Pada Trotoar Kita Belajar Pulang

“Setiap langkah di kota adalah puisi yang ditulis di trotoar basah—hilang oleh hujan, tetapi tetap meninggalkan bekas di hati.”

.

Jakarta tak pernah benar-benar mati. Bahkan ketika dini hari sudah menabuh kantuk, jantung kota masih berdegup di sela gesekan roda besi bus antar-kota yang beristirahat di pinggir terminal, di antara pedagang kopi yang berkawan dengan lampu neon muram. Di atas jembatan penyeberangan, angin meniupkan sisa panas aspal yang belum tuntas mendingin. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya seperti mata serigala yang menatap tanpa berkedip, seakan berkata: di kota ini, yang kuat bukan hanya yang berlari, tetapi yang tahu kapan harus menahan napas.

Adipati berdiri di tepi trotoar Tanah Abang, menggenggam kamera yang sudah lama lebih hafal ritme detak jarinya daripada ritme doa. Pengalaman dan kebiasaan membuatnya seperti jam dinding tua—tak pernah salah mengukur momen; tetapi jarum jam yang patuh pun bisa salah membaca arah pulang. Ia mengangkat kamera. Klik. Seorang pemulung menghela gerobak berderit; seorang bayi tidur di pangkuan ibunya di kursi plastik biru; tawa bocah berloncatan seperti kembang api kecil di sudut gang. Klik. Setiap gambar adalah lembar saku dari kitab kota yang tak selesai ditulis.

Ia tak menyangka hari itu akan bertemu Kertanegara—kawan kecil dari kampung Madura, dulu berlarian di pasir panjang, kini menyusuri kota sebagai sopir taksi daring. Nama besarnya tampak berlebihan untuk seragam hijau yang memberinya rezeki harian. Tapi begitulah kota: yang agung bisa menjadi sederhana, dan yang sederhana bisa tiba-tiba agung, tergantung siapa yang memotret.

“Di,” sapa Kertanegara sambil menepuk lengan Adipati. “Kau tetap kurus. Kapan terakhir makan malam yang layak?”

“Lupa,” jawab Adipati separuh bercanda.

Kertanegara tertawa. Tawa orang yang sudah berdamai dengan jarak dan nasib. Dari balik kaca helmnya, sepasang mata bersinar. “Naik. Kutunjukkan tempat baru. Ada mie ayam enak di bawah flyover. Penjualnya namanya Jokotole—kata orang, jarinya selincah legenda.”

Mereka melaju, menembus malam. Jakarta di kaca depan seperti pita hitam memanjang, dihiasi lampu kendaraan yang menari acak. Di bawah flyover, Jokotole menyajikan mangkuk-mangkuk hangat beraroma daun bawang. Adipati, yang terbiasa memotret tanpa ikut bersuara, menemukan anehnya damai di antara bunyi sendok menabrak mangkuk.

“Kenapa wajahmu seperti kabar buruk?” tanya Kertanegara, mengamati temannya.

Adipati tak segera menjawab. Ia menatap relung malam yang menampung terlalu banyak rahasia. Lalu dari seberang jalan, Mira lewat—mendorong koper kecil dengan roda hampir putus. Penari jalanan itu dahulu pernah jadi proyek foto paling jujur yang Adipati buat; proyek yang membawanya ke beasiswa luar negeri, dan pada saat yang sama memutus sesuatu yang tak sempat dinamai.

Mira menoleh. Hanya sedetik. Pada detik itu, semua yang ditahan meledak sunyi: janji yang ditinggalkan di warung kopi Rawamangun, pesan singkat yang tak dibalas, ibunya Mira yang sakit, keberangkatan Adipati tanpa salam. Tak ada sapa. Hanya mata yang seolah mengucapkan, “Kau masih ingat, tapi apa gunanya?”

“Kehilangan bukan selalu karena ditinggalkan orang lain; kadang karena kita sendiri yang melangkah terlalu cepat.”

.

Luka Lama

Kertanegara antar pulang, lalu menghilang dalam arus malam—seperti perahu yang memeluk gulungan gelap laut. Di kamar kos lantai tiga, Adipati menyalakan lampu kuning yang lembut. Di dinding, foto-foto menempel rapat: rangkaian proyek “Wajah Kota: Riuh dan Rindu”—anak-anak yang berlari di bantaran kali, pedagang sayur yang tertawa dengan gigi tinggal separuh, tukang las yang seperti menyalakan matahari kecil di bawah jembatan. Di tengah semua itu, ada potret Mira sedang menari di trotoar, kaki telanjang menjejak garis putih zebra cross, cahaya senja menyayat pipinya jadi perunggu. Ia menghela napas; foto tak pernah berbohong—yang berbohong adalah alasan yang kita siapkan untuk menunda pulang.

Malam itu, pesan masuk. Dari Kertanegara: Besok subuh, kalau sempat, ikut aku. Ada order arah Cawang, lanjut Pluit. Kita sarapan bubur di Muara Baru. Traktiranku.

Adipati tak menjawab. Tapi ia sudah menyiapkan baterai cadangan.

.

Pagi yang Mengajarkan Cukup

Pagi basah. Jakarta menguap seperti raksasa yang baru bangun. Mereka melesat dari Cawang ke Pluit; radio memutarkan lagu lawas yang bercerita tentang pulang. Di lampu merah Grogol, Kertanegara bercerita tentang putrinya yang akan masuk TK, tentang cicilan motor, dan mimpi sederhana: membeli rumah petak kecil yang punya jendela menghadap matahari.

“Di, aku mulai belajar. Bahagia itu bukan menang. Bahagia itu… cukup. Cukup bisa memeluk mereka yang kita sayangi.”

Adipati menatap temannya. Kata-kata itu seperti roti hangat. Ia merekamnya di tempat paling sunyi di dada.

Di Muara Baru, bubur ayam mengepul seperti doa yang dituang ke mangkuk. Jokotole muncul lagi—rupanya ia mengantar bahan untuk sepupunya yang berjualan di sana. Nama yang sama, wajah berbeda, lengan penuh bekas luka dapur, senyum yang menolak padam. “Kota ini galak, Mas,” kata Jokotole sambil mengaduk kuah. “Tapi kalau kita sayang, dia juga sayang.”

“Cinta kota bukan berarti lupa kampung; cinta sejati adalah yang pulang dan tetap ingat jalan berangkat.”

.

Kabar Duka

Kabar buruk datang seperti batu jatuh dari langit. Menjelang petang, ponsel Adipati bergetar tak henti. Grup pesan alumni kampung: Kertanegara kecelakaan di tol. Truk rem blong. Kondisi kritis.

Dunia mengerut seperti karet gelang ditarik terlalu kencang. Adipati berlari—mencari ambulans, mencari berita yang lebih jelas daripada kabar berantai. Di IGD RSCM, bau desinfektan, suara langkah tergesa, dan mata keluarga menunggu adalah adonan yang mengaduk perut. Perawat menyebut satu kalimat pendek: “Maaf, Mas. Ia tidak tertolong.”

Pemakaman berlangsung di Bekasi di bawah hujan yang seolah ingin menulis ulang nasib menjadi lebih lembut. Orang-orang menunduk; tanah basah. Seorang perempuan berselendang hitam berdiri tak jauh: Mira. Ia memegang payung kecil yang tak sanggup menahan deras air. Pandangan mereka bertemu—untuk kedua kalinya—di ruang yang tak meminta kata, hanya keberanian untuk berdiri bersama di hadapan kehilangan.

“Dia kawanmu, juga kawan baikku,” kata Mira pelan.

Adipati mengangguk. Suaranya pecah, tapi ia memeluknya. Maaf tak selalu minta izin; kadang berjalan sendiri dari dada menuju bahu orang lain.

“Duka mengajarkan kita cara hadir; karena pada akhirnya, yang teringat dari manusia bukan kemilaunya, melainkan siapa yang berdiri di sisi kita saat langit runtuh.”

.

Pulang dengan Cara Baru

Sejak itu, Adipati tak lagi mengejar gemerlap. Editor kantor protes: liputan konser besar, peresmian mal baru, gala premiere, semua ia tolak. Ia kembali ke gang, ke pasar, ke jembatan yang dipenuhi pengamen, ke stasiun KRL di mana manusia berganti menjadi arus. Kamera memeluk hal-hal kecil: tangan keriput yang menukar uang pas di warung nasi uduk, anak penjual balon yang tertidur memegang pita, tukang tambal ban yang menyalakan api kecil untuk menghangatkan air kopi.

Malam-malam, ia menulis di buku harian. Halaman pertama ia hadiahkan untuk Kertanegara: Kau tak sempat pulang, Kar. Tapi jejakmu tak pernah betul-betul pergi. Aku akan memotret orang-orang yang juga memimpikan jendela menghadap matahari.

Ia juga mulai mengikuti kegiatan komunitas kecil: kelas baca di kolong tol, dapur umum warga saat banjir, pertunjukan tari jalanan yang Mira bentuk untuk anak-anak. Di sanalah mereka pelan-pelan belajar bicara—tanpa menagih masa lalu, tanpa meromantisasi luka.

Mira bercerita, ibunya sudah tiada dua tahun lalu. “Aku belajar menari karena Ibu. Katanya, ‘jika dunia tak memberimu panggung, ciptakan panggungmu di trotoar.’ Trotoar mungkin keras, tapi di sanalah langkah paling jujur tercetak.”

“Maaf,” kata Adipati akhirnya. “Untuk semua yang kutinggal.”

Mira menatap. Ada letih, ada tangguh. “Kita semua pernah salah memilih. Yang penting, kali ini kau tinggal atau kau pulang?”

Pertanyaan itu menghantam lebih telak daripada kabar duka. Pulang bukan alamat; pulang adalah keputusan.

“Kita tak akan pernah sampai, jika terus mengukur jarak dengan alasan.”

.

Pameran untuk yang Hilang

Proyek foto berikutnya Adipati beri judul “Wajah Kota yang Mengajarkan Pulang.” Ia meminta izin memotret latihan tari Mira dan anak-anak. Anak-anak, rambut diikat karet gelang, tertawa; kaki mereka menjejak ritme yang belum sempurna tetapi jujur. Mira berdiri di depan, menghitung ketukan dengan jari kurus yang tegas.

Pameran dibuka di rumah seni kecil Kebon Sirih, poster utama menampilkan foto punggung Kertanegara yang basah hujan, motornya memantul cahaya lampu jalan. Caption: “Untuk yang pernah berlari dan mengajari kami arti cukup.”

Malam itu, beberapa karya terjual. Angka yang tak besar bagi “dunia seni”, tetapi cukup membeli seratus pasang sepatu panggung untuk anak-anak. Anak-anak menjerit bahagia. Mira tersenyum kecil, menatap Adipati—tatapan yang kali ini tak lagi meminjamkan jarak.

“Terima kasih,” kata Mira.

“Untuk apa?”

“Untuk hadir.”

“Cinta adalah nama lain dari hadir.”

.

Pulang yang Sesungguhnya

Perjalanan ke kampung adalah perjalanan ke dalam diri. Jalan raya memanjang seperti garis nasib. Di kampung, laut menunggu dengan sabar. Ombak menepuk pantai seperti tangan tua yang mengusap punggung bayi. Arya Menak, ayah Adipati, berdiri di depan rumah—tubuhnya lebih kecil dari yang diingat, tetapi matanya tetap mata nelayan yang hafal arah.

Mereka berpelukan. Waktu mundur. Anak kecil dalam diri Adipati pulang dengan lutut tergores, berharap ayahnya tetap ada.

Malamnya, mereka duduk di halaman, menatap bintang yang di Jakarta jarang terlihat. Arya Menak bercerita tentang persahabatan, tentang orang-orang yang menghilang di laut, tentang bagaimana kita memegang tali dan menerima bahwa sebagian kapal tak kembali. “Tapi yang kembali, nak, seringkali bukan kapal atau orangnya. Yang kembali adalah pengertian.”

Adipati mendengar, mengingat Kertanegara. Di telinganya, tawa sederhana itu masih hidup.

“Orang yang kita cintai tak pernah benar-benar pergi; mereka mengubah alamat ke dalam cara kita melihat dunia.”

.

Di suatu pagi yang tak menuntut kita menjadi siapa-siapa, kamera Adipati menangkap gambar yang kelak jadi sampul buku kecilnya: sepasang kaki kecil bersepatu panggung, berdiri di garis putih zebra cross, menghadap matahari.

Di bawahnya, ia menulis judul sederhana: Jejak yang Tertinggal.

Sebab akhirnya, yang tertinggal bukan hanya gambar; melainkan keberanian untuk hadir, memaafkan, dan pulang.

.

.

.

Jember, 12 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMinggu #SastraUrban #JejakYangTertinggal #Jakarta #Kehadiran #Kehilangan #Pulang #PenariJalanan #Fotografer #KomunitasKota

Leave a Reply