Jaya turun ke lobi membawa dua kardus berisi alat seduh manual, bubuk kopi dari Bondowoso, serta label kecil bermotto: “Secangkir Kebaikan, Sehari Sekali.” Ia memenuhi janji pada Ranggalawe—kawan lama yang kini dokter yang mengelola klinik rawat jalan di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi. Di halaman klinik itu setiap selasa dan kamis, mereka membuka Dapur Pojok: tempat orang bisa sarapan bubur ayam dan kopi gratis dengan dua syarat: mengucap terima kasih pada yang memasak, dan mendoakan orang asing.

When in doubt, they gave.

Deru motor—ojol, kurir, pedagang sayur—berbaur dengan tawa anak sekolah. Di antara mereka, Sekarputri, guru bimbingan belajar yang sedang membuat beasiswa kecil untuk peserta didik yang orang tuanya terjerat PHK. Ia menyapa Jaya dengan wajah sedikit lelah.

“Klienmu gimana?” tanya Sekarputri sambil menata buku modul.

“Investor menunda lagi. Valuasi ditawar, runway kita pendek. Aku bisa jual sebagian saham ke ‘teman lama’ itu, tapi ada syarat: pindahkan server ke negara X. Aku… tidak siap.”

Sekarputri tertawa pendek, bukan mengejek—lebih pada mencoba ramah terhadap getir. “Kota ini membentangkan banyak jalan pintas; hati kita yang memilih memutar.”

Ranggalawe datang dengan jas putih yang sudah basah keringat meski jam baru menunjuk delapan. “Dini hari tadi ada ibu melahirkan di ambulans; bayinya lahir dengan selaput keemasan. Di rumah sakit tua tempat aku koas dulu, itu selalu dianggap pertanda. Kau tahu pertanda apa? Harapan.”

“Harapan itu biaya likuiditasnya tinggi,” Jaya menimpali, setengah bercanda.

“Bisa diturunkan dengan sedekah,” jawab Ranggalawe, separuh serius. “Ayo, kopi dulu. Lalu kita pikirkan cara membesarkan Dapur Pojok tanpa mengubahnya jadi konten murahan.”

Kopi pertama mengalir dari dripper. Aromanya mengangkat ingatan: ayah Jaya dulu berjualan wedang di alun-alun kota kecil di Jawa Timur. “Yang bisa kita jual dari minuman adalah waktu singgah,” kata ayahnya. “Orang datang bukan karena haus semata, tapi karena ingin diingatkan bahwa hidup tidak mengejar; hidup menjemput.”

Jaya menatap cangkir-cangkir kertas. Ia teringat tabel excel-nya: burn rate, revenue forecast, conversion, CAC. Semua rapi, tapi tak ada satu pun yang mengajari caranya memeluk.

.

Sore itu, Renggani menjemput Jaya dengan mobil listrik pinjaman showroom klien—soal citra, kota ini menganggap charging station lebih romantis dari matahari senja. Mereka meluncur ke Menteng, ke rumah keluarga Kertawasesa—pengusaha properti yang gemar mengundang orang kreatif untuk diskusi lintas sektor. Di ruang tamu yang dindingnya dihiasi fotografi hitam-putih penjual jamu, mereka bertemu Jatikusuma, analis kebijakan publik lulusan luar negeri yang memilih pulang.

“Aku ingin dengar rintisan kalian,” kata Kertawasesa sambil mempersilakan kursi. “Tapi tolong, jangan mulai dari deck. Mulai dari luka.”

Renggani menatap Jaya—giliranmu. Jaya menarik napas.

“Luka kami sederhana,” katanya pelan. “Di kota ini, kopi menjadi ajang pamer selera, bukan lagi jembatan bagi yang letih. Kami ingin mengembalikan kopi ke asalnya: perantara sapaan. KopiKelana kami rancang sebagai ekosistem; bukan hanya gerai, tapi kurikulum singkat bagi barista muda yang kehilangan arah sekolah, micro-funding untuk warung kecil, integrasi traceability biji, dan—ini inti kami—ritual percakapan. Karena tanpa percakapan, kesejahteraan hanya statistik.”

Ruang tamu terdiam; bahkan jam dinding yang lambat seperti ikut menahan napas.

“Bagus,” ujar Jatikusuma. “Tapi kota ini keras. Kamu bicara ‘ritual percakapan’ di tengah algoritma yang memonetisasi perhatian. Bagaimana kalian menjaga ritme?”

“Dengan lambat,” Jaya menjawab. “Kami menolak dark pattern. Kami membuat yang berhenti—singgah. Kami bayar barista bukan berdasarkan kecepatan, tapi kualitas sapaan. Satu barista boleh menyeduh untuk lima orang, tapi harus memanggil minimal tiga nama, mengingat satu cerita, dan menawarkan satu kesempatan buat pelanggan mendukung Dapur Pojok.”

Kertawasesa mengusap dagu. “Bisnis yang berani mengukur hal yang tak terlihat,” katanya, “sering dianggap naïf. Tapi justru di sana letak masa depan. Aku pernah membaca tulisan: ‘Brand terbaik adalah kebaikan yang tak diiklankan.’”

Renggani tersenyum; kalimat itu seperti keluar dari buku catatannya.

“Masalahmu tinggal satu,” lanjut Kertawasesa. “Ekuitas.”

“Ekuitas?” tanya Jaya.

“Bukan equity saham,” jelas Kertawasesa. “Ekuitas sosial. Siapa yang berani berdiri di belakangmu ketika badai datang.”

Jaya tertawa hambar. “Kalau badai datang, siapa pun basah.”

“Tidak,” potong Kertawasesa lembut. “Ada yang membuka payung untuk orang lain.”

.

Dua minggu kemudian, badai itu datang. Bukan dalam bentuk skandal, melainkan pelan—seperti bocornya keran yang tak terdengar. Kontrak franchise KopiKelana dengan mall di Bintaro dibatalkan sepihak karena tenant mix diubah. Salah satu angel investor—yang dulu bersikap paman dermawan—tiba-tiba menarik komitmen karena “situasi global menuntut konservatisme.” Kas kas perusahaan terkikis untuk menggaji tim; Jaya menghitung ulang: enam minggu hingga nol.

Di malam yang sama, Renggani menerima telepon: proyek butik di Senopati tertunda; klien menukar scope dan menunda pembayaran termin kedua. “Nunggu quarter depan,” kata klien, seolah quarter adalah mantra untuk menunda rasa bersalah.

Di balkon apartemen, angin menyisir pot rosemary. Kota menggemakan tawa pesta dari lantai-lantai lain, juga doa dari musholla kecil di samping gedung. Jaya memetik daun rosemary, meremasnya, menghirup—bau tajam yang mengingatkan pada kebun kecil di rumah masa kecilnya. Renggani mendekat, memeluk dari samping.

“Kalau harus melepas satu gerai, lepaskan yang paling mahal sewanya,” kata Renggani. “Fokus di klinik Ranggalawe dan kios dekat stasiun. Di sana, kopi menjadi fungsi, bukan sekadar citra.”

“Dan investor?”

“Kalau ada yang memaksamu menggeser nilai, tolak. Kita bukan sedang membangun tempat, Jaya. Kita sedang membangun cara baru memandang manusia.”

Jaya mengangguk. Ia kembali pada doa yang sejak kecil diajarkan ibu: Jadikan yang belum tentu menjadi pasti… Malam itu ia menulis surat panjang kepada tim. Ia jujur tentang kas yang menipis, tentang opsi sulit, tentang harapannya agar semua tetap menjadi kawan meski besok bukan lagi rekan. Ia mengakhiri surat dengan satu kalimat: “Jika kalian harus pergi, pergilah dengan nama baik; aku akan menulis surat rekomendasi paling panjang tentang kalian.”

Keesokan paginya, sesuatu yang aneh terjadi: tak ada satu pun yang pamit.

Kami tetap,” kata barista bernama Sasmita, anak perantau yang dulu merangkap satpam di Pasar Rumput. “Kalau nanti benar-benar nol, ya kita bantu di klinik, bikin donation jar, adakan kelas seduh buat anak kampus. Belajar dari Renggani, mungkin kopi bisa mengatur ruang hati.”

Bukan gaji besar yang menahan mereka—melainkan rasa dimiliki. Di papan tulis hitam di kios Stasiun, Sasmita menulis dengan kapur: “Waktu singgah: 10 menit. Sapa satu nama. Doakan satu orang. Sumbang seribu rupiah untuk bubur.”

.

Jatikusuma datang suatu sore dengan kabar yang tak Jaya duga. “Aku baru pulang dari Banyuwangi,” katanya. “Ada kebun kopi rakyat yang keleleran karena buyer besar memotong harga. Aku lihat sistem traceability kalian. Kalau siap, aku ajak bertemu koperasi itu. Bukan skema belas kasihan. Pre-order, profit-sharing, dan kelas singkat tentang quality control. Mau?”

“Mau,” jawab Jaya tanpa kalkulasi. Ada hal-hal yang tak bisa ditunda.

Minggu-minggu berikutnya, hidup mereka menjadi kurikulum padat. Pagi ke stasiun, siang ke klinik, sore rapat koperasi via Zoom, malam ke workshop Renggani—yang sepulang proyek tertunda malah membuka kelas desain gratis setiap Rabu untuk asisten rumah tangga yang ingin menghias kamar anaknya. “Tidak semua orang boleh membeli desainku,” kata Renggani, “tapi semua orang berhak merasakan pantulan kebahagiaan dari ruang yang ia rawat.”

Suatu malam, Jaya menerima undangan berbicara di kampus swasta di BSD: topik “Mewirausahakan Kebaikan.” Mahasiswa datang dengan ransel dan mimpi. Ia bercerita tentang tahapan sederhana: 1) hitung; 2) ucap; 3) peluk; 4) ulang. Hitung untuk tahu batas. Ucap untuk mengikat diri pada etika. Peluk untuk mengubah orang menjadi kawan. Ulang supaya kelak menjadi budaya.

Selesai acara, seorang mahasiswa—Raden Suryang—menyodorkan amplop cokelat. “Ini bukan sumbangan,” katanya gugup. “Ini sebagian tabungan kuliah kerjaku. Aku ingin bergabung, belajar menyeduh, belajar menyapa. Kuliah bisa menyusul.” Jaya menahan amplop itu kembali. “Kau tetap kuliah,” ia berkata. “Kalau mau belajar, datang setiap sabtu. Bayarannya bukan uang: bantu Sasmita mengajar anak-anak di gang dekat stasiun.”

Anak itu mengangguk, matanya berbinar—di kota yang bising, ada cahaya-cahaya kecil yang tidak pamer.

.

Tidak semua kabar manis. Suatu siang, seorang pelanggan menulis ulasan pedas di media sosial: “KopiKelana lambat, baristanya cerewet, tempatnya sempit. Bikin telat kerja!” Thread itu melebar, diseret akun-akun sinis yang menyebut ‘branding kemanusiaan’ sebagai kemewahan orang mapan yang yang ingin merasa baik di atas kemiskinan orang lain.

Jaya menggigit bibir; kali ini tidak ada angka untuk menjawab. Ia menatap Sasmita, yang baru saja mengantar kopi ke seorang ibu hamil.

“Kalau kita cepat, orang puas. Kalau kita lambat, orang marah,” kata Jaya.

“Kalau kita tulus, sebagian orang tetap marah,” balas Sasmita. “Tapi ada bagian kecil di hati mereka yang diam-diam paham.”

Malamnya, Jaya menulis balasan panjang yang tidak defensif. Ia menjelaskan ritme singgah, bagaimana waktu sepuluh menit itu dimaksudkan agar orang sempat menenangkan napas, sempat menulis satu doa untuk orang tidak dikenal. Ia menutup dengan kalimat: “Maaf telah membuat Anda telat kerja. Mudah-mudahan kelak, kota ini bukan hanya menyuruh kita berlari; ia juga mempersilakan kita duduk.” Tak butuh lama, datang pesan pribadi dari pemilik akun itu: “Kak, saya baca ulang. Besok saya datang lagi. Saya mau coba pelan.”

.

Musim hujan tiba, dan bersama deras air, sesuatu yang lebih deras turun: keputusan. Kertawasesa mengundang mereka ke rumahnya lagi. Di meja kayu, ia menaruh map tipis.

“Aku tidak akan menjadi investor,” katanya. Jaya menahan napas. “Aku akan jadi mitra. Aku tidak ambil saham, tapi aku siapkan tiga ruko lama di tiga kota—Semarang, Malang, Makassar. Sewa ditanggung lima tahun. Keuntungan 60% untuk kalian, 30% untuk program ruang sunyi Renggani, 10% untuk beasiswa Sekarputri. Syaratnya satu: jaga ritme, jangan tergoda iklan yang menjerit. Biar kebaikan berjalan pelan, asal pasti.”

Jaya tak bisa menahan air mata. Ia menunduk, merasakan cairan hangat di pipi—bukan karena uang, melainkan karena diperlakukan sebagai manusia: ada yang percaya sebelum angka-angka itu menghirup napas.

“Terima kasih,” suaranya pecah. “Kami tidak pantas—”

“Justru karena kalian merasa tidak pantas,” potong Kertawasesa, “kalian pantas.”

Renggani menggenggam tangan Jaya; di situ ada getaran yang ia kenal betul—percampuran gentar dan syukur. Dalam hati, ia mengulang doa dari foto yang pernah ia simpan di ponsel: Jadikan yang tidak mungkin menjadi kenyataan.

.

Pembukaan ruko pertama di Semarang seperti pesta kecil: spanduk kain tenun menggantung, kursi-kursi bekas diperbarui Renggani, dinding ditempeli kolase wajah pelanggan yang tersenyum—semua diizinkan muncul dengan catatan mereka sendiri: “Nama saya Dinda. Saya baru berhenti dari pekerjaanku. Di sini saya mengingat kembali namaku.” “Saya Iksan. Saya pelari maraton. Di sini saya belajar berhenti.”

Di tengah musik akustik, Sekarputri membacakan satu per satu nama penerima beasiswa. Ranggalawe memeriksa tensi para lansia yang ikut datang. Jaya berdiri di pojok, memandangi jam dinding yang pelan—tak lagi menahan napas.

Siang bergerak ke sore. Hujan rintik. Seorang lelaki berjas—rambutnya klimis, jam tangannya lebih mahal dari mesin seduh—mendekat. “Saya Menakjingga,” katanya memperkenalkan diri, pengusaha quick service restaurant. “Aku melihat konsep kalian. Lambat itu tidak efisien. Tapi anehnya… aku ingin mencoba. Bisakah satu gerai kalian—yang di Makassar—menjadi pilot untuk program perusahaan kami: karyawan wajib meluangkan sepuluh menit harian untuk menyapa satu pelanggan dengan nama?”

Jaya menahan senyum. “Bisa. Tapi ada syarat: bos juga melakukannya.”

Menakjingga tertawa. “Berat, tapi menarik.”

“Kebaikan itu tidak menarik—kebaikan itu menarikkan,” timpal Renggani.

Percakapan itu seperti jembatan yang baru dihamparkan. Pada akhirnya, kota bergerak bukan oleh iklan bersuara tinggi, tapi oleh orang-orang yang mengecilkan suaranya agar orang lain terdengar.

.

Di malam penutup, Jaya pulang ke apartemen. Lampu-lampu lalu lintas berkedip seperti doa yang tidak pernah lelah. Ia berdiri di depan jendela tinggi, menatap kota yang kini tidak lagi hanya angka. Renggani menata rak buku—menyisihkannya agar nanti ada ruang untuk buku-buku anak dari perpustakaan kecil. Musik gamelan modern mengalun dari speaker kecil; Jayengresmi, kawan mereka yang musisi, menitipkan komposisi karya terbaru tentang kaki yang bersedia berjalan di tanah sendiri.

Jaya meraih ponsel. Ia menulis status pendek untuk tim, pelanggan, kawan-kawan yang percaya:

“Kota ini mengajar kita: uang itu penting, tapi memanggil nama seseorang lebih penting. Jika singgah cuma lima menit, sampaikan terima kasih. Jika punya sepuluh menit, doakan orang asing. Jika punya satu jam, susunlah rencana agar kebaikan bisa menyeberang jalan tanpa diseruduk ambisi.”

Ia mengakhiri dengan quote yang sudah menjadi nadi harinya:

“Yang sulit menjadi mudah, yang belum tentu menjadi pasti, yang tidak mungkin menjadi kenyataan—asal kita mengizinkan hati ikut rapat.”

Renggani mematikan lampu ruang tamu. Keduanya berbaring, mendengar kota berdesah seperti bayi yang baru lelap. Di sela-sela bunyi AC, Jaya merasa ada yang menepuk pundaknya dari arah yang tak ia lihat. Mungkin itu ayahnya. Mungkin itu kota. Mungkin itu waktu singgah yang akhirnya memeluknya kembali.

.

Di kios kecil dekat stasiun, pagi menyambut dengan aroma kopi dan suara azan yang bersahutan dengan deru kereta. Sasmita menulis di papan kapur:

“Kebaikan tidak terburu-buru. Ia berjalan pelan, menyapa, dan menyembuhkan.”

Jayangrana menatap tulisan itu lama sekali. Ia teringat semua yang telah terjadi—keruntuhan yang menjelma kekuatan, kehilangan yang berubah menjadi kehadiran, dan doa-doa yang akhirnya berwujud nyata dalam bentuk paling sederhana: ketulusan yang menenangkan.

Renggani datang membawa dua gelas kopi, senyumnya teduh.
“Kota ini tidak pernah benar-benar tenang,” katanya pelan, “tapi mungkin… kita bisa belajar menjadi tenangnya kota.”

Jayangrana tersenyum. Ia menatap langit yang perlahan membuka tirainya.
Pelan, tapi pasti—hidup pun mulai menyembuhkan dirinya sendiri.

.

.

.

Malang, 15 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KopiKelana #WirausahaSosial #RuangSunyi #DoaDanUsaha #KelasMenengahKeAtas #Empati #BrandingKebaikan

.

Kutipan untuk pembaca

  1. “Yang cepat belum tentu sampai, yang pelan belum tentu tertinggal. Yang paling sampai adalah yang tak meninggalkan siapa pun.”

  2. “Di kota yang sibuk mengejar, izinkan dirimu menjemput: nama, napas, dan tetangga.”

  3. “Brand terbaik adalah kebaikan yang tak diiklankan; namun dikenang oleh orang yang tak sempat mengucapkan terima kasih.”

 

Leave a Reply