Lampu-Lampu yang Tidak Pernah Padam
“Di kota yang mengajarkan orang berlari, kebaikan memilih berjalan pelan—agar setiap hati sempat ia sentuh sebelum berlalu.”
“Kebaikan tidak membuatmu kalah; ia hanya menolak ikut bertarung dalam pertempuran yang menyesatkan.”
.
Jakarta selepas hujan seperti tubuh raksasa yang baru saja mandi: basah, beruap, memantulkan lampu-lampu kota di aspal hitam yang mengilap. Di bawah langit yang masih menyisakan gerimis, kereta melintas di atas jembatan Dukuh Atas, membelah suara malam dengan desis besinya. Di salah satu sudut Sudirman yang tak pernah benar-benar tidur, berdiri sebuah hotel menengah ke atas—fasadnya kaca, lobby-nya wangi citrus dan kopi—tempat Damar menghabiskan separuh hidupnya.
Ia berdiri di balik meja resepsionis, mengenakan seragam abu-abu dengan name tag kecil. Namanya pendek, seperti nyala lilin: Damar. Orang sering mengira nama hanyalah tanda; baginya, itu semacam kompas. Di saku dalam seragamnya, terselip kartu pudar bertuliskan—dengan bahasa campur aduk yang entah sejak kapan ia hafal—Be kind, no matter what.
Dari luar, orang melihat hidup Damar rapi-rapi saja. Ia punya pekerjaan, kontrakan kecil di Karet, sepeda lipat yang setia mengantar pulang saat larut. Namun kota yang keras tidak selalu mengajarkan cara pulang; sering kali ia hanya memberi belokan-belokan yang membuat seseorang berkali-kali tersesat sebelum berani mengetuk pintu hatinya sendiri.
Malam itu, ketika jam dinding lobby pelan-pelan merangkak menuju pukul sebelas, bayangan pertama datang dengan langkah-langkah tergesa.
.
Pria itu masuk seperti angin kusut, rambutnya basah, koper bertubrukan dengan lantai marmer. “Kenapa proses check-in lama sekali?” suaranya menajam, memotong percakapan Sinta—staf front office—dengan tamu lain. Sinta menelan ludah; baru tiga minggu ia bertugas di sini.
Damar melangkah maju, tidak mengangkat tangan, tidak memasang senyum palsu. “Selamat malam,” katanya pelan. “Saya Damar. Tadi sistem sempat memperbarui data. Dua menit saja, Bapak dapat kunci. Sambil menunggu, mau air hangat atau dingin?”
Pria itu menatapnya—tatapan yang biasanya dilawan orang dengan tatapan lebih tajam. Damar tidak berkompetisi. Ia hanya menunggu, memberi ruang pada lelah yang menunggu diberi kursi.
“Air hangat,” kata pria itu akhirnya, menurunkan suara setengah oktaf. Di meja kecil dekat sofa, Damar menaruh gelas, tidak mengatakan apa pun. Ketenangan adalah kalimat yang bisa dibaca mata. Dua menit kemudian, kunci siap. “Kamar di sisi selatan,” ujar Damar, “lebih sunyi dari suara jalan.”
Pria itu mengangguk singkat. Sebelum pergi, bibirnya bergerak seperti hendak minta maaf, tetapi malam keburu menelan kata-kata itu. Tidak semua maaf membutuhkan saksi.
.
Di kota, listrik jarang benar-benar padam. Tetapi malam berikutnya, tepat pukul 02.17, petir memukul langit, dan sebagian blok gelap. Genset hotel menyala seperti dada yang segera mengingat bagaimana caranya bernafas. Lampu-lampu darurat menyala kuning, lift berhenti di lantai aman. Telepon resepsionis berdering bertubi.
Damar turun ke lantai lima bersama Tole, petugas keamanan yang jarang bicara tetapi selalu tiba di tempat yang tepat sebelum diminta. Di koridor, seorang bayi menangis. Ibunya membuka pintu dengan wajah pucat. “Maaf, jadi berisik,” katanya—orang lelah selalu merasa harus minta maaf atas keberadaannya sendiri.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Damar. Ia mendekati jendela dan menunjuk titik kecil di antara awan: bintang yang bandel, tidak mau padam. “Kalau kita lihat yang itu, kadang suara di dada mengecil.” Bayi itu tidak mengerti bintang, tetapi mengerti wajah yang tenang. Tangisnya pelan-pelan menjadi isak, lalu senyap.
Di panel belakang, operator melapor, semua stabil. Damar menulis secarik catatan dan meletakkannya di meja kamar sang ibu: “Kalau malam terasa terlalu panjang, coba duduk sebentar di depan jendela. Ada terang yang memilih tinggal walau yang lain pulang.” Ia menandatangani dengan nama kecilnya saja; jabatan sering membuat kebaikan kehilangan jaraknya.
.
Paginya, Jakarta kembali seperti biasa: riuh, tergesa, macet yang entah milik siapa. Di dapur hotel, Samudra—barista yang ocehannya seperti lagu pop yang tak habis lirik—menggiling biji kopi, sementara Rengganis, staf housekeeping, mengelap kaca-kaca besar lobby sampai kota di luar tampak seperti lukisan yang baru dicetak. Rengganis bertubuh kecil, jalannya cepat, senyumnya tipis. Ia jarang menatap mata orang, seperti seseorang yang belajar sejak lama bahwa menatap bisa jadi mengundang.
Sore itu, seorang pembuat konten datang. Ia tidak memperkenalkan diri, hanya menancapkan gimbal, menyorot dekat gerobak kecil wedang jahe yang menjadi sudut favorit tamu. “Biasa,” gumamnya setengah keras, “hotel gini-gini aja.” Videonya diunggah sebelum matahari benar-benar tenggelam; jam sembilan malam, komentar-komentar bertumpuk di akun hotel. Overrated. Fotonya doang.
Chef Kencana menahan napas. Samudra menggigit bibir. Rengganis menatap lantai, menyalahkan diri karena mungkin ia yang tadi lupa mengganti taplak. Damar menatap layar ponsel, lalu menatap orang-orangnya. “Besok pagi, kita undang dia sarapan. Tidak untuk berdebat. Untuk mendengar.”
Keesokan paginya, pembuat konten itu datang—mungkin karena penasaran, mungkin karena undangan yang tidak mengancam. Di meja dekat jendela, Chef Kencana menyuguhkan tiga versi bubur ayam: yang gurih murni, yang diberi kaldu jahe, dan yang dihias daun bawang setipis kabut. “Ceritakan bubur paling enak versi kamu,” kata Damar. “Biar kami tahu kita sedang mencari rasa yang sama, atau sedang mencari masa lalu.”
Pemuda itu diam sebentar, lalu bercerita tentang bubur di warung kecil Tanah Abang, dimasak oleh ibunya, dimakan ketika hujan, dengan sendok yang gagangnya hilang. Chef Kencana menatap sendok di tangannya sendiri, tiba-tiba terasa lebih berat.
Video berikutnya tampil berbeda: “Di balik semangkuk bubur—tentang rasa yang perlu waktu.” Komentarnya pun bergeser: “Ada hati di dapur ini,” tulis seseorang. Tidak ada yang tiba-tiba menjadi suci, tetapi percakapan mulai menyukai nada rendah.
.
Hujan besar datang lagi. Di kawasan Jatinegara, air menggenang sampai lutut. Seorang tamu menelpon dari KRL yang terhenti, suaranya cemas. Di lobby, Damar membuka ruang rapat kecil sebagai pos hangat: handuk-handuk bersih ditumpuk, termos air jahe disiagakan, kursi disusun berjarak. Orang-orang basah datang satu-satu seperti kalimat yang terlambat. Samudra menambah porsi roti panggang. Tole membuka pintu berulang kali, menyalami udara yang dingin dengan telapak tangan hangatnya.
Seorang lelaki sepuh duduk di kursi rotan, menatap gerimis di luar. “Dulu,” katanya lirih pada Damar, “waktu kampung kami kebanjiran, yang paling kami butuhkan bukan nasi, tapi ditemani. Ada yang bilang: ‘sabar dulu, Pak’. Itu yang bikin kami kuat.”
Damar mengangguk. Di tengah kerasnya kota, orang paling merindukan kalimat pelan.
Sampai larut, listrik di area lain padam bergantian, kendaraan memutar arah, kabar-kabar buruk berseliweran. Tetapi di lobby kecil itu, orang-orang asing saling meminjam tisu, saling menuang jahe. Ketika air surut, mereka pulang dengan tubuh lelah dan hati yang sedikit lebih ringan. Esoknya, ada kertas ditempel di papan pengumuman hotel: Terima kasih untuk ruang teduh. Kalian tidak tanya kami dari mana; kalian hanya bilang: sini, duduk dulu.
.
Konflik yang paling menyakitkan sering tidak berisik. Ia berwujud bisik-bisik di ruang ganti, tawa yang dipendam ketika seseorang salah menyebut istilah, pesan singkat yang memelintir niat. Beberapa hari kemudian, Damar mendengar namanya Rengganis disebut-sebut: lambat, pelupa, kampungan. Kata-kata itu tidak menimbulkan pecah, hanya retak; dan retak adalah jenis kerusakan yang paling sulit diperbaiki jika dibiarkan.
Damar mengumpulkan tim housekeeping di ruang training. Di papan tulis, ia menulis besar-besar: Ajining diri dumunung ing lathi. Nilai seseorang terletak pada lidahnya.
“Kita boleh lelah,” katanya, “tapi kita tidak berhak merendahkan. Kalau ada yang lambat, kita bantu ritmenya. Kalimat adalah alat; jangan dijadikan senjata. Kalau ada yang salah, kita perbaiki bareng—bukan dijadikan bahan.”
Rengganis menunduk, menahan sesuatu yang sejak lama ingin keluar. Seseorang mengangkat tangan, meminta maaf. Mereka menata ulang sistem kerja: siapa memeriksa minibar, siapa mencatat linen, siapa memastikan ulang kamar mandi. Ternyata masalahnya lebih banyak pada alur yang remang daripada pada satu orang yang dituding. Kebaikan perlu struktur agar tidak tersesat.
.
Pada suatu pagi yang terlalu panas untuk Januari, seorang anak perempuan tertinggal di lobby. Namanya Nala. Ibunya sedang check-out terburu-buru, teleponnya berbunyi tanpa henti; dalam kebisingan itu, Nala duduk di karpet, memegangi ransel kuning yang talinya mulai berbulu. “Takut,” katanya pelan. Damar duduk bersila, meletakkan buku bergambar di depan Nala.
“Kupu-kupu itu hebat,” kata Damar, menunjuk halaman yang menampilkan sayap warna-warni. “Tapi sebelumnya ia harus sabar di kepompong. Takut juga bagian dari terbang.”
Ketika ibunya kembali, matanya basah. “Maaf,” katanya pada semua orang, kata yang terlalu sering dibebankan pada ibu-ibu di kota ini. Nala melambai pada Damar. Di punggungnya, gantungan berbentuk bintang bergoyang, kecil, tetapi menolak padam.
.
Malam-malam tertentu, telepon kamar berbunyi dengan nada yang berbeda. Damar tahu, dari cara deringnya mengiris sunyi. Pukul 00.43, seorang tamu menelepon dari kamar tinggi. “Saya… tidak tahu harus bagaimana,” suaranya pelan, seperti orang yang minta maaf karena masih bernafas.
Damar membawa teh hangat. Di kamar, seorang pria duduk bersandar di lantai, memandang tirai yang bergerak perlahan. “Perusahaan menutup cabang,” katanya. “Besok saya harus bicara ke banyak orang. Saya tidak punya kalimat.”
Damar duduk di ambang pintu, jarak aman. Ia mendengarkan. Orang dewasa jarang memerlukan nasihat; yang mereka butuhkan adalah saksi. “Bapak boleh sedih malam ini,” kata Damar ketika senyap mulai terasa ramah. “Besok kita pikirkan kata-kata. Malam ini, kita istirahatkan detak.” Ia menaruh secarik kertas sebelum pamit: Pukul 06.30, rooftop. Kita lihat matahari. Kalimat biasanya muncul setelah cahaya.
Pagi itu, matahari memanjat perlahan, malu-malu, tetapi gigih. Mereka berdiri tanpa banyak bicara. Wajah pria itu berubah: bukan bahagia tiba-tiba, hanya lebih siap untuk kalah dengan bermartabat. Ada jenis kekuatan yang tidak berteriak, dan kota besar jarang mengajarkannya.
.
Krisis berikutnya datang dengan pakaian rapi. Presentasi korporat—ruang rapat, proyektor, orang-orang penting—dan tepat saat slide ketiga, alat macet. Grup percakapan internal meledak oleh huruf kapital. Di luar, jam seperti menertawakan mereka, detik berlari lebih cepat dari napas.
Alih-alih mencari kambing hitam, Damar mengumumkan kelas sepuluh menit esok hari: Tata Krama Krisis. “Kita latihan bukan untuk menghindari masalah,” katanya, “tapi untuk menjaga kemanusiaan ketika masalah datang.” Mereka membagi tugas: siapa menenangkan tamu, siapa menyalakan rencana B, siapa mencetak handout. Di papan tulis, Damar menulis tiga huruf besar: C—Kejelasan (clarity). C—Tata krama (courtesy). C—Keberanian (courage). “Kebaikan tidak bisa berdiri tanpa tiga ini,” katanya. “Tanpa kejelasan, ia bingung. Tanpa tata krama, ia kasar. Tanpa keberanian, ia kecut.”
Tole—yang selama ini lebih banyak menyapu sunyi—mengangkat tangan. “Pak, kalau kita terlalu baik, kita dimanfaatkan?”
“Kadang,” Damar jujur. “Itulah gunanya batas. Kebaikan bukan tunduk. Ia berdiri tegak, hanya saja dia tidak mendorong orang lain jatuh.”
.
Malam Jumat, lobby ramai. Seorang tamu menolak membayar denda merokok di kamar. “Saya pelanggan lama!” suaranya naik.
Damar mengajak duduk di lounge. “Terima kasih sudah sering menginap,” ujarnya pelan. “Aturan ini untuk melindungi tamu lain. Anak kecil di kamar sebelah batuk semalaman. Itulah sebabnya dendanya tetap ada.”
Tamu itu menggerutu, tetapi akhirnya mengangguk. Damar kembali ke meja kerja, menulis di kertas kecil: Kebaikan tanpa batas jadi lemah; batas tanpa kebaikan jadi keras. Di antara keduanya ada pelukan bernama adil. Kertas itu ia selipkan di buku catatan, semacam janji yang harus diingat sendiri.
.
Beberapa minggu berlalu. Rutinitas menggerus ingatan; kota selalu meminta seseorang untuk bergegas. Pada suatu sore, seorang lelaki sepuh datang ke lobby, melangkah pelan, tetapi tatapan matanya bening. Damar mengenalinya: orang yang dulu—bertahun lalu—memberi kartu kecil bertuliskan kalimat yang kini tinggal separuh karena pudar.
“Kau simpan?” tanya lelaki itu.
“Saya simpan,” jawab Damar.
“Sudah paham?”
“Saya belajar, Pak,” kata Damar. “Kebaikan itu bukan karangan bunga. Dia lebih seperti sayur di dapur—harus diolah setiap hari. Kalau dibiarkan, layu.”
Lelaki itu tertawa kecil. Di bagian belakang kartu, ia menambahkan tulisan: Jadilah baik bukan untuk disukai orang, melainkan agar kamu tetap benar di hadapan nuranimu sendiri. Damar menatap huruf-huruf itu lama-lama. Di luar, langit berganti warna; di dalam, sesuatu yang tidak punya nama menemukan letaknya.
.
Di sebuah grup perbincangan maya, video lama tentang “hotel overrated” kembali muncul, dikomentari orang yang tidak pernah menginap. Damar tidak membalas. Ia mengambil spidol, menulis di whiteboard ruang staf: Ruang Teduh. Sepuluh menit sebelum shift, mereka duduk, memejamkan mata, mendengar napas sendiri. Tidak ada doa khusus, tidak ada jargon motivasi, hanya jeda—agar manusia tidak lupa bahwa mereka manusia.
Sinta mengaku, ia sering cemas karena aksen Betawinya kental. Kencana bercerita, ia suka takut kalau roti gosong. Samudra tertawa, mengaku kadang pura-pura paham istilah yang sebenarnya tidak ia mengerti. Tole mengatakan satu kalimat yang membuat semua orang terdiam: “Saya paling takut kalau pulang tidak ada yang menunggu.”
Ruang Teduh tidak membuat mereka kebal. Tapi sejak itu, mereka punya tempat untuk menaruh rasa sebelum kembali bekerja. Dan entah bagaimana, para tamu mulai menulis ulasan yang nadanya hangat. Bukan karena semua sempurna, melainkan karena orang merasakan ketika seseorang menjaga hatinya sendiri.
.
Kota punya cara mengembalikan yang kita titipkan padanya: pelan-pelan, tidak langsung, kadang dalam rupa yang salah alamat. Suatu siang, kartu pos datang dari seberang dunia—gambar pantai yang biru, tulisan tangan yang rapi. Saya tamu yang dulu marah di lobby, tulisnya:
*Kata maaf waktu itu tidak sempat keluar. Tapi wajah Anda muncul ketika saya terjepit di kereta bawah tanah, berdesakan di antara orang-orang asing yang dingin. Saya teringat bagaimana segelas air hangat dan suara tenang Anda lebih kuat daripada amarah saya sendiri. Sejak saat itu, saya belajar bahwa kebaikan bukan kelemahan, melainkan daya yang menahan dunia dari runtuh. Terima kasih, karena Anda memilih tidak melawan, melainkan merangkul sunyi dengan sabar.*
.
.
.
Jember, 6 September 2025
.
.
#Cerpen #Kebaikan #Empati #Jakarta #Kemanusiaan #CeritaPerkotaan #PituturJawa #Storytelling #KompasMingguStyle #Hospitality