Mengejar Mimpi yang Tertunda
“Bermimpi itu bukan perkara berani atau tidak; yang sulit adalah menepati janji pada diri sendiri setelah bermimpi.”
…
Berani melangkah keluar dari zona nyaman adalah awal dari sebuah perubahan besar.
Malam di Jakarta menetes pelan dari langit, seperti sisa kopi yang enggan ditinggalkan di bibir cangkir. Ratu Salsabillah menatap jendela apartemen menengahnya di kawasan Kuningan—kota yang tak pernah benar-benar tidur, tapi selalu tampak lelah. Di meja kerja mungil, sebuah laptop tertutup, debu halus di punggungnya seperti bukti kealpaan bertahun-tahun. Di dalamnya, sebuah folder bernama “Naskah—Jangan Lupa” yang selalu ia lupakan.
Ratu masih mengingat rasa riuh yang pernah menggelegar di dadanya ketika SMP: ruang kelas yang harumnya seperti kertas baru, sore-sore yang diisi lomba baca puisi, majalah dinding yang memajang cerpen pertamanya. Dulu, ia membayangkan namanya di sampul buku; kini, namanya tertera rapi di email signature: “Ratu Salsabillah—Export-Import Administration.” Gajinya aman, hidupnya mapan, langkahnya teratur. Namun tertib yang tanpa denyut, sama saja dengan sunyi.
Setiap subuh, ia mengejar KRL dari Stasiun Tebet menuju Sudirman, menembus arus jas hujan dan tas kerja. Siang hari bergumul dengan nomor faktur, HS code, dan tenggat pengapalan. Petang, terjebak di parkiran ide: ingin menulis, tetapi notifikasi ponsel menang lagi. Malam mengendap, dan ia menatap layar televisi, menonton drama yang tak benar-benar ia ikuti alurnya. Di sela-sela episode, rasa bersalah datang seperti tamu yang selalu tahu alamat.
Suatu Jumat, kantor memintanya lembur mengejar dokumen LC. Saat semua usai, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Di trotoar yang basah hujan, Ratu memutuskan menepi ke kafe yang dulu menjadi tempatnya menyusun mimpi—sebuah kedai kecil di bilangan Setiabudi yang memutar jazz klasik, lampu temaram, dan aroma kayu manis dari pastry yang baru matang. Ia memilih sudut yang sama: dekat rak majalah, dekat colokan listrik, dekat dirinya yang dulu.
Di sana, suara tepuk tangan kecil menyambutnya dari kejauhan. Seorang perempuan menandatangani buku, senyum yang tidak asing, mata yang pernah melintas di koridor sekolahnya. Duraesih. Adik kelasnya di SMA, kini penulis yang sampul-sampul bukunya sering melintas di linimasa.
“Ratu?” suara itu menembus kabut kenangan.
Ratu menoleh, kaku, kemudian hangat. “Dura… lama sekali.”
Mereka berbicara. Tentang masa lalu yang dirasa seperti kemarin, tentang masa kini yang terasa panjang, tentang mimpi yang beberapa orang berani kejar dan beberapa orang berani lupakan. Duraesih bertanya, ringan tapi menusuk: “Kamu masih nulis?”
Ratu tertawa, seperti menutup malu. “Kadang, tapi… cuma buat diri sendiri.”
“Kalau masih sayang, jangan cuma disimpan.” Duraesih menatapnya bukan sebagai bintang panggung, melainkan sesama manusia yang percaya pada selembar halaman kosong. “Kamu nggak perlu menunggu siap. Mulai saja, meski ragu masih tinggal.”
Kalimat itu pulang bersama Ratu malam itu, duduk di sampingnya di kursi taksi, ikut masuk ke lift, berdiri di ambang pintu apartemen, dan menatap laptop yang masih berdebu. Ratu menghapus debu dengan tisu, menyalakan perangkat itu, dan membuka “Bab 1—Novelku.” Baris pertama menyambutnya seperti sahabat yang lama tak berjumpa. Lama ia menatap, jari-jarinya menggigil, lalu sebuah kalimat baru menetes. Satu paragraf, kemudian satu lagi. Tidak banyak, tapi ada. Nyala kecil itu menyilaukan gelap yang terlalu lama.
• • •
Keesokan hari, Ratu menetapkan janji yang sederhana pada dirinya: 500 kata sehari, apapun yang terjadi. Ia menempelkan catatan di kulkas: “Kalahkan notifikasi.” Ia memasang timer 25 menit—metode Pomodoro yang pernah ia baca tapi tak pernah ia rayakan. Ia mematikan notifikasi dua jam setiap malam. Ia mengganti kebiasaan men-scrolling dengan men-scribbling: catatan kecil di ponsel sepanjang perjalanan KRL, ide-ide yang muncul di lampu merah, potongan dialog yang lahir saat menunggu lift berhenti di lantainya.
Tidak selalu mulus. Ada hari-hari ketika angka-angka di kantor memburu, kepala berat, dan 500 kata terasa seperti pendakian tak berujung. Ada Minggu ketika undangan arisan keluarga membuat targetnya bergeser. Ada malam ketika ia menatap kursor berkedip-kedip, seolah mengejeknya. Namun ada juga pagi ketika satu adegan rampung seperti keajaiban: ibu-ibu mengantre minyak goreng, anak kecil yang memeluk komik, dan lelaki paruh baya yang menahan air mata di halte. Jakarta memberi panggung, Ratu menulis dialog.
Ratu mencari kawan sejalan. Di sebuah forum daring bernama Balairung Serat Menak, ia menemukan rumah. Di sana ada Amir Ambyah—yang tutur katanya selalu menenangkan, Umar Maya—jenaka, cerdas, suka mengiritasi beku, Maktal—tajam, tak segan membedah struktur hingga ke tulang, dan Prabu Rum—hemat kata, tapi satu kalimat darinya seperti kompas.
Suatu malam, Ratu mengunggah bab pertamanya. Detik-detik menunggu komentar terasa seperti menunggu hasil tes penting. Amir Ambyah menulis: “Kejujuran suaramu terasa. Pertahankan denyut itu. Jangan sibuk terdengar pintar, sibuklah terdengar manusia.” Umar Maya menyusul: “Dialognya hidup, tapi hati-hati repetisi. Potong dua kalimat, tabung napas pembaca.” Maktal menyayat tanpa berdarah: “Tokoh sampingmu ingin bicara. Beri ruang, bukan sekadar properti.” Lalu Prabu Rum: “Teruskan.”
Empat huruf itu mengalirkan listrik ke jemari Ratu. Teruskan. Ia menempel kata itu di dinding kamarnya, di layar depannya, di dadanya yang sering goyah.
• • •
Musim hujan menutup kuartal bisnis, Ratu menutup bab demi bab. Setiap selesai satu bagian, ia menghadiahi diri sendiri: secangkir teh melati, berjalan kaki memutari taman, atau menonton satu episode drama tanpa rasa bersalah. Ia belajar akuntansi paling personal: menabung nyala kecil hingga berubah jadi terang.
Suatu sore, telepon dari ibunya di Surabaya datang. “Ratu, kapan pulang? Kamu kerja terus. Kapan… kamu mikir serius soal rumah tangga?” Pertanyaan yang akrab di telinga perempuan 29 tahun. Ratu menghela napas dan tertawa, “Bu, rumah tangga juga mimpi, tapi sekarang aku lagi menepati janji lain dulu: nulis.”
Keheningan di seberang sebentar. Lalu lembut, ibunya berkata: “Kalau itu yang bikin hatimu terang, Ibu restu.”
Restu itu seperti tanda tangan di halaman awal: legitimasi untuk berani.
• • •
Enam bulan setelah pertemuan di kafe, naskah Ratu selesai—sekitar 75.000 kata yang ia sebut “kota yang belajar melambat.” Ia menyuntingnya tiga putaran, dibantu catatan Balairung, menghapus bagian yang ia cintai tapi tak dibutuhkan—belajar melepaskan, sesuatu yang tak cuma berlaku pada manusia tetapi juga paragraf. Ia menyusun sinopsis rapi, menyiapkan surat pengantar yang ringkas, menahan impuls untuk merendah berlebihan. Lalu ia mengirim ke lima penerbit.
Tiga menolak, sopan sekaligus dingin. Satu tak memberi kabar—senyap yang menyiksa. Ratu duduk di teras, memandangi daun kering di pot yang terlambat disiram. Ia merasakan sebuah luka kecil yang justru membuatnya lebih hidup: ditolak berarti dilihat, tak lagi tidak ada. Ia menulis lagi—bukan untuk menghibur diri, tapi untuk berjaga agar nyala tidak padam.
Email penerimaan datang di hari Selasa pukul 09.14, di tengah rapat membahas demurrage. Subjeknya singkat: “Kami menyukainya.” Telapak tangan Ratu basah. Ia mengangkat kepalanya dari layar, dunia kantor tetap berputar, angka-angka tetap mengalir. Namun di dalam dirinya, sesuatu melompat, memeluknya dari belakang, berkata: “Kamu tidak gila. Kamu hanya setia.”
Ia menekan nomor Duraesih. “Dur… naskahku diterima.” Di ujung sana, sorak kecil meledak. “Aku sudah tunggu kalimat itu dari kamu.”
• • •
Peluncuran buku diadakan di kafe yang sama. Lampu, poster, tumpukan buku dengan namanya di sampul—sederhana, tapi bagi Ratu, megah. Amir Ambyah datang, tubuhnya kurus, matanya terang. Umar Maya menggodanya di panggung: “Kalau kamu bisa, berarti kita semua nggak ada alasan.” Tawa mengalun. Maktal merapat setelah acara, menunjuk satu halaman. “Kalimat ini kamu rapikan sedikit—untuk cetak ulang.” Prabu Rum hanya menjabat tangan Ratu lama-lama, tidak banyak kata, tapi genggamannya seperti doa yang diucapkan dari sela nadi.
Di antara tamu, ada seorang perempuan muda yang berdiri paling belakang, menunggu kerumunan longgar. “Mbak Ratu,” suaranya bergetar, “aku berhenti nulis dua tahun. Hari ini aku mulai lagi.” Ratu menunduk menahan air mata yang sudah sejak tadi mendesak. Ia menulis nama perempuan itu di halaman depan buku: “Untuk yang tak lagi bersembunyi dari mimpinya.”
• • •
Beberapa bulan kemudian, sebuah komunitas menulis mengundangnya berbagi di auditorium kecil di bilangan BSD. Ratu, yang dulu gemetar di hadapan kelas saat membaca puisi, kini berdiri di podium, bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai saksi. “Saya dulu tokoh pendukung di cerita saya sendiri,” katanya, “kini saya berlatih mengambil peran utama. Bukan untuk terkenal. Untuk menepati janji pada gadis SMP yang menempelkan puisi di mading.”
Ia membagikan hal-hal yang kelihatannya kecil tapi menyelamatkannya:
-
Ritual Lima Menit: duduk, tarik napas, tulis satu kalimat jelek. Kalimat jelek pertama adalah pintu untuk kalimat-kalimat jujur berikutnya.
-
Jam Senyap: dua jam setiap malam tanpa notifikasi. “Kalau perlu, pakai ponsel jadul atau mode pesawat. Biar ide punya landasan pacu.”
-
Tiga Sahabat Kritis: carilah tiga pembaca yang berani jujur dan sayang pada tulisan, bukan pada egomu.
-
Buku Harian Proses: catat naik-turun, bukan hanya target. Agar ketika ragu datang, kamu bisa baca ulang bukti bahwa kamu pernah menang.
-
Pengajuan Terencana: siapkan daftar penerbit, kirim bertahap, atur jeda, dan sambil menunggu—tulis karya baru.
“Menunda juga pilihan,” kata Ratu. “Tapi menepati janji adalah arah.”
Tepuk tangan menggema, bukan untuk kisah sukses, melainkan untuk keberanian yang selalu mungkin ditiru.
• • •
Malam itu, Ratu menyusuri trotoar SCBD. Gedung-gedung kaca memantulkan wajahnya: seorang perempuan 29 tahun dengan ransel kecil, rambut diikat, dan mata yang tidak lagi redup. Di etalase sebuah toko buku, sampul bukunya dipajang. Bukan yang paling besar, bukan yang paling depan, tapi cukup untuk membuatnya berhenti, menatap, dan berbisik pada dirinya sendiri: “Terima kasih sudah tidak menyerah.” Ia memotret pantulan, mengirimkannya kepada ibunya. Balasan datang cepat: foto dapur, panci beruap. “Kalau pulang, Ibu masak rawon. Untuk merayakan.”
Ratu tertawa. Kebahagiaan, rupanya, tidak selalu gemuruh. Kadang ia datang sebagai semangkuk hangat dan punggung yang ditepuk pelan.
Di rumah, ia membuka dokumen baru: “Novel Kedua.” Kursor berkedip-kedip seperti lampu kecil di ujung lorong. Ratu mengetik kalimat pertama dengan tenang, karena sekarang ia tahu: keberhasilan bukan satu acara peluncuran, melainkan kebiasaan menepati janji pada hal yang kita cintai—hari ini, besok, besoknya lagi.
• • •
Setahun setelah itu, Balairung Serat Menak mengadakan pertemuan luring. Mereka memilih Surabaya, kota yang bagi Ratu selalu seperti saudara tua: keras kepala, tapi hangat. Amir Ambyah datang membawa buku catatan lusuh; Umar Maya hadir dengan kaus oblong penuh candaan; Maktal bermodal stabilo dan sticky notes; Prabu Rum, seperti biasa, hanya membawa tatapan yang bisa menenangkan badai. Duraesih muncul diam-diam dan duduk di belakang, memberi ruang bagi panggung Ratu.
Mereka berbagi makan siang di warung rawon kampung—rawon yang, entah bagaimana, terasa seperti hadiah dari ibu-ibu yang selalu tahu apa isi hati anaknya. Di ujung pertemuan, Amir berkata, “Menulis itu sebenarnya bukan tentang kata-kata. Ia tentang keberanian memberi tempat bagi hidupmu sendiri.”
“Dan tentang belajar menerima,” tambah Maktal. “Bahwa tak semua yang kita cintai, layak tinggal di teks terakhir.”
“Dan tentang selera humor,” potong Umar, “karena tanpa itu, kita sudah lama patah.”
Prabu Rum menatap Ratu. “Dan tentang pulang.”
Ratu mengangguk. Pulang—kepada diri yang pernah percaya. Pulang—kepada janji yang dulu terucap. Pulang—kepada mimpi yang sempat menunggu terlalu lama, namun tidak pernah benar-benar pergi.
• • •
Di kereta kembali ke Jakarta, Ratu menulis di ponselnya. Jendela memantulkan wajahnya yang letih tapi damai. Ia menuliskan sebuah kalimat untuk dibagikan nanti: “Tidak ada mimpi yang terlambat. Yang ada hanyalah keberanian yang ditunda. Dan keberanian, syukurlah, bisa kita jadwalkan ulang.”
Ketika kereta memasuki kota yang berkilau dan kusam sekaligus, Ratu menatap langit yang memantulkan neon. Barangkali Jakarta tidak pernah benar-benar tidur; tetapi malam ini, mimpi seseorang sudah terbangun.
Dan ia memilih untuk tetap terjaga.
—
Catatan kecil untukmu yang membaca hingga sini:
Jika kamu sedang menunda mimpi, cobalah satu hal sederhana malam ini: tulis satu kalimat jelek. Besok, tulis satu lagi. Selebihnya, biarkan hidup bekerja sama denganmu.
.
.
.
Jember, 10 Juli 2025
.
.
#MengejarMimpiYangTertunda #CerpenUrban #MenakMadura #MotivasiMenulis #JakartaStories #KelasMenengah #DisiplinDiri #BalairungSeratMenak