Menari di Tengah Badai
“Resiliensi bukan tentang tidak roboh; ia tentang menemukan ritme baru setiap kali angin mengubah arah. Dan volatilitas bukan musuh—ia metronom yang mengajari kita menari.”
.
Di lantai tiga sebuah gedung kaca di bilangan Sudirman, lampu-lampu kota memantul seperti serpih cahaya di permukaan air yang gelisah. Dari meja kayu dekat jendela, Panji menatap layar laptopnya yang dihujani angka—cashflow, burn rate, proyeksi tiga kuartal ke depan. Di luar, Jakarta merambat pelan, riuh tapi tampak sabar. Di dalam, dadanya seperti drum dipukul bertalu-talu.
Coworking space ini punya wangi yang khas: kopi, ambisi, dan tak sedikit harap yang dipanaskan ulang. Di kursi seberang, Gunungsari—sepupu sekaligus cofounder—mengembuskan napas panjang. “Kau yakin dengan deck presentasi yang ini?” tanyanya, menepuk map berlogo Rengkuh—aplikasi yang mereka bangun untuk memberi etalase digital sederhana bagi pedagang kecil yang alergi pada dashboard rumit.
“Aku yakin dengan pelajarannya,” jawab Panji tanpa mengalihkan pandangan. “Dengan hasilnya, aku belajar sabar.”
“Kau terdengar seperti buku catatan kelas delapan.”
“Kelas delapan itu waktu aku pertama kali kalah lomba pidato. Guru bilang kalah itu bukan bencana, hanya latihan paru-paru.”
Gunungsari terkekeh, lalu mendongak ketika pintu kaca terbuka. Braja datang—mantan eksekutif yang kini lebih sering berbau serbuk kayu dari bengkelnya di Tebet. Rambut peraknya ditarik rapi, langkahnya enteng, suaranya selalu terdengar seperti seseorang yang tahu jam berapa seharusnya sebuah ruangan bernapas.
“Anak-anak badai,” sapanya. “Sudah siap diombang-ambing?”
“Kami berharap peta,” kata Panji, “tapi membawa jaket hujan.”
Braja duduk, menatap presentasi yang terhampar. “Kau akan menemui Kelana. Ia suka angka yang berlari dan cerita yang meyakinkan diri sendiri.”
“Kami akan menunjukkan angka yang berjalan dan cerita yang belajar membungkuk.”
“Bagus,” ujar Braja. “Ingat, volatilitas pasar itu seperti jangkrik di kebun—berisik, tapi kalau kau paham polanya, ia justru membimbingmu pulang.”
.
Di apartemen mungilnya, Sekar mengaduk sop buntut dengan api kecil. Dapur hangat, jendela memantulkan langit senja. Putri mereka, Raras, baru pulang latihan paduan suara. “Ayah presentasi hari ini, Bu?” tanyanya sambil menaruh tas.
“Sebentar lagi,” jawab Sekar. “Doakan ia tidak jatuh cinta pada tepuk tangan. Doakan ia tetap setia pada ritme kerja.”
“Doa apa itu?” Raras tertawa.
“Doa agar kita tidak dibius harapan orang lain.”
Raras mengangguk, lalu menempelkan sticky note di kulkas: Jangan lupa bernapas. Ia menambahkan gambar not balok kecil—kebiasaan barunya sejak masuk SMP Musik. “Kalau Ayah lupa, bilang ini dari konduktor,” katanya.
Sekar tersenyum. Ia menaruh sop di mangkuk, menyiapkan nasi, menyimpan satu porsi di termos kecil. “Biar Ayah makan usai perang,” gumamnya.
.
Pertemuan dengan Kelana berlangsung di roastery Senopati yang memajang mesin-mesin berkilau seperti patung modern. Kelana tiba dengan jam tangan yang harganya bisa membeli tiga kios di Rawabelong, senyum tegas, dan kalimat yang dirangkai untuk memisahkan pemenang dan sisanya.
“Aku dengar Rengkuh ingin menata etalase digital UMKM, tapi tanpa memaksa mereka menjadi pakar teknologi?” tanya Kelana, mencondongkan badan.
“Kami ingin memudahkan pedagang untuk berjualan di tempat yang sudah mereka pahami,” jawab Panji. “Katalog via WhatsApp, pengingat pesanan lewat SMS, dan pickup terjadwal. Ke depan, kami bantu retensi—bukan sekadar checkout.”
“Skalabilitas?” Kelana mengerling.
“Kami mulai dari tiga distrik. Pelan, tapi hidup.”
Kelana menatap deck. “Investorku menyukai kurva yang menusuk langit. Ini… kurva yang berusaha berjalan.”
“Langit tinggi memang menggiurkan,” sela Gunungsari, “tapi kami ingin memastikan kaki kami masih menapak.”
Kelana tertawa pendek. “Kalian filosof. Aku pragmatis. Q4 kami diarahkan ke produk finansial. Putaran ini, belum. Namun… kirimkan update tiap dua bulan. Maret tahun depan kita bicara lagi.”
Kalimat itu jatuh seperti koin di meja marmer—dingin, jelas, tak punya rasa kasihan. Panji mengangguk. Ia tak bernegosiasi. Latihannya hari ini bukan untuk memenangkan, melainkan untuk menerima. Usai salam, ia berjalan keluar, menyimpan ponselnya, dan bergerak menuju tempat yang selalu tahu caranya menyembuhkan: rumah.
.
Di meja makan, sop buntut mengeluarkan uap dan aroma yang membuat tubuh merasa diampuni. “Bagaimana?” tanya Sekar.
“Ditunda,” jawab Panji. “Dan itu lebih jujur daripada janji yang memabukkan.”
Raras meraih termos kecil yang dibawakan ibunya. “Ayah, kalau hari ini badai, kita menari saja. Maestro bilang, kalau konduktor mempercepat, penyanyi jangan panik. Dengarkan napas sendiri.”
“Maestro itu Braja versi paduan suara,” gumam Panji, bangga pada anaknya dan pada kehidupan yang mengajarkan metafora gratis.
Mereka makan pelan. Sekar menatap Panji. “Kau tidak harus jadi pahlawan di meja ini,” ucapnya. “Kau boleh lelah. Besok kita hitung ulang.”
“Hitung apa?”
“Hitung hal-hal yang tidak terlihat di rekening, tapi terasa di cara kita berpikir.”
.
Dua minggu selanjutnya Panji menurunkan nada mimpi. Bukan mematikannya; hanya menyesuaikan tempo agar tidak fals. Ia mengajak Gunungsari membuat onboarding sesederhana pesan suara. “Pelanggan kita tidak mau tutorial tiga puluh menit,” katanya, “mereka mau langkah pertama yang tidak membuat mereka merasa bodoh.”
Mereka memulai dengan tiga klien: Rengganis di kios bunga Rawabelong; Wirun, pemilik bengkel sepatu yang tangannya selalu berbau lem di Cikini; dan Sekar Santa, yang menjaga toko buku bekas di Pasar Santa seperti menjaga altar kenangan.
“Nama Rengkuh itu bagus,” kata Rengganis saat mereka memotret buket krisan. “Tapi apakah ia akan merengkuh aku yang gaptek?”
“Kalau tidak, namanya akan kami ganti jadi Rendah Hati,” canda Panji.
“Lebih baik Rendah Hati Rapi,” sela Gunungsari.
Di bengkel sepatu, Wirun mengelus sol kulit. “Pelangganku setia. Mereka suka datang, duduk, menunggu sambil baca koran. Untuk apa toko online?”
“Untuk anak dan cucu pelanggan itu,” jawab Panji. “Yang setianya sama, tapi waktunya lebih pelit.”
Wirun tidak cepat percaya, tapi ia memberi izin untuk mencoba. Di Pasar Santa, Sekar Santa menepuk-nepuk tumpukan buku. “Engkau tahu, Panji, buku punya kehidupan kedua. Tugasmu memastikan hidup kedua itu tidak dikhianati.”
“Dan tugas saya memastikan perjalanan antara hidup pertama dan kedua tidak tersesat,” balas Panji.
Ketiganya menjadi laboratorium: Rengkuh membangun fitur pengingat ulang tahun pernikahan bagi pelanggan Rengganis; menambahkan pickup malam hari untuk Wirun; dan newsletter bulanan untuk Sekar Santa—bukan dengan tombol beli sekarang yang agresif, melainkan catatan pendek tentang bau halaman, gerutu penulis, dan ilham yang mengendap. Lalu statistik kecil yang jujur: berapa yang kembali membeli, bukan sekadar berapa yang mampir dan hilang.
“Retensi adalah cinta yang diukur tanpa drama,” tulis Panji di planner—kalimat yang kemudian ia paku di kepala.
.
Volatilitas tidak pernah minta izin saat datang. Server Rengkuh diserang bot suatu malam. Tagihan melambung. Panji menatap notifikasi seperti menatap sirene ambulans. Ia menghubungi pemasok server, menegosiasikan credit. Di balkon, ponsel di tangan, ia menghitung ulang napas.
Raras menghampiri dengan kertas warna-warni. “Kalau angka-angka memburu Ayah, ayo kita gambar.”
“Gambar apa?”
“Alur yang bolong. Kita tutup dengan not. Ini kanban yang bisa dinyanyikan.”
Malam itu, lemari es apartemen berubah jadi papan proyek: Bug, Debt, Feature, Learning. Sekar memimpin rapat kecil, suaranya stabil. “Kita tidak sedang miskin,” katanya, “kita sedang berinvestasi pada ketahanan.”
Panji tersenyum. Kalah bisa dibagi; ketika dibagi, ia sembuh separuhnya.
.
Di sebuah siang yang tampak biasa, badai menurunkan palu di kepala mereka. Seorang influencer memesan buket besar, pengantaran terlambat lima puluh menit karena driver mendadak demam dan sistem backup belum rapi. “Worst customer service ever!” tulisnya, diakhiri emoji api. Komentar menyembur.
Gunungsari tegang. “Aku balas pakai template permintaan maaf?”
“Tidak,” kata Panji. “Kita cari faktanya, minta maaf tanpa alasan. Lalu ganti buketnya, batalkan tagihannya. Dan kita jelaskan proses perbaikan. Jangan mengemis maaf—bangun kembali kepercayaan.”
“Kalau mereka tetap marah?”
“Kita terima. Kemarahan mereka adalah bunga tagihan dari keteledoran kita.”
Malam itu, tim bekerja hingga dini hari. Sekar menaruh nasi goreng di meja, Raras mengirim sticker penyemangat. Panji menyaksikan bagaimana badai tidak selalu menghancurkan; ia bisa menjadi konduktor yang memaksa orkestra menyetem ulang.
Pagi berikutnya, Braja mengirim pesan: Ini bukan krisis reputasi; ini latihan peradaban. Panji memutar kata-kata itu seperti manik-manik. Peradaban: cara kita memperlakukan orang ketika kita salah.
Seminggu kemudian, influencer yang sama memesan lagi—diam-diam, tanpa unggahan. Ia mengirim pesan: “Kali ini tepat waktu. Terima kasih sudah memperbaiki, bukan sekadar meminta maaf.” Panji menahan senyum. Kemenangan bukan trending, melainkan pelanggan yang kembali diam-diam.
.
Waktu bergerak. Rengkuh belum menjadi unicorn. Tapi grafik kecil menunjukkan tanda-tanda yang lebih meyakinkan ketimbang sorak: tingkat kembali membeli meningkat, churn menurun, jam tidur tim membaik. Panji menaikkan sedikit gaji dua karyawan, jujur, “Ini belum membuat kalian kaya, tapi semoga membuat kita sama-sama kuat.”
Di rumah, Sekar menghitung ulang anggaran: perjalanan ditunda, langganan hiburan dipangkas, tetapi mereka sepakat satu hal: jangan memotong anggaran buku dan pelatihan. “Kita boleh makan mi instan,” ujar Sekar, “asal pikiran tidak ikut instan.”
Ayah Sekar, pensiunan bankir yang lurus seperti garis tepi buku tabungan, suatu malam bertanya pelan, “Bisnismu sudah menghasilkan?”
“Pelajaran yang membuat kami bertahan,” jawab Panji. “Uang menyusul, Pak, pelan tapi jujur.”
Ayah Sekar menatap lama, kemudian menepuk bahu menantunya. “Kalau begitu, bayar zakat pikiranmu: kurangi sombong, tambah jernih.”
Kalimat itu menjadi mantra. Panji menulisnya di planner: Zakat pikiran: kurangi sombong, tambah jernih.
.
Undangan datang dari kampus swasta di Kemang: kelas kewirausahaan meminta Panji berbagi. Di depan mahasiswa dengan laptop mengilap, ia berbicara tanpa slide gemerlap.
“Pelajaran pertama,” katanya, “bisnis pertama adalah ruang latihan mental. Ia mengajarkan menatap penolakan sambil menolak menyalahkan siapa pun. Ia melatih kita bernapas ketika tempo berubah tanpa pemberitahuan.”
“Pelajaran kedua: transformasi dari pola pikir karyawan menjadi pola pikir pengusaha. Dari ‘berapa yang aku dapat?’ menjadi ‘nilai apa yang kubuat hari ini?’”
“Pelajaran ketiga: kegagalan pertama adalah modal intelektual. Ia mahal, tapi lebih murah daripada kedewasaan yang tak pernah datang.”
Seorang mahasiswa mengacungkan tangan. “Bagaimana dengan modal uang?”
“Penting,” kata Panji, “tapi modal mental lebih mahal. Uang habis, mental tahan banting memproduksi cara baru. Kau bisa meminjam duit, tapi kau tidak bisa meminjam disiplin.”
Di akhir sesi, seorang mahasiswi mendekat, berbisik, “Kak, terima kasih tidak menjual impian yang terburu-buru.” Panji mengangguk; ada kegembiraan yang lebih awet dari tepuk tangan: rasa bahwa kata-katanya tidak membuat orang mabuk.
.
Maret datang dengan hujan yang wajar. Satu pagi, email dari Kelana masuk. “Tim kami butuh layananmu untuk dua puluh kios partner,” tulisnya. “Bukan investasi; kami membayar bulanan. Tertarik?”
Panji menatap layar. Di versi lamanya, ia akan melompat—menawarkan diskon besar demi nama besar. Versi hari ini mengetik pelan: Kami tertarik. Namun izinkan kami menolak diskon awal yang mengganggu struktur layanan kami. Kami ingin tumbuh dengan harga yang jujur, agar ritme kami tidak patah.
Balasan Kelana cepat. “Kau menyebalkan.” Lalu jeda singkat. “Tapi benar. Deal.”
Panji bersandar, menatap jendela. Badai tidak berhenti; ia hanya mengajari ritme. Sekar memanggil dari dapur. “Ayah, Raras lolos seleksi paduan suara kota. Latihan tiap malam selama dua minggu.”
“Hebat,” seru Panji. Raras muncul dengan bibir belepotan selai stroberi. “Ayah,” katanya, “kalau konduktor mempercepat, penyanyi jangan terpental. Dengarkan ketukan dari dalam mulut sendiri.” Ia mengetuk-ngetuk dada. “Di sini.”
Panji mengangguk. Di sana, di ruang kecil antara napas masuk dan keluar, ia menemukan ulang definisi resiliensi: bukan otot yang tak lelah, melainkan telinga yang mau terus belajar.
.
Lebaran mendekat. Di toko Rengganis, bunga-bunga disusun seperti baris doa yang mekar. Di bengkel Wirun, sepatu-sepatu siap pulang. Di Pasar Santa, Sekar Santa menulis esai bulanannya: Buku yang baik tidak memaksa dibaca habis—ia sabar menunggu pembacanya kembali.
Panji menulis pesan kepada tiga klien pertamanya: “Terima kasih. Maaf atas telat, atas salah, atas kurang. Setelah libur, kami menambah fitur jadwal kirim dan bantuan WhatsApp yang lebih manusiawi.” Balasan masuk—bukan sekadar emoji jempol, melainkan kalimat yang memeluk balik: Lanjutkan. Pelan pun tak apa, asal tidak menipu.
Malam takbiran, Panji membuka planner—halaman yang sudah penuh catatan: Retensi adalah cinta yang diukur tanpa drama. Ekspektasi adalah senar gitar: terlalu kencang putus, terlalu kendur fals. Kartu pelajaran lebih penting dari kartu nama. Zakat pikiran: kurangi sombong, tambah jernih.
Ia menambahkan satu paragraf: Volatilitas bukan badai yang harus dikutuk, melainkan metronom yang harus dipelajari. Resiliensi adalah kesediaan menyetem ulang tanpa henti.
.
Lebaran hari pertama, keluarga berkumpul di rumah orang tua Sekar. Sofa krem, karpet nyaris putih, suara televisi yang pelan-pelan kalah oleh suara anggota keluarga yang berebut cerita. Ayah Sekar memandang Panji, tak sekeras dulu. “Kau tampak lebih ringan,” katanya.
“Bukan karena masalah berkurang,” jawab Panji. “Karena cara memikulnya berubah.”
“Ah, kau benar-benar menantu yang pandai memilih diksi.” Ayah Sekar tertawa kecil, lalu menatap Raras. “Kau akan tampil kapan?”
“Minggu depan, Kek.”
“Nanti kakek datang, asal dirimu berjanji satu hal.”
“Apa?”
“Nyanyikan juga untuk ayahmu yang sedang menari di tengah badai.”
Semua tertawa. Panji menunduk, menahan sesuatu yang meleleh dari dalam dirinya. Bukan air mata sedih; air yang datang saat seseorang menemukan kata yang selama ini ia cari.
.
Hari-hari berikutnya, Rengkuh tumbuh dalam ritme yang tidak membuat jantung pecah. Mereka tak mengejar semua yang berkilau; mereka memilih yang bisa dipegang. Di rapat pagi, Panji membiasakan tiga pertanyaan: Apa yang kita pelajari kemarin? Apa yang kita rapikan hari ini? Apa yang kita jaga agar tidak tergoda besok? Pertanyaan ketiga yang paling sulit—godaan untuk mempercepat tanpa kesiapan selalu muncul dengan outfit baru.
Suatu malam, di jendela apartemen, Panji memandang lampu-lampu kota. Sekar menyandarkan kepala di bahunya. “Kau ingat judul lamamu—Ruang Tunggu yang Mengajari Bernapas?” tanya Sekar.
“Ingat.”
“Sekarang kau tidak di ruang tunggu lagi. Kau di panggung. Musiknya makin cepat. Tapi kau tidak lagi mengejar. Kau menari.”
Panji tertawa kecil. “Aku takut lupa gerakan.”
“Kalau lupa,” jawab Sekar, “dengar napas sendiri.”
Ia memejamkan mata. Di balik kelopak, Panji melihat fragmen: Braja di bengkel kayu, memberikan planner kosong; Kelana yang akhirnya berkata deal; Rengganis yang merangkai buket seperti menyusun paragraf paling lembut; Wirun yang hidungnya menempel lem tapi hatinya bersih; Sekar Santa yang sabar membiarkan buku menemukan pembacanya; Raras yang mengetuk dadanya sendiri dan memanggil ritme keluar.
Kota tetap bising, pasar tetap tak pasti, cicilan tetap menagih. Tapi jembatan yang mereka bangun sudah melintasi jurang kecil: jurang antara ekspektasi orang lain dan ritme sendiri. Di atas jembatan itu, Panji menari. Tidak gagah, tidak dramatis. Tapi utuh.
Dan badai—yang dulu terasa seperti ancaman—kini menjadi musik latarnya.
.
.
.
Malang, 19 November 2025
.
.
#MenariDiTengahBadai #Resiliensi #Volatilitas #UMKMDigital #StartupIndonesia #BelajarDariGagal #RetensiPelanggan #MentalTahanBanting
.
Kutipan-kutipan sisipan
-
“Ekspektasi adalah senar gitar: terlalu kencang putus, terlalu kendur fals.”
-
“Retensi adalah cinta yang diukur tanpa drama.”
-
“Kartu pelajaran lebih penting dari kartu nama.”
-
“Volatilitas adalah metronom; resiliensi adalah kemauan menyetem ulang.”