Pecah Kongsi, Lurus Hati

“Kejujuran itu bukan kelemahan. Justru karena langka, ia menjadi kekuatan.”

.

Senja merunduk perlahan di atas Denpasar, mengusap punggung gedung-gedung hotel yang mengilat seperti kulit jeruk di bawah lampu kota. Di lorong sempit antara lobi dan parkir basement Hotel Angkasa Pagi, angin membawa suara pelan: roda koper, langkah tumit yang ragu, tawa yang menipis jadi bisik. Nyai Lila berdiri di balik kaca, menatap satu sosok yang ia hapal hanya dari ritme: langkah cepat yang sebenarnya ingin berjalan lambat. Saka—dalam kartu namanya tertulis Saka Jayengrana—melewati sensor pintu, menunduk, memegang map cokelat yang dikepit terlalu erat, dan menghilang menuruni ramp ke basement.

“Aku hafal langkah orang yang membawa beban,” gumam Lila, separuh doa, separuh peringatan.

Lila—tanpa gelar, tanpa topeng—pernah menjadi kepala akuntansi di hotel itu ketika masih dikelola keluarga Bali yang sederhana namun teguh pada tata krama. Ia mundur ketika pemilik lama “pecah kongsi” dengan diri sendiri: menyerah pada tawaran akuisisi yang menukar kebijaksanaan warisan dengan KPI dan terminologi korporat. Lila kini hanya datang sepekan sekali sebagai konsultan audit. Usianya menua dengan anggun, uban merayap seperti benang perak di pelipis, tatapnya bening setenang angka yang selesai ditimbang.

Dua bulan terakhir, angka-angka tidak lagi bening.

Lila menemukan pola: petty cash yang memerangkap diri sendiri. Nominal kecil—seratus, dua ratus, lima ratus ribu—tapi rapi, terlalu rapi, seperti susunan batu bata yang hendak menutup sebuah pintu. Frekuensi pengambilan, duplikasi kwitansi, slip setoran yang seharusnya basah tinta tapi terasa kering nurani.

Saka bagian dari pola itu. Tapi di dalam pola, Lila juga melihat lubang lain: Arya—chief accountant baru yang hadir bersama manajemen pusat—mendudukkan kursi kehormatan di sebuah meja yang ternyata berkaki rapuh. Lila tak lekas menjadi algojo. Pengalamannya mengajarinya satu hal sederhana: angka adalah sidik jari, tetapi manusia adalah napas yang naik turun. Ia menulis surat tanpa nama, menyelipkan pitutur yang ia pegang sejak kecil:

Wong jujur uripe nduwur. Wong cidra uripe cidro.

Surat itu ia letakkan di meja general manager, lalu pulang dengan langkah yang sama tenangnya sejak hari pertama bekerja, bertahun-tahun yang lalu ketika Denpasar belum sesumpek sekarang dan para tamu memakai sandal jepit ke restoran tanpa ada yang berkata “dress code”.

.

Di kontrakan dua lantai di sisi barat kota—sebuah rumah bergaya minimalis dengan cat putih yang mulai mengelupas di pojok jendela—Saka duduk memeluk lutut. Ruang tamu berbau kopi sachet yang baru diseduh. Di lantai, amplop-amplop krem, kwitansi, cetakan PDF, dan slip fiktif berhamburan, seperti kapal-kapal kertas yang sengaja ditenggelamkan pemiliknya.

Ratri duduk bersandar ke dinding. Rautnya lembut, kerudung pastel menenangkan, namun mata itu—mata Ragil Kuning dalam wayang topeng yang pernah Saka lihat di festival—tengah memantulkan kilat yang tak ia kenal.

“Kenapa kamu tak cerita dari awal?” tanya Ratri. Suaranya tidak meninggi, justru turun—dan kerap, suara yang turun membuat jantung lebih gelisah daripada bentakan.

“Aku takut,” kata Saka, pelan. “Aku pinjam… sementara, Rat. Ibu butuh cuci darah dua kali seminggu. Aku sudah jual motor, ambil dana koperasi. Ini… hanya sementara. Gajiku tiga bulan ke depan bisa menutup.”

“Pinjam pada siapa pun, tapi jangan pada nuranimu sendiri,” kata Ratri. “Karena kalau nurani yang kau tipu, kau kehilangan rumah paling terakhir.”

Saka menunduk. Ia masih melihat laut ketika menutup mata: perahu kecil ayahnya yang retak, gelombang yang menelan lamaran rezeki, kabar kematian yang datang dalam bentuk sandal putus dan jaring kosong. Ia mengingat Madura; pasar ikan yang bau amisnya melekat di kulit sampai hari kedua, sorot mata ibu yang menyimpan matahari dan hujan sekaligus. Sejak meninggalkan pulau itu, ia berjanji: tak akan membuat ibunya menangis lagi. Janji adalah jangkar; ia tak menyangka jangkar bisa membuat kapal karam, jika diikatkan pada batu yang salah.

“Kalau besok dipanggil, katakan apa adanya,” kata Ratri, akhirnya. “Apa adanya, Sak. Karena kebohongan tak pernah berhenti pada satu kalimat.”

Saka ingin berjanji. Tapi malam menelan suaranya.

.

Rapat di ruang GM berlangsung tanpa suara. Layar proyektor menampilkan data—bar grafik, tabel, jejak digital di software akuntansi—yang tak berkutik. GM duduk tegap. HR duduk mencondong, memperhatikan wajah Saka yang pucat seperti kertas.

“Kami punya indikasi kamu tidak sendirian,” kata GM, mata tetap pada berkas. “Kamu punya hak untuk menjelaskan.”

Saka menarik napas. “Saya salah,” katanya. “Saya… tergelincir, Pak.”

“Kenapa?” tanya HR.

“Karena takut,” jawab Saka. “Takut kehilangan Ibu.”

“Kehilangan yang mana yang ingin kamu pilih?” sela GM, kali ini menatap. “Reputasi? Pekerjaan? Diri sendiri?”

Sejenak, Saka menatap layar. Di sana ada angka yang ia catat sendiri, kesalahan yang ia tulis rapi. Ia tak menyebut nama Arya. Ada cinta yang kikuk kepada keadilan yang ia pahami dengan cara sempit: jangan menyeret orang lain. Tapi keadilan bukan topeng, ia wajah yang harus dihadapi.

“Saya tidak sendirian,” ucap Saka akhirnya. “Ada dorongan. Ada perintah yang bersayap. Tapi tetap tangan ini yang menuliskannya.”

GM tidak tersenyum. HR mengangguk pendek. Prosedur berjalan: surat penonaktifan, tanda tangan, pelaporan. Arya—yang kakinya ternyata berdiri di atas banyak kursi—jatuh lebih keras. Saka menyerahkan pengunduran diri dengan tangan yang gemetar, bukan karena marah pada siapa pun, tapi karena ia baru menyadari: orang bisa mencintai alasan yang salah untuk waktu yang lama.

Ketika Saka keluar dari ruang rapat, Lila sudah menunggunya di koridor. Ia tidak memeluk, tidak menepuk. Hanya menyodorkan bungkusan tipis: sebuah buku doa lusuh, selembar kertas berisi tulisan tangan yang rapi.

Wong jujur memang bisa jatuh. Tapi saat bangkit, mereka tidak bangkit sendirian.

Saka menatap lama-lama kalimat itu seakan di dalamnya ada ambulan kecil yang mau mengangkut rasa bersalahnya ke UGD terdekat. Ia mengangguk, menahan air mata yang justru jatuh juga.

.

Pecah kongsi itu selalu memerlukan dua pihak: yang ingin terus, dan yang ingin berhenti. Di Hotel Angkasa Pagi, pecah kongsi datang dalam bermacam wajah. Pemilik lama dengan manajemen baru. Angka dengan hati. Rencana jangka pendek dengan napas panjang. Lila pernah mengalami pecah kongsi dengan sahabatnya sendiri bertahun-tahun lalu—mereka memulai jasa pembukuan rumahan, lalu berselisih ketika klien besar datang dan mengubah rasa pertemanan menjadi rasa lapar. Lila memilih berhenti saat itu dan membiarkan uang yang sudah mereka kumpulkan tinggal menempel sebagai angka di rekening. Ia memilih berjalan pulang, menggendong anaknya, dan memulai lagi dari nol. Mengapa ia bercerita pada Saka? Karena jalan pulang, kalau tidak ditunjuk, kadang tak terlihat.

“Jangan buru-buru memaafkan dirimu,” kata Lila di sebuah sore yang ranum. “Tapi jangan pelit untuk memberi dirimu kesempatan.”

“Kapan saya tahu saya pantas?” tanya Saka.

“Ketika kamu berhenti berargumen dengan fakta,” jawab Lila. “Dan mulai berdialog dengan nilai.”

Di luar, lalu lintas Denpasar seperti orkestra yang tak pernah selesai pemanasan: motor-motor menyusup, sorot lampu memantul di helm dan kaca. Di dalam kafe kecil itu—tempat Lila sering menutup hari dengan es kopi susu—Saka membuat keputusan paling sederhana yang paling sulit: mengakui semua pada ibunya.

Malam itu, di kamar sewa yang sempit, Saka menatap wajah ibunya yang surut. Kulitnya tipis, pembuluhnya muncul biru seperti peta kecil. Saka bercerita tanpa jeda. Tentang ketakutan. Tentang angka. Tentang niat baik yang salah jalan.

Ibu tidak marah. Ia hanya menarik napas yang dangkal.

“Anakku,” katanya, “aku tidak minta kau menyelamatkanku. Aku hanya ingin bisa menatapmu tanpa menahan napas.”

Saka menangis seperti anak kecil. Ratri memegang cangkir, tak jadi menyeruput.

“Mulai besok, aku cari kerja di tempat lain,” kata Saka. “Aku akan menulis pernyataan. Aku akan mengembalikan semuanya, meski mencicil seumur hidup.”

“Seumur hidup tidak selama yang kau kira,” kata ibu. “Tetapi menyeberanglah dengan jembatan yang betul.”

.

Di Malang, beberapa bulan kemudian, pintu kayu panti sosial Bina Sadar membuka diri pada langkah Saka. Lantai plester abu-abu, kipas angin tua yang mengayun lambat, tawa anak-anak yang kerap kedengaran dari halaman. Gajinya kecil, tetapi rasa lapang di dadanya berlimpah. Ia menjaga kas kecil yang riil; membeli beras, mengganti genting bocor, menalangi biaya obat panti ketika donatur terlambat. Kas kecil yang suatu masa ia nodai kini menjadi terapi: setoran yang ditulis pada kwitansi yang ada namanya, tinta yang tak takut cahaya.

Surat datang ke Ratri, menyusul. Tanpa pengirim di sampul, tapi Ratri tahu itu tulisan tangan Saka. Di dalamnya ada sebaris puisi:

Aku belajar bahwa
hidup bukan tentang tak pernah jatuh,
tetapi tentang berani mengaku salah
dan kembali pulang.

Ratri membacanya sambil berdiri di tepi kolam renang hotel—suara air menggenang seperti waktu yang menunggu. Ia mengusap ujung matanya, mengembuskan napas panjang, lalu menatap langit yang sore itu berawan, tapi tidak muram.

.

Arya menghilang dari percakapan kantor. Orang-orang menyisakan jejaknya pada kalimat-kalimat pendek di pantry: “Sayang, padahal pintar,” “Keblinger target,” “Tekanan pusat.” GM yang tadinya tegas kini lebih pelan saat menutup rapat. HR memulai sesi ethics refresh yang canggung di awal, melegakan di akhir. Lila menjadi narasumber—tanpa gelar, tanpa formalitas yang berlebihan—bercerita tentang angka sebagai cermin: ia bisa memantulkan kerapihan, tapi juga bisa memantulkan muka pecah-pecah jika yang berdiri di depannya terlalu rindu pada jalan pintas.

Di sesi itu, Lila mengutip satu kalimat yang ia letakkan di awal hati setiap kali menimbang:

Kita bisa kalah hari ini, asal tidak kalah pada diri sendiri.”

Ia menatap Ratri yang duduk paling depan. Ratri mengacungkan tangan, bertanya tentang cara menjaga integritas ketika tekanan datang dari atasan. Lila tidak menjawab dengan teori. Ia bercerita bagaimana dulu ia menolak menandatangani pengeluaran tanpa bukti hanya karena sebuah panggilan malam hari dari atasan yang meminta “tolong saja”. Konsekuensinya? Ia tak diajak ke outing tahunan. Hasilnya? Ia tidur nyenyak malam itu dan malam-malam sesudahnya.

“Kadang yang sulit dari jujur bukan berurusan dengan orang lain,” kata Lila. “Yang paling sulit adalah berdamai dengan label ‘tidak kompak’.”

Ratri tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia menyusun kalimat untuk percakapan yang sudah lama ingin ia mulai: percakapan tentang dirinya sendiri, tentang batas, tentang cinta yang tak terus menerus kompromi. Ia mengirim pesan ke Saka malam itu: “Jika nanti kau punya program literasi keuangan untuk adik-adik panti, aku ingin ikut menyusun materinya.” Saka membalas dengan ikon jempol yang remeh tapi hangat, lalu kalimat: “Terima kasih mau percaya pada masa depanku, bukan masa laluku.”

.

Di panti Bina Sadar, Saka memulai kelas kecil setiap Sabtu—mengajarkan pembukuan sederhana kepada pengurus panti, kepada remaja yang sebentar lagi lulus dari paket C, kepada ibu-ibu dapur yang ingin tahu kenapa uang sembako selalu terasa lebih cepat habis di minggu ketiga. Ia menulis di papan tulis: Catat. Simpan bukti. Audit diri sendiri.

Anak-anak suka bagian terakhir. Audit diri sendiri berarti menilai apakah uang jajan kemarin bocor. Saka membuat permainan kartu: setiap anak memegang tiga kartu—Mau, Perlu, Sementara. Jika ingin membeli cilok, kartu mana yang dipakai? Mereka tergelak. Ada yang menjawab “Mau”, ada yang “Perlu” karena lapar. Saka mengangguk, membiarkan mereka berdebat kecil—karena dengan berdebat soal cilok, kelak mereka lebih siap berdebat soal motor kredit, gawai cicilan, bahkan pilihan kerja pertama.

Suatu Sabtu, Ratri datang dengan map penuh materi cetak—grafik sederhana, tabel anggaran rumah tangga, ilustrasi lucu dompet tertawa ketika pengeluaran sesuai rencana. Mereka berjalan di halaman panti yang pohon manganya berbuah genap. Ratri bercerita tentang resepsionis yang sering dianggap sekadar wajah depan, padahal seharian menimbang persoalan dari suara telepon. Saka bercerita tentang kas kecil yang kini lebih jujur daripada jantungnya sendiri.

“Kita manusia, Sak,” kata Ratri. “Kita tidak anti salah. Tapi kita bisa berdamai dengan cara bayar lunas.”

“Bagaimana kalau tak habis dibayar?” tanya Saka.

“Yang perlu lunas bukan jumlahnya. Yang perlu lunas rasa tanggung jawabnya,” jawab Ratri.

.

Di Denpasar, Hotel Angkasa Pagi menyusun ulang SOP. GM mendorong transparansi dengan dual control. HR menempelkan poster di ruang staf: “Integritas: keputusan sulit yang kita rayakan diam-diam.” Manajemen pusat mengirim compliance officer datang dua minggu, memberi ceramah tiga hari yang terlalu penuh istilah. Saat officer itu pulang, Lila tersenyum kecil. Ia tahu perubahan bukan pada kata-kata yang terpajang, melainkan pada kebiasaan yang pelan tapi konsisten: tanda tangan yang diperiksa, kwitansi yang dipotret sebelum diarsip, keberanian mengatakan “tidak” ketika “iya” lebih cepat bikin rapat bubar.

Suatu sore, Lila duduk di musala kecil dekat lorong servis. Ia menatap jam dinding yang berjalan seperti pejalan kaki di Ramadhan: lambat tapi pasti. Seorang room attendant lewat, menyapa. “Matur nuwun, Nyai,” katanya, entah untuk apa. Lila menunduk, mengetuk papan lengan bangku, menggumam: “Semoga jalan pulang selalu terlihat oleh siapa pun yang tersesat.”

Ia teringat pada sebuah pepatah yang ingin sekali ia pasang di pintu kantor keuangan, tapi belum menemukan bentuknya. Malam itu ia menulis di catatan ponselnya:

“Kita ini hanya sementara, tapi dampak pilihan kita bisa menetap di hati orang lain. Pilihlah yang membuatmu berani menatap cermin.”

.

Suatu hari Minggu, saat udara Bali masih lembab oleh sisa hujan malam, Saka menerima telepon. Nomor tak dikenali. Suara di ujung sana memperkenalkan diri sebagai Rendra—seorang mantan supervisor di Angkasa Pagi yang pindah ke properti lain. Ada posisi accounts payable yang kosong, kata Rendra. Gajinya lumayan. Timnya muda, atasan barunya tegas tetapi adil. “Namamu direkomendasikan Lila,” kata Rendra. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dulu. Aku hanya tahu, orang yang direkomendasikan Lila biasanya punya alasan yang tepat.”

Saka duduk lama setelah telepon ditutup. Di depannya, buku kas panti terbuka, baris-baris angka lurus seperti lorong. Ia menulis catatan kecil di pinggir halaman: “Integritas itu menolak jalan pintas bahkan ketika peta di tanganmu basah.” Lalu ia menelpon Ratri—bukan untuk meminta izin, melainkan untuk mengajak berdiskusi: “Kalau aku kembali ke hotel, bagaimana cara memastikan aku tetap aku?”

Ratri tertawa kecil. “Dengan pecah kongsi dari dirimu yang lama,” katanya.

“Pecah kongsi?”

“Ya. Berpisah baik-baik dari cara lama memuaskan ketakutan.”

Saka diam, mengulang dua kata itu dalam hati: pecah kongsi. Terasa seperti pisau dan sekaligus seperti benang. Pisau untuk memutus, benang untuk menautkan kembali yang perlu disambung.

.

Di hari pertama kembali ke dunia hotel—kali ini di Kuta—Saka berjalan melewati lobi yang mengilap. Ia teringat basement Angkasa Pagi, mengingat langkahnya sendiri yang dulu ia sebut “mengabdi”, padahal sedang “menghindari”. Ia menaruh foto kecil di meja: foto ibu memakai kebaya sederhana, tersenyum miring seperti orang yang tahu rahasia semua pintu. Di bawah foto itu, ia sisipkan kertas kecil dengan tulisan tangan:

“Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.”

Ia menempel catatan lain di sisi monitor:

“Kejujuran membuat orang lain percaya padamu. Kejujuran terlebih dahulu membuatmu percaya pada dirimu.”

Rendra benar: atasan barunya tegas tapi adil. Dua minggu pertama, Saka memimpin clean-up vendor yang entah bagaimana bertambah banyak tanpa kontrak yang jelas. Ia menemukan kwitansi ganda. Bukan untuk pertama kalinya dalam sejarah hotel-hotel Indonesia, tapi kali ini ia memilih bersuara ketika dulu ia memilih bungkam. Lebih sulit? Ya. Lebih melelahkan? Tanpa ragu. Lebih damai? Tak diragukan.

Malam-malamnya kembali terisi oleh angka, tapi ia bukan lagi korban atau pelaku. Ia kini tukang kebun yang menata tanaman kembali pada jarak yang sehat. Ia belajar mengatakan “tolong kirim ulang PO yang sah” tanpa rasa takut kehilangan teman. Ia menatap vendor di mata dan berkata, “Kita cari cara benar, supaya kita bisa bertemu lagi tanpa saling menunduk.”

Satu per satu, simpul terlepas. Satu per satu, simpul baru dibuat—lebih kecil, lebih rapi, lebih jujur.

.

Lila datang ke Kuta di sebuah Sabtu yang mendung. Mereka bertemu di warung rawon langganan Rendra—makan siang yang mencetak noda di bibir mangkuk. Mereka bercakap seadanya, lalu mendalam tiba-tiba. Lila membawa buku tipis: kumpulan artikel blog yang ia cetak dari situs yang sering Ratri sebut-sebut: tulisan-tulisan tentang kerja, tentang hidup, tentang memaafkan diri dengan disiplin. Di halaman pertama, Lila menyalin sebuah kalimat yang ia sukai:

“Jangan takut menjadi satu-satunya yang jujur di ruangan itu. Kadang itulah fungsi kehadiranmu.”

Saka membalik halaman-halaman, menemukan dirinya berulang kali di antara kalimat-kalimat orang lain. Ia mengira kisahnya kecil. Nyatanya, setiap hari orang-orang di kota besar, kelas menengah atas, bersedia mengorbankan banyak demi tampak baik-baik saja: cicilan rumah yang menggantung seperti lampion, gengsi seragam yang harus diganti saban musim, cincin yang sulit digadaikan karena bukan hanya logam—ia simbol. Sehari-hari, orang bernegosiasi dengan nurani sambil membuka spreadsheet. Aku juga, batin Saka, aku juga pernah menawar nuraniku di halaman diskon.

“Pecah kongsi itu bukan selalu bercerai dengan orang,” kata Lila, sebelum pamit. “Kadang pecah kongsi adalah berpisah dengan kebiasaan yang membuatmu tak lagi menyukai dirimu sendiri. Pecah kongsi juga berarti lurus hati—supaya ketika kamu berjalan sendirian, bayanganmu tidak malu menemanimu.”

Saka mengangguk. Ia memeluk buku itu seperti anak kecil memeluk kukilo, burung piaraan yang diajari bicara. Kali ini, bukan burung yang bicara. Hatinya yang belajar.

.

Arya mengirim pesan berbulan-bulan kemudian. Sebaris kalimat pendek, tanpa basa-basi: “Aku sudah menyampaikan semuanya. Maaf membuatmu ikut terseret.” Saka membalas: “Semoga kau sehat. Kita telah memilih, kita juga harus memikul.” Tidak ada dendam di sana. Tidak juga pelukan. Ada jarak yang cukup untuk saling melihat tanpa menyilaukan.

Ratri, yang kini menjadi supervisor front office, memulai kebiasaan kecil: setiap awal shift, ia mengajak timnya membacakan satu kalimat pegangan. Kadang dari pitutur Jawa, kadang dari catatan Lila, kadang dari tulisan-tulisan yang mereka cetak dari blog seorang penulis yang gaya bahasanya mereka sukai—hangat, lurus, dengan humor halus yang menahan air mata agar tidak jatuh sembarangan.

“Kejujuran adalah kemewahan,” kata Ratri pada timnya, suatu pagi. “Bukan karena tak terjangkau, melainkan karena kita jarang menabungnya.”

Mereka tertawa kecil. Lalu bekerja. Lalu menutup hari dengan rasa yang lebih bersih daripada kemarin.

.

Suatu malam, Saka pulang larut. Ibu sudah tidur, lampu kamarnya temaram, bau minyak angin samar menyapa hidung. Saka berdiri di ambang pintu, memandangi dahi yang kini lebih halus, napas yang lebih tenang. Ia teringat masa-masa ketika ia menyusun kebohongan untuk melindungi wajah yang juga ia tatap sekarang. Lalu ia mendapati, wajah itu lebih damai diselimuti kebenaran yang pahit daripada kebohongan yang manis.

Ia menulis catatan di ponsel, dikirim pada dirinya sendiri—kebiasaan baru, seperti berbicara kepada masa depan:

“Jika esok tergoda mencari pintas, ingatlah hari ini. Ingat tangan yang menandatangani pengunduran diri. Ingat mata Ratri. Ingat dada sendiri yang akhirnya bisa bernapas penuh.”

Ia mematikan lampu ruang tamu dan tidur.

.

Di hari-hari yang tampak biasa, kejujuran bekerja diam-diam. Di accounts payable, Saka menolak backdate. Di front office, Ratri menolak komisi yang ditawarkan vendor tur tanpa invoice jelas. Di ruang rapat, Lila menolak menitipkan “biaya operasional” ke pos yang “lebih fleksibel”. Ketika orang bertanya mengapa, mereka menjawab tanpa nada keagungan—hanya seperangkat kalimat harian yang bisa dipakai semua orang:

“Aku ingin besok masih bisa melihat kalian tanpa menurunkan mata.”

“Kita tak sedang mengejar siapa yang paling benar, kita sedang memastikan siapa yang paling bertahan.”

“Kepalaku ingin tidur.”

Mereka menertawakan sendiri kalimat-kalimat itu, tetapi menggunakannya seperti payung kecil: tak mencegah hujan, tapi menjaga agar tubuh tidak basah kuyup.

.

Pada akhirnya, “pecah kongsi” dalam kisah ini terjadi di banyak lapisan. Antara manajemen dan tradisi. Antara angka dan rasa. Antara Saka dan versi dirinya yang pernah memuja ketakutan. Antara Lila dan godaan untuk menjadi hakim yang tak perlu hadir. Antara Ratri dan kebutuhan untuk selalu mengalah atas nama cinta. Di setiap pecah, ada serat yang mesti disambung lagi—bukan untuk menambal masa lalu, tetapi untuk merenda masa depan.

Jika kisah Menak Madura punya Jayengrana dan Ragil Kuning yang diuji dalam rimba raya intrik, di kota ini Jayengrana bernama Saka dan rimbanya berbentuk spreadsheet, purchase order, dan approval WhatsApp tengah malam. Ragil Kuning bernama Ratri, yang belajar bahwa menjaga reputasi bukan berarti menjaga topeng, melainkan menjaga isi kepala dan isi hati agar tidak saling mengejek.

Dan Nyai Lila—yang namanya tak tercetak di kartu nama besar—adalah hutan lindung di tepi kota: tempat orang-orang kelelahan bisa duduk sebentar, mengambil napas, kemudian meneruskan perjalanan dengan bahu lebih lurus.

.

Malam terakhir bulan itu, Saka berdiri di balkon kecil kontrakan lantai dua. Angin Denpasar membawa suara gamelan dari pura di ujung gang, bercampur deru motor dan percakapan tentang diskon staycation. Di layar ponselnya, email masuk dari Bina Sadar: laporan audit internal pertama yang ditulis tim muda yang ia latih sendiri—rapi, jujur, dan mengharukan. Ia tersenyum, menggigit bibir bawah, dan mengetik pesan untuk Lila dan Ratri:

“Terima kasih sudah menunjukkan bahwa jalan pulang bukan rahasia, hanya sering kita abaikan.”

Ratri membalas cepat:

“Jalan pulang selalu ada. Lurus hati, lurus langkah.”

Lila, seperti biasa, singkat saja:

“Simpan tenang. Pelihara terang.”

Saka menyimpan ponsel, memejam sejenak. Di dadanya, ada ruang baru yang ia tahu tidak akan ia sewakan pada ketakutan lagi.

“Sehebat apa pun kita menutup-nutupi, kebenaran punya cara berjalan pulang. Teruskan saja berbenah, sampai rumah kita sanggup menampungnya.”

Dan dengan itu, ia menutup malam, memeluk sunyi yang kini tidak lagi menuduh, melainkan mengantar tidur.

.

.

.

Jember, 6 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PecahKongsi #LurusHati #Integritas #Kejujuran #Perhotelan #KisahUrban #EtikaKerja #RefleksiHidup #Denpasar #CerpenIndonesia

Leave a Reply