Menutup Jendela yang Selalu Terbuka 

Kesalahan itu bukan dirimu; ia hanya jejak di tanah basah. Keringkan kakimu, lalu berjalanlah lagi—pelan saja, asal ke arah pulang.

.

Hujan di Jakarta tidak selalu tentang deras dan banjir. Ada hari-hari ketika ia turun seperti bisik-bisik: tipis, lama, dan dengan sabar mengubah kaca-kaca apartemen menjadi lembaran kusam yang memantulkan lampu-lampu kota. Dari lantai dua puluh, Amir menatap Kuningan yang seperti papan sirkuit—merah dari lampu rem, hijau dari exit, jingga dari billboard. Di meja, kopi sudah dingin; di layar, notifikasi tetap hangat: “Selamat kepada Zubaidah atas pendanaan Seri A!”; “Umarmaya menyelesaikan 15K run di GBK.”; “Desain lobby terbaru Umarmadi masuk majalah arsitektur….”

Kursor mengedip seperti detak kegelisahan. Setahun lalu, Amir meninggalkan konsultan manajemen dengan portofolio yang berkilau dan napas yang sempit. Ia merintis startup edukasi mikro: kursus akuntansi praktis untuk karyawan UMKM dan warung kota. Visi itu bening; eksekusinya keruh. Tiga klien strategis menunda pembayaran; satu investor berubah pikiran; algoritma pemasaran menelan anggaran iklan seperti pasir hisap. Ketika akhirnya Amir menutup operasional, ia menyusun dokumen akhir dengan kerapian seorang pemakaman: daftar rugi, daftar alat, daftar utang. Semua rapi. Semua seperti liang kubur yang difoto dari drone—indah dari jauh, dingin dari dekat.

Yang tidak bisa ia tutup adalah jendela di kepalanya. Di balik kaca yang selalu sedikit berembun itu, suara muncul bergantian: “Kau gegabah.” “Kau bukan founder, kau hanya mantan karyawan yang terlalu percaya diri.” “Kau tak cukup baik.” Suara-suara itu tidak berteriak. Justru pelan, ramah, telaten—seperti instruktur yang sabar mengulang-ulang rumus kegagalan.

Pagi itu, di grup SMA, Zubaidah mengirim foto kantornya di Sudirman: launching aplikasi keuangan syariah untuk pelajar vokasi. Ia menulis, “Semoga bermanfaat.” Umarmadi menimpali dengan stiker tepuk tangan. Umarmaya menulis, “Mantap, Zubaidah! Lari pagiku menang ide dari postinganmu.” Amir mengetik “Congrats” lalu menghapus. Mengetik “Masya Allah, keren” lalu menghapus lagi. Papan ketik seakan menjadi timbangan yang mengukur keberartian kalimat—dan semua terlihat terlalu ringan.

Telepon dari ibunya memotong mental doomscrolling. Suara perempuan yang setengah bercanda setengah berdoa itu bertanya, “Kapan pulang, Mir? Bapakmu kangen lawakanmu. Kak Umarmaya minggu depan lari di Gelora Bung Tomo. Katanya, rawon Darmo tetap juara.”

Amir menjawab, “Secepatnya, Bu,” lalu mematikan panggilan. Ia menatap keluar. Hujan makin tipis. Lampu kota menyalakan ilusi hangat. Notifikasi LinkedIn menyala lagi; ia menengok sekilas, lalu memutuskan pergi ke bawah—ke kedai kopi yang tahu namanya dan rasa pahit yang ia suka.

.

Zubaidah datang dengan payung bening, sepatu yang praktis, dan tatapan yang tahu membedakan riuh dan penting. Mereka duduk di pojok dekat jendela yang berembun.

“Apa kabar?” tanya Zubaidah.

“Seperti cuaca: kadang grimis, kadang tampak terang, tapi lebih sering licin.”

Zubaidah mengaduk kopi. “Kau berhenti melamar kerja?”

“Melanjutkan berarti melanjutkan menghitung penolakan,” jawab Amir. “Aku keempat puluh tiga kali, Zubaidah. Angka yang cantik bila jadi nomor jersey, tapi buruk bila jadi nomor gagal.”

“Kau ingat case competition tahun terakhir?” Zubaidah mencondongkan badan. “Kita kalah. Juri bilang idenya tepat, eksekusi kita mepet teori.”

“Kau marah.”

“Aku marah karena sepanjang presentasi kita ingin terlihat cerdas, bukan menolong. Itu pelajaranku.” Zubaidah menatap Amir lama-lama. “Pelajaranmu apa?”

“Bahwa aku suka menyalakan lampu perbandingan dalam kepalaku. Semakin terang, semakin jelas bahwa aku tertinggal.”

“Lalu, matikan sebagian,” kata Zubaidah datar. “Kau tidak sedang menggelar bazar rasa bersalah.”

Amir tersenyum pahit. “Aku ingin bisa.”

“Bukan ingin. Lakukan. Datang ke Surabaya akhir pekan ini. Umarmaya mengajak lari ringan. Umarmadi punya proyek perapihan gudang hotel; kau bisa lihat alurnya. Setelah itu, kita makan rawon. Kau perlu ruang nyata, bukan panggung di layar.”

Amir mendongak, menimbang kata “datang” yang terasa seperti perjanjian dengan diri sendiri. “Baik. Aku datang.”

.

Surabaya menyambut dengan langit terang dan angin asin. Di Gelora Bung Tomo, trek merah menangkap pijakan pagi. Umarmaya—kausnya basah, napasnya teratur—menepuk bahu Amir. “Kau telat sepuluh menit. Hukumannya jalan tiga putaran.”

“Kalau rawon tetap traktiranmu, aku terima,” sahut Amir.

“Deal.”

Di kursi penonton, Umarmadi—desainer interior yang mencintai batu bata dan bau kopi—melambaikan tangan. “Aku supporter saja. Tenagaku disedot client yang mau budget kecil, taste besar.”

Amir berjalan, menyelaraskan napas dengan ritme kota yang lebih pelan dari Jakarta. Tiga putaran membuat betisnya menyengat; tapi ada jeda di kepalanya yang mulai jernih. Rawon setelahnya menambal bagian-bagian yang longgar; kuah hitam, nasi panas, sambal yang tidak perlu cerita panjang untuk membuat lidah mengangguk.

“Masih menyalakan dashboard penyesalan tiap pagi?” tanya Umarmaya.

“Kadang bukan aku yang menyalakan, tapi nyalanya otomatis,” jawab Amir.

“Matikan notifikasi. Nyalakan yang baru.” Umarmaya menuang air. “Besok ikut aku ke pabrik packaging di Rungkut. Bukan glamor, tapi manusiawi. Aku perlu mata ketiga untuk alur kerja.”

“Kalau aku membuat alur makin ruwet?”

“Kalau pun ruwet, kita uraikan bareng. Tenang. Di pabrik, orang menilai dari kebermanfaatan, bukan dari gaya bicara.”

Amir mengangguk. Di lintasan yang masih basah, ia merasa seperti sepatu yang menemukan kaki yang pas—tidak sempit, tidak longgar.

.

Pabrik Rungkut tidak memamerkan angka-angka di layar besar; ia menampilkan manusia dalam ritme. Bunyi mesin seperti metronom; palet kayu, stiker kontrol, catatan kecil di dekat conveyor. Amir berjalan pelan di belakang line leader, mencatat: di mana bottleneck, di mana gerakan boros, di mana informasi terputus.

“Kenapa stiker kontrol ditempel di akhir, bukan di awal, Pak?” tanyanya.

“Biar rapi foto finalling-nya,” jawab mandor.

“Kalau stiker awal ditaruh di tray masuk, kita bisa flag lebih cepat kalau ada batch yang nyasar.”

Mandor mengangguk. “Bisa dicoba.”

“Dan handover antar shift pakai foto sampel,” tambah Amir. “Jadi standar visual, bukan hanya tulisan.”

Mereka masuk ke meeting room kecil. Amir menggambar alur dengan panah yang sederhana, sticky notes warna-warni. Di papan Kaizen, mereka menuliskan tiga perubahan kecil: stiker di awal, handover bergambar, penanda waktu henti mikro untuk mengukur jeda antar-gerak.

“Setiap orang pulang lima belas menit lebih cepat karena alur rapi akan berdampak pada satu hal yang tidak bisa dibeli,” kata Amir. “Waktu makan bersama anaknya.”

Umarmaya menepuk bahu. “Kau lihat? Bukan pitch deck. Ini tentang manusia.”

Amir tersenyum kecil. Di teleponnya, grup SMA ramai: Zubaidah mengunggah foto workshop literasi keuangan di SMK mitra. Amir—tanpa membatalkan ketikan—menulis, “Kalau butuh modul pembukuan harian untuk anak SMK, aku punya draft. Free.” Ia menekan kirim. Tidak ada getar di dada, hanya rasa ringan yang berjalan ke kursi.

.

Di Bangkalan, ibu menyiapkan singkong rebus, gula merah, dan teh. Bapak duduk menghadapi angin yang membawa campuran bau garam dan tanah. “Peta jalan hidupmu masih ada?” tanya bapak.

“Masih,” jawab Amir. “Sekarang pakai pensil—bisa dihapus.”

“Bagus.” Bapak tertawa. “Kalau pakai tinta, kamu takut menulis. Orang takut menulis, lama-lama takut hidup.”

Malam itu Amir membuka laptop. Modul lama “Pembukuan Harian untuk Warung Kota” ia bedah seperti membedah baju lama: mana yang bisa dijahit, mana yang harus dipotong. Ia mengganti contoh yang terlalu startup-ish dengan contoh yang mengerti ritme warung: biaya minyak yang naik turun, promo gopay-ovo yang menggoda, kas bon pelanggan tetap yang tidak enak ditagih tapi harus dicatat. Ia menambahkan bab “Merawat Diri” yang dulu dianggapnya tidak relevan: tidur cukup, jalan pagi lima belas menit, jeda tanpa layar. Di halaman pembuka ia menulis: “Kita bukan belajar menjadi akuntan; kita belajar jujur pada angka kecil yang kita pegang tiap hari.”

Ia mengirim draft ke Zubaidah. Balasan datang cepat: “Bagus dan hangat. Minggu depan aku uji di Depok. Terima kasih, Mir.”

Kata “terima kasih” mendarat seperti daun jatuh ke permukaan air: tidak menimbulkan gelombang besar, tapi menyebarkan riak kecil yang merata.

.

Jakarta menunggu dengan kebiasaan lama dan kemungkinan baru. Amir menyewa meja di co-working Tebet. Di atasnya ia tempel kertas kecil: “Pelan-pelan asal selamat bukan kalah; itu cara pulang.” Ia mematikan notifikasi yang membuat kepala menjadi pasar malam. Ia menyalakan alarm sederhana: minum air, baca sepuluh halaman, jalan dua puluh menit. Ia menghapus app yang menjual perbandingan; ia mengunduh aplikasi to-do yang hanya menerima tiga tugas utama per hari.

Zubaidah mengundangnya sebagai pengajar tamu. “Operational literacy yang manusiawi,” tulisnya. Amir menyiapkan materi dengan cara yang dulu tidak ia percaya: bukan istilah, tapi gambar tangan; bukan grafik KPI, tapi cerita mandor yang menjemput anak lebih awal; bukan slogan, tapi contoh checklist bergambar. Slide terakhir kosong kecuali satu kalimat: “Kita tidak mengajarkan angka. Kita mengembalikan waktu.”

Di aula kecil Depok, puluhan anak vokasi duduk. Rambut disisir rapi, sepatu beberapa sudah aus, mata sebagian masih jernih dari rasa ingin tahu. Presentasi Amir tidak memukau seperti panggung tech; ia mengalir seperti percakapan warung. Seusai acara, seorang siswa menghampiri. “Bang, aku anak penjual gorengan. Aku sering salah hitung. Checklist Abang boleh kupakai?”

“Boleh,” kata Amir. “Dan kalau salah, tidak apa. Salah itu bukan identitas. Ia hanya jejak yang bisa dibersihkan.”

Siswa itu tersenyum, mengucap terima kasih, lalu melambai pada teman-temannya. Amir berdiri agak lama, merasakan sesuatu dalam dirinya bergeser: dari ingin diakui banyak orang menjadi ingin berguna bagi beberapa orang yang nyata.

.

Hidup tetap memiliki cara untuk menguji yang baru tumbuh. Suatu sore, telepon dari bank datang: penagihan sisa pinjaman usaha. Jumlahnya tidak menghantui seperti dulu, tapi cukup untuk mengundang panik. Amir menghela napas panjang; ia menulis di kertas: “Fakta: ada sisa hutang. Rencana: negosiasi tenor—tambahan proyek.” Ia menghubungi Umarmadi, yang kebetulan sedang mengatur ulang gudang back-of-house hotel. “Masuk saja,” kata Umarmadi. “Kau pegang flow; aku pegang bentuk. Honor tak besar, tapi cukup tambah nafas.”

Di proyek itu, Amir belajar lagi tentang kota: bahwa kemewahan di lobby lahir dari ketertiban kecil di belakang panggung; bahwa kerapihan bukan estetika, melainkan etika terhadap waktu. Ia menyusun tabel alur barang; membuat zone bersih, kotor, dan transit; menempelkan QR sederhana berisi foto standar. Ketika manajer housekeeping berkata, “Staf saya pulang tepat waktu minggu ini,” Amir menulis catatan baru: “Keberhasilan adalah saat orang biasa pulang tepat waktu, bukan saat kita mendapat tepuk tangan.”

Malamnya, ia menambahkan bab baru di modul: “Merayakan Kemenangan Kecil.” Isinya remeh, tapi berdampak: menyeduh teh favorit setelah menutup buku kas; mengirim tiga pesan terima kasih; menuliskan satu hal yang berhasil hari itu; menyalakan lagu masa kecil. Di bawahnya ia letakkan kalimat yang mengeram lama di kepalanya: “Pengakuan diri bukan sombong; itu tanda kita berhenti memukul diri.”

.

Satu tahun berlalu seperti kereta malam—tidak semua kilatannya sempat dibaca. Di food hall Senayan, Amir, Zubaidah, Umarmaya, dan Umarmadi duduk mengelilingi meja bulat. Mereka tidak lagi memamerkan medali. Mereka menukar kabar yang jarang masuk feed: ibu Zubaidah mulai sering lupa, Umarmadi menolak proyek yang menawar nilai karya, Umarmaya berdebat dengan pemilik pabrik tentang mesin tua yang harus pensiun.

“Mir,” kata Zubaidah sambil memutar sedotan, “aku suka bab ‘Menutup Jendela yang Selalu Terbuka’.”

“Yang mengingatkan agar tidak membiarkan angin masa lalu masuk terus?” tanya Amir.

“Iya. Kita perlu menutup tirai supaya ruangan hangat. Kalau tidak, kita membeku di dalam, padahal dari luar orang melihat kita bersinar.”

Umarmaya menambahkan, “Di pabrik, jendela yang selalu terbuka bikin debu masuk. Di kepala juga sama.” Mereka tertawa kecil.

Malam itu Jakarta bertabur lampu. Di parkiran, mereka berpisah dengan pelukan yang tidak dramatis, tapi penuh arti. Amir menatap langit yang memantulkan cahaya kota: bukan untuk mencari pertanda, melainkan untuk memastikan bahwa ia tidak lagi berdiri sendirian di balik jendela masa lalu. Tirai sudah ditutup. Di dalam, lampu meja menyala. Di meja, pena siap. Di halaman, paragraf baru menunggu.

.

Di kelas SMK Depok, seorang siswa membaca bagian penutup modul dengan suara lantang:

Jangan berharap semuanya berjalan sesuai keinginanmu. Harapkanlah berjalan sebagaimana mestinya. Kesalahan bukan dirimu; ia guru yang mengantar pulang. Fokus pada langkah kecil yang benar hari ini—itu cara paling cepat untuk meninggalkan kemarin.

Anak itu menutup buku dan menatap hujan. “Bang,” katanya pelan saat menghampiri Amir, “kalau aku takut salah lagi, aku harus bagaimana?”

“Catat yang kamu lakukan benar. Rayakan kecil-kecilan. Besok ulangi. Takut akan menyusut kalau dipaparkan pada tindakan sederhana yang benar.”

Anak itu mengangguk. Di luar, hujan menumbuk atap seng seperti marching band tanpa komando. Tidak semua yang berisik adalah ancaman; kadang, itu cara dunia mengingatkan bahwa ritme ada juga di hari buruk.

.

Di malam yang lain, sendirian di apartemen Kuningan, Amir mematikan semua notifikasi. Ia menyalakan musik yang dulu dibenci karena dianggap tidak produktif—lagu-lagu 90-an yang sederhana. Ia mengambil buku kosong. Di halaman pertama ia menulis:

“Inventaris Kecil Kepulangan”

  1. Mengembalikan waktu orang lain lima belas menit lewat alur rapi.

  2. Mengaku pada diri: pernah gagal, tetap berharga.

  3. Mengirim pesan “terima kasih” tanpa menunggu alasan besar.

  4. Menutup jendela masa lalu pada jam tertentu setiap hari.

  5. Memulai ulang tanpa malu.

Ia menghela napas panjang. Di luar, lampu tol berarak seperti doa tanpa teks. Amir menekan tombol play lagi. Bukan lagu kemenangan. Hanya nyanyian kecil yang menyanyi di meja kerja: selamat datang kembali.

.

Suatu sore yang jernih, ia naik motor ojek online menuju sebuah warung soto yang bersedia menjadi pilot pencatatan kas. Pemiliknya, seorang ibu berkerudung tipis dengan tangan yang cekatan, berkata, “Mas Amir, kalau pelanggan bon-nya panjang, saya suka nggak enak. Bagaimana cara ngaturnya biar nggak bikin malu?”

“Bikin kartu kecil saja, Bu. Disebut ‘catatan sayang’. Kalau pelanggan bon, ibu titipkan catatan sayang—tanggal, jumlah, tanda tangan. Minggu depan, diingatkan pelan.” Amir tersenyum. “Kalau dibayar, tulis ‘terima kasih’. Orang segan pada yang menyejukkan, bukan pada ancaman.”

Ibu itu tertawa. “Catatan sayang… baik, Mas.”

Di meja kayu yang kadang masih lengket kecap, Amir menyadari satu hal yang tidak pernah dia catat di pitch deck: bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang grafik naik di dashboard; ia juga tentang tatap muka, tentang menyebut nama orang dengan benar, tentang menempatkan buku kas di tempat yang tidak basah, tentang menyisakan ruang di kepala untuk istirahat.

Menjelang magrib, Amir pamit. Di perempatan, lampu merah menyala. Ia berhenti dan merasakan denyut kota. Di helm, suaranya sendiri terdengar lain: bukan lagi saksi yang menuduh, melainkan teman yang mengingatkan. “Tenang. Besok kita ulangi yang benar.”

Lampu hijau menyala. Motor melaju. Langit sore menutup cerita hari itu dengan warna yang sulit disederhanakan kata-kata. Tidak perlu. Ada kalanya, yang terbaik dari sebuah hari adalah kesediaannya berlalu tanpa meminta penilaian.

.

Di Balai RW sebuah kompleks menengah di Jagakarsa, Zubaidah menggelar workshop pengelolaan uang saku untuk anak SMA. Amir diminta menjadi fasilitator. Anak-anak berdiri, duduk, tertawa, menguap, sibuk dengan gawai. Amir membuka dengan permainan: mereka diminta mencatat tiga pengeluaran tidak perlu dalam satu minggu, lalu menuliskan satu keputusan kecil untuk minggu depan. Ia tidak menyuruh hemat; ia mengajak jujur.

“Ada yang berani baca?” tanya Amir.

Seorang anak maju. “Aku beli skin game dengan uang makan siang. Minggu depan aku pakai uangnya buat bayar iuran kelas. Tapi aku akan izinkan diriku jajan es krim satu kali, Bang.”

“Bagus.” Amir mengacungkan jempol. “Kita tidak asal menutup pintu, kita belajar mengatur jendela—mana dibuka, mana ditutup.”

Zubaidah tersenyum dari belakang. Seusai acara, ia berbisik, “Kau lebih pelan sekarang.”

“Pelan?” Amir mengernyit.

“Pelan yang hangat. Dulu kau cepat yang dingin.”

Amir tertawa. “Mungkin karena aku sudah belajar menutup jendela yang selalu terbuka.”

“Terima kasih sudah datang,” kata Zubaidah.

“Terima kasih sudah tidak menyerah padaku waktu aku hampir menyerah pada diriku.”

Mereka berdua menatap anak-anak yang bersiap pulang. Jakarta sore itu memantulkan banyak hal, tapi tak semua harus ditangkap. Sebagian boleh lewat; sebagian cukup disimpan sebagai garis tipis di buku.

.

Setelah semua ini, apakah suara negatif hilang? Tidak. Ia tetap datang—seperti nyamuk yang tahu celah di kelambu. Bedanya, Amir kini punya raket listrik: tiga tindakan sederhana yang tak puitis tapi efektif. Pertama, fakta tertulis. Kedua, satu orang diajak bicara, bukan layar. Ketiga, satu perayaan kecil. Ia tidak lagi mengejar badai; ia menutup jendela pada jam tertentu. Bukan karena takut hujan, melainkan karena ingin ruangan hangat untuk bekerja dan istirahat.

Di lembar terakhir buku kosongnya, ia menulis:

“Hidup bukan soal menghapus jejak. Ia tentang menambahkan langkah-langkah baru yang lebih benar, hingga jejak lama lenyap oleh jumlah yang lebih banyak.”

Ia menutup buku. Menghela napas. Menatap jendela. Dan untuk pertama kalinya setelah lama, ia tidak melihat pantulan dirinya yang kusut. Ia melihat kota yang tetap bising, tetap penuh, tetap bergerak—dan menyadari, dalam kebisingan itu, ia menemukan ritmenya sendiri.

.

.

.

Malang, 12 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #UrbanLife #SelfHealing #MentalWellness #UMKM #EdukasiVokasi #LiterasiKeuangan #GrowthMindset #Storytelling

.

Quotes dari cerita

  • “Kesalahan adalah guru yang tak pernah minta panggung, tapi setia mengantar kita pulang.”

  • “Jangan membuka jendela masa lalu terlalu lama; angin baik pun bisa membuatmu menggigil.”

  • “Pengakuan diri bukan sombong; itu tanda kita berhenti memukul diri.”

  • “Kita tidak mengajarkan angka. Kita mengembalikan waktu.”

  • “Pelan-pelan asal selamat bukan kalah; itu cara pulang.”

Leave a Reply