Langkah-Langkah yang Tertinggal
“Pada akhirnya, bukan langkah besar yang dikenang, tapi langkah kecil yang tertinggal di hati orang-orang yang pernah kita lukai.”
“Maaf adalah pintu yang tak selalu berbunyi; kadang ia hanya terbuka, lalu kita tahu diri.”
“Cinta tak menuntut panggung—ia sering tampil sebagai kursi kosong yang sengaja kau sisakan untuk seseorang yang belum kuat kembali.”
.
Pagi yang Tak Pernah Selesai di Jakarta
Jakarta selalu bangun lebih cepat dari siapa pun yang tinggal di dalamnya. Dari jendela kos di Setiabudi, Endang Raras menatap deret lampu yang belum sempat padam. Kereta melintas—suara besinya menyusup seperti ingatan yang belum selesai. Ia duduk memeluk secangkir teh yang tak sanggup ia hangatkan dengan kedua telapak tangannya, seolah suhu tubuhnya tak lagi milik sendiri. Di sudut kos, jas dokter terlipat rapi bersama keteraturan yang dulu ia banggakan.
Ponselnya menyala: nomor tak dikenal.
Endang, pulanglah. Bapakmu sakit. Sendiri.
Kata “sendiri” jatuh seperti paku payung di lantai—tak seberapa besar, tapi membuat langkah ragu. Jakarta di luar jendela tetap bergegas: ojek online, pejalan kantoran, aroma kopi dari lantai dasar, klakson yang berdebat. Sementara di dalam dada Endang, waktu melar menjadi kain yang terlalu panjang; tiap helainya menyentuh luka yang pernah ia jahit buru-buru.
Ia menatap cermin kecil di dinding. Seorang perempuan tiga puluh tiga tahun menatap balik, wajahnya letih oleh jaga malam, matanya menyimpan alamat yang tak pernah dikirim. Endang bekerja di rumah sakit swasta yang lobi marmernya memantulkan nama-nama keluarga dengan stempel kuasa; tempat segala sesuatu harus tampak meyakinkan. Di sana ia menambal hidup orang lain, sementara lubang di hatinya ia biarkan berputar seperti kipas langit-langit: terus bergerak, tanpa berpindah.
Ia duduk. Mengetik balasan yang ia hapus lagi. Menyusun alasan yang runtuh sendiri. Pada akhirnya ia menutup ponsel, meraih jas, dan menggantungnya kembali.
Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan; tapi begitu mengetuk, ia minta ditemani sampai ujung.
.
Lelaki yang Tidak Pandai Menyesal
Di rumah susun Cipinang, Jaka Wirya terbaring miring. Sisi kirinya enggan menurut, sementara sisi kanannya bekerja lebih keras dari seharusnya. Ia menatap atap yang catnya terkelupas seperti kulit lama. Di dekat ranjang, sebotol minyak kayu putih menunggu telapak tangan yang pernah sigap.
Jaka pernah menjadi guru yang disegani, sebelum disiplin menjadi dinding. Ia mengukur sayang dengan jam hadir, memarahi kesalahan dengan nada kapur di papan tulis: keras, putih, pecah. “Dunia ini tak sudi menunggu yang manja,” begitu katanya pula kepada Endang. Anak adalah perpanjangan niat—begitu ia percayai; bukan makhluk yang berhak menawar cara.
Ketika pertengkaran meletus enam tahun silam—tentang pilihan tempat kerja, tentang siapa yang harus menjenguk Ibu lebih sering, tentang “kenapa kamu tak bisa seperti dulu”—kaca retak itu dibiarkan melebar. Ibu mereka memudar, Jakarta berlari, dan Jaka memilih diam yang kaku. Ia tidak pandai menyesal, tetapi pandai menyalahkan waktu.
Kini, sunyi menjadi tetangga paling rajin mengetuk pintu. Dan ketika stroke ringan datang seperti tamu yang lupa sopan, Jaka baru merasakan: keras kepala tak pernah berhasil menahan tubuh sendiri. Ia ingin menelpon Endang. Tapi nomor itu sudah lama ia hapus demi menjaga harga diri yang tak pernah cukup murah untuk ia beli kembali.
“Mungkin aku terlalu banyak memilih menjadi benar,” gumamnya—suara yang ia ucapkan kepada lampu neon yang mendengarkan tanpa berkedip.
.
Perjalanan Pulang yang Tak Pernah Direncanakan
Endang memesan tiket kereta sore. Ia tidak membawa koper; hanya tas selempang, buku kecil, dan sebentuk gugup yang ia masukkan ke saku jaket. Di stasiun, ia bertemu Amir—teman masa kecil yang kini menjadi konsultan keuangan dengan dasi yang tahu caranya jatuh tepat di tengah.
“Raras?” Amir memanggil nama yang dulu disematkan ibunya. “Balik?”
“Bapak sakit,” jawab Endang, sesingkat mungkin.
Amir mengangguk. “Aku bisa ngantar sampai Cipinang.”
Endang hendak menolak, tapi kereta bukan sekadar gerbong—kadang ia menjadi jembatan yang tak sempat kau bangun sendiri. Dalam perjalanan, Amir bercerita tentang istrinya, Muning, dan putrinya, Retna, yang belajar menari. Ia tertawa kecil—tawa orang yang tahu rumahnya bertahan. Sementara Endang memandang jendela, membayangkan lorong rumah rusun yang bau matahari jam dua siang.
“Dulu kau sering bilang ingin jadi dokter agar bisa menyembuhkan apa pun,” kata Amir. “Termasuk yang tak tampak.”
Endang tersenyum yang tak sampai. “Beberapa sakit tak butuh obat. Hanya butuh orang yang pulang.”
Kereta memotong kota, dan kota membiarkan dirinya terbelah.
.
Pertemuan di Ruang Rawat
Ruang rawat kelas tiga memuat suara-suara yang tak ingin bersandiwara: batuk yang tak disembunyikan, keluh yang tak disamarkan, doa yang keluar tanpa penanda. Jaka membuka mata ketika Endang berdiri di ambang, cahaya siang memahat wajah yang dulu ia larang menangis.
Ia hendak memanggil, tapi bibirnya menumpul. Maka ia mengangkat tangan kanan—gerak kecil yang mengandung seluruh upayanya bertahun-tahun ini. Endang melangkah mendekat, meraih jemari itu. Dingin, tapi jujur.
Tak ada pelukan. Hanya genggam yang lama. Dan di sela-sela jari—yang dulu menjadi alat menunjuk—mengalirlah maaf yang tak perlu kata.
Malam itu Endang duduk di kursi plastik yang kakinya tidak seimbang, menunggu Jaka tidur. Ia menuliskan pasien-pasiennya ke dalam benak; satu per satu ditata rapi, agar ada ruang memetakan sakitnya sendiri. Di sisi lain tirai, seorang anak memanggil bapaknya “Mas” dengan candaan. Endang melirik dan tersenyum—ada keluarga yang tahu cara tertawa, ada keluarga yang belajar dari sunyi.
.
Buku Catatan dan Air Mata Diam-diam
Seminggu kemudian, Endang kembali ke rusun. Ia membersihkan lantai, mengganti sprei, merapikan lemari yang menyimpan tanda-tanda masa lalu: foto hitam putih, kartu rapor, pita merah. Di laci, ia menemukan buku tulis bergaris dengan sampul pudar berjudul “Catatan Kecil.”
Ia duduk di lantai. Membaca.
“Hari ini Endang demam. Aku mengusapkan minyak kayu putih, tapi ia bilang perih. Aku meminta ia kuat, padahal yang ia butuhkan mungkin aku memegangnya lebih lama.”
“Ulang tahunnya, kuhadiahkan sepatu sekolah. Ia tidak tertawa. Aku marah karena ia tidak girang. Baru malam aku sadar: ia ingin aku mendengarkan cerita pentas puisinya.”
“Kalau suatu hari ia pergi, semoga bukan karena aku mengunci pintu dari dalam.”
Tulisan itu seperti jalan yang lupa diberi lampu. Endang merasakan air matanya menyentuh kertas, membentuk bulan kecil yang goyah. Jaka keluar dari kamar, tongkatnya mengetuk lantai.
“Kau temukan buku itu,” katanya pelan.
Endang mengangguk.
“Aku menulisnya untuk diriku. Supaya tahu aku bisa salah, meski tak selalu berani bilang.”
Endang menutup buku, menatap Jaka. “Bapak… bolehkah kita mulai pelan-pelan?”
Jaka menghela napas. “Kau mau mengajar aku berjalan lagi?”
“Lebih dari itu,” ucap Endang. “Aku ingin mengajar kita berdiam dengan benar.”
.
Langkah Baru di Tengah Kota Tua
Di bawah flyover Manggarai, kios fotokopi lama disewakan. Dindingnya separuh abu, separuh poster bekas. Endang melihatnya seperti melihat lembar resume kosong—kita bisa memulai apa pun di sini. Ia menyodorkan uang muka; Amir membantu mengurus listrik; Muning mengirim rak buku lipat; Retna membawa krayon.
Mereka menamai petak itu “Pojok Baca Raras-Wirya.” Anak-anak pengamen, kurir yang menunggu orderan, siswi berseragam abu-abu yang mampir selepas bimbel, mereka datang seperti air yang mencari cekungan. Jaka duduk di kursi plastik, bukan lagi sebagai guru yang menguji, melainkan pendengar yang belajar.
Di pintu, Endang memasang potongan kertas:
“Hati, agar tidak berbangga diri. Pikiran, agar tidak berburuk sangka. Mata, agar tidak memandang rendah. Mulut, agar tidak berkata buruk. Telinga, agar tidak mendengar fitnah. Langkah, agar tidak salah arah.”
Siang itu, seorang anak laki-laki—Madi—duduk paling depan, menggambar dua orang yang saling membelakangi. “Pak,” katanya kepada Jaka, “bagaimana caranya menoleh tanpa kehilangan muka?”
Jaka tertawa pendek, kemudian serius. “Kau boleh menoleh dengan seluruh tubuh, bukan hanya leher. Jadi orang melihat kau berniat benar-benar kembali, bukan sekadar melirik.”
Endang memandang Jaka dari belakang rak buku. Di mata itu, ia menangkap lelaki yang pernah terlalu yakin pada ketat; kini belajar mengendur tanpa merasa kalah.
.
Kota, Kelas, dan Jarak yang Kita Pelihara
Pojok baca itu pelan-pelan menjadi kabar. Wartawan lokal menulisnya sebagai sudut sunyi di bawah gemuruh rel. Donatur kelas menengah atas dari Kuningan menyumbang buku-buku bekas pelatihan kepemimpinan; ibu-ibu arisan mentransfer uang untuk membeli tikar gulung. Di suatu sore, Jaya—rekan kerja Endang yang portofolionya selalu rapi—datang dengan mobil yang suaranya nyaris tak terdengar. Ia mengedarkan pandang skeptis, lalu melembut ketika melihat Madi tertidur dengan buku menutupi perut.
“Ini… kau serius?” tanya Jaya, menimbang antara kagum dan cemas. “Kita bekerja di rumah sakit dengan tarif konsultasi sekian—dan kau habiskan waktumu di sini, mengajar mengeja kata ‘bi-a-sa’?”
Endang menghela napas. “Aku dulu pikir martabat hanya soal gedung tinggi dan kartu akses. Sekarang aku tahu, kadang martabat itu kursi plastik yang tak kau rebut ketika ada orang lain berdiri.”
Jaya diam. Di kantornya, ia ahli mengatur jadwal, menyusun RAB, merapikan daftar tunggu. Tapi di hadapan potongan-potongan hidup yang duduk di lantai ini, excel terasa seperti bahasa yang lain.
“Kalau kau butuh, aku bisa bantu bikin sistem peminjaman buku,” katanya—barangkali itu bentuk menoleh dengan seluruh tubuh yang Jaka maksud.
.
Retna, Muning, dan Kursi yang Tak Pernah Kosong
Suatu Jumat, hujan jatuh seperti garis-garis yang gundah. Retna tiba membawa payung biru. Ia menari-nari kecil di depan pintu, menyanyikan lagu tanpa nada yang jelas, membuat anak-anak lain tertawa. Muning menyusul, menata bekal—nasi tumis sayur—dalam wadah besar.
“Kalau bisa,” kata Muning, “kita bikin jadwal makan bersama. Anak-anak ini butuh kebiasaan kenyang, bukan hanya kenyang kebetulan.”
Endang merasa ruang dadanya dilapangkan oleh kalimat sederhana itu. Di kota ini, banyak orang punya kebiasaan rapat; sedikit yang punya kebiasaan pulang tepat waktu. Kebiasaan kenyang adalah revolusi yang tampak sepele, namun menolak menyerah pada kehendak pasar yang mengusir pelan-pelan.
Jaka memperhatikan. “Dulu aku mengira memberi itu yang memanjang-lurus: aku memberi, mereka menerima. Rupanya memberi itu melingkar. Kita selalu bertemu kembali dengan yang kita lepaskan.”
.
Ruang Tunggu, Ruang Dengar
Rumah sakit tempat Endang bekerja memiliki ruang tunggu yang meyakinkan: kursi empuk, dispenser air mineral, musik instrumental yang tak pernah menginjak telinga. Di sini, orang-orang menunggu dengan jas rapi, sepatu berkilat, ponsel yang tidak kehabisan baterai. Endang belajar: kelas sosial adalah cara menunggu.
Pojok baca memiliki cara menunggu yang lain: lantai dingin, bau buku lembap, suara rel yang menidurkan. Di sini, orang menunggu giliran membaca, giliran didengar, giliran dimarahi dengan tidak galak. Bila rumah sakit menata rasa takut menjadi antrian terukur, Pojok Baca menata rindu menjadi rapat kecil yang membiarkan keterlambatan—sebab beberapa orang butuh waktu lebih lama untuk percaya.
Endang hidup di dua dunia itu, seperti penari yang menghapal dua koreografi dengan tempo berbeda. Di satu panggung ia harus tegas, di panggung lain ia harus luluh. Ia ingat kata-kata ibunya dulu: “Kebahagiaan kadang bukan pertunjukan; hanya lampu yang kau matikan bersama orang yang sudi duduk di sampingmu.”
.
Ulang Tahun Tanpa Lilin
Di hari ulang tahun Jaka yang ke-69, Endang menyiapkan kue tanpa lilin—kue manis berlapis tipis yang dibeli di toko roti yang selalu menata etalase seperti halaman depan majalah. Di pojok, anak-anak menyanyikan lagu dengan beat yang tidak kompak dan semangat yang tak bisa kau komandoi.
“Harapannya apa?” tanya Retna.
Jaka menatap Endang. “Aku ingin berjalan ke warung depan, beli koran, dan kembali tanpa takut kehilangan arah.”
Endang mengangguk. Mereka keluar berdua, tongkat Jaka mengetuk aspal seperti metronom. Mobil-mobil melintas sebagai kalimat-kalimat cepat. Di zebra cross, Endang meraih siku ayahnya. Jaka menatap putrinya: ada waktu ketika tangan itu menolak dipandu; hari ini ia menyerahkan laju.
Mereka tiba di warung, membeli koran, dan ketika kembali—langkah-langkah kecil itu seperti menambal kain sobek yang lama disembunyikan di bawah karpet.
“Pada akhirnya,” gumam Jaka, “orang hanya butuh seseorang yang percaya kita bisa sampai.”
.
Surat dari Masa Lalu
Suatu malam, seorang pria berdiri di pintu. Wajahnya menyimpan arah jalan yang sering salah. Ia memperkenalkan diri, “Aku Umarmaya—Maya, teman lama Endang.”
Endang kaku. Maya adalah potret tiga tahun yang lalu: rencana-rencana yang mengambang, janji-janji yang lupa mendarat. Ia meminta maaf, pelan, jujur.
“Aku datang karena membaca berita tentang pojok baca ini,” katanya. “Aku ingat kau ingin membuat sesuatu yang tinggal meski orangnya pergi.”
Endang terdiam, lalu mengangguk. “Kau baik?”
“Sedang belajar,” jawabnya.
Maya menyumbangkan beberapa buku. Di antaranya ada novel yang dulu mereka bicarakan dengan api kecil di mata. Endang tidak mengambilnya kembali; ia meletakkannya di rak “Menunggu Pembaca.”
Jaka memperhatikan dari kursi. Ia tak lagi memeriksa latar belakang orang sebelum menyilakan duduk. Malam itu ia belajar bahwa menutup pintu tak sama dengan membentenginya dari cahaya.
.
Yang Disimpan dan Yang Dilepaskan
Jakarta menggeser musim tanpa menandai di kalender. Pojok Baca bertahan pada jam buka sore—waktu ketika panas sedang turun dan orang berhenti bersikap kuat. Ada hari-hari sepi, ada sore yang penuh hingga rak terlihat lebih seperti barisan kursi.
Endang menyadari: memaafkan tidak sama dengan melupakan. Ia mengingat bagaimana kata-kata Jaka dulu membuatnya merutuki cermin. Ia ingat bagaimana ia memilih jaga malam bukan karena uang lembur, melainkan agar ia tak perlu pulang ke rumah yang tak menyambut. Mengingat membuatnya berhati-hati; memaafkan membuatnya tetap mau berjalan.
“Pada akhirnya,” tulis Endang di buku catatan Pojok Baca, “bukan besar-kecilnya langkah yang mengubah kita, melainkan keberanian membiarkan langkah kecil tertinggal sebagai penanda: aku pernah keliru, aku sedang belajar.”
.
Hari Ketika Lampu Padam
Suatu sore, listrik padam. Suara flyover merendah, gerimis membingkai pintu, dan kota terasa seperti menahan napas. Anak-anak duduk lebih rapat. Jaka batuk pelan, Endang menepuk punggungnya. Mereka duduk tanpa suara. Kadang, diam adalah kurikulum yang paling sukar.
Madi memecah sepi. “Kalau gelap begini, siapa yang duduk di samping kita?”
Endang menoleh ke Jaka. “Yang pernah kita lukai,” jawabnya. “Dan yang berani kita undang kembali.”
Jaka menatap gelap yang bersahabat itu. Ia mengencangkan genggaman pada tongkatnya, lalu melemas. “Terima kasih sudah duduk di samping Bapak,” katanya—kalimat yang memerlukan bertahun-tahun untuk menemukan mulut yang siap mengatakannya.
Lampu menyala kembali, seperti kota yang ingat jalannya. Anak-anak bersorak; listrik adalah kabar baik yang tidak perlu banyak retorika.
.
Sebuah Pagi yang Akhirnya Selesai
Di suatu pagi, Endang berdiri di teras rusun. Matahari menandai jendela-jendela dengan benang tipis. Ia mengirim pesan singkat pada Amir: “Terima kasih sudah mengantarkan.”
Balasan datang: “Rumah adalah orang yang berani menunggu di pintu.”
Endang menutup ponsel. Ia menatap kota yang tetap bangun lebih cepat dari siapa pun; tapi pagi ini, ia merasa berhasil menyusulnya. Di dalam, Jaka siap dengan tongkatnya. Mereka hendak ke pojok baca. Bukan untuk mengajar, bukan untuk memperbaiki, sekadar untuk duduk—sebab duduk pun kadang pekerjaan paling manusiawi di dunia.
Mereka melangkah pelan. Langkah-langkah yang mungkin tak besar; namun yang tertinggal di hati orang yang pernah mereka lukai—termasuk diri mereka sendiri.
Dan di atas pintu pojok baca, Endang menempelkan selembar kertas baru:
“Kita tak bisa mengatur siapa yang datang mengucap maaf. Tapi kita bisa menata kursi agar siapa pun tak perlu berdiri terlalu lama.”
.
.
Jember, 19 Juli 2025
.
.
#Cerpen #Jakarta #Rekonsiliasi #Memaafkan #KelasMenengah #UrbanStory #KompasMingguVibes #PojokBaca #LangkahKecil #HaruMendalam
.
Kutipan yang Menyatu dengan Cerita
-
“Maaf adalah pulang tanpa peta; kita mengenali rute dari degup yang lebih pelan.”
-
“Beberapa rumah tidak bertambah luas; ia hanya belajar menata sesak menjadi teduh.”
-
“Kita tak perlu membenci untuk menutup pintu; cukup ingat siapa yang tetap mengetuk ketika lampu padam.”