Manfaat yang Tidak Tercatat
“Menjadi baik itu tidak ribut. Tidak butuh pengakuan. Kadang malah disalahpahami. Tapi diam-diam, ia menyelamatkan banyak orang.”
.
Langit Jakarta pagi itu abu-abu, seperti kertas fotokopi yang sudah kehabisan tinta. Hujan semalam menetes dari bibir kanopi ruko-ruko, merapalkan bunyi ritmis ke bak kontrol air. Di Terminal Kampung Rambutan, Zainul berdiri di dekat pintu belakang, ransel hitam memeluk tulang punggungnya. Bukan ransel untuk pelesir; di dalamnya ada kaus ganti, dua eksemplar buku catatan, payung lipat, dan setumpuk tanggung jawab yang belum sempat dirapikan.
Sudah sepuluh tahun ia menjadi wajah yang menyambut dan melepas di sebuah hotel bintang empat di koridor Gatot Subroto—koridor lampu neon, janji promosi, dan retakan halus yang tak masuk struktur gaji. Ia setia pada bahasa-bahasa kecil: kerapian lipatan selimut, kejujuran tatapan mata, kecepatan meminta maaf. Jakarta memberinya kelimpahan suara; ia memilih mendengar yang paling pelan.
Semalam, Sariyah—rekan kerjanya di front office—berkata sambil menutup laci receipt, “Kamu itu selalu benar di waktu yang salah, Zain. Makanya orang-orang gak ngerti kamu.”
Kata-kata itu menempel seperti embun di kaca bus; tidak hilang, hanya berpindah bentuk ketika diseka.
.
Antara Attitude dan Image
Manajer barunya, Hasan, datang dengan jas licin, parfum mahal, dan senyum seperti garis penggaris—lurus, terukur, tidak pernah berantakan. Ia memamerkan presentasi tentang experience mapping, angka konversi, dan grafik kepuasan tamu. Di slide terakhir tertulis slogan: Smile Wider, Win Wider.
“Kamu terlalu idealis, Zainul,” ujarnya pada rapat pagi. “Hospitality itu soal image. Kalau senyummu kecil, tamu bisa kabur ke hotel sebelah.”
Zainul tidak menjawab. Ia teringat petuah kakeknya di Sumenep, yang dulu menggembalakan angin di ladang garam dan menamai bayangan dengan sabar: “Olang benem alle manfaat, bennah jhâ’ bhâkka. Mon benem jhâ’ manfaat, lok kana’ omor.” Jadilah orang yang bermanfaat, bukan sekadar tampak baik. Orang yang tampak baik belum tentu berguna; yang berguna pasti baik. Kakek meminjam hikmah dari kisah-kisah Menak yang ia dengar dari pasar malam: kisah orang yang menolak singgasana demi menjaga hati, tokoh bernama Wirya yang menepati janji sampai ujung sepatu, seorang Jokot yang menundukkan diri sebelum menundukkan masalah.
Di ruang rapat, kata-kata itu tidak laku. Yang terjual hanya look and feel. Zainul menunduk, merapikan pen. Ada jeda yang tidak bisa ditembus.
.
Kota yang Tak Mengingat
Siang itu, TransJakarta mengantarkan Zainul melewati deret reklame yang menyala seperti buku pelajaran ekonomi: *invest now, stay later, pay never—*slogan yang lebih percaya diri daripada manusia. Gedung-gedung menatap balik, kaca-kacanya dingin seperti mata yang terlalu sering memeriksa angka.
Di ponsel, satu pesan muncul: dari Adinda—tamu yang pernah panik di dalam lift karena trauma masa kecil. Zainul menenangkannya dengan duduk di lantai lift, membagikan permen jahe dari kantong seragam, dan mengajak menghitung napas seperti anak-anak menghitung bintang. Pesan itu singkat:
Mas Zainul… saya akhirnya berani naik lift sendiri. Terima kasih sudah jadi orang yang diem-diem nolongin saya. Gak semua orang kayak gitu.
Warmth merambat pelan, seperti teh tubruk di sore gerimis. Di lembar KPI bulanan, tidak ada indikator untuk perasaan seperti itu. Tapi barangkali, hal-hal yang benar justru tidak punya kolom.
.
Peron, Nasi Bungkus, dan Nama yang Dipinjam
Sore itu Zainul duduk di peron Stasiun Tebet, hamparan rel berkilau oleh sisa hujan. Ia makan nasi bungkus: orek tempe, telur balado, sambal yang menggigit di ujung lidah. Di sampingnya seorang lelaki tua menjajakan rokok ketengan. Kulitnya lapuk oleh matahari, suaranya dalam seperti sumur.
“Abis kehilangan ya?” tanya lelaki itu, menatap lurus ke rel.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Zainul.
“Jangan hilang semangat, Nak. Dunia ini banyak yang palsu, tapi manfaatmu jangan ikut-ikutan palsu.”
Zainul menoleh. “Bapak namanya siapa?”
“Gafar.” Ia tersenyum sedikit. “Dulu saya disapa Wirya sama teman-teman, karena katanya saya paling menepati janji. Sekarang sudah ndak ada yang manggil begitu. Nama itu tinggal di kepala saya.”
Nama yang dipinjam dari kisah lama, pikir Zainul. Wirya seperti tokoh dalam hikayat yang melintasi Sumekar lalu menyeberang ke kota-kota bertingkat; tinggal di mulut orang tua penjual rokok, menyala sebentar, lalu padam. Tapi padam pun tetap menyisakan garis hangat.
.
Malam dan Sebuah Keputusan
Malam menetes dari gelagar jembatan ketika Zainul kembali ke hotel, bukan sebagai prajurit yang kalah atau pahlawan yang menang, melainkan seseorang yang ingin jujur pada dirinya sendiri. Di laptopnya, surat pengunduran diri sudah terbuka. Ia mengetik pelan: tentang kelelahan yang tidak disediakan kursi, tentang tidak ingin menjadi cermin yang hanya memantulkan senyum orang lain.
Sebelum ia mencetak, pintu lobi terbuka. Seorang ibu, dua anak menggenggam ujung bajunya, mata mereka merah, telapak tangan gemetar. Dompet hilang di bus, tiket kereta besok pagi, tidak ada kerabat di Jakarta. Mereka seperti keluarga dalam gambar buku sekolah: garisnya sederhana, kebutuhannya tidak.
Ada SOP: tanpa identitas, tanpa deposit, tanpa kamar. Namun ada pula sesuatu yang lebih tua dari SOP—yang bergetar seperti kendang kecil di dada: tepa selira. Zainul menatap monitor, menutup surat, dan berdiri.
“Kita cek kamar yang kosong, Bu,” katanya pelan. Ia meminjamkan KTP untuk administrasi sementara, menalangi deposit dari tabungan tanggal muda yang belum sempat dilukai cicilan.
Ia tidak membenarkan pelanggaran—ia memperbaiki keadaan. Besok ia siap menanggung marah.
.
Dihukum atau Dihargai
Pagi-pagi, Hasan memanggil. Suaranya tinggi seperti alarm kebakaran.
“Ini pelanggaran berat, Zainul! Kita bukan lembaga sosial. Kamu pikir ini asrama?”
Zainul mengangguk. “Saya tahu konsekuensinya, Pak. Tapi saya juga tahu, kadang kebijakan lahir dari satu tindakan yang benar.”
Sebelum kalimat selanjutnya ditembakkan, pintu rapat terbuka. Perempuan berambut perak masuk, langkahnya tenang, pandangannya padat. Namanya Retna—pemilik hotel, jarang muncul, lebih suka mendengar cerita lewat laporan. Pagi itu, barangkali kabar telah mendahului jadwalnya.
“Hasan,” katanya, “saya yang menanggung deposit itu. Tamu itu sudah saya temui. Mereka bukan pencuri, hanya tersesat.” Retna menoleh pada Zainul. “Terima kasih sudah jadi manusia dulu, baru karyawan.”
Hasan menelan kata-kata. Slide Smile Wider di belakangnya terasa hambar.
Retna duduk. “Dan satu lagi. Saya minta SOP darurat tamu rentan dibuat hari ini. Ada nomor kontak, verifikasi cepat, kamar contingency. Zainul, bantu tim merumuskan.”
Di dahi Zainul ada pelabuhan kecil yang baru dibangun.
.
Jakarta Pagi yang Lain
Beberapa minggu setelah itu, hotel punya protokol empati—nama yang dipilih Zainul, disetujui Retna, dan disosialisasikan Hasan dengan raut canggung yang perlahan lunak. Ada garis telepon khusus bekerjasama dengan relawan transportasi kota, ada formulir identifikasi cepat, ada prosedur pay later yang dijamin oleh dana CSR. Di balik meja resepsionis ditempel catatan kecil: “Bila ragu, bantu dulu. Sembuhkan sistemnya belakangan.”
Tentu tidak semua menyukai ide itu. Ada satu tamu yang menilai hotel jadi “kurang eksklusif.” Ada pegawai yang merajuk karena merasa repot. Tapi malam-malam tertentu terasa berbeda: lobi yang tadinya sekadar ruang tunggu menjadi ruang temu. Di kursi sudut, seorang sopir ojek daring meminjam colokan sambil menunggu hujan reda; di meja tengah, seorang lansia dari Pematangsiantar dijemput saudaranya yang baru sampai lewat tengah malam.
“Hotel kita tetap hotel,” kata Zainul pada tim. “Bukan panti. Tapi kita bisa jadi batas tipis antara orang yang jatuh dan orang yang tertolong.”
Hasan, yang biasanya memburu upselling, mulai belajar memburu kalimat terima kasih. Ia masih suka slide, namun kali ini slide-nya berisi potongan chat tamu yang pulang dengan lega.
.
Yang Tidak Tercatat
Zainul lalu menamai buku catatannya Manfaat yang Tidak Tercatat. Di dalamnya ia menulis dengan tinta yang pelan: kisah Adinda yang melawan lift; seorang tamu bernama Naya yang kehilangan cincin tetap jujur mengakuinya; seorang staf housekeeping yang mengantar piring bubur ke kamar perawat yang tertidur; seorang satpam bernama Tole—nama adaptasi dari cerita yang pernah diceritakan kakek—yang meredakan pertengkaran tamu dengan menyodorkan payung.
Zainul menyalin kalimat-kalimat pendek, membuatnya menjadi paragraf, lalu menjahit paragraf menjadi kisah. Ia percaya pada cerita; ia memercayai bahwa manusia mengingat dunia bukan dengan angka, melainkan dengan alur.
Di halaman pertama buku, ia menulis: “Kota besar mengandalkan mesin, tapi kehidupan tetap digerakkan tangan-tangan kecil. Kita tidak hebat, kita hanya berguna.”
.
Kelas Menengah Atas yang Takut Runtuh
Pada suatu akhir pekan, hotel menjadi lokasi resepsi mini pasangan muda: Raras—arsitek interior yang hobi menata ruang seperti menata kalimat; dan Wirya—manajer investasi yang portofolionya rapi seperti lipatan pocket square. Mereka tinggal di apartemen Sudirman, berolahraga setiap Selasa-Kamis, liburan singkat ke Singapura sebulan sekali karena tiket promo. Hidup mereka terstruktur dan mungkin, bagi sebagian orang, diinginkan.
Namun malam sebelum resepsi, ayah Raras tiba-tiba dilarikan ke IGD. Tekanan darah melesat; ruangan ICU membatasi ziarah. Raras membatalkan resepsi dengan suara gemetar. Vendor protes, denda mengintai, citra hotel dipertaruhkan.
“Fokus ke keluarga, Mbak,” kata Zainul lembut. “Urus resepsi itu nanti urusan saya.”
Malam itu, Zainul memutar ulang daftar vendor, mengatur ulang jadwal, mengirim broadcast penjelasan, memohon pada semua agar biaya pembatalan diubah jadi reschedule. Ia menghubungi Retna, memohon biaya kompensasi diambilkan dari dana promosi.
Sebulan kemudian, ketika ayah Raras membaik, resepsi digelar sederhana: bunga tak semegah rencana awal, tapi tawa lebih jernih. Dalam speech-nya, Wirya berkata, “Kami belajar, rumah tangga tidak dimulai dari kemegahan, tapi dari orang-orang yang menolong diam-diam, seperti Mas Zainul dan tim.”
Tamu bertepuk. Hasan tersenyum. Retna mengangkat gelas—air putih, tetap mengandung gerimis.
.
Retakan yang Enggan Disembunyikan
Namun hidup yang baik bukan hidup tanpa retak. Di tahun kesepuluh, hotel diperluas, investor baru masuk, target lebih tinggi, rapat lebih panjang. Hasan—yang sudah lebih jinak—dipindahkan ke cabang lain. Manajer baru datang: Sagara. Ia lembut di awal, meledak di belakang. Ia menyukai rapat malam, keputusan pagi, dan lupa bahwa manusia butuh tidur.
Zainul mulai mendengar bunyi letih di tulang-tulang staf. Naya, resepsionis malam, menangis di kamar mandi karena jadwal mendadak. Tole, satpam, sakit punggung karena shift ekstra. Manfaat yang Tidak Tercatat terasa dipinjam sistem untuk menambal celah, bukan lagi untuk menuntun hati. Zainul menulis, tapi kalimatnya mulai sumbang.
Pada suatu dini hari, ia duduk di pantry karyawan, menggambar segitiga di tisu: tamu, tim, laba. “Kalau salah satu sudutmu dipanjangkan sendirian, dua sudut lain retak,” gumamnya.
Ia mengajukan proposal kecil: roster tiga bulan yang bisa diprediksi, hari hening tanpa rapat WhatsApp setelah pukul sepuluh malam, dan peer-support—teman sebaya yang siap mendengar. Sagara mengangguk sopan, mengirim pesan pada grup, lalu melupakan.
“Kenapa kamu masih bertahan?” tanya Sariyah suatu malam di halte depan hotel. “Kamu bisa pindah, Zain.”
Zainul menatap lampu-lampu mobil. “Mungkin aku menunggu kota ini mengingat sesuatu,” jawabnya. “Atau menunggu diriku kembali mengingat.”
.
Hari Ketika Hujan Memilih Kata
Hari itu hujan seperti memilih kata dengan teliti. Di lobi, lantai granit memantulkan siluet orang masuk-keluar. Seorang bapak dengan koper rusak berdiri ragu di depan front desk. Namanya Gafar—penjual rokok ketengan di peron Tebet yang dulu menyebut dirinya Wirya. Rambutnya makin tipis, mata makin jernih.
“Kamu masih ingat saya?” tanyanya.
Zainul terkesiap. “Bapak… tentu ingat.”
Gafar bercerita tentang istrinya yang wafat, tentang indekos yang harus ditinggalkan karena pemilik rumah mau renovasi, tentang anak satu-satunya yang masih driver truk di luar kota. Ia hanya butuh dua malam, sampai anaknya tiba.
Zainul menghela napas—setengah sedih, setengah lega. “Bapak tamu saya,” katanya tegas. “Sistemnya kita atur.”
Ia mengisi formulir pay later, memotret KTP, menghubungi Sariyah untuk voucher CSR. Malam itu Gafar tidur nyenyak di kamar 805. Pagi harinya, ia berdiri lama di jendela, menatap Jakarta dari ketinggian: kota yang pernah merebut, kini memulangkan.
“Terima kasih, Wirya,” kata Zainul saat mengantar sarapan.
Gafar tertawa kecil. “Nama itu akhirnya balik lagi. Saya kira dia nyasar.”
“Tidak,” jawab Zainul. “Nama yang baik selalu menemukan jalan pulang.”
.
Pelabuhan Terakhir
Tidak lama setelah Gafar pulang bersama anaknya, Zainul mengajukan pengunduran diri—kali ini tidak ditunda. Ia mencetak surat, menandatanganinya, lalu menghadap Retna. Perempuan berambut perak itu menatap lama, seolah sedang membaca hujan yang berhenti di bahu.
“Kamu mau ke mana?” tanya Retna.
“Ke timur,” jawab Zainul. “Ke Banyuwangi. Saya mau membuka lodge kecil dekat pelabuhan. Namanya Tepa Selira.”
Retna tersenyum. “Bawa nama yang baik. Kalau butuh apa-apa, bilang.”
Tiga bulan kemudian, Zainul memaku papan kayu di depan bangunan dua lantai di tepi jalan menuju Ketapang: Tepa Selira Lodge. Sepuluh kamar, satu ruang baca, satu dapur yang selalu menyimpan jahe. Di dinding lobi, ia menempel kalimat: “Selamat datang. Di sini, kami melayani bukan untuk pujian, tapi untuk kebaikan yang tinggal lama di hati.” Di bawahnya, bingkai kecil berisi fotokopi sebuah halaman buku: Manfaat yang Tidak Tercatat—edisi pertama, lusuh namun hidup.
Tamu pertamanya adalah pasangan muda dari Surabaya yang hendak menyeberang ke Bali; tamu keduanya seorang petani kopi dari Licin yang menunggu pembeli; tamu ketiganya mahasiswi antropologi yang meneliti ritual pantai. Malam-malam di pelabuhan membawa bunyi kapal seperti doa panjang.
Sesekali ada telepon dari Jakarta: Sariyah yang kini menjadi assistant manager, Hasan yang memimpin cabang lain sambil menyelipkan cerita kecil empati di setiap rapat, Retna yang mengirim paket buku. Bahkan Sagara, dengan suara yang lebih lembut, pernah mengaku, “Kau benar soal roster. Kami ubah jadwal. Hotel jadi lebih manusiawi.”
Zainul tersenyum dari balik meja kayu. Tak semuanya berakhir baik, tapi arah berubah. Dalam hatinya, ia mengucapkan terima kasih pada kota yang keras karena telah membiarkannya belajar tanpa ambruk.
.
Catatan untuk Anak-Anak Pelabuhan
Setiap malam, setelah tamu terakhir kembali, Zainul menulis lagi di buku kecilnya. Ia menuliskan kebiasaan-kebiasaan kecil yang ingin ia wariskan pada staf mudanya—anak-anak pelabuhan yang tumbuh dari aroma garam dan bunyi kapal:
-
Senyum adalah salam, bukan strategi.
-
Minta maaf lebih dulu bukan berarti kalah; itu cara memperpendek jarak.
-
Kalau ragu, dengarkan napas orang di depanmu. Ia akan bercerita tanpa kata.
-
SOP adalah pagar, bukan tembok. Empati adalah pintunya.
-
Jangan lupa istirahat. Pegawai yang beristirahat adalah aset yang hati-hati.
Ia mengajari Nara, front desk yang cekatan, untuk menakar suara. Ia melatih Tole junior—anak nelayan yang kebetulan namanya sama—untuk berjaga bukan dengan curiga, melainkan dengan siap menolong. Ia mengajak Naya—yang pindah dan bekerja sebagai housekeeping supervisor—membuat ritual hening lima menit sebelum shift: memejam, menarik napas, mengingatkan diri bahwa setiap orang datang dengan cerita yang tidak pernah genap di mata kita.
Di malam yang lengang, angin dari Selat Bali mengibarkan tirai seperti tangan yang melambai. Dalam sunyi itu, Zainul kerap mendengar suara kakeknya, dari jauh dan dekat sekaligus: “Jadilah seperti angin: tak terlihat, tapi menghidupkan.”
.
Kota yang Akhirnya Mengingat
Suatu sore, di meja lobi, Zainul menerima amplop tanpa pengirim. Di dalamnya selembar kertas: undangan peluncuran buku di Jakarta. Judulnya Manfaat yang Tidak Tercatat. Di bawahnya tercantum nama penulis: “Adinda Prameswari.”
Ia membaca sinopsis: kumpulan cerita orang-orang kecil yang diam-diam menolong; bab pembuka tentang seorang front desk yang duduk di lantai lift bersama seorang perempuan panik dan mengajari napas empat-sembilan-delapan. Di halaman tertentu, ada kalimat: “Orang ini tidak pernah saya ucapkan terima kasihnya dengan cukup. Buku ini upaya saya mengejarnya.”
Bersama undangan, ada secarik tulisan tangan: “Mas Zainul, terima kasih karena pernah menjadi manusia dulu sebelum jabatan. Jakarta pelan-pelan mengingat. Datanglah.”
Malam itu, di beranda lodge, Zainul duduk menatap lampu-lampu kapal. Ia teringat semua nama yang dipinjam dari masa lalu dan masa kini: Wirya yang menepati janji, Tole yang menegakkan punggung, Naya yang merapikan lipatan hati, Retna yang membiarkan kebijakan menyeberang jadi kebaikan. Ia tersenyum, membiarkan angin menyisir rambutnya yang mulai memutih.
Ia tahu, tidak semua manfaat akan tercatat. Tetapi, seperti gelombang yang selalu kembali menyentuh bibir pantai, kebaikan punya caranya sendiri untuk sampai.
Dan di antara suara kapal, ada kalimat yang ia bisikkan untuk dirinya sendiri, untuk anak-anak pelabuhan, untuk kota-kota yang masih keras kepala:
“Menjadi baik itu tidak ribut. Tidak butuh pengakuan. Kadang malah disalahpahami. Tapi diam-diam, ia menyelamatkan banyak orang.”
.
.
.
Jember, 8 Agustus 2025
.
.
#ManfaatYangTidakTercatat #CerpenKompas #CeritaHospitality #TepaSelira #BermanfaatDalamDiam #CeritaJakarta #KisahPekerjaHotel