Lentera dari Tepi Sendang

“Ilmu adalah cahaya, tapi jangan biarkan ia padam hanya karena kau simpan dalam baterai.”

.

Malam itu, langit Wonosari menggantung kelam, hanya bertabur satu dua bintang yang malu-malu. Di balik rindang trembesi tua di sisi Sendang Retno, seorang lelaki senja duduk bersila di atas tikar pandan. Namanya Sabda. Api kecil di matanya seperti sumbu yang tak lelah menyala. Di hadapannya, seorang pemuda duduk menunduk, jarinya lincah di layar ponsel, sesekali mengangguk saat Sabda berbicara. Namanya Jaka.

“Jaka,” suara Sabda tenang, tapi menghunjam, “kau tahu apa bedanya ilmu dulu dengan sekarang?”

“Sekarang semua ada di HP, Mbah. Tinggal cari. Gampang.”

Sabda tersenyum getir. Ia menatap langit.

“Dulu, untuk memahami satu pelajaran, aku berjalan belasan kilometer. Membaca di bawah lampu minyak. Menyalin kalimat demi kalimat dengan tangan—bukan untuk memuja kata-kata, tapi agar ia hidup dalam laku. Sekarang? Orang mengunduh cepat. Lalu berdebat lebih cepat.”

Jaka diam. Ponselnya berhenti. Angin malam menggeser daun-daun, membawa bunyi air sendang yang memantul pelan.

“Ilmu itu bukan sekadar tahu,” lanjut Sabda. “Ia baru menjadi ilmu ketika kau izinkan ia mengubahmu.”

.

Pagi bergeser ke Jakarta beberapa hari kemudian. Lalu lintas Bundaran HI seolah orkestra klakson, ritmis dan letih. Di lantai 30 sebuah gedung kaca di Sudirman, Jaka berdiri menatap hamparan kota yang berkilau. Kantornya, sebuah perusahaan konsultan teknologi, menyanjung angka-angka dan efisiensi. Slide presentasi Jaka sempurna: huruf rapi, grafik mulus, kata-kata manis. Di ruang itu duduk tiga orang penting: Wira, kepala strategi—dingin dan tajam; Tole, pengarah kreatif—ceplas ceplos, suka meledak; dan Sari, manajer operasional—perhatiannya setajam jarum jam.

Nama-nama mereka seperti gema dari kisah-kisah lama yang diceritakan nenek-nenek di teras rumah: Wira yang selalu mendekap kecerdikan, Tole yang lahir dari keberanian, Sari yang merangkai hal-hal kecil menjadi kesatuan. Mereka keturunan kota, lahir dari sekolah mahal, tumbuh di kafe dan ruang rapat, percaya pada koneksi cepat dan janji-janji esok hari.

“Jaka,” Wira menatap layar. “Pitch kamu rapi. Tapi kenapa aku tidak merasa apa-apa?”

Jaka menelan ludah. “Data kita solid, Mas. Engagement naik, conversion membaik.”

“Data bisa indah,” sela Sari, “tapi orang tidak hidup dari data. Mereka hidup dari cerita yang bisa mereka percayai.”

Tole menepuk meja. “Kau tahu, aku muak dengan ‘kata-kata indah’ tanpa jejak tanah. Kita bantu UMKM, katanya. Di lapangan? Kita minta mereka berlangganan paket iklan yang bahkan aku sendiri ragu manfaatnya.”

Jaka teringat suara Sabda: Ilmu baru menjadi ilmu ketika kau izinkan ia mengubahmu. Ia pulang malam itu ke apartemen kecilnya di Kuningan, memandangi dinding putih yang dingin, mematikan lampu, dan menyalakan ingatan. Sendang, trembesi, suara malam. Dan sebuah kalimat yang seperti “klik” di dalam kepala: “Ilmu adalah cahaya, tapi jangan biarkan ia padam hanya karena kau simpan dalam baterai.”

.

Beberapa minggu kemudian, pekerjaan menuntut Jaka kembali ke Yogyakarta untuk mewawancarai penerima program digitalisasi UMKM. Pesawat mendarat, dan ia menyempatkan diri singgah ke Wonosari. Di tepi sendang, ia menemukan tikar pandan terlipat, buku-buku yang ditumpuk rapi, dan foto hitam putih Sabda dengan senyum yang tak pernah berlebihan. Sabda telah pergi—desas-desus itu ia dengar malam sebelum terbang. Pita kain sederhana terpasang di dahan trembesi dengan tulisan tangan: “Ilmu itu cahaya. Hati yang bersih adalah lampu minyaknya.”

Jaka duduk. Angin menghalus. Air memantulkan langit. Di kepalanya, rapat-rapat kota bergeser jadi potongan gambar: ruang diskusi, kopi yang cepat habis, janji-janji tanpa tanah. Ia menyalakan ponsel, menuliskan satu kalimat di catatan: “Aku ingin pulang, bukan sekadar kembali.”

Di kota, Jaka tumbuh sebagai anak elite biasa: sekolah bilingual, debat bahasa Inggris, lomba inovasi. Ibunya, Rengganis, seorang pengajar yoga yang lembut; ayahnya, Wiraraja—dipanggil Wira oleh semua orang—dulu seorang birokrat yang bersih, kini pensiun mengajar etika bagi pengusaha muda. Mereka mengajarkannya makan pelan, mendengar pelan, menata sepatu sebelum masuk rumah. Tetapi kota berlari lebih cepat daripada langkah kaki siapa pun yang berusaha rapi.

Sore itu di sendang, Jaka merasa waktu berhenti. Tak ada sinyal 5G. Tak ada meeting pop-up. Hanya dirinya dan pertanyaan lama yang belum pernah ia jawab jujur: untuk apa ia bekerja? Mengapa presentasi selalu tampak bagus, sementara ia terlalu sering berdamai dengan kebohongan yang diubah menjadi fitur.

Ia mematikan ponsel. Meletakkannya di atas tikar pandan. Air sendang bergelombang ketika sehelai daun jatuh.

.

“Jika kau lempar satu kerikil, gambar bintang menghilang,” kata Sabda dulu, ketika Jaka masih SMA. “Begitu juga hati. Sekali kau masukkan kotoran, jernihnya berantakan. Tapi jangan putus asa: jernih itu sabar, ia akan kembali jika kau berhenti mengaduknya dengan tangan yang sama.”

Jaka kembali ke Jakarta dengan sebuah rencana kecil yang terasa terlalu sederhana untuk ukuran kota besar: ia akan menurunkan kecepatan. Di kantor, ia mulai meminta izin menghabiskan satu hari dalam seminggu untuk benar-benar turun ke lapangan, menemui UMKM tanpa kamera, tanpa tim konten, tanpa template. “Kita butuh materi,” protes Tole. “Tolong kasih kita gambar.”

Jaka menggeleng. “Kalau gambar dulu, kita akan mencari yang cocok dengan narasi kita. Aku ingin narasi berubah mengikuti kenyataan.”

Sari memperhatikannya. “Kau berubah, Jak.”

“Mungkin aku baru ingat caranya menjadi manusia,” jawab Jaka pelan.

Hari-hari berikutnya, Jaka mengunjungi kios batik Raras di Kotagede, warung soto milik Kenanga di Jatinegara, studio ukir Wira di Pinggir Pasar Rebo. Ia duduk, menulis, bertanya. Terkadang ia diceritakan soal listrik yang naik, sewa kios yang gila, anak yang butuh uang kuliah. Ia bertemu Tole di malam-malam lelah di Slipi: Tole mengaku benci menjadi komedi di rapat; ia ingin suatu hari nanti berdiri di depan adik-adik desainer dan berkata jujur, “Kita berhak capek, tapi kita juga bisa memilih.”

Di rumah, Rengganis menyeduh teh melati. “Kamu pulang lebih sering,” katanya.

“Aku takut lupa caranya pulang,” Jaka menjawab.

Wiraraja tersenyum samar. “Aku pernah mengajar mahasiswa yang merasa pintar. Mereka menyalakan proyektor kuat-kuat sampai tak melihat orang-orang di depannya. Aku ingin memastikan kamu tidak begitu.”

“Bagaimana caranya, Yah?”

“Matikan proyektor sesekali. Nyalakan lampu minyak di hati. Pelan-pelan saja.”

.

Sebuah krisis datang diam-diam. Klien terbesar kantor Jaka, sebuah jaringan ritel, mendesak kampanye “transformasi digital” untuk para pemasok kecil. Mereka ingin “storytelling yang menyentuh,” dengan target onboarding seratus UMKM dalam dua minggu. Wira mengetuk meja: “Ini kesempatan besar. Tapi kita tidak bohong, kan?”

Tole mendecak. “Target itu tidak manusiawi.”

Sari menghela napas. “Kalau kita mengambil ini, aturannya harus jelas.”

Jaka menatap layar proposal, lalu menatap mereka bertiga. “Boleh aku usul? Kita buat dua jalur: satu untuk penyedia yang siap—mereka yang sudah punya kasir digital atau stok tercatat—dan satu jalur pendampingan untuk yang belum. Kita tidak memaksa, kita menuntun.”

Wira menyipit. “Itu memperlambat.”

“Ya,” kata Jaka. “Tapi kebenaran memang tidak mengejar target. Target yang harus mengejar kebenaran.”

Ruangan hening. Di luar, Jakarta menyala seperti papan sirkuit raksasa.

Sari menatap Jaka lama-lama. “Kau punya bukti cara ini akan jalan?”

“Aku tidak punya model statistik,” jawab Jaka jujur. “Tapi aku punya wajah-wajah yang aku temui. Dan aku ingin bisa memandang mereka lagi tanpa menunduk.”

Tole menyeringai. “Aku setuju. Kalau gagal, paling tidak kita gagal sambil jadi manusia.”

Wira termenung. “Baik. Kita coba. Tapi Jaka, kau yang memegang kemudi. Pastikan kapal ini tidak sekadar bergaya.”

.

Mereka memulai dari hal-hal kecil: workshop tatap muka di ruang komunitas, bukan di hotel; modul dalam bahasa sehari-hari, bukan jargon; waktu istirahat panjang agar orang sungguh bertanya; nomor kontak yang sungguh diangkat; dan tim kecil yang jujur bilang, “Kami tidak tahu,” jika memang belum tahu. Tole merombak cara bercerita tim kreatifnya: bukan lagi video viral dengan musik dramatis, tapi potongan-potongan tenang tentang tangan yang belajar memegang scanner, mata yang belajar percaya pada angka sendiri, dan keluarga yang tersenyum karena satu kesalahan stok bisa segera dibetulkan.

Suatu sore, di sebuah aula kelurahan di Rawamangun, seorang ibu paruh baya bernama Siti menatap Jaka dengan air mata menempel di sudut mata. “Saya tidak pandai sekolah, Mas. Tapi kalau cara Mas menjelaskan seperti ini, saya bisa. Saya harus mencatat semuanya di buku, boleh?”

Jaka tersenyum. “Boleh, Bu. Tulis pelan-pelan saja. Kalau capek, istirahat. Ilmu tidak lari.”

Siti tertawa. “Saya dulu takut kalau baterai HP habis. Sekarang saya tulis ulang—biar kalau listrik padam, saya masih punya cahaya.”

Kalimat itu memukul dada Jaka. Ia menunduk, seperti mendengar Sabda baru saja berdehem di dekatnya.

.

Seiring waktu, dua jalur program itu berjalan. Jalur cepat mengantar 27 UMKM langsung terintegrasi. Jalur pendampingan membimbing banyak yang lain—pelan, terbata, tapi tidak terhenti. Di rapat evaluasi, angka-angka tidak spektakuler. Namun ada sesuatu yang lain: tingkat retensi tinggi, aduan nyaris tak ada, dan yang paling aneh, Tole bilang, “Aku tidur nyenyak seminggu ini.”

Wira mendesah, separuh lega. “Ternyata pelan tidak selalu merugikan.”

Sari tersenyum tipis. “Pelan yang benar sering lebih cepat daripada cepat yang salah.”

Jaka menatap jendela. Di kejauhan, awan sore menggambar bayangan yang lembut. Ia mengingat sendang, tikar pandan, foto Sabda, dan kalimat di dahan: Ilmu itu cahaya. Hati yang bersih adalah lampu minyaknya.

.

Suatu malam, ketika Jaka berjalan pulang dari halte TransJakarta, ia melihat seorang anak laki-laki duduk di teras minimarket, menyalin sesuatu dari layar ponsel ke buku tipis. Anak itu menatap huruf-huruf seperti menatap api kecil. Jaka duduk di sampingnya.

“Kamu menulis apa?”

“Resep es kopi susu, Mas.” Anak itu tertawa, malu. “Aku bantu Ibuk jualan. Kalau kucatat di HP, sering lupa. Kalau ditulis, rasanya lebih menempel.”

“Aku punya teman yang bilang begitu juga,” kata Jaka, tersenyum.

“Teman Mas kerja di mana?”

“Di sendang,” jawab Jaka, seperti bergurau pada dirinya sendiri.

Anak itu mengangguk, tidak paham, tapi tidak perlu paham. Di buku tipisnya, huruf-huruf menari seperti kunang-kunang yang tidak takut pada malam. Jaka pamit, lalu melangkah, membawa pulang sejenis kelegaan yang tidak diproduksi oleh showroom apa pun di kota.

.

Kabar wafatnya Sabda akhirnya resmi sampai lewat pesan pendek dari seorang tetangga di Wonosari. Upacara sederhana sudah dilakukan. Tidak ada karangan bunga besar, tidak ada sambutan panjang. Hanya doa, air, dan nama yang diucapkan pelan. Jaka memutuskan menunda satu presentasi besar, memesan tiket paling pagi, dan terbang. Di tepi sendang, ia bertemu dua orang muda: Raras—pengelola perpustakaan komunitas di desa sebelah—dan Kenanga—mahasiswa KKN yang berjanji akan melanjutkan kelas literasi yang dulu dipandu Sabda.

“Beliau meninggalkan ini,” kata Raras, menyerahkan buku catatan kusam. “Tulisan tangan, penuh coretan, penuh tanda panah.”

Jaka membuka halaman pertama. Ada kalimat pendek: “Ilmu yang tidak dibagi akan merunduk, lalu layu.”

Ia menutup buku. “Bolehkan aku menyalinnya?”

Raras mengangguk. “Aku harap kau menyalinnya dengan tanganmu sendiri.”

Malam itu, Jaka duduk di tepi sendang, menyalin kata-kata Sabda. Lampu senter kecil menyinari halaman. Tangan Jaka pegal, punggungnya kaku, tapi kepalanya terang. Kata-kata seakan kembali dari sebuah musim yang telah lama berlalu—seperti bau hujan yang tiba-tiba muncul dari serat baju lama.

Di kota, Tole mengirim pesan: “Kita bisa tunda syuting. Kau urus dulu apa yang perlu kau urus.”

Sari menyusul: “Kalau kau butuh aku menyampaikan sesuatu ke klien, bilang.”

Wira terakhir: “Jaka, terima kasih sudah membuat kami percaya bahwa pelan bukan musuh. Selesaikanlah ritualmu. Kami menunggu, bukan karena kami tidak bisa bergerak tanpamu, tapi karena kami ingin bergerak dengan caramu kali ini.”

Jaka menatap layar ponsel yang redup. Ia mematikan lagi. Ia menulis lagi.

.

Jakarta menyambutnya dengan jam sibuk yang tak mengenal belas kasihan. Di kantor, sebuah undangan rapat berjudul “Reframing Storytelling: From Viral to Vital.” Tole menunjukkan papan ide: “Kita buat seri kecil bernama ‘Lentera’—cerita pendek tentang orang-orang yang menulis dengan tangan sebelum mengetik di gawai. Tanpa musik dramatis, tanpa transisi berlebihan. Hanya tangan, kertas, dan napas.”

Sari menambahkan, “Dan kita buat program ‘Buku Ulang’—kelas menyalin untuk karyawan dan klien. Biar ingatan punya jalur di tubuh, bukan cuma di cloud.”

Wira mengangguk. “Aneh sekali, tapi aku suka.”

Jaka tertawa kecil. “Jika kita terlihat aneh di kota, mungkin itu pertanda kita kembali normal.”

Mereka meluncurkan seri itu. Responsnya tidak viral. Tidak ada lonjakan tajam. Tapi surel-surel masuk, pelan dan pribadi: seorang guru matematika di Depok yang menceritakan muridnya mulai menulis rumus dengan rapi; seorang barista di Tebet yang menyalin resep latte art dari tangan ke tangan; seorang ibu di Cikarang yang menyusun daftar hutang dan menempel di lemari, bukan untuk malu, tapi untuk dihadapi. Dan di antara surel-surel itu ada satu pesan dari akun tanpa nama: “Terima kasih telah mengubah cara kami memandang kecepatan. Kami tetap bergerak, tapi dengan napas.”

.

Pada suatu Sabtu, Jaka mengundang Raras dan Kenanga ke Jakarta. Mereka bertemu di ruang kecil dekat Taman Suropati. Tole membawa kamera tapi membiarkannya tertidur. Sari menyiapkan kertas, pulpen, dan teh. Wira duduk paling ujung, seperti penjaga pintu arah angin.

“Kita mulai dari menyalin kalimat,” kata Jaka. “Bukan kalimat orang suci, bukan kalimat motivator, tapi kalimat kita sendiri. Tentang mengapa kita belajar.”

Ruangan hening. Bunyi pulpen bertemu kertas seperti hujan halus di atap seng. Di akhir sesi, mereka menempeli dinding dengan kalimat-kalimat itu: “Aku belajar agar tidak gampang lupa.” “Aku belajar agar bisa diajak bicara oleh anakku.” “Aku belajar agar tidak menipu diriku ketika menipu orang lain terlihat mudah.” “Aku belajar agar bisa menyalakan lampu kecil di rumah-rumah.”

Jaka menatap dinding. Ia mengambil spidol, menulis kalimatnya sendiri, lalu membacanya keras-keras, suaranya nyaris pecah: “Jangan biarkan ilmu hanya tinggal di gadget. Simpanlah ia di hati, agar tidak padam meski dunia mati lampu.”

Sari bertepuk tangan paling rapi. Tole memalingkan wajah, pura-pura menengok kamera yang sengaja tak dia nyalakan. Wira menghela napas panjang, seperti orang yang akhirnya menutup buku sementara, supaya cerita bisa hidup di luar halaman.

.

Musim berganti. Program “Lentera” tidak pernah menjadi trending, tapi ia menjadi kebiasaan. Di kantor, ada jam “sunyi” setiap Rabu sore: lampu layar diredam, ponsel dibalik, dan orang menulis. Di halaman-halaman kota, anak-anak sekolah negeri dan swasta saling duduk di satu tikar, belajar menyimak. Di pasar, Wira si pengukir memajang papan dengan tulisan tangan: “Harga tidak menipu, kualitas tidak malu.” Di warung soto Kenanga, daftar menu ditulis ulang tiap pagi agar tangan tidak lupa rasa: tulisan menjadi bagian dari bumbu.

Satu sore, Jaka kembali ke sendang. Ia tidak membawa kamera. Ia membawa buku kosong. Di tepi air yang bening, ia menulis satu halaman untuk Sabda. Di atas halaman itu, ia menaruh kalimat yang dulu Sabda bisikkan ketika ia ingin cepat-cepat hebat dan cepat-cepat lupa: “Cepat itu mudah, Nak. Tapi menjadi terang selalu butuh waktu.”

Angin memindahkan daun di permukaan air. Langit condong ke ungu. Lampu-lampu kota jauh di sana menunggu dinyalakan. Jaka menutup buku, menyelipkannya ke dalam tas, lalu berdiri. Ia tidak lagi merasa dikejar. Ia tahu ke mana harus pulang.

.

Epilog

Langit sore di Wonosari masih sama. Di tepi sendang, anak-anak datang menyalin paragraf demi paragraf dari buku yang ditulis tangan. Di Jakarta, ruang rapat mulai punya jeda yang manusiawi, di mana orang berhenti untuk memahami, tidak sekadar merespons. Di Rawamangun, Siti menatap buku catatannya yang tebal, tersenyum saat listrik padam sebentar: dapurnya tetap menyala karena resepnya tinggal di halaman, bukan di baterai.

Dan di dahan trembesi, pita kain itu masih tergantung, hurufnya mulai pudar, tapi maknanya tak luntur:

“Ilmu itu cahaya. Hati yang bersih adalah lampu minyaknya.”

.

.

.

Jember, 16 Juli 2025

Jeffrey Wbisono V.

.

.

#LenteraIlmu #CerpenMinggu #Jakarta #Wonosari #DigitalHumanism #BelajarPelan #EtikaKerja #MenakMadura #Storytelling #LiterasiHati

.

Kutipan-kutipan pendamping

  • “Belajar bukan memungut kalimat, melainkan menyalakan cara hidup.”

  • “Cepat itu mudah. Menjadi terang butuh waktu.”

  • “Ilmu yang tidak dibagi akan merunduk, lalu layu.”

  • “Jangan biarkan ilmu hanya tinggal di gadget; simpan di hati agar tak padam saat dunia mati lampu.”

Leave a Reply