Langkah-Langkah Tak Terlihat

“Di kota, langkah paling berisik sering justru yang tak terdengar—niat baik yang tak dipamerkan, kerja yang tak disiarkan, dan janji pada diri yang ditepati diam-diam.”

“Tidak semua orang lahir dengan peluang yang sama, tapi semua bisa memilih untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka bawa dalam hidupnya.”

.

Lorong yang Tak Pernah Sunyi

Namanya Kasiran. Anak ketiga dari pasangan petani di lereng Lawu. Pagi baginya bukan embun yang sabar di pucuk daun, melainkan kaki telanjang yang menembus embel—gatal yang baru reda saat malam merebah. Lulus SMA tanpa pesta, ia mengemas satu tas kain, memeluk ibunya yang sedang menanak nasi di dapur berasap.

“Bu, aku ingin kerja di kota. Di hotel.”

Ibunya mengelus punggungnya. Mata tua itu memendar seperti tungku yang tak padam. Tak ada kata “restu,” tapi seluruh rumah menjelma doa.

Di Yogyakarta, ia diterima sebagai satpam shift malam hotel bintang tiga. Seragam kebesaran, sepatu pinjaman—tapi nyalinya pas ukuran. Ia selalu datang lima belas menit lebih awal.

“Tepat waktu bukan soal disiplin,” batinnya, “melainkan rasa hormat kepada kesempatan.”

Di bawah neon lobi yang dingin, ia menyapa tamu-tamu yang melintas seperti bayang. Ia belajar membaca kota dari troli koper, dari parfum yang tertinggal di lift, dari tatap mata yang lelah oleh rapat atau rindu. Malam-malam sepi itu, ia menyulam impian: bukan menjadi orang penting, melainkan menjadi orang yang pantas dipercaya.

.

Langit Lift Tak Pernah Berhenti di Lantai Impian

Suatu malam, seorang tamu lansia tersesat mencari kamarnya. Kasiran mengantarnya pelan, menunggu pintu menutup sempurna sebelum mundur. Gestur kecil itu terekam CCTV.

“Mas, tertarik jadi Room Attendant?” tanya Wira dari Housekeeping keesokan pagi. “Ada posisi kosong.”

Upahnya tak jauh berbeda, tapi tanggung jawabnya berlipat. Ia belajar melipat handuk seperti angsa. Ia memoles kaca hingga tak lagi berkata “ada aku di sini.” Ia memungut sisa marah yang ditinggalkan tamu di asbak: puntung, abu, rasa kalah—semuanya ia masukkan ke kantong sampah tanpa komentar. Ia menaruh bunga kamboja di meja, bukan untuk estetika, melainkan pengingat: wangi selalu punya cara diam untuk bertahan.

“Effort adalah bahasa cinta terhadap pekerjaan,” katanya pada diri sendiri.

Di pantry, ia berteman dengan Tole dari Engineering, Koneng sang barista magang, dan Jingga dari Sales. Mereka saling bertukar jam lembur, roti sisa, dan kabar baik paling sederhana: “hari ini full occupancy.”

Energi positif bukan slogan. Ia bergerak seperti angin: tak terlihat, tapi membuat tirai menari.

.

Tubuh yang Berkata Lebih dari Kata-Kata

Pelatihan Supervisor memperkenalkan istilah “body language.” Kasiran tersenyum. Ia sudah lama tahu: cara menunduk saat menyapa, posisi tangan saat membuka pintu, kepala yang sedikit miring saat mendengar komplain—semuanya kalimat tanpa bunyi.

GM hotel—Jayeng—menuliskannya dalam evaluasi: He doesn’t talk much, but his posture commands respect.

Orang boleh pandai berkata, tetapi tubuh yang konsisten selalu menang: ia bukan sekadar menjelaskan, ia mengajarkan.

.

Api yang Membakar Dada Bukan Amarah

Tahun ketiga, Kasiran menjadi Floor Leader. Bukan karena kenalan, melainkan konsistensi yang tak pernah mengeluh. Ia mendampingi anak baru, mengajari cara menarik sprei tanpa kusut dan menutup pintu tanpa menghempas.

“Kalau kamu capek, berhenti sebentar. Bukan berhenti jadi baik,” ucapnya pada Sakeri, petugas outsourcing yang kerap lembur.

Dalam forum internal staf, ia berkata, “Saya tidak malu memegang pel. Pekerjaan ini mencintai saya seperti saya mencintainya.”

Tepuk tangan panjang. Bukan karena kalimatnya indah, tetapi karena hidupnya telah lebih dulu mengatakannya.

.

Langkah Lebih, Tanpa Diminta

Ia membuat program kecil: Room of the Month. Hadiahnya hanya snack, kartu ucapan, dan foto polaroid yang ditempel di pantry. “Doing extra bukan untuk dilihat, tapi karena itu bagian dari dirimu,” tulisnya dengan spidol.

Program itu kemudian diadopsi resmi oleh manajemen. Para staf menyebutnya, setengah bercanda, setengah bangga: “Gerakan Angsa”—sebab handuk angsa yang dilipat makin rapi tiap bulan.

.

Pintu Bernama Malam Kedua

Musim hujan menanamkan bau tanah ke lobi. Suatu sore, tamu dari kementerian datang mendadak. GM berhalangan. Tanpa diminta, Kasiran menulis rundown, meminta Jingga mengatur booklet, menyuruh Tole mengecek lampu downlight yang kedap-kedip. Ia meminjam jas dari concierge, berdiri di lobi dengan senyum tipis yang menenangkan.

“Tamu tidak tahu siapa GM, tapi mereka tahu siapa yang siap,” gumam Koneng sambil menyodorkan kopi.

Kunjungan berjalan mulus. Di akhir, kepala rombongan menepuk bahu Kasiran: “Terima kasih. Anda membuat kami merasa disambut, bukan sekadar dilayani.”

.

Hati yang Tidak Pernah Penuh

Akhir pekan, sementara kota berebut jam diskon, Kasiran mengejar kelas daring: Excel, Hospitality English, Public Speaking. Ia tertawa pada dirinya sendiri saat lidahnya tersandung “th”—tapi ia ulang lagi, sampai kata itu menyerah.

“Being coachable bukan hanya mau belajar,” catatnya di buku kecil, “melainkan rela meninggalkan kebiasaan lama yang tak lagi relevan.”

Di meja kantin, ia menuliskan sepuluh “note to self” yang akhirnya menempel di dinding staf:

  1. Tepat waktu

  2. Etika kerja

  3. Usaha maksimal

  4. Energi positif

  5. Bahasa tubuh

  6. Cinta pekerjaan

  7. Melampaui ekspektasi

  8. Siap sedia

  9. Mau belajar

  10. Berbuat baik

Karena yang kita bawa akan membentuk siapa kita besok,” tulisnya dengan pena yang selalu ia isi ulang.

.

Kebaikan Itu Tak Pernah Salah Alamat

Suatu siang, Ragapadmi, cleaning service paruh waktu, menangis di pantry. SPP anaknya menunggak. Tanpa banyak tanya, Kasiran mentransfer sebagian tabungan. Ia berpesan hanya satu: “Cerita baik tak perlu panggung.”

Berbulan kemudian, CEO menerima sepucuk email: “Saya tidak tahu jabatan Kasiran. Tapi ia manusia yang baik. Anak saya lulus semester ini.” Email itu dibacakan di rapat bulanan. Raut wajah Kasiran memerah, tapi matanya tenang seperti lobi pukul dua pagi.

.

Kota, Karier, dan Keluarga yang Melebar

Waktu menggulung cepat. Kasiran pindah ke Jakarta, kemudian Surabaya. Ia melihat apartemen tumbuh seperti jamur yang lupa musim, kafe-kafe yang berganti demi feed, rapat yang tetap rapat meski berpindah lantai. Ia menyaksikan kelas menengah atas mengatur napas lewat cicilan: rumah, mobil, sekolah internasional, wellness membership, dan kursus coding untuk balita.

Ia tidak sinis. Ia belajar: kota adalah universitas dengan kelas yang tak pernah kosong. Ia bertemu Potre, wanita yang mencintai sunyi di museum-museum kecil. Mereka menikah sederhana, menanam pepohonan di balkon alih-alih mengunggah video pesta.

Potre membuka studio desain kecil yang menolak proyek yang tak jujur. “Profesi kita bukan memoles kebohongan,” katanya. “Tapi menyingkapkan kebenaran yang pantas jadi indah.” Dari Potre, Kasiran belajar merawat integritas tanpa sorak-sorai.

.

Menjemput Bali, Menjaga Diri

Dua puluh tahun sejak lorong pertamanya, Kasiran menjadi Hotel Manager di cabang Bali. Ia tetap datang lebih pagi. Ia masih membawa bekal. Ia memanggil resepsionis dengan nama depan—Morotomo, Rengganis, Ranggalawe—nama-nama yang diserap dari kisah-kisah lama, dihidupkan kembali di meja pelayanan modern.

Ia menginisiasi program “Satu Tamu, Satu Kebaikan”: setiap komplain yang terselesaikan, tim mencatat satu tindakan kebaikan kecil—membawakan payung untuk pejalan kaki, memungut sampah di pantai, mengantarkan air minum ke pos jaga tetangga.

Kebaikan itu komoditas yang tak pernah rugi,” ujarnya saat town hall. “Kalau pun tak kembali hari ini, ia pulang melalui pintu lain.”

Suatu sore, badai memutus listrik setengah kawasan. Genset hotel menyala, tapi restoran tetangga gelap. “Pinjamkan sebagian daya kita,” perintahnya. “Biarkan mereka masak untuk tamunya.” Akuntansi protes, pada awalnya. Manajemen pusat diam. Tapi esoknya, video pendek tentang dua restoran berbagi listrik tersebar—bukan dibuat tim marketing, melainkan direkam tamu yang terharu. Pesanan meningkat seminggu penuh. Kota mengembalikan dengan cara yang tak bisa ditebak.

.

Luka yang Tak Ditunjukkan Kamera

Tidak semua hari mulus. Ada tamu yang mengamuk, anak buah yang tersisih oleh gosip kantor, vendor yang menunda janji. Ada Sakeri yang nyaris menyerah karena istrinya sakit, ada Koneng yang menutup kedai kopi kecil karena gagal bayar sewa di masa pandemi.

Kalah hari ini bukan berarti kalah di hidup,” kata Kasiran pada mereka. “Besok kita ulang. Bukan karena keras kepala, tapi karena masa depan masih bersih.”

Ia mulai mengadakan kelas Sabtu gratis untuk staf dan keluarga: literasi finansial, disiplin digital untuk anak, bahasa Inggris percakapan, hingga trik membuat CV. Ia mengundang relawan: guru pensiunan, konselor kampus, wirausahawan lokal. Di akhir sesi, mereka menulis kalimat yang sama di papan: We help people become employable, not just employed.

.

Jalan Pulang Tanpa Pelarian

Ketika akhirnya ia pulang ke lereng Lawu, jalan desa beraspal mulus. Dapur tua kini memakai kompor gas, tapi pelukan ibunya tetap hangat seperti dulu. Di kursi bambu, ia bercerita tanpa pamer: tentang malam-malam lobi, tentang angsa handuk, tentang anak-anak staf yang kini kuliah.

“Bu,” suaranya pecah, “aku menang. Bukan karena jabatan. Aku menang karena tetap menjadi anakmu yang tidak menyerah.”

Air mata ibunya jatuh tanpa suara. Di luar, angin membawa bau jagung bakar. Di atas kepala, langit malam yang dulu menjadi atap kerja, kini menutup doa pulang.

.

Yang Kita Bawa

Di pesawat kembali ke Bali, ia menulis sebuah kalimat untuk dirinya dua puluh tahun lalu:

“Aku tidak bisa memilih di mana aku berangkat, tapi aku bisa memilih apa yang kubawa: rasa hormat, kerja yang rapi, dan kebaikan yang tak butuh panggung.”

Di bawah kalimat itu, ia menambahkan satu lagi:

“Kemenangan bukan saat sampai di puncak, melainkan saat tetap rendah hati meski jauh dari bawah.”

Dan ketika roda pesawat menyentuh landasan, ia tahu: langkah-langkah tak terlihat itu ternyata paling keras suaranya—di dalam dada orang-orang yang menyaksikannya.

.

.

.

Jember, 12 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #SastraUrban #EtosKerja #Hospitality #Kepemimpinan #Kebaikan #Bali #Jogja #KelasMenengahAtas

.

Kutipan untuk pembaca

  • “Energi itu seperti angin: tak terlihat, tapi menggerakkan.”

  • “Doing extra bukan karena ingin dilihat, tapi karena itu bagian dari dirimu.”

  • “Kalah hari ini bukan berarti kalah di hidup.”

  • “Kebaikan adalah komoditas yang tak pernah rugi.”

.

Catatan Penulis: Cerita ini merupakan fiksi naratif yang menggambarkan semangat kerja dan integritas di dunia hospitality Indonesia. Sosok ‘Kasiran’ mewakili ribuan pekerja tak terlihat yang memilih bertanggung jawab atas hidupnya—bukan dengan keluhan, tapi dengan keteladanan diam-diam.

Leave a Reply