Pasar Kalisasih: Aksi yang Menyalakan Kota
“Aksi itu obat. Impian hanya sembuh kalau kau melangkah.
Jangan menunggu tenang untuk bergerak; bergeraklah agar hatimu tenang.”
.
Malam di Kota Surabaya seperti gulungan film yang tak pernah selesai. Jalanan Wonokromo masih ramai saat Jaya Engrana menutup helm di tangan, menatap sungai yang memantulkan cahaya serpih-serpih lampu jembatan. Di seberang, bangunan tua kepunyaan keluarga Keni Kencana—perajin batik Madura—menunggu putusan nasib: jadi kafe cepat saji dalam rencana pengembang, atau ruang komunitas yang mereka impikan sejak lama.
“Urip iku urup, Jaya,” kata Wira, satpam kompleks itu, suatu sore. “Hidup itu menyala karena memberi terang, bukan karena membakar habis.”
Kalimat itu menempel seperti stiker di kaca helm Jaya. Ia arsitek junior di firma kecil, lebih sering menggambar rancangan toilet daripada gedung. Namun malam itu, di pinggir sungai, ia merasa ada rancangan yang lebih mendesak: menjahit lagi sepotong kota yang koyak di hatinya.
Retna, teman kuliahnya yang kini jurnalis lepas, berdiri di sampingnya, kamera tergantung di leher. “Besok aku tayangkan video pendek. Bukan sekadar protes, tapi cerita. Orang harus melihat wajah manusia di balik tembok rencana.”
Maya, barista merangkap produser kegiatan, menenteng termos kopi. “Kalau videomu jadi, kita butuh aksi cepat. Sabtu ini, kita tes ‘Pasar Kalisasih’—nama yang kamu usulkan itu, Jaya. Jalan ditutup separuh selama tiga jam, lapak-lapak tetangga buka. Anak-anak tampil, Keni ajari sablon batik. Kita buktikan fungsi ruang kota ini lebih dari sekadar angka.”
Jaya mengangguk. Angka—betapa sering ia bersembunyi di baliknya. Di kantor, ia menguasai spreadsheet RAP, RAB, jadwal. Di hidup, ia kalah oleh “nanti,” “tunggu,” “besok.” Ia teringat kutipan yang pernah ditempel Retna di kulkas kos: “Action cures fear. Move first, confidence follows.”
“Baik,” kata Jaya. “Kita mulai.”
.
Pagi berikutnya, Jaya menghadap ibu kos, Bu Sarminah, yang suka menimang-nimang kata-kata seperti menakar beras. “Kamu sering pulang larut, Jaya. Tapi kali ini wajahmu lain. Ada rencana?”
“Pasar Kalisasih, Bu. Uji coba sabtu. Bukan demo. Bukan perlawanan. Perayaan yang rapi.”
Bu Sarminah tersenyum. “Alon-alon asal kelakon, tapi ojo alon kebacut alon. Pelan tapi tepat, jangan jadi alasan malas. Kamu butuh siapa lagi?”
“Adi,” jawab Jaya. “Ia coder. Kita perlu laman sederhana, buat donasi dan jadwal.”
“Lha kok ora saka wingi-wingi?” kenakalan lembut itu menutup restu. Jaya pamit dengan dada menghangat.
Adi datang sore itu, menenteng laptop dan kabel-kabel seperti pedang masa kini. “Situsnya kubikin satu malam. Fitur: donasi transparan, jadwal acara, peta akses. Kita buat desain yang ringan. Kau kasih copy buat empat langkah, ya? Dream—Speak—Habit—Act.”
“Langkah-langkah itu bukan milikku,” kata Jaya.
“Kalau begitu milik kita. Milik semua orang yang bosan menunda.”
Di pojok rumah batik, Keni sibuk menjemur kain. Pola kris, parang rusak, dan bunga tapak dara menari pada serat. “Kota butuh motif, bukan hanya beton,” katanya lirih. “Motif mengajarkan ritme. Seperti hidup.”
“Lha pengembang bilang motif mereka adalah ROI,” canda Retna.
Keni tersenyum masam. “Bagus kalau untung. Tapi jangan rugikan napas.”
Wira menghampiri, memegang peta lama daerah aliran sungai. “Dulu, di sini pernah jadi tempat latihan perahu naga. Kota punya memori, Nak. Kalau kita kubur semua untuk tempat parkir, besok-besok kita bingung kenapa hati kita terasa kosong di tempat yang ramai.”
“Bumi mengingat siapa yang menjaganya,” gumam Maya.
.
Hari H. Matahari jam delapan menyisir genteng, suara azan subuh masih memantul samar. Maya berkoordinasi dengan ketua RT, Bu Lurah, dan polisi lalu lintas yang datang dengan ekspresi netral. “Tiga jam, Bu Maya. Kalau ada keluhan, kita buka lagi.” Maya mengangguk, memegang surat izin sementara.
Retna menyiapkan tripod, anak-anak merapikan panggung kecil dari palet kayu. Keni membawa meja sablon, tinta, dan kain-kain sisa. Wira jadi palang manusia, senyumnya menulari orang yang lewat. Adi menunjukkan halaman web yang sudah tayang. “Look. Donasi sudah masuk seratus ribu dari seseorang yang tak mau disebut.”
“Kita mulai, bukan menunggu sempurna. Kesempurnaan adalah hadiah yang datang kepada yang berjalan.”
Musik akustik mengalun dari gitar si kembar Bara dan Bayu. Lapak-lapak tetangga menjual rawon, sate Madura, kue cucur. Asap naik, seperti huruf-huruf yang tidak sabar jadi kalimat.
Jaya berdiri di tengah, memandang jalan yang tiba-tiba berubah seperti panggung film. “Kota ini bisa begini,” pikirnya. “Bisa mengingat cara memeluk warganya.”
Seorang perempuan paruh baya mendekat, membawa anak balita. “Mas Jaya, terima kasih. Kalau tiap minggu ada, anak kami punya tempat lari-lari. Di mal kami keburu habis uang.”
“Ini bukan ide saya sendiri, Bu,” kata Jaya. “Kita semua.”
Maya menyodorkan termos. “Minum dulu. Kau pucat.”
“Gugup,” akunya.
“Wajar. Yang tidak wajar itu diam.”
Pukul sepuluh, parkiran pengembang di ujung jalan membuka portal, dua mobil mewah perlahan lewat. Sopir menoleh sebentar, lalu gas makin pelan. Di tepi, seorang lelaki berkacamata—mungkin manajer proyek—mengambil foto. Retna merapat. “Santai. Kita catat semuanya. Cerita punya daya yang lebih panjang daripada debat.”
Semua bagus sampai angin berubah arah. Awan mendadak gelap, rintik menebal jadi hujan deras. Lapak-lapak kocar-kacir, panggung kecil miring, listrik panggung mati. Anak-anak menjerit kecil, ibu-ibu buru-buru menutup makanan.
“Evakuasi ke dalam rumah batik!” teriak Wira. “Jaga kabel!”
Jaya ikut mengangkat meja bersama Adi dan warga lain. Jantungnya mengetuk-ngetuk seperti palu. Hujan memukul genting, air sungai terangkat.
Kecelakaan kecil terjadi: tiang panggung yang ditieti untuk lampu roboh menghantam etalase kaca toko tetangga. Pecah. Sunyi sesaat, lalu suara makian. Pemiliknya, lelaki setengah baya bernama Wali, keluar, wajah merah. “Iki gara-gara pasar-pasarmu, Mas! Ganti rugi!”
Jaya menatap serpihan kaca, menelan ludah. Rasa malu, takut, semua jadi uap yang dingin. Ia hampir ingin berkata: “Besok saja kita bicarakan.” Namun mata anak-anak yang mengintip dari balik kain sarung Keni begitu besar, seolah menanyakan apakah semua mimpi harus berhenti karena hujan dan kaca.
Jaya mengangguk pada dirinya sendiri. Action cures fear. Ia melangkah. “Pak Wali, kami bertanggung jawab. Ini kesalahan kami. Kita hitung biayanya, ganti semua. Hari ini juga saya transfer DP.”
“Pakai uang siapa?” bisik Adi.
“Pakai uang yang kita punya. Lalu kita buka donasi darurat,” jawab Jaya pendek.
Pak Wali menatap Jaya lama, napasnya turun naik. “Kalau semua orang berani kayak kamu, aku mau percaya. Tapi jangan ingkar.”
“Tidak, Pak.” Jaya mengeluarkan ponsel, menghubungkan m-banking. Retna memotret, lalu menurunkan kamera, menghampiri Jaya. “Ini bukan buat konten, Jaya.”
“Aku tahu,” katanya.
Hujan mereda setengah jam kemudian. Warga membersihkan jalan, anak-anak tertawa lagi ketika Keni menyulap genangan jadi tempat mengecapkan stempel batik. Mereka menyebutnya “motif hujan.” Pasar Kalisasih selesai dengan wajah basah namun mata berkilat.
Malamnya, Adi mengirim tautan: “Donasi menutup 73% dari kerugian kaca. Hujan kita bayar dengan kepercayaan.”
Maya menambahkan di grup: “Sabtu depan tetap lanjut, tapi upgrading peralatan. Tenda tamu, kabel lebih rapi, asuransi acara kecil-kecilan.”
“Biayanya?” tanya Jaya.
“Setengah dari sponsor kecil,” kata Retna. “Sisanya kita patungan. ‘Ora ono rego, ora ono rupo’—tanpa investasi, tak ada bentuk.”
.
Beberapa minggu berikutnya, Pasar Kalisasih menjadi kebiasaan. Warga datang bukan sebagai penonton, tapi pelaku. Setiap Sabtu, Jaya mencatat:
— 07.00: penataan lapak.
— 09.00: kelas sablon anak oleh Keni.
— 10.00: panggung cerita—warga bercerita kerja, mimpi, rindu.
— 11.00: bersih-bersih, rapat kilat.
Dari empat langkah yang dipegang Jaya dan kawan-kawan—bermimpi, mengucapkan, menata kebiasaan, bertindak—mereka kini masuk fase kelima yang tak tertulis: merawat hasil.
“Yang dijaga tumbuh, yang diabaikan runtuh,” kata Wira suatu siang.
Retna menayangkan seri dokumenter pendek “Hidup Menyala di Kalisasih” yang pelan-pelan menyedot perhatian akun-akun komunitas kota. Mereka tak bicara besar, cukup menanam tanda di peta hati orang: di sini, ada orang-orang yang tidak menunda lagi.
Lalu undangan datang: presentasi di hadapan dinas terkait. Jaya diminta memaparkan rencana revitalisasi koridor sungai: lampu-lampu tenaga surya, jalur sepeda, mural batik di dinding yang rawan coret, serta ruang baca kecil di bekas gudang. Ia menulis malam-malam, menggambar rencana demountable—bongkar pasang jika banjir—agar tak bertentangan dengan tata ruang. Adi menambahkan simulasi digital. Maya melatih Jaya bicara.
“Jangan jadi arsitek yang hanya bicara geometri. Bicaralah tentang jantung,” kata Maya. “Speak it loudly.”
“Bagaimana kalau mereka bilang kita bodoh?” Jaya menatap layar, tangannya dingin.
Retna tertawa pelan. “Bodoh adalah berserah pada takut. Berani adalah menyebut mimpi di ruangan yang bisa saja mengejekmu. Kalau bukan kita, siapa?”
Hari presentasi, ruangan ber-AC itu dingin dan terang seperti mengetes kejujuran. Ada tiga pejabat, satu perwakilan pengembang, dan beberapa staf. Jaya memakai kemeja putih yang sudah disetrika Bu Sarminah.
Presentasi dimulai, Jaya bicara tentang angka—jumlah warga yang terlibat per minggu, rata-rata pendapatan tambahan pelapak kecil, laju kebersihan sungai yang meningkat ketika komunitas punya rasa kepemilikan. Lalu ia letakkan angka, mulai bercerita: tentang anak-anak yang mengecap “motif hujan,” tentang etalase yang pecah dan dibayar, tentang malam-malam dingin yang diisi rapat dan kopi.
“Kami tidak anti investasi,” kata Jaya. “Kami anti kehilangan ingatan. Kami percaya jalan tengah: koridor publik yang aktif akan membuat kawasan ini aman. Keamanan mempercepat nilai properti. Kita semua menang—warga, pengusaha, kota.”
Perwakilan pengembang, lelaki berkacamata yang dulu memotret, mengangkat tangan. “Bagus, Mas Jaya. Namun, kami punya timeline. ROI tak bisa menunggu kebiasaan orang. Bagaimana kamu menjamin konsistensi?”
Maya menjawab sebelum Jaya sempat bicara. “Consistency is a community habit, not a decree. Kami tidak minta tunda. Kami ajukan koeksistensi: di fase konstruksi, sisakan koridor 4 meter untuk kegiatan warga. Kami akan aktif menjaga. Kami sudah buktikan 12 minggu berturut-turut, bahkan saat hujan badai.”
Pejabat yang muda mencondongkan badan. “Patokan apa yang bisa kami pegang?”
Retna menyodorkan print-out ringkas, 2 halaman: data, foto, jadwal, daftar sukarelawan. “Ini standar kebiasaan kami. Bisa diaudit. Kami bukan rombongan festival satu kali.”
Ruangan hening sejenak. Lalu pejabat paling senior, rambutnya memutih rapi, mengangguk pelan. “Kota butuh rakyat yang ora nglokro—tidak mudah putus asa. Saya setuju mencoba masa uji enam bulan: koridor dipertahankan sementara, aktivitas warga berjalan, kami amati dampaknya. Pengembang?”
Perwakilan berkacamata menghela napas, lalu tersenyum kaku. “Baik. Selama ada kesepakatan tertulis.”
Suara kursi bergeser. Ada yang menghela lega. Jaya merasa dadanya longgar. Di adrenalin yang surut, ia mendengar kalimat yang beberapa bulan ini ia hafal: Bukan menunggu tenang untuk bergerak; bergeraklah agar hatimu tenang.
.
Masa uji dimulai. Mereka mengecat dinding dengan motif batik besar, bukan untuk menutup memori, melainkan mengundang mata. Tiap motif diberi QR kecil yang jika dipindai memberi kisah: asal usul motif, nama warga yang menggambar, kenangan yang ingin mereka ingat. Anak-anak bergiliran jadi pemandu kecil, suara mereka bening seperti riak.
Keni memberi pelajaran batik malam Jumat. Tangan-tangan remaja memegang canting gugup, lalu menemukan ritme. “Motif bukan meniru alam; motif adalah cara kita berdialog dengan alam.” Keni mengajari bukan hanya pola, tetapi sabar.
Wira, mantan atlet dayung yang jarang bicara, mendidik anak-anak agar tidak takut air. “Kalau banjir datang, paham arus. Jangan panik. Wani ngalah luhur wekasane—berani mengalah pada alam supaya selamat.” Ia menunjukkan cara memegang tali, cara menolong kawan.
Adi menulis modul sederhana tentang literasi digital untuk pedagang. “Foto produk, cahaya, harga yang jujur. Jujur itu algoritma yang tak bisa dilawan.” Ia tertawa pada kalimatnya sendiri, tapi warga menyimak.
Retna menulis kisah-kisah pendek, menempel di papan baca. Ia tidak menulis heroisme. Ia menulis hal-hal kecil: bapak yang datang lebih pagi untuk menyapu, ibu yang mengikat rambut anaknya dengan pita bermotif hujan, penjual rawon yang memotong daging lebih kecil agar bisa menurunkan harga seribu rupiah. “Kebaikan yang kecil, jika konsisten, berbuah besar.”
Jaya—apa yang dilakukan Jaya? Ia berhenti memeriksa rasa takut setiap pagi. Ia mulai memeriksa jadwal kerja, layout logistik, dan di sela-selanya, merapikan hal-hal yang ia tunda bertahun-tahun: merawat motor, menelpon ibunya di Jember setiap Senin malam, menata meja kerja. Ia menemukan bahwa disiplin adalah bentuk cinta pada masa depan.
Suatu Sabtu, seseorang baru datang: lelaki berkaus, membawa map lusuh. “Namaku Raka. Aku dulu gambar mural buat brand besar. Capek. Kalian butuh orang gambar tanpa sponsor?”
“Selamat datang,” kata Maya. “Di sini sponsor utamanya kesediaan bersama.”
Raka menggambar perahu naga di dinding sungai. Anak-anak berlarian, Wira memperbaiki garis yang terlalu licin. Di atas perahu itu, Keni menambahkan bunga kecil, Adi menyisipkan kode QR.
“Bersama itu bukan berarti sama. Bersama itu saling menutup kekurangan,” kata Retna sambil memotret.
.
Tentu tak semua hari terang. Ada pertemuan yang buntu, ada warga yang marah karena lapaknya kalah ramai, ada akun anonim yang menuduh mereka “sentimen anti kemajuan”. Pada suatu malam, portal pengembang ditutup rapat karena kesalahpahaman penjaga baru. Lapak-lapak sibuk, panitia sibuk, Jaya letih dan hampir mengirim pesan, “Batal.”
Maya menahannya. “Kita tidak butuh sempurna. Kita butuh hadir. Sapa tetangga. Jelaskan pelan. Tawarkan kopi.”
Gigitan kecil pada kesabaran itu justru membuka pintu. Penjaga baru itu, ternyata, tinggal di kelurahan sebelah. Ia kaku karena takut salah. Jaya mengajaknya keliling, menjelaskan rute, memintanya mencoba sablon motif hujan. Penjaga itu tertawa canggung saat tinta menodai jarinya. “Saya kira kalian ini demonstran.”
“Kami bagian dari kota, Mas. Sama seperti Mas penjaga portal.”
Sejak malam itu, portal sering lebih cepat dibuka. Kadang-kadang penjaga itu mengirim pesan: “Hati-hati, awan dari utara tebal.” Jaya membalas, “Matur nuwun.”
Ada pula hari ketika Adi bingung karena server web down. Ia panik, takut disalahkan. Jaya datang, menaruh tangan di bahu sahabatnya. “Kita perbaiki, bukan menyalahkan.” Mereka duduk dua jam, memperbaiki konfigurasi. Banyak kata-kata yang tidak perlu mereka ucapkan, karena kebersamaan sudah menjadi kosakata.
.
Enam bulan lewat. Uji koeksistensi dinas berakhir. Mereka diundang kembali ke ruangan dingin itu. Kali ini map mereka lebih tebal, bukan karena argumen, tapi catatan: jumlah sukarelawan, perputaran ekonomi, pengurangan sampah karena pilah. Retna menaruh foto “sebelum-sesudah” tanpa dramatisasi. Keni menangkupkan tangan, Wira berdiri tegap.
Pejabat yang sama membuka rapat, suaranya pelan. “Kami mempelajari laporan. Ada catatan, tentu. Kadang terlalu ramai, kadang terlalu sepi. Tapi kami melihat niat baik yang menjadi kebiasaan. Kami ingin mengusulkan: koridor ini disahkan sebagai koridor budaya tepi sungai dengan pedoman operasi. Pengembang setuju menyisakan jalur, pemkot menambah lampu dan CCTV, warga menjaga.”
Perwakilan pengembang, kali ini lebih ramah, mengangguk. “Win-win. Kawasan kami dapat sense of place yang kuat. Nilai tambahnya terasa.”
Jaya menelan ludah. Ia tidak suka menang, ia hanya lega kota tidak kalah. “Urip iku urup,” ia ingat. Hidup bernyala karena menyalakan yang lain. Ternyata benar: aksi menyembuhkan.
Setelah rapat, mereka berjalan di tepi sungai. Retna menatap mata Jaya. “Kau percaya sekarang?”
“Apa?”
“Bahwa yang tidak kau lakukan dengan alasan takut, sebenarnya menunggu disembuhkan oleh langkah pertama.”
Jaya tertawa kecil. “Aku masih takut, kok.”
“Bagus. Berarti kamu masih manusia. ‘Courage is grace under pressure’.”
“Ngutip lagi, kamu.”
“Biar dunia tahu kita bukan genit pada kata-kata, tapi setia pada makna.”
Maya datang membawa dua gelas kopi. “Untuk founder yang tak mau disebut founder.”
“Jangan bilang founder. Bilang pelajar,” kata Jaya.
“Pelajar yang rajin PR,” timpal Adi, menyikutnya.
Wira, yang lebih tua, berdiri menatap mural perahu naga. “Kalian sudah mengajari saya cara baru memegang dayung. Dulu melawan arus, sekarang mengikuti sambil mengarah. Wani ngalah luhur wekasane.”
Keni datang terakhir, membawa kain baru, motif perpaduan. Ada parang rusak yang terjaga, ada gelombang sungai, ada bunga kecil di sela-selanya. “Motif Kalisasih,” katanya.
“Artinya apa?” tanya seorang anak kecil yang dulu memekik saat hujan menghantam.
“Artinya: ‘Bersama mengalir, bersama menyalakan.’ Kalau kamu besar nanti, dan kota ini berubah lagi, ingatlah rasa ini.”
Anak itu mengangguk. “Boleh kupasang di kamarku?”
“Boleh. Tapi jaga baik-baik. Motif butuh ruang bernapas.”
Matahari miring di atas jembatan, cahaya memercik pada air. Jalan perlahan ramai, pasar selesai hari itu. Namun kota tidak pernah selesai. Pada malam, lampu-lampu koridor menyala pelan, bukan gagah, tapi hangat. Seperti lampu-lampu kecil di dalam dada orang-orang yang memutuskan melangkah.
.
Beberapa bulan kemudian, kabar datang: seorang teman di Jakarta meniru Pasar Kalisasih menjadi “Lorong Hidup.” Di Makassar, seorang perajin kayu memulai kelas akhir pekan di dermaga tua. Mereka tidak menunggu viral; mereka menunggu pagi. Dan tiap pagi, mereka berjalan lagi.
Retna menulis kalimat penutup untuk seri dokumenternya:
“Kita lahir dari mimpi, tumbuh oleh kata-kata, berdiri lewat kebiasaan, dan hidup karena tindakan. Tanpa tindakan, mimpi kita tinggal di langit. Dengan tindakan, langit yang turun menjadi naungan.”
Jaya membacanya di beranda rumah batik, angin sungai lewat seperti janji. Ia mengingat dirinya yang dulu, yang menyukai draf lebih dari keputusan. Ia menatap para kawan: Maya yang selalu punya ide dan energi, Adi yang setiap hari belajar memaafkan dirinya, Keni yang menyalin sabar pada kain, Wira yang menukar amarah menjadi keberanian. Ia tahu perjalanan mereka tidak selesai hari ini, esok, atau tahun depan. Tetapi mereka kini berjalan.
“Aksi itu obat.” Ia mengulang pelan.
Dan kota, dengan cara yang sederhana, sembuh sedikit demi sedikit.
.
.
.
Jember, 23 Agustus 2025
.
.
#AksiItuObat #UripIkuUrup #DariMimpiKeAksi #KotaYangMenyala #BersamaMengalir #FilosofiJawa #MotifKalisasih #CommunityPower #ActRelentlessly #DreamSpeakHabitAct