Luka Lama di Hari Baru
“Luka yang sudah kau kubur dalam, kadang punya cara sendiri untuk muncul kembali. Bukan karena kau lemah. Tapi karena kau manusia.” — Jeffrey Wibisono V.
.
Keheningan yang Menipu
Pagi merayap dari lereng Galunggung, menaburkan kabut tipis di atas atap vila. Di serambi kayu, Arya Suralaga menutup jurnal paginya setelah menuliskan satu bait terakhir:
“Di antara aroma tanah basah dan kopi hitam, aku belajar menerima bunyi yang tak lagi ingin kusebut perang.”
Sudah tiga tahun sejak hari itu—hari ketika ia meninggalkan panggung diplomasi internasional: rapat di Jenewa, lobi-lobi di New York, dan konferensi pers di Jakarta yang berakhir dengan satu kalimat pendek: Saya bertanggung jawab. Tiga kata yang menandai reda gemuruh tepuk tangan panjang yang dulu membesarkan namanya. Ia menukar apartemen kaca di Sudirman dengan vila kecil di kaki Galunggung, balapan rapat dengan ritus pagi menyiram anggrek, perang opini publik dengan senyap mesin penggiling kopi.
“Kurasa aku sudah tenang,” bisiknya, menyeruput pahit yang menenangkan.
Tetapi ketenangan, ia tahu sekarang, kadang hanya topeng yang dirajut rapi oleh pikiran untuk menutupi apa yang belum selesai.
.
Surat di Dalam Amplop Cokelat
Sore itu, suara motor kurir memecah sunyi. Amplop cokelat diletakkan di meja serambi. Tulisan tangan yang rapi, tegas, tak asing.
Jayadipati.
Nama yang lama dihapus dari agenda hidupnya. Nama yang pernah berdiri satu baris dengan namanya di berbagai pernyataan bersama, yang pernah bersandar pada bahunya di ruang-ruang sempit bandara ketika menunggu transit menuju wilayah konflik, nama yang menjadi cermin paling jujur sekaligus paling melukai.
Isi suratnya sederhana:
Maaf. Kita semua salah. Tapi kau memikul semuanya sendiri. Aku harap kau menemukan damai.
Arya melipat surat itu perlahan. Tangannya gemetar, seperti daun yang tiba-tiba menyadari angin. Malamnya, mimpi datang tanpa mengetuk—bayangan kamp pengungsian di perbatasan, tenda-tenda plastik yang ringkih menampung napas anak-anak, bunyi ledakan yang melemparkan debu dan doa ke udara, tatapan Jayadipati dari seberang kawat berduri. Ia terbangun, basah oleh keringat dingin. Gelap kamar terasa padat, seperti dinding yang tiba-tiba punya telinga.
Ia duduk di lantai, menarik napas, memejamkan mata. Di luar, kabut menebal. Di dalam, kabut yang lain.
.
Kencana Ningrum Datang Tanpa Bunyi
Keesokan harinya Kencana Ningrum datang, membawa roti gandum, keju, dan sebuket kecil rosemary. Dulu mereka bertiga—Arya, Jayadipati, Kencana—adalah lingkar kecil yang percaya bahwa bahasa bisa menahan peluru. Kini Kencana menjadi terapis, mengelola studio meditasi kecil di Bandung, menulis kolom pendek tentang napas dan tubuh, tentang pertemuan yang perlu disederhanakan.
Ia duduk di seberang Arya, memperhatikan hening yang lebih jujur daripada sapaan.
“Kau tak kembali ke titik nol, Ya. Kau hanya sedang diuji lagi,” katanya pelan. “Luka datang bukan untuk menyiksa. Ia bertanya: sudahkah kau betul-betul ikhlas?”
Kata-kata itu membuka sesuatu yang lama dipaku di dalam dada. Arya menangis. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia tidak menahan apa pun. Kencana menunggu tanpa menyela, seperti laut menunggu hujan.
“Surat ini,” Arya mengangkat amplop cokelat. “Mengapa seolah-olah sebuah kata maaf bisa membawa semua yang kupaksa hilang?”
“Karena maaf adalah gerbang,” jawab Kencana. “Dan gerbang selalu berisik saat dibuka.”
.
Wiraatmadja dan Seni Menyimak
Atas saran Kencana, Arya kembali ke Bandung menemui Wiraatmadja, guru lamanya di Akademi Kenegaraan. Rumah panggung tua itu berdiri di tengah kebun bambu, menolak teriakan kota yang berkilat-kilat. Di ruang tamu, jam dinding bergerak lambat, atau mungkin Arya saja yang terlalu terbiasa pada jam yang berlari.
“Luka datang, Ya?” tanya Wira, menuangkan teh melati.
“Datang dengan amplop cokelat.”
Wira tersenyum, seperti orang yang tahu bahwa jawaban terbaik kadang hanya perlu satu anggukan. “Kau menghindari keramaian, memeluk hening. Itu bagus. Tapi hening pun bisa menjadi seragam perang kalau dipakai untuk bersembunyi.”
“Bagaimana kalau aku lelah berperang?”
“Berperanglah dengan cara lain. Bukan melawan orang—melawan cara pandang,” kata Wira. “Luka tak kenal waktu. Ia hanya menunggu kesempatan untuk mengajar. Kau kira ini akhir, padahal ini permulaan.”
Arya memandang jendela. Bandung memantulkan langit kelabu di kaca-kaca gedung baru, kafe-kafe penuh coworker dengan laptop menghadap, musik lo-fi yang mengalir di speaker. Di luar, kota berdebat tentang desain hidup. Di dalam, ia bernegosiasi dengan berat yang tak pernah tertulis.
.
Rumah dan Lilin-lilin Kecil
Malam itu di vila, Kusumadikara pulang lebih awal dari Bandung. Remaja tinggi berponi itu menaruh tasnya, melirik ayahnya. “Bapak kelihatan capek.”
“Aku baik,” jawab Arya spontan—jawaban otomatis setiap orang dewasa yang tak mau menerbangkan beban ke pundak anak.
Kusuma menyalakan lilin aromaterapi, meletakkannya di sudut serambi. “Tidak apa-apa kalau Bapak tidak baik.”
Kalimat itu sesederhana roti tawar dan sehangat sup yang dimasak tergesa. Mereka duduk berdua, menatap kabut merundukkan puncak-puncak pohon. Tidak banyak kata. Hanya kehadiran. Di ruang sempit antara dua napas itu, Arya merasa ada ruang baru yang dibuka anaknya: ruang untuk lemah tanpa takut kehilangan hormat.
“Kalau nanti Bapak kembali ke kota, aku ikut,” kata Kusuma. “Biar aku yang nyetir.”
Arya tertawa kecil. “Kamu baru belajar manual kemarin.”
“Justru itu,” sahut Kusuma. “Kalau Bapak berani menghadapi luka, masa aku tidak berani menghadapi tanjakan?”
.
Jakarta dan Cemara di Sudirman
Beberapa hari kemudian, Arya turun ke Jakarta. Kota yang dulu seperti baju besinya kini terasa seperti baju lama yang masih pas di bahu tapi tidak lagi memeluk pinggang. Ia menginap di rumah sahabat lama, Sangkana, arsitek yang merancang gedung-gedung kaca dengan taman gantung, percaya pada cahaya siang dan ventilasi silang, percaya pada ruang hidup yang tidak lagi bersandar pada AC.
Mereka bertemu di kafe di Menteng, menatap pepohonan tua yang tak kunjung kalah dari trotoar baru.
“Kenapa tidak pulang saja, Ya?” tanya Sangkana. “Jakarta ini, bagaimanapun, adalah rumah bagi ingar bingar yang pernah membesarkanmu.”
“Rumah yang membuatku lupa jam tidur.”
Sangkana tertawa. “Sekarang jam tidur Jakarta sudah berubah. Ada MRT, trotoar yang rapi, jalur sepeda.”
“Dan kabar di ponsel yang tetap saja tidak pernah tidur.”
Di layar kaca kafe, siaran berita diam dengan teks berjalan: konflik di perbatasan utara, pertemuan darurat, angka yang selalu lebih dingin daripada wajah yang ada di baliknya. Arya menatap layar itu seperti menatap cermin yang memantulkan sosoknya dari tiga tahun lalu.
“Kalau kau perlu ruang bicara tanpa mikrofon,” Sangkana menunjuk denah di tablet, “pakai pendopoku. Minggu depan aku selesai renovasi. Kota ini perlu orang yang mengajarkan diam dengan kalimat.”
.
Ziarah
Sebelum kembali ke Galunggung, Arya memutuskan singgah ke kompleks makam sederhana di pinggir kota—bukan makam para tokoh, melainkan makam yang ditandai nisan-nisan kecil tanpa nama, milik orang-orang yang diselamatkan setengah dan diingat seperempat. Ia membawa setangkai anggrek putih dari rumah, dan selembar surat yang tak pernah terkirim.
Di hadapan nisan yang paling pojok, ia membaca pelan:
“Aku tak bisa menghapus yang terjadi. Aku tak bisa menukar malam itu dengan malam apa pun. Tapi aku bisa hidup lebih baik untuk mengenangmu. Aku akan melanjutkan, bukan untuk lari, melainkan untuk berdamai.”
Angin menepuk pelan daun-daun kering, seperti tepuk tangan paling lembut—tanpa sorotan, tanpa wartawan, tanpa rilis media.
.
Jayadipati
Teleponnya bergetar. Nomor asing. Suara di seberang menyebut nama yang dikenalnya, lalu sunyi sebentar, lalu suara yang lain—serak, ditahan.
“Arya.”
“Jaya.”
Nama-nama tanpa gelar itu menggantung di udara seperti dua burung yang lama tak pulang di dahan yang sama. Arya duduk di bangku, memandang jalan setapak tanah merah. Jaya bernapas, seperti menimbang kata.
“Aku… aku menulis surat karena tak punya keberanian bicara. Tapi yang kubutuhkan bukan keberanian, melainkan kejujuran.”
“Kejujuran kita, atau kejujuran dunia?”
“Kejujuran bahwa aku membiarkanmu sendirian.”
Sunyi bergeser, masuk ke ruang di antara suara. Arya menutup mata.
“Aku memilih menanggungnya,” kata Arya. “Mungkin itu cara terakhirku menjaga sesuatu yang bisa kusebut kesetiaan.”
“Dan aku membiarkanmu menanggungnya, karena itu caraku menjaga sesuatu yang kusebut karier.”
Di ujung kalimat, Jaya tertawa—tawa yang tidak lucu, yang dibangun dari serpih-serpih malu.
“Kalau suatu hari kau siap,” kata Arya, “mari bertemu. Bukan untuk membongkar masa lalu, tapi untuk menyiapkan masa depan orang-orang yang terkena dampak masa lalu kita.”
“Bagaimana caranya?”
“Dengan berhenti menganggap dirimu pusat cerita.”
Telepon terdiam. Lalu, pelan, Jaya mengucap terima kasih, dan kalimat yang jarang terdengar dari mulutnya: “Aku belajar.”
.
Pendopo Sangkana
Minggu berikutnya, pendopo Sangkana di sudut Tebet penuh oleh kursi-kursi lipat, papan tulis, dan lampu-lampu kecil yang tidak terang, tetapi cukup. Di tembok, ada tulisan tangan yang dibuat Kencana: Menulis Diri—kelas kecil yang dibuka Arya untuk siapa pun yang ingin belajar berdialog dengan rasa. Pesertanya campur aduk: remaja yang baru patah hati, ibu muda yang lelah multitasking, pekerja startup yang terbakar tenggat, penyintas bencana yang membawa kisahnya seperti ransel berat.
“Menulis bukan untuk dipuji,” kata Arya saat sesi dibuka. “Menulis untuk menyaksikan.”
Mereka diajak menulis surat pada diri sendiri yang berusia dua belas tahun. Lalu pada diri yang berusia empat puluh. Lalu pada seseorang yang pernah mereka benci. Kertas-kertas terisi, tinta membentuk jalan pulang ke dalam.
Seorang peserta, laki-laki berkemeja putih dengan jam tangan mahal, mengangkat tangan. “Saya bekerja di firma yang reputasinya besar. Kami sering mengeluarkan angka dan grafik. Tapi sejak pandemi, angka dan grafik itu seperti tidak lagi melindungi orang-orang kami dari cemas. Apa yang harus saya lakukan sebagai pemimpin tim?”
“Coba izinkan timmu membawa manusia mereka,” jawab Arya. “Bukan hanya target. Mulailah rapat dengan satu putaran: bagaimana kabarmu hari ini? Bunyinya sederhana, tapi itu jembatan.”
Seorang perempuan berhijab, suaranya bergetar, bercerita tentang anaknya yang mogok sekolah. “Dia bilang takut… takut salah.”
“Coba ajak anakmu menulis daftar hal-hal yang dia takuti,” kata Arya. “Beri kolom kecil di sampingnya: ‘apa yang bisa kulakukan kalau ini benar terjadi’. Bukan untuk menghilangkan takut. Untuk memberinya pegangan.”
Kelas itu menjadi perapian: nyala kecil yang tidak membakar, hanya menghangatkan tangan yang kedinginan. Sangkana berdiri di belakang, memandang kursi-kursi, mengangguk pada dirinya sendiri. Di kota yang dibangun dari kaca dan beton, ternyata orang masih mencari kayu bakar yang namanya mengerti.
.
Kusuma dan Jam Tangan
Sepulang kelas, Kusuma menunjukkan jam tangan bekas—hadiah dari dirinya sendiri setelah tiga bulan kerja paruh waktu di studio foto. “Biar kalau Bapak lupa waktu, aku ingatkan.”
“Jam tanganmu keren,” puji Arya.
“Bekas,” jawab Kusuma bangga. “Warna goresannya bikin aku ingat: barang pun punya luka. Tetap bekerja.”
Arya tertawa. “Kau sudah menyalin bab yang lama kutunda.”
“Bab apa?”
“Bab tentang tidak harus sempurna untuk berguna.”
Mereka berjalan kaki menyusuri gang kecil. Jakarta malam bukan lagi kota yang menakutkan bagi Arya—ia tampak seperti teman lama yang sudah berhenti berdebat, hanya ingin duduk di bangku taman, menonton sepeda melintas.
.
Restitusi
Beberapa minggu kemudian, sebuah program kecil mulai hidup. Bersama Sangkana dan Kencana, Arya merancang ruang restitusi: menghubungkan penyintas yang bersedia dengan pelaku kebijakan yang menyesal—bukan untuk saling menuding, melainkan untuk merancang ulang cara mendengar. Mereka menyewa aula kelurahan di Setiabudi, meminjam kursi dari RT, membagi jadwal seperti membagi roti: agar semua kebagian.
Di pertemuan pertama, ada yang marah. Ada yang diam. Ada yang menangis dalam senyap dan ada yang menahan diri sambil memeluk map. Arya membuka dengan kalimat yang pernah diajarkan Wira:
“Kita datang bukan untuk memenangkan siapa pun. Kita datang untuk memenangkan kita.”
Di akhir sesi, seorang bapak berambut putih, suaranya pecah-pecah, menghampiri Arya. “Saya tidak dapat jawaban untuk semua pertanyaan saya. Tapi saya dapat satu: saya tidak sendirian.”
Itu cukup untuk memulai.
.
Galunggung Lagi
Musim hujan datang membawa aroma tanah yang ditunggu. Di vila, Arya kembali pada ritus awal: menyeduh kopi, menyiram anggrek, menulis jurnal. Tetapi sesuatu telah berubah—bukan pemandangan, bukan furnitur, melainkan cara ia mengucap pagi. Kini setiap pagi terasa tidak menghakimi.
Ia menempelkan kertas di dinding kerjanya: Hadir. Hanya satu kata. Di bawahnya, ia menambah catatan kecil: dengan rasa apa pun.
Surat dari Jayadipati disimpan dalam map bening, bukan lagi amplop cokelat. Kadang-kadang ia membukanya, bukan untuk menyakiti diri, melainkan untuk mengingatkan bahwa luka bisa menjadi peta—menunjukkan jalan pulang ketika semua penunjuk arah hilang.
Kencana sesekali datang, mereka memasak sup di dapur yang jendelanya menghadap kebun. Sangkana mengirim foto-foto pendopo yang semakin ramai, dengan catatan: Kursi plastik kita butuh tambahan. Kota ini ingin duduk lebih lama.
Kusuma mengerjakan tugas sekolah di meja makan, memutar playlist lagu-lagu lawas. Ia bangkit, bersandar di ambang pintu, menatap ayahnya yang menulis.
“Bapak,” panggilnya pelan.
“Ya?”
“Terima kasih sudah mau menjadi manusia.”
Kalimat itu jatuh seperti hujan: tanpa dramatisasi, tetapi menghidupkan.
.
Hari Baru
Suatu pagi, kabut belum habis, burung belum sepenuhnya bersuara, Arya menulis paragraf ini:
Hidup bukan tentang membuktikan bahwa aku telah sembuh. Hidup adalah tentang hadir di hari baru, meski hati belum sempurna, dengan keberanian yang utuh. Jika luka lama datang lagi, akan kukatakan lembut: aku melihatmu. Aku tidak takut lagi. Kau bukan musuh. Kau guru.
Ia menutup jurnal, menatap halaman yang masih kosong di belakangnya. Ada banyak ruang, dan untuk pertama kalinya, ruang itu tidak membuatnya cemas. Ia mengambil ponsel, mengetik pesan singkat pada Jayadipati: Kalau kau di Jakarta minggu depan, mari minum kopi. Kita mulai dari bertanya kabar.
Tombol send ditekan. Tidak ada fanfare. Tidak ada musik latar. Hanya bunyi kecil yang cukup untuk menandai satu keputusan baru: di hari baru ini, ia memilih hadir.
Dan pada jam yang sama di sudut lain kota, seseorang membaca pesan itu. Mungkin menunduk, mungkin menyesal, mungkin takut. Tetapi hari ini, seperti yang diyakini Arya, tidak menghakimi. Hari baru hanya bertanya: kau mau berjalan pelan-pelan bersamaku?
Arya menjawab, kepada hari, kepada dirinya: ya.
.
“Kau tidak gagal hanya karena luka lama kembali. Kau sedang belajar menerima bahwa menjadi manusia berarti juga berdamai dengan gelombang rasa yang datang dan pergi.” — Jeffrey Wibisono V.
.
.
.
Jember, 8 Juli 2025
.
.
#LukaLama #HariBaru #MenulisDiri #KotaDanKita #PemulihanEmosional #Refleksi #KompasMingguStyle #JeffreyWibisonoV