Langkah di Antara yang Bisa dan Tak Bisa
“Kadang yang paling berat bukan kehilangan,
tapi menerima bahwa kita tak punya kuasa atas segalanya.”
.
Jakarta, pagi yang riuh, menetes dari bibir langit seperti air kondensasi pada kaca kantor; dingin di luar, berdesir di dalam. Di trotoar Kuningan, Sarka berdiri paling pinggir—sebuah titik kecil di antara arus dasi, gawai, dan parfum yang menuntut jam bertindak lebih cepat dari jarum penunjuknya. Ia bukan bagian dari gerombol berlari itu hari ini. Jasnya yang biasanya rapi hanya disampirkan di lengan, kemeja putihnya membuka dua kancing atas, dan di genggamannya selembar kertas: surat pemutusan kerja yang strukturnya formal namun dingin seperti logam.
Semalam, Jayengrana—atasannya—menutup percakapan dengan kalimat yang dilatih agar terdengar empatik: “Terima kasih, Sarka. Ini keputusan sulit.” Sarka mengangguk, menahan tenggorokan yang hendak menyesakkan dirinya sendiri. Tujuh tahun loyal, naik turun target penjualan, negosiasi sampai tengah malam, menyulam jaringan relasi seperti anyaman tikar pesisir—ternyata semua bisa diringkas jadi tiga paragraf, satu tanda tangan digital, dan sebuah temu muka singkat di ruang rapat.
Sarka bukan orang yang miskin nasib. Gajinya selama ini cukup; apalagi ia menyewa apartemen studio di bilangan Setiabudi, sesekali pulang dengan ojek online yang ia tanggung tip-nya lebih banyak dari standar. Di meja dapurnya yang mungil ada mesin kopi kapsul—ia menyebutnya teman subuh—dan di rak buku ada edisi terbatas kumpulan cerpen favoritnya. Ia kelas menengah yang menaruh mimpinya pada tumpukan rencana: KPR kecil-kecilan, tabungan saham, dan tiket liburan ke Sumbawa untuk mencari sunset yang katanya lebih sunyi dari Kuta. Ia bukan orang yang miskin—ia sedang bergeser.
Bergeser dari yang bisa menjadi yang tak bisa. Dari kendali menjadi menerima.
Pagi itu, ia turun di halte Transjakarta, namun tidak masuk ke dalam bus yang pintunya baru membuka. “Nanti,” gumamnya, meski tidak ada yang menanyakan. Langkahnya diarahkan ke taman kota di seberang—satu-satunya ruang terbuka yang membuat Jakarta terasa seperti kota yang ingin didengar.
.
Di bangku taman, Sarka duduk, menghitung napas dan menunda panik. Angin memantulkan bau tanah sisa hujan dini hari yang singkat. Orang lalu-lalang, suara sirene samar, lirik iklan dari layar LED raksasa menabrak kuping seperti repetisi nasihat yang tidak diminta. Sarka menatap sepatu pantofelnya: solnya sedikit aus, namun mengkilap—kebiasaan baik yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.
“Boleh duduk?” Suara perempuan memotong lengang. Ia menenteng kamera DSLR, lensanya besar, tali sandangnya lusuh, rambutnya disanggul asal, wajahnya setenang orang yang percaya pada cahaya.
“Sudah duduk,” jawab Sarka akhirnya, menoleh dan mengulum senyum. Perempuan itu tertawa kecil—terdengar tulus, bukan basa-basi.
“Namaku Laila,” katanya. “Lagi hunting foto tugas kuliah. Tema: manusia di antara kota.”
“Manusia di antara kota?” Sarka mengulang, lebih ke dirinya sendiri.
“Iya,” Laila mengangguk, menatap Sarka sejenak. “Kamu terlihat seperti orang yang baru ditampar jadwal, dan jadwalnya bilang: ‘Semesta tidak mengikuti kalendermu.’”
Ucapan itu menembus seperti jarum pelan. Sarka hampir ingin tertawa, tapi rahangnya justru kaku. “Aku… baru saja kehilangan pekerjaan.”
Laila tidak mengucapkan “ikut prihatin” atau “semangat ya”—kalimat-kalimat yang bagi Sarka sering terasa seperti plester di dahi untuk luka yang terjadi di dada. Ia hanya menggeser kameranya ke pangkuan, menatap langit biru pucat di sela gedung, dan berkata: “Aku juga pernah kehilangan. Ibuku. Mendadak. Aku mengira marah adalah satu-satunya cara bertahan. Ternyata yang menyelamatkanku bukan kemarahan, melainkan kebiasaan sederhana yang bisa kulakukan hari demi hari. Minum air cukup. Bangun di jam yang sama. Merekam pagi.”
“Merekam pagi?” Sarka baru sadar, kata-kata itu mengendurkan sesuatu di pundaknya.
“Lewat kamera,” jawab Laila. “Ketika hidup terasa tak bisa dikendalikan, aku fokus pada yang kecil-kecil yang bisa. Ternyata cukup untuk menyeberang satu hari.”
Sarka mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak semalam, ia merasa didengarkan tanpa diadili.
.
Hari-hari berikutnya, Sarka sengaja kembali ke taman. Di jam yang sama. Dengan nafas yang lebih tertata. Laila muncul di bangku yang sama, seakan waktu menghentikan satu kursi untuk mereka. Ia mulai mengajari Sarka hal paling sederhana dari fotografi: memperhatikan. Bukan setting, bukan teknis. “Cahaya kembali ke orang yang memperhatikannya,” kata Laila. “Lihat, bagaimana daun-daun itu memantulkan kota.”
Mereka memotret pejalan kaki yang menyeberang dengan payung hitam, pantulan lampu merah di aspal basah, ibu-ibu yang melintas dengan sepeda lipat bergantungan tas kerja. Ada ritme yang rapi, ada kesemrawutan yang harmoni. Saat memotret, Sarka melupakan e-mail HR yang masih bertengger di folder inbox. Saat menatap jendela toko roti, ia menangkap siluet dirinya: bingung, tapi tidak bubar.
Laila mengajarinya hal-hal kecil: menjaga horizon, menunggu momen, menahan nafas. “Kamu tahu Menak Madura?” Laila bertanya di sore yang mulai memanggil senja. “Keluargaku dari Pamekasan. Kakekku dulu suka mendongeng kisah Jayengrana dan Ratnadi. Pahlawan selalu digambarkan bisa banyak hal, tapi kakekku menekankan satu pelajaran: pahlawan bukan siapa yang mampu mengendalikan segalanya, melainkan yang tahu kapan menunduk pada angin dan kapan mengemudi.”
Sarka tersenyum. “Jayengrana kebetulan namanya sama dengan atasanku.” Mereka tertawa. Barangkali hidup gemar menyelipkan lelucon kecil di sela babak yang berat.
Di studio mininya yang sekaligus dapur apartemen, Sarka mengunduh hasil jepretan. Ia menyunting secukupnya: menaikkan kontras, menurunkan saturasi, menjaga butir. Ia mengunggah di akun media sosialnya yang selama ini dipakai untuk memotret makan siang dan poster film. Keterangan fotonya sederhana: “Langkah di antaranya.” Tak disangka, sejumlah akun kurator lokal memberi komentar. “Keren narasinya.” “Ada rasa kemacetan yang puitis.” “Noir banget, bang.” Seorang pemilik kafe di Sudirman menulis pesan langsung: “Boleh pinjam fotonya buat poster event? Kami kredit namamu.” Sarka menatap layar beberapa detik lebih lama. Ada sesuatu yang terasa hangat, bukan karena pujiannya, melainkan karena ia menemukan benang kecil yang bisa ditarik pelan-pelan.
.
Dunia pekerjaan Sarka tidak serta-merta pulih. Tabungannya menyusut, lamarannya di LinkedIn banyak yang masuk ke fitur “We’ll let you know,” beberapa undangan wawancara berakhir pada “kami memilih kandidat dengan pengalaman lebih sesuai”. Namun hari-hari datang lebih terstruktur: ia bangun pukul enam, menyeduh kopi, menulis tiga hal yang bisa ia kendalikan hari itu. Kadang sesederhana: olahraga dua puluh menit, membaca tiga puluh halaman, menyunting lima foto.
Laila membawanya ke sebuah workshop fotografi jalanan. Di sana, Sarka bertemu Wira—nama lengkapnya Kertawirya—yang bekerja di agency iklan. “Kita butuh mata baru,” kata Wira setelah melihat portofolio mini Sarka. “Bukan sekadar yang teknis jago, tapi yang bisa mendengar kota.” Wira mengundang Sarka membantu dokumentasi kampanye kecil untuk UMKM rumahan di Rawamangun. Honorarium-nya tidak besar, tapi cukup untuk membayar tagihan listrik dan data internet tanpa cemas.
Di proyek berikutnya, ia memotret katalog sederhana untuk produk batik tulis Sumenep milik seorang teman Laila. Di studio apartemen seluas tiga kali lima, dengan dua lampu LED dan backdrop spandeks yang dijepitkan ke lemari, mereka bereksperimen. Sarka belajar mengarahkan model, memilih musik latar agar suasana cair, menyusun timeline pemotretan agar tidak kebablasan. “Sederhana, tapi tertib,” gumamnya, menatap jam, merapikan klip, mencatat nomor file. Saat hasilnya diunggah, pemesan menulis: “Ini pertama kali batikku terlihat seperti cerita bukan kain.”
Kata-kata itu menancap seperti jangkar di perahu kecil bernama percaya diri.
.
Pada suatu malam Sabtu, Sarka menumpang KRL ke Stasiun Cikini, lalu jalan kaki ke sebuah galeri kecil yang menggelar pameran fotografi pemuda. Laila menunggunya di pintu. “Kau lihat dinding sebelah?” tanya Laila, matanya berbinar seperti lampu kota yang memantul pada hujan.
Di dinding itu, salah satu foto Sarka dipajang dalam bingkai kayu: seorang bapak berdiri di zebra cross, membawa kotak kue, memandang lampu hijau yang tak kunjung muncul. Di bawahnya, judul kecil: “Menunggu yang Bisa, Melepaskan yang Tak Bisa.” Pengunjung yang lewat memperlambat langkah, menyipitkan mata, dan—Sarka menyaksikan dengan hampir tak percaya—mengambil napas.
Ia tidak menangis di galeri. Ia pulang, membuka pintu apartemen yang beraroma sabun cuci piring, menaruh tas, dan duduk di lantai. Baru di sana ia menangis, diam-diam, seperti pipa bocor yang akhirnya menemukan celah. Bukan tangis sedih; lebih seperti tangis yang menemukan nama untuk sebuah rasa lama: lega.
.
Seminggu berselang, pesan masuk dari nomor tak dikenal. “Halo, saya Ratna.” Sarka kaget—Ratna adalah mantan tunangannya, yang membatalkan rencana pernikahan tahun lalu karena mereka “memilih arah hidup yang berbeda”. Ratna kini bekerja sebagai konsultan keuangan untuk sebuah bank swasta yang sedang meluncurkan program literasi finansial untuk milenial. “Aku lihat fotomu di galeri,” tulis Ratna. “Penuh kesabaran. Kami butuh storyteller visual untuk program kami. Tertarik?”
Sarka menatap layar ini lebih lama. Mereka berpisah baik-baik, tapi bekasnya tetap seperti garis putih pada kulit yang pernah retak. Ia menarik napas. “Aku tertarik, selama kita bekerja profesional.” Ratna membalas dengan ikon senyum. “Tentu.”
Di proyek itu, Sarka memotret dan membuat video pendek tentang kisah-kisah kecil mengelola uang. Ada seorang barista yang menabung harian di amplop, seorang staf HR yang membangun dana darurat pelan-pelan, seorang penjual sate Madura keliling yang menyisihkan setiap malam untuk membeli gerobak yang lebih layak. Sarka tidak menjeritkan pesan; ia membiarkan gambar bekerja sebagai instrumen, suara sebagai napas, angka sebagai subjudul yang jujur. Ratna mengarahkan kalender, mengingatkan disklaimer, dan—di luar dugaan—mengirimkan ucapan selamat pada Sarka saat kampanye itu mencapai satu juta penonton.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Ratna di sebuah sore, saat mereka menunggu narasumber di warung soto. Bau kuah kaldu menyejukkan bahu yang seminggu ini sibuk. “Aku baik,” jawab Sarka, mengejutkan dirinya sendiri. “Aku tidak sedang mengendalikan dunia. Tapi aku bisa mengendalikan cara memandangnya.”
Ratna menatap, lama, seolah ingin mengukur jarak antara dulu dan kini. “Kamu berubah. Lebih diam, tapi padat.”
“Aku belajar dari Laila,” kata Sarka—nama itu meluncur tanpa ia seleksi.
“Laila?” Ratna mengulang.
“Teman. Guru. Orang yang duduk di bangku taman pada saat yang benar.” Mereka saling senyum. Ada halaman yang sudah habis, tapi keharuman kertasnya masih ada.
.
Setelah tiga proyek berjalan, Sarka memutuskan membeli kamera second—ia menamai kameranya “Amir”, mengambil dari tokoh Menak yang diceritakan kakek Laila. “Amir bukan sekadar pahlawan; ia perantau yang memeluk rindu,” Laila pernah bilang. “Seperti kita-kita, urban yang pulang lewat karya.” Ia juga membeli tripod yang akhirnya mengajarkan sebuah kesabaran baru: fokus tidak mungkin kalau tangan terus gemetar.
Ia merapikan portofolio di situs gratisan, menulis profil singkat tanpa dramatisasi: “Aku memotret kota dan orang-orang yang menyeberanginya.” Ia menata price list dengan jujur, memberi opsi barter untuk UMKM, memberi ruang diskon untuk kegiatan komunitas. Ia menayangkan kalender slot pemotretan agar tidak terserak. Ia menulis di catatannya: “Jika ada hal yang bisa dikendalikan: jadwal, etika komunikasi, dan kualitas serah-terima.”
Sarka juga menemukan ritme sehat: lari pelan di GBK setiap Rabu pagi, mengurangi kopi menjadi satu cangkir, membaca fiksi setiap malam sebelum tidur. Ia ikut komunitas pemuda masjid yang mengadakan kelas literasi digital untuk warga komplek. Di sana, ia bertemu Prabangkara, seorang arsitek muda yang berjiwa relawan. “Kita butuh cerita visual untuk menggalang dana renovasi perpustakaan kelurahan,” kata Prabangkara. “Tertarik?”
“Selama tidak mengorbankan integritas,” jawab Sarka, menetapkan syarat yang dulu tak sanggup ia ucapkan.
“Justru itu,” balas Prabangkara. “Kita ingin menggalang dengan transparan.” Mereka memotret rak kayu yang lapuk, anak-anak yang membaca koran bekas, ibu-ibu yang mengembalikan buku dengan bungkus plastik rapi. Video empat menit itu menembus target penggalangan dana dalam dua minggu. Sarka menempelkan cetakannya di dinding studio-apartemen: pengingat bahwa visual bukan sekadar estetika, tapi alat menyambungkan niat baik.
.
Pada suatu sore yang kebiruan, Laila datang ke taman dengan ransel lebih penuh dari biasa. Ia menggenggam secarik kertas yang lipatannya rapi. “Aku… diterima sekolah foto di Melbourne,” katanya, menahan campur-bahagia yang menggemetarkan jari.
Sarka menahan rasa menyesak yang anehnya manis. “Kapan berangkat?”
“Sebulan lagi. Ada beasiswa sebagian. Sisanya kututup dari tabungan dan sedikit bantuan keluarga.” Laila menatap Sarka dalam-dalam. “Aku takut, sebenarnya. Tapi aku juga tahu: ini langkah yang harus kuambil di antara yang bisa dan yang tak bisa.”
“Pergilah,” Sarka menjawab pelan. “Kota bisa menunggu pulangmu.”
Mereka berdua diam. Di atas kepala, daun trembesi bergeser oleh angin. Di kejauhan, azan magrib melarutkan sore. Sarka ingin mengungkapkan seluruh rasa terima kasih, tapi kata-kata seperti terlalu sempit. Laila menggenggam kameranya; Sarka menggeser jaketnya. “Terima kasih,” kata mereka hampir bersamaan. Dan tawa kecil pecah di udara—tawa yang akan mengisi sela-sela sunyi di kemudian hari.
“Kalau aku boleh menutup pelajaranku padamu,” ujar Laila akhirnya, “ini: ‘Hidup bukan soal mengubah arah angin, tapi tentang belajar menyesuaikan layar.’”
Kata-kata itu menempel di dinding dada Sarka seperti poster yang baru direkatkan: rapih, rata, dan siap bertahan pada musim yang mengganti-ganti.
.
Sebulan kemudian, Laila benar-benar pergi. Sarka mengantar ke bandara, menenteng ransel tambahan berisi buku catatan dan botol minum. Mereka berpelukan singkat, seperti anak-anak pesisir yang saling menjaga saat gelombang datang. Tak ada janji manis selain “jaga dirimu” dan “jangan lupa mengirim foto fajar”.
Hari-hari setelahnya, Jakarta terasa sama tapi tidak identik. Bangku taman tetap ada, tapi bayangan Laila menipis menjadi getar. Sarka tetap kembali, duduk sepuluh menit, lalu memotret. Ia mengecek kalender: ada jadwal prewedding sederhana di Taman Suropati, dokumentasi talkshow literasi keuangan di SCBD, dan katalog untuk batik pesisir yang semakin laku. Tabungannya mulai merayap naik. Apartemen studionya terasa lebih lega setelah ia membuang kardus-kardus lama.
Pada suatu malam, notifikasi masuk dari e-mail: subjeknya “Kerja Sama Jangka Panjang”. Sebuah perusahaan properti ingin membuat serial human interest tentang para pekerja yang merawat gedung-gedung tinggi—satpam, teknisi lift, petugas kebersihan. “Kami mencari fotografer-videografer yang bisa bercerita dengan penuh hormat,” tulis mereka. “Rekomendasi dari Wira.” Sarka menarik kursi, duduk, dan menatap malam Jakarta dari jendela. Lampu-lampu gedung seperti huruf-huruf Morse yang mengirimi kabar baik tanpa basa-basi.
Ia menulis balasan, tidak terburu-buru, menyisipkan daftar kebutuhan produksi, menambahkan klausul pembayaran bertahap, menautkan portofolio. Di akhir e-mail ia menuliskan satu kalimat yang ia pelajari dari sekian banyak jatuh-bangun: “Kami ingin mengantar kisah, bukan sekadar gambar.”
E-mail terkirim. Sarka menyalakan ketel air, membuat teh camomile, lalu memutar musik instrumentalia. Di dinding, foto hitam-putihnya bersisian: zebra cross malam, tangan kurus memegang payung, senyum penjual sate di bawah hujan rintik, rak perpustakaan yang baru dicat putih. Ia mematikan lampu utama, menyisakan lampu meja yang hangat kuning. Apartemen kecil ini kini tidak lagi terasa sempit; ia terasa pas—seperti baju yang dijahit berdasarkan ukuran yang baru.
Sebelum tidur, Sarka membuka catatan. Ia menulis tiga hal:
-
Aku tidak menguasai segalanya.
-
Aku bisa menguasai caraku melangkah.
-
Setiap langkah kecil punya arah bila kuperhatikan.
Ia menutup buku, menatap langit-langit yang dulu terasa asing, kini terasa milik sendiri. Ia tersenyum—bukan karena semua masalah selesai, melainkan karena ia akhirnya mahir membedakan: mana yang bisa, mana yang tak bisa, dan bagaimana menari di antaranya.
.
Suatu pagi beberapa minggu setelah itu, notifikasi WhatsApp masuk. Foto pertama: langit pagi biru pucat dengan garis tipis pesawat. Foto kedua: bayangan pohon gum yang panjang. Foto ketiga: secangkir kopi latte dengan latte art seadanya. “Aku belajar merekam pagi di kota baru,” tulis Laila dari jauh. “Kau masih duduk di bangku taman yang sama?” Sarka tersenyum, memotret bangku taman yang kini kosong, mengirim balik: “Masih. Dan aku meneruskan pelajaran yang kau tinggalkan.”
Ia menambahkan satu foto lagi: sepasang calon pengantin berjalan pelan di Taman Suropati, mengenakan kebaya putih sederhana dan kemeja putih, tertawa kecil seperti orang yang menemukan lelucon yang hanya mereka berdua mengerti. “Judulnya?” tanya Laila. Sarka mengetik: “Langkah di Antara yang Bisa dan Tak Bisa.”
Kota berdesir. Pagi menyelesaikan ritmenya. Sarka menyesap udara, berdiri, menggantung kamera di leher—Amir, perantau yang memeluk rindu. Ia melangkah, bukan untuk melawan angin, melainkan untuk menyelaraskan layar.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa menjadi nakhoda dari kapal kecil bernama harapan.
.
“Hidup bukan soal mengubah arah angin, tapi tentang belajar menyesuaikan layar.”
.
.
.
Jember, 3 Agustus 2025
.
.
#LangkahDiAntara #JakartaStories #KelasMenengah #FotografiJalanan #Resilience #BelajarMenerima #SelfLeadership #UMKM #CerpenIndonesia #Motivasi