Orang Biasa yang Menyimpan Langit
“Kita sering sibuk menilai orang dari jabatan, padahal semesta kadang menyembunyikan mahkota di kepala yang paling diam.”
.
Pagi itu kota seperti biasa: deru motor memecah sela lampu merah, klakson seperti doa yang dipaksa cepat, dan kaca-kaca gedung memantulkan langit yang tampak rapi—padahal di dalamnya, hidup orang-orang selalu berantakan dengan cara yang elegan.
Aku duduk di kursi belakang mobil, menggeser map presentasi yang sejak semalam kubaca berulang. PowerPoint yang sama, narasi yang sama: diversifikasi aset, penguatan brand, strategi distribusi digital, mitigasi risiko. Kata-kata yang terdengar pintar, tapi sering kali gagal menyentuh yang paling manusiawi: kegelisahan.
Di sebelahku, ponsel bergetar. Pesan dari Aji—teman lama yang kini jadi penghubung investor: “Mas, ketemu di lounge jam sepuluh. Ada deal besar. Katanya, kalau masuk sekarang, kita bisa panen cepat.”
Panen cepat.
Di kota ini, semua orang ingin panen cepat. Bahkan orang yang sudah punya sawah.
Aku menghela napas. Di kaca jendela, kulihat bayanganku sendiri: rambut yang disisir rapih, kemeja yang disetrika wangi, jam yang menandai waktu dengan percaya diri. Tapi mata—mata selalu jujur. Ada lelah yang tidak bisa dibeli, dan ada takut yang tidak bisa disogok.
Sopirku, seseorang yang selama ini nyaris tak pernah kusebut namanya di percakapan apa pun, menepikan mobil di depan gedung perkantoran. Ia turun, membukakan pintu, lalu berkata pelan, “Mas, map-nya jatuh.”
Aku menoleh. Ia memungut map yang tergelincir di lantai mobil, merapikannya seperti sedang merapikan sesuatu yang penting—bukan cuma kertas, tapi harga diri orang yang membawanya.
Namanya Wangsit. Begitu tertulis di ID kecil yang tergantung di lehernya.
Wangsit.
Nama yang terdengar seperti pertanda, tapi selama ini kupikir itu sekadar nama orang biasa.
“Terima kasih, Wangsit,” kataku singkat.
Ia mengangguk. Senyumnya tipis, seperti orang yang tahu: hidup tidak perlu dipamerkan agar tetap bernilai.
.
Di lounge, aroma kopi bertabrakan dengan parfum mahal. Orang-orang duduk sambil menutup rapat mulut mereka, tapi mata mereka terbuka lebar—mengukur, menghitung, menakar. Di kota besar, banyak orang tidak benar-benar mendengarkan; mereka menunggu giliran untuk menjual ide, menjual diri, menjual masa depan.
Aji datang dengan langkah cepat, membawa seorang pria lain. Pria itu rapi, terlalu rapi. Rambutnya tidak bergerak walau AC dingin. Senyumnya pabrik: sama dari sudut mana pun.
“Kenalkan,” Aji menunjuk, “ini Jayeng. Partner-nya dari luar kota. Fondasinya kuat. Katanya, ini golden ticket.”
Jayeng menjabat tanganku. Pegangannya hangat, tapi ada sesuatu yang licin—seperti tangan yang sering memegang janji.
“Mas,” katanya, “kita punya akses ke lahan premium, dekat jalan utama, prospek okupansi tinggi. Ada konsep apart-hotel. Kapital cepat balik. ROI-nya… fantastis.”
Aku menahan diri untuk tidak langsung percaya. Dalam pengalamanku, kata fantastis sering berarti: tolong jangan banyak tanya.
Aji membuka laptop. Grafik naik seperti roket. Angka-angka dipoles seperti iklan skincare: membuat semua tampak lebih muda, lebih sehat, lebih mulus.
Jayeng mencondongkan tubuh. “Kita masuk sekarang, sebelum orang lain. Ini kesempatan langka.”
Aku menatap grafik itu. Dulu, saat masih muda, aku percaya grafik. Sekarang aku lebih percaya catatan kecil di pinggir: syarat, klausul, risiko.
“Dokumen legalnya?” tanyaku.
Jayeng tersenyum, “Sedang proses. Tapi tenang, tim kami cepat.”
“Kepemilikan lahannya?”
“Masih dalam skema konsolidasi.”
“Kontrak operator?”
“Nanti bisa diatur. Operator pasti mau.”
Jawaban-jawaban itu seperti payung di tengah badai: ada bentuknya, tapi tidak benar-benar menahan hujan.
Aji menepuk lenganku. “Mas, ini orang-orangnya serius. Aku juga ikut taruh uang.”
Aku mengangguk pelan. Dalam hati, ada kalimat yang muncul seperti peringatan: “Kalau terdengar terlalu indah untuk jadi nyata, biasanya itu sedang menyembunyikan biaya yang paling mahal.”
Aku berkata, “Oke. Aku pertimbangkan. Tapi aku perlu due diligence. Semua harus jelas.”
Jayeng tertawa kecil. “Mas perfeksionis. Justru kesempatan besar itu datang tanpa menunggu.”
Aku balas tersenyum, “Kesempatan besar tidak takut diperiksa.”
.
Sore harinya, aku kembali ke kantor. Lift naik, pintu terbuka, ruangan menyambut dengan lampu putih dan suara pendingin yang monoton. Di meja, ada berkas-berkas lain: proposal bisnis, draft kerja sama, rencana pelatihan, laporan keuangan. Hidupku seperti tumpukan kertas yang tidak pernah habis.
Di pojok ruangan, Wangsit berdiri membawa kardus kecil. Ia sedang membantu memindahkan beberapa arsip lama ke ruang penyimpanan.
“Kamu pindah arsip?” tanyaku.
“Iya, Mas. Biar rapi.”
Aku mengangguk. Lalu entah kenapa, aku bertanya, “Kamu sudah lama kerja jadi sopir?”
Ia berhenti sejenak, seperti menimbang jawaban.
“Cukup lama, Mas.”
“Dulu kerja apa?”
Wangsit tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan tipis. Ada sesuatu yang terbuka sedikit—seperti pintu yang jarang dibuka.
“Dulu saya… ngajar.”
“Ngajar apa?”
“Matematika. Sama… kadang ekonomi.”
Aku tertawa kecil. “Wah. Kok bisa jadi sopir?”
Ia menunduk, memasukkan satu map ke dalam kardus. “Hidup kadang belok, Mas. Ada yang harus diselamatkan.”
Aku ingin bertanya lebih, tapi ponselku berdering. Notifikasi dari Aji: “Mas, Jayeng minta keputusan cepat. Besok pagi terakhir.”
Aku menaruh ponsel. Tiba-tiba ruang kantor terasa sempit.
Wangsit, yang sejak tadi diam, berkata pelan tanpa menatapku langsung, “Mas… kalau orang minta keputusan cepat, biasanya dia takut Mas sempat berpikir.”
Aku menoleh. “Kamu bilang apa?”
Ia tampak ragu, seolah khawatir kata-katanya dianggap lancang. Tapi ia tetap melanjutkan, suaranya stabil.
“Maaf, Mas. Saya pernah lihat orang-orang jatuh karena terburu-buru. Bukan karena bodoh. Tapi karena lelah dan ingin cepat selesai.”
Aku terdiam.
Ada jenis kalimat yang tidak menggurui, tapi menampar dengan lembut.
Aku duduk. “Wangsit… kamu pernah terlibat bisnis?”
Ia mengangguk pelan. “Saya pernah bantu koperasi sekolah. Pernah juga dampingi orang-orang kecil bikin laporan sederhana. Tapi ya… saya bukan siapa-siapa.”
Kalimat “bukan siapa-siapa” itu, diucapkan begitu biasa, tapi ada luka di baliknya. Luka yang tidak meminta dikasihani.
Aku menatapnya. “Kamu tahu Jayeng?”
Wangsit membeku.
Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab. “Saya pernah dengar nama itu, Mas.”
“Dari mana?”
Ia memegang kardus lebih erat. “Dari berita lama… yang orang-orang sudah lupa.”
Aku merasakan bulu kudukku meremang. “Berita apa?”
Wangsit menatapku untuk pertama kali dengan tatapan yang utuh. Tatapan orang yang sudah terlalu lama menahan sesuatu.
“Mas… Jayeng itu bukan sekadar pebisnis. Dulu—di kota lain—dia pernah ada kasus. Skema investasi. Orang-orang rugi. Namanya ganti, jaringan ganti. Tapi polanya… sama.”
Aku berdiri spontan. “Kamu yakin?”
Wangsit mengangguk. “Saya yakin. Karena… salah satu yang kena… keluarga saya.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke lantai.
Aku ingin bertanya lebih, tapi Wangsit sudah menunduk lagi. Ia seperti orang yang baru saja membuka luka lama, lalu buru-buru menutupnya agar tidak terlihat.
“Kenapa kamu tidak bilang dari awal?” tanyaku, suaraku menahan emosi.
“Mas tidak pernah tanya,” jawabnya pelan. “Dan saya… tidak ingin dianggap sok tahu.”
Aku tersentak. Satu kalimat itu memukul kepalaku dengan kenyataan yang memalukan: selama ini, aku memang tidak pernah benar-benar melihatnya.
Aku mengusap wajah. “Terima kasih, Wangsit.”
Ia mengangguk, lalu mengangkat kardus itu lagi. Sebelum pergi, ia menambahkan, “Mas… kalau boleh saya titip satu kalimat… orang yang paling berbahaya itu bukan yang jahat. Tapi yang pandai membuat kita merasa aman padahal kita sedang ditipu.”
.
Malamnya aku tidak langsung pulang. Aku duduk lama di mobil di parkiran, memandang lampu-lampu kota yang seperti kunang-kunang mekanik. Aku membuka laptop, mencari jejak Jayeng. Mencari berita. Mencari nama lama. Mencari pola.
Dan benar.
Aku menemukan potongan-potongan: laporan forum, artikel yang nyaris tenggelam, komentar korban yang terdengar putus asa. Nama Jayeng muncul, lalu hilang, lalu muncul lagi dengan ejaan berbeda.
Aku menggigil bukan karena AC, tapi karena menyadari betapa dekatnya aku dengan lubang yang rapi.
Aku mengirim pesan ke Aji: “Aku mundur. Ada red flag. Jangan paksa. Cek lagi semua.”
Tak lama, Aji membalas dengan nada kesal: “Mas kebanyakan mikir. Ini peluang. Kamu takut rugi?”
Aku menatap pesan itu lama.
Aku ingin menjawab panjang, tapi akhirnya aku hanya mengetik: “Aku takut menyesal.”
.
Pertengahan pekan, Aji menelpon berkali-kali. Suaranya naik turun seperti orang yang sedang bernegosiasi dengan nasib.
“Mas, Jayeng marah. Dia bilang kamu bikin rumor. Kamu tuh bikin suasana panas!”
Aku diam.
“Mas, kamu yakin? Ini bisa bikin kita kehilangan jaringan.”
Aku menghela napas. “Aji… jaringan yang dibangun di atas kebohongan bukan jaringan. Itu jebakan.”
Aji terdiam, lalu suaranya melemah, “Mas, aku sudah taruh uang.”
Kalimat itu mengandung semua hal: ego, harapan, ketakutan, gengsi.
Aku berkata, “Kalau masih bisa tarik, tarik. Kalau tidak, siapkan mitigasi. Aku bantu hitung skenario terburuk.”
Di ujung telepon, terdengar napas Aji berat.
“Kenapa kamu bisa yakin banget?” tanyanya akhirnya.
Aku ingin mengatakan: karena Wangsit. Tapi aku tidak ingin menyeret nama itu. Aku hanya menjawab, “Karena ada orang yang sudah lebih dulu belajar lewat luka.”
.
Beberapa hari kemudian, berita kecil menyebar di lingkaran kami: proyek itu pending, konsolidasi lahan bermasalah, tim legal tidak jelas, investor mulai ribut. Ada yang memaki, ada yang malu, ada yang pura-pura tidak pernah ikut.
Aji datang ke kantorku tanpa janji, wajahnya kusut. Ia duduk, menatap lantai.
“Mas… aku salah,” katanya.
Kalimat itu jarang keluar dari mulut orang yang terbiasa merasa benar.
Aku menyodorkan air putih. “Berapa yang kamu taruh?”
Ia menyebut angka. Aku tidak kaget, tapi dadaku terasa sesak. Karena angka itu bukan sekadar uang. Itu adalah tahun-tahun kerja, adalah malam-malam lembur, adalah harga diri yang dipertaruhkan.
“Aku pengin cepat naik kelas,” Aji berkata lirih. “Aku capek jadi orang biasa.”
Aku menatapnya. “Aji… semua orang capek. Tapi bukan berarti kita boleh membeli jalan pintas yang merampas jalan orang lain.”
Aji memejamkan mata. “Aku malu.”
Aku menepuk bahunya pelan. “Malu itu tanda kamu masih hidup.”
Ia tertawa getir. “Mas… gimana kamu bisa tetap tenang?”
Aku teringat Wangsit merapikan mapku. Cara ia memungut sesuatu tanpa menghakimi.
Aku berkatareskan kalimat pelan, lebih pada diriku sendiri: “Yang menolong kita bertahan bukan selalu strategi. Kadang—kesediaan untuk mendengar orang yang tidak kita anggap penting.”
.
Akhir pekan datang seperti jeda napas.
Aku memutuskan tidak ke mal. Tidak ke restoran viral. Tidak ke meeting brunch yang isinya membahas investasi dan sekolah anak.
Aku memilih berjalan kaki di taman kota dekat rumah. Matahari lembut, angin seperti menyapu lelah.
Di bangku taman, aku melihat seseorang yang kukenal samar: perempuan yang pernah kutemui sekali di seminar, tapi kami tidak pernah benar-benar bicara. Namanya Rengganis—aku ingat karena nama itu seperti tokoh cerita lama yang hidup di zaman modern.
Ia duduk sambil membaca buku, sendirian.
Aku hampir lewat begitu saja, tapi ada kalimat prompt yang terngiang: dunia penuh orang-orang menakjubkan; perhatikan beberapa dari mereka.
Aku menghampiri. “Mbak Rengganis?”
Ia menoleh, lalu tersenyum. “Eh… kamu… aku ingat. Kamu yang bicara soal branding yang manusiawi itu, kan?”
Aku tertawa kecil. “Iya. Maaf kalau terdengar sok bijak.”
Rengganis menutup bukunya. “Justru aku butuh itu. Aku capek sama orang-orang yang bicara angka terus, tapi lupa manusia.”
Kami bicara. Tentang pekerjaan. Tentang orang tua. Tentang kota yang membuat kita selalu ingin tampak berhasil.
Rengganis bercerita ia sedang membangun program beasiswa kecil untuk anak-anak sopir, petugas kebersihan, dan penjaga malam di lingkungan apartemen. Bukan program besar, bukan yang masuk media—hanya sistem sederhana: iuran sukarela, pendampingan belajar, akses buku.
“Aku dulu kuliah dari beasiswa,” katanya. “Aku cuma sedang mengembalikan.”
Aku terdiam, merasakan tenggorokanku hangat.
Di tengah kota yang gemar memamerkan, ada orang yang memilih bekerja diam-diam.
“Aku pikir kamu orang seminar biasa,” kataku jujur.
Rengganis tertawa, “Kamu juga, aku pikir kamu orang presentasi biasa.”
Kami saling menatap, lalu tertawa lebih lepas.
Sore itu, aku pulang dengan perasaan yang berbeda. Seperti seseorang yang baru sadar: dunia tidak kekurangan orang hebat. Dunia hanya kekurangan perhatian.
.
Malamnya, sebelum tidur, aku memanggil Wangsit.
Ia datang, wajahnya tetap tenang seperti biasa.
“Wangsit,” kataku, “aku mau minta maaf.”
Ia terlihat bingung. “Maaf kenapa, Mas?”
“Karena selama ini aku memperlakukan kamu seperti… latar belakang.”
Wangsit menunduk. “Tidak apa-apa, Mas. Saya sudah biasa.”
Kalimat “sudah biasa” itu menghantamku lebih keras daripada marah.
Aku lanjut, “Aku juga mau bilang terima kasih. Kamu menyelamatkan aku dari keputusan bodoh.”
Wangsit tersenyum tipis. “Saya cuma bilang yang saya tahu.”
Aku mengambil amplop kecil dari laci. Bukan uang besar—bukan. Aku mengulurkan kartu nama Rengganis dan selembar catatan.
“Ada program beasiswa kecil. Aku mau kamu jadi penghubung. Kamu lebih ngerti kebutuhan mereka. Kamu juga… punya kemampuan ngajarin.”
Wangsit terdiam lama. Matanya berkaca-kaca. Ia cepat menunduk, seolah air mata adalah aib.
“Mas… saya… sudah lama tidak mengajar.”
“Kita mulai pelan-pelan,” kataku. “Tidak perlu besar. Yang penting nyata.”
Wangsit mengusap mata, lalu mengangguk.
Di ruang itu, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah diberikan oleh deal terbesar sekalipun: kelegaan.
Aku berkata pelan, lebih seperti janji: “Kadang yang mengubah hidup bukan angka yang kita kejar, tapi manusia yang akhirnya kita lihat.”
Wangsit berdiri, memegang kartu itu seperti memegang harapan.
Sebelum keluar, ia menoleh. “Mas…”
“Iya?”
“Terima kasih… karena akhirnya Mas tanya.”
Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar mengerti: pertanyaan sederhana bisa jadi pintu keselamatan. Bagi bisnis. Bagi hati. Bagi hidup.
Malam menutup kota, tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang baru saja menyala.
Bukan ambisi.
Melainkan perhatian.
Dan mungkin, itu satu-satunya kemewahan yang paling jarang dimiliki orang kelas menengah ke atas: kemampuan untuk tetap manusia.
.
.
.
Malang, 14 Desember 2025
.
.
#CerpenKompas #CerpenPerkotaan #DramaUrban #BisnisDanEtika #HidupDewasa #RefleksiHidup #NamakuBrandku #MentorKehidupan #Kemanusiaan #KearifanDalamDiam