Lelaki yang Pergi Tanpa Menoleh

“Kesetiaan bukanlah tentang dilihat atau dibalas, melainkan tentang bertahan saat seluruh dunia mengajarkan untuk menyerah.”

.

Langit Jakarta sore itu menggigil, seperti menyembunyikan hujan yang tertahan. Asap kendaraan mengepul dari sela-sela beton; lampu neon menyala sebelum senja benar-benar padam. Di salah satu sudut ibu kota, Ronggolawe duduk sendiri di bangku halte, memeluk ransel tua. Bukan karena dingin, tapi karena dadanya retak. Tak berbunyi, tak terlihat. Ia baru saja keluar dari kantor—bukan karena dipecat, melainkan karena memilih pergi.

“Orang jujur tak akan bertahan lama di istana yang dibangun dengan tipu daya,” kata hati kecilnya. Dan Jayengrana tahu itu. Bosnya, mentornya, sekaligus orang yang dulu ia percaya seperti abang sendiri.

Jakarta, seperti biasa, pandai mengubah cinta menjadi komoditas, dan kesetiaan menjadi bahan tawar-menawar.

.

Lelaki dari Bangkalan

Ronggo lahir di tanah Madura—di kampung yang hanya punya satu pompa air dan dua tiang listrik, tak jauh dari tambak garam tempat matahari memantul seperti pisau. Ayahnya mengajar anak-anak mengaji di langgar kecil beratap seng. Ibunya menjahit kelambu dan baju sekolah, suaranya lirih melagukan salawat ketika hujan datang membawa bau tanah pertama.

Ia datang ke Jakarta berbekal doa, selembar ijazah, dan sekuat tekad untuk tidak mempermalukan kampung halamannya. Di perantauan, ia belajar cepat: cara membaca gestur orang rapat, cara menahan diri agar tak menanggapi sindiran, cara menulis laporan yang tegas sekaligus santun. Kota besar mendidiknya dalam tempo yang keras.

Tak butuh waktu lama bagi Jayengrana melihat potensinya. Di usia belum genap tiga puluh, Ronggolawe menjadi analis strategi di sebuah lembaga konsultan politik yang punya akses ke ruang-ruang kekuasaan. Namanya naik karena reputasi: jujur, tidak neko-neko, dan sekali janji selalu ditepati.

Retna datang seperti jeda yang diselipkan semesta. Gadis keturunan Sunda-Belanda itu koordinator riset—cerdas, tulus, dengan tawa yang bisa meluruhkan amarah. Dalam sunyi Jakarta yang serba cepat, cinta mereka tumbuh diam-diam; tak butuh selebrasi: cukup kopi hitam tanpa gula, tatap mata di lift, dan bahasa tubuh yang saling menyulam luka menjadi kulit baru.

Ronggo tak pandai bicara soal bunga. Ia lebih percaya pada tindakan kecil: menunggu Retna pulang lembur, membelikan obat masuk angin, menuliskan catatan di post-it kuning: “Jangan lupa makan siang. Dunia bisa menunggu.”

.

Di Antara Janji dan Kekuasaan

“Dunia ini bukan milik orang jujur,” ujar Jayengrana suatu malam di lounge kantor, di tengah kilau lampu kota yang tampak seperti selaput minyak. “Dunia ini milik orang yang tahu kapan harus berbohong—dengan elegan.”

Ronggo menatap gelasnya. Ia tahu malam itu bosnya sedang mengujinya. Ia tidak membantah. Tidak juga menyetujui. Dalam hati, ia menyiapkan garis batas: apa yang sanggup ia korbankan, dan apa yang tidak.

Beberapa bulan setelah kalimat itu, Jayengrana mengumumkan pertunangan—dengan Retna.

Tanpa peringatan. Tanpa diskusi. Tanpa maaf.

Retna mencari Ronggo di lorong pantry, di antara aroma kopi dan bunyi mesin pencetak. “Aku tak bisa menolak, Ronggo. Ini bukan sekadar pernikahan,” suaranya gemetar. “Ini koalisi.”

Ronggolawe mengangguk pelan. Senyum tipis yang terasa seperti menelan pisau. “Kadang cinta harus pergi bukan karena habis, tapi karena diinjak-injak oleh kepentingan yang lebih besar.”

Ia mengucapkannya pelan sekali, seperti doa yang takut didengar langit.

.

Hari yang Tak Pernah Adil

Hari pernikahan itu, langit Jakarta gelap—bukan hujan, tapi semacam kabut yang menekan kepala. Ronggolawe tidak datang. Di meja rias hotel, di antara bunga lili putih dan perona pipi, Retna membaca sepucuk surat.

“Retna,
Aku tidak marah. Aku hanya patah di tempat yang tak bisa sembuh.
Kau berhak bahagia, meski bukan denganku.
Aku berhak memilih tidak menyaksikan pernikahanmu dengan lelaki yang pernah kupanggil saudara.”

Surat itu pendek, tapi terasa panjang seperti koridor hotel tanpa jendela. Retna menyimpannya di dalam tas kecil, tepat di samping lipstik warna nude yang dipilih tim tata rias agar tampak “elegan namun kuat”.

Di aula, lampu gantung berkilau. Nama-nama besar datang. Kamera wartawan berdesing. Di pelaminan, Jayengrana berdiri tegap, jasnya disesuaikan dengan tinggi panggung. “Ini bukan sekadar pernikahan,” bisik seorang tamu. “Ini pernyataan arah angin.”

Sejak hari itu, Ronggo menghilang dari radar lembaga. Ia melepaskan jabatan, akses, mobil kantor, dan kartu keanggotaan klub elit yang belum sempat ia gunakan. Ia pindah ke kamar indekos di belakang Stasiun Manggarai; jendela berhadapan dengan rel, suara kereta menjadi pengantar tidur.

Ia mulai mengajar anak-anak jalanan di teras musala. Di malam hari, ia menulis artikel tentang kejujuran dan pengkhianatan dengan nama samaran: menulis seperti menambal perahu—pelan, telaten, dan berharap bisa menyeberangi diri sendiri.

Jakarta mungkin lupa pada orang-orang seperti Ronggo. Tapi luka tetap mengingatnya.

.

Retna dan Kota yang Terlalu Ramai

Retna menjalani hari-harinya seperti biasa: konferensi pers, gala dinner, jamuan, dan wangi parfum yang menguasai udara. Ada malam-malam ketika Jayengrana pulang larut, membawa agenda yang tak bisa diceritakan. Di balkon apartemen, Retna menatap lampu-lampu tol layang yang bergerak seperti ular logam.

Kadang ia membuka artikel dari blog anonim yang beredar di grup diskusi: tulisan-tulisan pendek namun tepat, seperti palu yang jatuh di paku. Ia membaca kalimat yang terasa sangat ia kenal:

“Kesetiaan itu sunyi. Ia tidak menggonggong, tidak menuntut.
Ia berdiri di belakang pintu, bahkan ketika tak ada lagi alasan untuk bertahan.”

Retna menutup ponsel. Dalam benaknya, ada suara yang dulu ia tahu di lift: “Dunia bisa menunggu; kamu jangan lupa makan.”

Ia merindukan hal-hal yang tidak spektakuler.

.

Peta dalam Kepala

Kamar indekos itu sempit, tapi bersih. Di dinding, peta Jakarta terpaku dengan jarum warna-warni—titik-titik tempat Ronggo mengajar atau mengantar obat. “Peta bukan hanya kertas,” katanya pada anak-anak. “Peta adalah cara kita menghormati jarak dan usaha.”

Anak-anak itu memanggilnya “Mas Rong”. Mereka belajar membaca koran bekas, menghitung kembalian, menulis alamat rumah supaya tidak tersesat. Kadang-kadang mereka menyanyi, suaranya serak-serak manja, menertawakan hidup yang tak pernah jelas menjanjikan apa.

Ronggo menyukai momen ketika satu di antara anak-anak itu bisa mengeja namanya sendiri dengan benar. Ada semacam kemenangan yang diam dan meyakinkan. “Menang bukan selalu tentang naik panggung,” tulisnya suatu malam. “Kadang, menang adalah saat kita bisa tidur nyenyak tanpa membawa dosa orang lain di pundak.”

.

Sepotong Masa Lalu di Perempatan

Lalu datang sebuah sore yang tak direncanakan. Sebuah acara amal di gedung lama di Menteng. Ronggo datang membawa sketsa dan spidol, mengajar anak-anak menggambar kota. Di halaman, Retna baru turun dari mobil, gaun hitam sederhana, rambut disanggul rapi.

Mata mereka berpapasan. Waktu menyempit sedemikian rupa, menyisakan napas yang saling mengenali.

“Ronggo?” suara Retna pelan, seperti takut mengganggu udara.

“Halo, Retna,” jawabnya, mencoba tersenyum.

Tak ada drama, tak ada musik latar. Mereka berdiri di bawah pohon ketapang yang berdebu, seperti dua orang yang bertemu di peta lama. “Maaf,” kata Retna akhirnya. Satu kata yang terlambat bertahun-tahun, tapi tetap punya sayap.

“Tak perlu,” ujar Ronggo. “Aku sudah menuliskannya dalam banyak puisi.”

Mereka berpisah di pelataran gedung, tanpa janji, tanpa sisa. Namun malam itu Jakarta seperti ikut menunduk; lampu-lampu tidak seterang biasanya.

.

Cara Kota Menguji

Hidup tidak serta-merta lebih mudah. Jayengrana semakin dalam ke lingkaran para penentu angin. Lembaga menjadi lebih besar; proyek masuk dari pintu-pintu yang dulu tertutup. Namanya sering muncul di berita, disandingkan dengan kata “visioner” dan “strategis”. Ia mempelajari cara mengukur dukungan dengan algoritma, cara menata narasi hingga tampak seolah-olah argumen.

Suatu siang, di kafe di Thamrin, ia duduk dengan seseorang dari lawan kampanye—menukar bisik-bisik. “Semua orang punya harga,” kata orang itu. Jayengrana menyeringai. “Bahkan keheningan.”

Di sisi lain kota, Ronggo merapikan rak buku sumbangan, membetulkan engsel pintu musala, dan mengganti spidol yang kering. Ia bukan orang suci; ia tetap manusia yang sesekali marah ketika anak-anak ribut atau ketika hujan merembes dari atap. Tapi ada sesuatu yang menguat ketika ia melihat seorang murid bisa membaca pengumuman di halte. “Ilmu yang paling penting,” katanya, “adalah yang membuatmu tidak ditipu dunia.”

.

Surat yang Tak Terkirim

Malam itu, lampu padam. Hujan menampar atap. Ronggo menulis surat panjang—bukan untuk dikirim, melainkan untuk memahami dirinya sendiri.

“Kepada yang pernah berjalan di sisiku,
Aku memilih jalan yang tidak mulus.
Bukan karena aku mengidamkan penderitaan,
melainkan karena aku takut melupakan wajahku sendiri.
Kota ini menawarkan panggung dan tepuk tangan,
tapi aku mendengar suara lain:
suara anak yang berhasil mengeja ‘rumah’,
suara ibu yang bilang, ‘terima kasih sudah menolong mengurus KIA’.
Mungkin itulah kesempatan paling besar yang bisa kumiliki:
menyederhanakan kemenangan.”

Surat itu dimasukkan ke laci, menumpuk bersama tiket kereta bekas dan kuitansi spidol. Hujan mereda. Jakarta menguap.

.

Retna di Balik Cermin

Di apartemennya, Retna menatap bayangannya di cermin. Riasannya sempurna, kulitnya terawat, daftar prestasinya panjang. Tapi ada kebisuan yang tak mau diatur. Ia mulai mengisi jurnal: daftar hal-hal kecil yang tulus—menyapa satpam dengan nama, membekali sopir dengan bekal, memanggil tim junior satu-satu dan menanyakan kabar orang tuanya.

Suatu hari, ia memimpin riset tentang literasi di kampung kota. Ia bertemu seorang relawan bernama “Mas Rong” yang mengajari anak-anak membaca koran bekas. Ia tidak bertanya lebih jauh. Ia duduk tak jauh, mencatat angka dan peristiwa. Di akhir sesi, ia menulis: “Terkadang, data paling keras adalah mata anak kecil yang berbinar.”

Malamnya, ia menaruh selembar uang di amplop, tanpa nama. “Untuk spidol dan buku,” tulisnya. Tidak romantis. Tidak heroik. Tapi diam-diam ia merasa memulangkan secuil dirinyake tempat yang dulu ia tinggalkan.

.

Musim yang Berganti

Waktu memiliki kebiasaan mengasah tepi: lambat-lambat, tanpa bunyi. Anak-anak yang dulu belajar mengeja kini masuk sekolah negeri. Dua dari mereka diterima di SMK favorit. Ronggo datang ke upacara kelulusan, berdiri di belakang pagar, menepuk-nepuk bahu anak-anak itu seperti petani memeriksa padi.

Di panggung lain, Jayengrana tampil dengan pidato yang disusun rapi. Ia kini pandai menyisipkan ayat, pepatah, juga kisah masa kecil yang menyentuh. Orang-orang berdiri, bertepuk tangan, mengunggah ke media sosial. “Pemimpin masa depan,” tulis sebuah caption.

Namun, di rumah, ketika lampu sudah padam, ada sunyi yang merayap. Pelan-pelan. Sunyi yang mengingatkan bahwa setiap koalisi menyisakan sudut gelap—tempat janji-janji lama menunggu, mengetuk-ngetuk dengan sabar.

.

Jembatan Suramadu di Kepala

Suatu libur panjang, Ronggo pulang ke Bangkalan. Ia berdiri di tepi pantai, menatap jembatan yang menghubungkan pulau dan kota. “Jembatan mengajarkan satu hal,” kata ayahnya sambil menyesap kopi. “Ia tidak bertanya siapa yang melintas, tapi memastikan pijakan cukup kuat untuk semua.”

Ronggo terdiam. Ia merasa telah membangun jembatan di dalam dirinya: dari marah ke menerima, dari kehilangan ke memaknai. Di kampung, malam cepat, langit rendah. Ia tidur lelap, dibangunkan adzan yang suaranya seperti mendatangi setiap rumah.

Sebelum kembali ke Jakarta, ibunya menyelipkan doa di kerah kemeja. “Jadilah baik meski tidak terlihat,” katanya. “Kebaikan yang disembunyikan adalah pagar yang melindungimu dari ujub.”

.

Kelas yang Tumbuh Menjadi Ruang

Kembali ke kota, kelas kecil itu pindah ke ruang pinjaman di balai warga. Dinding dicat putih oleh anak-anak; tangan mereka bekas cat, tawa mereka pecah. Seorang arsitek muda yang dulu muridnya kini merancang rak buku dari kayu bekas. “Kita tidak punya banyak, Mas,” katanya. “Tapi kita bisa membuat yang sedikit menjadi cukup.”

Ronggo menempelkan kutipan di dinding:
“Jalan pulang adalah jalan yang diciptakan oleh langkah-langkah kecil yang tidak putus.”

Malam-malam setelah kelas, ia menuliskan modul sederhana: cara mengurus KIA, cara membaca tagihan air, cara menabung di bank mikro, cara menulis surat permohonan beasiswa. “Solusi tidak perlu bising,” tulisnya. “Ia butuh urutan yang rapi.”

.

Undangan yang Ditolak

Suatu hari, sekretaris lembaga lamanya menghubungi: “Mas, Pak Jayengrana minta Mas Rong hadir di temu alumni. Katanya ingin minta maaf.”

Ronggo membaca pesan itu lama. Ia menulis balasan singkat: “Terima kasih. Sampaikan salamku. Aku baik-baik saja.” Ia menutup ponsel, menatap anak-anak yang sedang menggunting kertas warna. Ada kedamaian yang tidak bisa diganggu undangan apa pun.

Bukan berarti ia tak memaafkan. Hanya saja, beberapa pintu ketika dibuka kembali akan mengundang angin lama. Dan ia sudah tidak ingin pilek.

.

Panggung yang Tak Terlihat

Malam itu, di sebuah acara kecil, anak-anak menampilkan baca puisi. Lampu seadanya, mikrofon pinjaman. Seorang anak yang dulu gagap kini berdiri dengan dada tegak, membaca bait yang mereka tulis bersama:

“Kesetiaan bukan menunggu dibalas,
melainkan menyalakan lampu ketika orang lain lupa pulang.”

Orang-orang bertepuk tangan. Ronggo berdiri di belakang, menahan air mata yang malu-malu. Ia tidak naik panggung. Ia memungut gulungan kabel, memastikan semua rapi sebelum pulang. Di jalan, ia menatap etalase toko yang memantulkan langkahnya. “Begini rupanya menang yang sunyi,” ia bergumam.

.

Retna Melepaskan Sepasang Sepatu

Retna, pada suatu pagi, meninggalkan acara sarapan bisnis lebih cepat. Ia berjalan kaki menyusuri trotoar, menurunkan tempo agar bisa mendengar bunyi kota. Sepatunya tinggi, terlalu tinggi untuk trotoar yang tak rata. Ia tertawa kecil, melepasnya, menyisakan jejak kaki di permukaan hangat.

Di lampu merah, ia membeli nasi uduk dari gerobak. Abang penjual menyapa, “Mbak ini tiap hari lewat, ya?” Retna menggeleng. “Baru hari ini saya memutuskan untuk lewat.”

Ia memotret langit, mengirimnya pada dirinya sendiri dengan catatan: “Belajar berjalan tanpa panggung.” Sore itu, ia menulis email pada tim: mulai minggu depan, sebagian rapat akan dipindah ke balai warga yang bekerja sama dengan komunitas literasi. “Kita harus belajar menghitung bukan hanya angka, tapi juga wajah,” tulisnya.

.

Tepi yang Teduh

Waktu lanjut seperti kereta malam. Jakarta tetap terburu-buru, namun di salah satu tepinya ada ruang yang tumbuh: papan tulis lebih besar, perpustakaan kecil, beberapa relawan yang datang bergantian—seorang juru masak yang mengajari anak-anak membuat sarapan murah, seorang bidan yang menjelaskan kesehatan reproduksi remaja, seorang polisi yang menerangkan cara melapor tanpa takut.

Ronggo menjadi penghubung: bukan pusat, melainkan simpul. Ia tahu namanya kecil di antara nama-nama besar. Tapi ia juga tahu: simpul menentukan apakah jalinan kain kuat atau tidak.

Ia masih menulis dengan nama samaran; terkadang tulisannya dibagikan orang-orang yang tak pernah ia kenal. Kadang ia tertawa—disebut “influencer misterius” oleh akun yang gemar mengutip tanpa menyebut sumber.

Tapi ia tak lagi merasa perlu memperbaiki semuanya. “Biarkan yang penting sampai,” katanya. “Nama menyusul atau hilang, itu urusan lain.”

.

Jalan Pulang yang Tidak Sama

Suatu senja, ia kembali ke halte tempat ia pernah duduk memeluk ransel tua. Ada iklan baru, ada bangku baru. Tapi angin yang lewat masih punya rasa yang sama: getir, getir yang mendewasakan. Ia duduk, memejamkan mata, menghitung napas seperti seorang pelaut menghitung ombak.

Telepon bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal: “Terima kasih untuk modul beasiswa. Anak saya keterima. Semoga Allah membalas kebaikan Mas.” Ronggo tersenyum. “Amin,” balasnya. Dua huruf, tapi seperti dua pelita yang menyala di malam panjang.

Ia berdiri, menepuk celana, menyeberang ketika lampu pejalan kaki menyala. Jakarta menelan langkahnya dengan cara yang kini terasa ramah.

.

Lelaki yang Pergi Tanpa Menoleh

Ronggolawe terus hidup. Mengajar. Menulis. Membantu orang yang tak punya suara. Ia menolak kembali ke dunia yang dulu ditinggalkannya—bukan karena ia kalah, melainkan karena ia memilih jalan yang tak membusuk di akhir cerita.

Retna belajar meletakkan sepatu tinggi pada waktunya, menuntun beberapa rapat ke ruang yang lebih rendah hati. Jayengrana berjalan semakin jauh di koridor yang dibangunnya sendiri—terkadang menoleh, tapi terlalu jarang untuk diingat. Dan kota? Kota tetap berisik, namun di sela kebisingannya, selalu tersisa tepi yang teduh.

“Kesetiaan,” tulis Ronggo pada suatu malam yang baik, “adalah keputusan harian yang jarang mendapat tepuk tangan. Ia hanya ingin memastikan kita tidak kehilangan wajah kita sendiri.”

Dan cinta? Tak selalu harus berakhir di pelaminan. Kadang, cinta cukup tinggal sebagai doa—ditulis di dinding hati, di mana pengkhianatan tak sanggup memadamkan lampunya.

.

.

.

Jember, 2 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #Kesetiaan #Kejujuran #KotaJakarta #CintaDewasa #Refleksi #LiterasiAnak #PilihanHidup #CerpenIndonesia #NamakuBrandku

.

Kutipan Tambahan penguat cerita

  • “Yang paling setia dari sebuah langkah adalah jejaknya—diam, tapi jelas.”

  • “Kejujuran tidak membuatmu cepat sampai, tetapi memastikkanmu pulang ke orang yang sama.”

  • “Jika kota mengajarimu melupakan, ingatan harus diperjuangkan dengan hal-hal kecil.”

  • “Panggung bukan satu-satunya tempat menang; banyak kemenangan memilih duduk di bangku paling belakang.”

 

Leave a Reply