Pelan Juga Sampai
“Hidup yang tidak bergerak akan menumbuhkan jamur di hati. Meski pelan, selangkah tetaplah selangkah.”
— catatan di balik tiket parkir yang tak sengaja ditemukan Sekar Kirana
.
Malam menetes dari langit Surabaya seperti kopi hitam yang terlalu pekat. Di balkon apartemen lantai dua belas, Sekar Kirana menatap lampu-lampu kota yang berkejap bagai bintang yang dipaksa menetap di bumi. Angin kering membawa sisa-sisa debu proyek dari gedung di seberang; di bawahnya, jalanan tak pernah benar-benar sepi: ojek yang menghela nafas mesin, mobil listrik yang nyaris tanpa suara, pedagang ronde yang loncengnya jadi penanda jam biologis perut-perut orang kantoran.
Teleponnya bergetar. Nama yang muncul: Panji Wirasaba.
“Aku di bawah,” tulis Panji singkat. “Bawa helm. Kita muter kota.”
Sekar melirik jam dinding—21.31. Di ujung ruang tamu, sepeda lipat warna tembaga bersandar, hadiah dari dirinya untuk dirinya sendiri saat ia berulang tahun ke-35 dan baru saja menutup satu bab: pernikahan yang diselesaikan rapi, cepat, tanpa drama, tapi tetap saja menyisakan ruang kosong yang berbunyi. Ia meraih jaket, menyambar helm. “Naik sepeda di malam seperti ini?” gumamnya, setengah protes pada diri sendiri, setengah tawa kecil yang menahan gugup.
Di parkiran, Panji berdiri dengan hoodie hitam dan sepeda road bike yang garisnya ramping. “Di mana-mana bilang,” kata Panji, memasang helmnya, “hidup seperti naik sepeda. Untuk seimbang, kamu harus bergerak. Malam ini, kita buktikan.”
Mereka menyeberang lampu merah, menyusuri Jalan Tunjungan yang sedang dibersihkan hujan sore tadi. Gedung-gedung tua berdiri bagai memori yang belum selesai, toko roti yang meracik jam keluatan, aroma mentega yang masih mengambang di udara. Sekar mengayuh pelan, nafasnya diatur seperti mantera. Satu-dua, satu-dua. Di kanan, bayangan Panji memanjang, tangguh, tapi ada sesuatu yang rapuh di bahunya malam ini—seperti seseorang yang telah memutuskan sesuatu dan sedang mencari kata-kata paling manusiawi untuk mengatakannya.
“Aku akan pindah,” ujar Panji saat mereka berhenti di jembatan Kalimas. Air di bawah mereka membawa cahaya lampu menjadi serpih-serpih emas yang tak bisa dipegang. “Kantor pusat memintaku ke Jakarta, pegang divisi produk untuk pasar Asia Tenggara.”
Sekar mengangguk. “Selamat.”
“Selamat ya,” ia mengulang, bukan sekadar sopan santun. Ia memahami karier seperti memahami rute sepeda: ada tanjakan yang menantang, ada turunan yang membuatmu ingin melepas tangan sebentar untuk merasa bebas, ada lubang-lubang jalan yang harus ditaksir cepat.
“Aku takut,” kata Panji akhirnya.
“Tentu,” jawab Sekar. “Ketakutan artinya kamu masih peduli.”
Mereka kayuh lagi, melintasi patung Joko Dolog, lurus ke arah Darmo, di mana pepohonan beringin mengayun seperti penonton tua yang setia. Panji menceritakan rencananya—kontrak tiga tahun, apartemen kecil dekat kantor, kemungkinan rotasi ke Bangkok. Di sela-sela, Sekar bercerita tentang resto yang baru dibukanya—“Rumah Ronda”—tempat makan yang menyatukan resep ibunya dari Malang dan teknik plating yang ia pelajari dari chef tamu di Singapura. Ia menanam modal yang disusun teliti hasil dari bertahun-tahun jadi konsultan brand untuk perusahaan FMCG. Di “Rumah Ronda,” meja-meja kayu bekas pos ronda itu disulap jadi permukaan hangat; lampu-lampu neon kecil membentuk kata-kata: pelan juga sampai. Mereka menertawakan frasa itu; ia jadi slogan tak resmi di setiap piring yang keluar dari dapur—entah sate jamur truffle atau rawon iga dengan sambal kecombrang.
Di lingkar luar kota, angin lebih kencang. Sekar seperti mendengar sesuatu di dalam dadanya bergerak juga, semacam roda gigi yang kembali mendapat minyak. Sudah lama ia tumbuh dengan imu-imu tangguh: merancang kampanye, menyusun KPI, menandatangani kerja sama. Tapi hidup pribadi adalah proyek yang tak pernah sepenuhnya selesai. Ia ingat kalimat di kulkasnya: “Jalan pelan, asal tidak berhenti.” Kata-kata itu dulu cuma magnet lucu; kini terasa seperti pagar pembatas agar ia tidak menyerah.
.
Pagi berikutnya, di “Rumah Ronda,” Sekar menatap daftar belanja. Supplier daging menaikkan harga sepuluh persen. Chef muda yang ia rekrut seminggu lalu mengabarkan ibunya sakit, minta izin pulang kampung. Dan seorang food blogger menulis review tajam—memuji ambience, mengkritik porsi dessert yang dinilai “terlalu cantik untuk kenyang.” Sekar tersenyum tipis. Dunia digital adalah pengadilan yang tak kenal jam kerja.
Ia mengumpulkan tim. “Kita tidak jual kenyang,” katanya, “kita jual pengalaman yang mengenyangkan harapan.” Ia meminta porsi dessert ditambah satu elemen tekstur; memanggil supplier alternatif; menukar shift dua pegawai agar dapur tetap hidup. Di ruang rapat kecil, ia memegang pena seperti konduktor, sementara di kepalanya melintas nama-nama yang lebih tua dari kota ini: Jayeng Raga—kawan lama yang kini jadi arsitek butik hotel—sering bilang “ruang yang pas membuat orang ingin tinggal lebih lama.” Ada juga Setyo Kertapati—teman kuliah yang beralih menjadi dosen ekonomi kreatif—yang selalu mengingatkan, “bisnis tanpa edukasi adalah kompas tanpa utara.”
Sore, Panji datang membawa boks kardus. “Ini koleksi kaset,” katanya, canggung. “Aku titip di sini dulu. Apartemenku di Jakarta kecil.” Sekar tertawa. “Kamu anak 90-an teladan.” Mereka membongkar satu-satu: Slank, Kahitna, KLa Project. Panji memutar sebuah lagu dari Sore. Musik menjahit jeda di antara kata-kata yang tak diucapkan.
“Sekar,” kata Panji. “Kamu pernah ingin berhenti?”
Sekar menatap jendela. Di luar, seorang perempuan memotret makanan di meja, barangkali untuk diunggah ke story, sebuah usaha kecil agar waktu memperhatikan keberadaannya. “Pernah,” jawab Sekar. “Saat ibuku meninggal. Seluruh rumah rasanya bergeser; kursi kosong di ruang tamu terasa lebih berisik daripada rapat tahunan. Lalu aku ingat dia selalu mengajariku memasak sambil bernyanyi. Itulah cara dia berjalan saat tubuhnya mulai berat. Aku tidak menyebutnya bertahan; aku menyebutnya menari pelan.”
“Menari pelan,” Panji mengulang, seperti mengecap frasa baru yang terasa pas di lidah.
.
Dua minggu kemudian, Panji di Jakarta. Kotak-kotak di apartemennya jadi perabot sementara. Jam 02.14, notifikasi Slack berbunyi; tim regional di Singapura minta data A/B testing yang berbeda. Ia membawa laptop ke meja bar kecil, memesan kopi via aplikasi, dan membuka dashboard. Di jendela, Jakarta berkilau seperti spreadsheet dengan formula yang rumit: gedung-gedung tinggi sebagai kolom-kolom tak bernyawa, jalan layang sebagai baris-baris yang saling menumpuk, dan lampu kendaraan bagai sel yang menerangi hasil. Ada rasa pusing yang akrab, tetapi juga semacam ekstase produktif: rasa bahwa sesuatu bisa diperbaiki jika ia menatapnya cukup lama.
Usai rapat pagi, ia mengayuh sepeda lipat ke taman kota. Ia ingin merasakan kota dari garis tanah, bukan dari belakang kaca dan pendingin udara. Di jalan, ia bertemu Jayeng Raga yang kebetulan memeriksa proyek renovasi ruang publik. “Kota ini harus belajar berjalan kaki,” kata Jayeng. “Kalau semua dipaksa berlari, yang terjadi cuma sesak.”
Panji menanyakan tips bertahan. Jayeng menunjuk bangku panjang yang catnya mengelupas. “Duduki bangku tua. Dengarkan. Kadang solusi soal kota lahir dari obrolan pedagang es yang menunggu pembeli.”
Malamnya Panji menulis pesan suara untuk Sekar. “Aku membuat kebijakan baru untuk fitur onboarding. Rasanya seperti memindahkan kursi di kapal. Semua orang merasa kursi lamanya paling benar, padahal badai sudah beda arah.” Ia berhenti sejenak. “Kamu bagaimana?”
Sekar membalas dengan video singkat: pegawai dapur tertawa di balik masker, set piring rawon yang lebih berani, satu meja pasangan lansia menepuk-nepuk punggung satu sama lain. “Aku belajar mematangkan rasa tanpa membakar pengharapan,” tulisnya.
.
Di sebuah akhir pekan panjang, Sekar mengajak timnya retret singkat ke Malang. Mereka menyewa villa kecil di perbukitan, udara lebih ramah. Di sana, Setyo Kertapati datang membawa proyektor. “Aku mau berbagi saja,” katanya. “Tentang keseimbangan.” Ia menayangkan slide: gambar sepeda dengan garis-garis yang menunjukkan pusat gravitasi. “Jika sepeda berhenti, ia jatuh bukan karena lemah, tetapi karena hukum alam. Kalau hidupmu berhenti, jangan merasa kalah—kamu hanya perlu dorongan.”
Diskusi berlangsung, tak sekadar motivasi. Bola-bola konkret digelindingkan: bagaimana mengatur shift adil, bagaimana melayani komplain tanpa memindahkan rasa bersalah kepada pegawai paling muda, bagaimana menurunkan food cost tanpa menodai kualitas. Sekar mencatat, memberi contoh, membuka ruang tanya. Ia tahu: banyak bisnis mati bukan karena tak ada ide, melainkan karena pemiliknya lelah untuk terus mengetuk pintu perubahan.
Malamnya, di halaman villa, Panji menyusul—naik kereta sore, membawa tubuh lelah yang berusaha sopan. “Aku kangen rawonmu,” katanya. Sekar menghidangkan semangkuk. Mereka duduk dengan kaki telanjang menyentuh rumput.
“Aku hampir berhenti,” akui Panji tiba-tiba. “Di kantor, kami gagal meluncurkan fitur. Komite menunda, budget dialihkan. Aku merasa semua jam yang kutumpuk dua bulan sia-sia.” Ia menghela nafas. “Lalu aku sadar, yang kuperjuangkan bukan hanya fitur. Tapi kesempatan orang yang baru masuk aplikasi untuk merasa ‘ah, ternyata ini berguna.’ Kita menolong orang berjalan di kota digital.”
Sekar menatapnya. “Sama seperti kamu bilang dulu. Seimbang karena terus bergerak.”
“Aku ingin tetap bergerak denganmu,” ucap Panji, pelan, tapi jelas. Tidak ada drama. Tidak ada janji berlebihan. Hanya kesediaan untuk mengayuh bersama, walau jalurnya kadang berbeda.
.
Di tahun yang melipat banyak perubahan, “Rumah Ronda” meluaskan jam operasi. Mereka membuka kelas memasak untuk pekerja kantoran yang perlu pulang dengan keterampilan tambahan—Setyo mengajar konsep ekonomi dapur rumahan, Jayeng memberi materi tentang menata ruang makan kecil agar keluarga betah duduk tanpa memelototi gawai. Sekar memimpin sesi “Plating for Life”: cara menata piring sederhana agar tampak istimewa, metafora tentang menata hari-hari biasa agar tak terasa berlalu sia-sia.
Pada sebuah kelas, seorang peserta—perempuan muda dari keluarga mapan, bekerja di firma hukum ternama—mengangkat tangan. Matanya memerah, suara bergetar. “Bagaimana kalau semua orang terlihat bergerak, tapi saya merasa tetap di tempat?”
Sekar mendekat. Ia ingat dirinya dua tahun lalu. “Coba bedakan antara pindah dan maju,” katanya. “Pindah itu memindahkan badan; maju itu memindahkan makna. Kadang kamu sudah maju, hanya belum sempat merayakan kemajuanmu.”
Ia mengangkat spatula, mengetuknya pelan ke panci, memanggil perhatian kelas. “Mari kita praktekkan hal yang konkret.” Ia berbagi trik: menulis “tiga pergerakan kecil” setiap malam—membalas pesan yang ditunda, membersihkan satu sudut rumah, mengatur ulang susunan buku. “Kita tidak meremehkan hal kecil; kita menggunakannya sebagai pedal.”
Kelas bertepuk tangan. Perempuan itu tersenyum tipis, lalu lebih lebar. Malam itu, Sekar menerima pesan: foto meja kerja yang lebih rapi, tulisan “terima kasih” yang sederhana tapi hangat.
.
Suatu siang, hujan besar melanda. Kota seperti dipaksa mandi dengan cara yang kasar. Saluran di depan “Rumah Ronda” meluap. Air merayapi kaki-kaki kursi. Sekar melihat pegawainya panik. Ia mengangkat ujung celana, menyingsingkan lengan baju. “Kita main kano,” katanya. Mereka memindahkan peralatan, menumpuk karung pasir, memindah stok bahan ke lantai dua. Ia menelepon UMKM tetangga: tukang jahit, hair stylist, warung kecil—mengajak menaruh barang-barang di ruang stoknya. “Rumah ronda, kan, mesti jadi rumah betulan saat perlu,” ucapnya sambil tertawa pendek.
Sore, hujan surut. Lantai basah, tapi semangat menghangat: tetangga membantu mengepel; pelanggan menunda pesanan tanpa marah; kurir logistik menawarkan jasa gratis sekali jalan. Sekar berdiri di tengah, lelah seperti selesai menari marathon. Panji datang dengan sepatu masih basah, membawa kopi panas. “Kota juga seperti manusia,” katanya. “Kadang bengkak, tapi selalu ada aliran kecil yang mencari jalan pulang.”
Malam itu, Sekar menulis di buku kas: minus. Tapi di halaman berikutnya ia mencatat plus: bantuan tetangga, semangat tim, pelanggan yang kembali besok. Di bawahnya ia menulis kalimat yang ia kutip dari catatan di balik tiket parkir: “Meski pelan, selangkah tetaplah selangkah.”
.
Setahun berlalu. Di Jakarta, Panji memimpin peluncuran produk lintas negara yang memudahkan UMKM mengatur inventori. Ia sengaja memilih nama fitur: Pijakan. “Karena kita tidak selalu butuh loncatan,” jelasnya di panggung kecil sebuah konferensi, “kadang kita hanya butuh pijakan yang tak licin.” Di akhir presentasi, ia menayangkan foto-foto: bangku taman yang dicat ulang, warung kecil yang menata ulang rak, kelas memasak di “Rumah Ronda” yang kini buka cabang di Malang. Tepuk tangan mengisi ruangan. Panji memalingkan wajah ke layar untuk menyembunyikan haru.
Sekar duduk di bangku belakang, datang diam-diam. Ia melihat Panji turun panggung, dikepung rekan media. Di saku, teleponnya bergetar—pesan dari Setyo: “Besok kelas jam 10. Tema: mengelola kecewa.” Ia membalas: “Siap. Bahan: harapan yang riil.” Ia juga menerima foto dari Jayeng: taman kecil di Surabaya yang akhirnya punya jalur sepeda aman. “Tahun depan lebih panjang,” tulis arsitek itu. Sekar tersenyum.
Usai acara, mereka bertemu di luar hall. Jakarta menurunkan gerimis yang manis. “Kamu bagus sekali,” kata Sekar.
“Kamu juga,” jawab Panji. “Aku lihat rombong bakso di depan ‘Rumah Ronda’ sekarang punya papan menu yang rapi. Kamu menyentuh banyak yang tak sempat dilihat kamera.”
Mereka berjalan pelan di trotoar yang baru diperlebar. Lampu-lampu toko memantul di aspal. Ada rasa hangat yang sederhana, bukan euforia, bukan pula kebahagiaan yang meletup-letup. Ini kebahagiaan yang bisa dikelola, seperti arus kas yang sehat—cukup untuk bergerak, cukup untuk berlaku baik.
“Sekar,” kata Panji, “kalau suatu hari kita berhenti….”
“Kita istirahat,” sela Sekar. “Bukan menyerah.”
Panji mengangguk. “Istirahat itu parkir, bukan pulang.” Mereka tertawa.
Di perempatan, lampu hijau menyala. Mereka menyeberang bersama, gerimis memercik seperti konfeti halus. Di kepala Sekar, ibunya bersenandung. Di hati Panji, jalan-jalan kota menjadi peta lembut yang tak lagi mengintimidasi. Mereka tahu, besok mungkin ada yang salah: supplier terlambat, algoritma berubah, pelanggan komplain. Tapi mereka juga tahu alamat untuk pulang: ke dapur, ke meja rapat kecil, ke jalan-jalan yang mengajari manusia menyeimbangkan rindu dan rencana.
Di ujung blok, poster kecil menempel di dinding: gambar sepeda dan tulisan tangan miring.
“Hidup itu seperti naik sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kamu harus terus bergerak.”
— A. Einstein
Sekar menambahkan dalam hati: bergerak bukan berarti berlari. Kadang, menuntun pun tetap maju.
Ia menggenggam tangan Panji singkat—tak janji, tak sumpah, hanya salam yang memanjang. Di atas mereka, awan bergerak. Di bawah mereka, kota bergerak. Di dalam mereka, sesuatu yang dulu beku mencair dan mengalir lagi—pelan, tapi pasti.
.
Pagi minggu, “Rumah Ronda” cabang Malang mengadakan kelas perdana. Kursi-kursi penuh oleh wajah-wajah dengan profesi beragam: pengacara, desainer UI/UX, dokter gigi, guru TK, investor ritel, mahasiswa semester akhir. Setyo membuka sesi dengan humor. Jayeng memaparkan sketsa. Sekar berdiri di depan, meletakkan penggorengan sebagai mikrofon.
“Selamat datang,” katanya. “Di kelas ini, kita tidak belajar menjadi sempurna. Kita belajar supaya besok tidak sama buruknya dengan hari terburuk kita.” Ia menatap satu per satu peserta, lalu membacakan empat kalimat singkat yang ia tulis semalam:
-
“Jika gagal, kecilkan panggung, besarkan latihan.”
-
“Jika kecewa, kecilkan ekspektasi, besarkan rasa syukur yang realistis.”
-
“Jika kehilangan, beri nama pada ruang kosong itu, lalu ajak ia duduk.”
-
“Jika takut, jalanlah bersama.”
“Sekarang,” lanjutnya, “mari memasak nasi jagung dengan tumis daun kelor, telur pindang, dan sambal terasi yang santun.” Kelas tertawa. Musik pelan diputar. Di luar jendela, langit Malang menata awan seperti piring-piring porselen. Di sebuah sudut, poster bertuliskan: Pelan juga sampai.
Di akhir kelas, seorang peserta muda mendekat. “Mbak Sekar, bisa foto?” Setelah berfoto, ia berbisik, “Bulan lalu saya ingin berhenti. Hari ini saya pulang bawa resep, dan… alasan.”
Sekar menepuk bahunya. “Bawa juga pelan-pelanmu.”
.
Malamnya, di balkon kecil penginapan, Sekar menulis catatan untuk dirinya sendiri:
“Hidup yang terus bergerak bukan berarti tanpa jeda. Justru gerak butuh jeda untuk mengerti arah. Kita bukan skuter listrik yang mengejar outlet; kita manusia yang mencolokkan diri pada makna yang lebih besar.”
Ia menutup buku. Telepon berdering—Panji. “Besok aku ke Malang,” suaranya menenun senyum dari seberang. “Mari sarapan bubur di alun-alun.”
“Bubur diaduk atau tidak?” goda Sekar.
“Diaduk,” jawab Panji mantap. “Seperti hidup. Biar semua rasa bertemu.”
Sekar tertawa. Di langit, bintang-bintang yang malu menampakkan diri mengintip di sela awan. Ia merasa lengkap dengan ketidaklengkapannya, merasa berani dengan ketakutannya. Ia mengingat sebuah pepatah kuno yang pernah ia baca di dinding masjid kampung: mujizat itu berjalan di bumi. Malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: esok akan ia jalani bukan sebagai bab yang harus sempurna, melainkan sebagai halaman yang tidak dibiarkan kosong.
Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan bukan lari cepat atau terbang tinggi. Yang menyelamatkan adalah mengangkat kaki, meletakkannya sedikit di depan yang tadi, mengulangi, menghirup, menghela, mengucap terima kasih pada lutut, pada aspal, pada angin. Lalu mengayuh lagi—pelan juga sampai.
.
“Jangan ukur kemajuanmu dengan langkah orang lain. Ukurlah dengan jarak antara dirimu hari ini dan dirimu kemarin.”
“Mujizat itu bukan terbang di udara, atau berjalan di atas air — melainkan berjalan terus di bumi.”
.
.
.
Malang, 5 November 2025
.
.
#CerpenMinggu #PelanJugaSampai #HidupYangTerusBergerak #Resiliensi #KotaDanKenangan #BisnisKuliner #KarierStartup #EdukasiKreatif #MenakMalangan #MenakJawa